Side Effect
Andaikan Wilson tidak terbujuk oleh rayuan maut Luthfian si bassist, mungkin kini ia tak akan duduk di bar dengan sebuah cerutu terselip di kedua jemarinya dan segelas vodka yang ia capit.
Pikiran pemuda itu kacau hanya karena rasa iri dan ingin menyaingi Pieter yang tak lain dan bukan merupakan komposer grup band Bumilangit.
Entah apa yang terjadi, pria itu menaruh gelas dengan sangat keras ke meja bar yang berbahan dasar marmer, membuat gelas itu pecah dan ada beberapa yang tertancap di telapak tangan. Membuat seluruh atensi pengunjung mengarah kepadanya.
Mereka berusaha keras untuk menolong pendarahan di jemari Wilson, namun langsung diurungkan karena pemuda itu yang tertawa kencang sembari menangis dan tak jarang ia mengancam dirinya untuk melakukan suatu hal yang lebih berbahaya.
“Oh my God, Casper. What happen to you?” Suara itu tak asing bagi Casper. Itu suara Aprilita, wanita yang selalu menemani seorang Wilson Caspiar menjalani harinya yang kelabu.
Terutama ketika psikiaternya memvonis dia dengan gangguan kepribadian ambang, atau bahasa bekennya, Borderline Personality Disorder.
Gangguan itu sangat mempengaruhi Wilson dan bertingkah laku dan menjalani sosialisasi dengan orang. Namun hanya Aprilita yang berhasil menarik dia dan mendekapnya agar tak makin terjun ke dalam jurang.
“Ayo ke rumah sakit. Telapak tangan lo luka semua.” Aprilita membopong Wilson dan memberi kode kepada bartender langganannya bahwa ia akan kembali untuk membayar semua pesanan Wilson setelah dari rumah sakit.
“Casper, lo kenapa lagi?” Aprilita mengusap bahu Wilson dengan lembut, berusaha untuk membuat pria keturunan tionghoa itu agar tenang sebelum ia melakukan operasi kecil yaitu menjahit luka terbuka di telapak tangan Wilson.
Aprilita membiarkan Wilson terus bercerita dan tangannya terampil mengayunkan jarum itu untuk menutup luka. Gadis itu memang seorang dokter di rumah sakit di mana mereka berdua itu berada. Maka dari itu, ia memilih untuk menjahit luka Wilson sendirian.
“Gue kehilangan D'Jure dan sekarang gue dikejar-kejar sama polisi.” Itu salah satu bentuk delusi yang selalu dialami oleh Wilson setelah psikiater memvonis dia. Pria itu selalu merasa tengah dikejar-kejar oleh seseorang, dan merasa yakin hingga ketakutan setengah mati.
Dahulu Aprilita pernah diberitahu oleh Wilson, bahwa apa yang ia alami saat ini adalah efek samping dari kehidupan yang dia pilih. Rasa takut, marah, dan kecewa seperti bercampur menjadi satu kesatuan. Membentuk Wilson menjadi pria yang rapuh.
“Lo udah gue bilangin kan ... kalau emang mau mabuk, telepon gue. Gue temenin lo mau ngelantur kesana-kemari. Jangan kayak gini lagi ya? Lo pendem sendiri, gak suka gue lihat lo kayak gini.” Aprilita melilitkan perban di tangan Wilson dengan sangat rapi, lalu tersenyum dan berdiri.
“Lita,” panggil Wilson.
“Gue gak salah kan? Gue mau nunjukkin ke Pieter kalau gua bukan bocah yang gak tahu apa-apa.” Lita setia tersenyum, dan kini tangannya bergerak untuk mengusap tiap helai rambut Wilson.
“Enggak. Lo mau nunjukkin kalau lo tuh hebat. Lo tuh mampu. Tapi mungkin cara lo dengan mendiamkan Luthfian mencemarkan nama mereka itu salah. Salah banget.” Aprilita hendak pergi keluar untuk mengembalikan nampan kecil, namun tangan Wilson yang tak diperban justru mencengkram dan menarik tubuh Aprilita untuk ia dekap.
Bau alkohol bercampur dengan Ginepro di Sardegna menyapa indra penciuman Aprilita ketika dekapan Wilson mulai mengerat. Gadis itu merasakan degup jantung Wilson yang berpacu dengan cepat dan telinganya mendengar deru napas pria di depannya yang mulai memberat.
“Casper, lo kenapa?”
“Jangan tinggalin gue. Cukup nyokap, Pieter, sama D'Jure yang ninggalin gue. Gue gak punya siapa-siapa lagi.” Entah mengapa, setelah pria itu mengatakan agar Aprilita tak pergi, detak jantung dan deru napas Casper mulai kembali normal.
Pelukan Aprilita memanglah antidepresan untuk seorang yang kerap dipanggil Casper itu. Bahkan, sesederhana suara Aprilita, pria itu dapat tertidur pulas tanpa merasa ketakutan.
“Gue gak bakal pergi kok, Wil. Sampai napas gue yang terakhir sekalipun, cuma elo yang boleh gue tatap dan nemenin gue.”