Tentang Tenang yang Tak Kunjung Datang

“Anjing lo ya, Ga!” Suara canda tawa anak Bumilangit mulai meredam tertahan pintu studio Steve yang ia tutup.

Di kepala pria itu mulai tercampur aduk segala permasalahan yang ia tak ketahui asal muasalnya. Membuat ia memijat pelipis dengan lembut, berusaha untuk melepas segala rasa tak tenang yang tumpah tanpa izin.

Hingga tak Steve sadari, Margareth membuka pintu studio dan berjalan mengendap-endap agar tak mengejutkan pemuda dengan bekas luka berbentuk mawar yang kini tengah merenung. Gadis itu mulai menyalakan satu persatu lilin aromaterapi yang ada di seluruh penjuru ruangan dan memutar sebuah lagu milik Yura Yunita.

“Capek banget, ya?” Margareth mengusap bahu pria kebanggaannya itu. Membuat Steve menoleh dan langsung memutar kursi untuk sekedar memeluk tubuh ramping milik Margareth.

“Iya, saya capek banget. Mikirin nasib Bumilangit yang kehilangan dua sayapnya.” Kedua telapak tangan Margareth mengusap lembut setiap helai rambut pria bernama Steve Pieter Christian dan turun menuju dagu pasangannya untuk didongakkan.

“Hey, kamu lihat sendiri kan? Mereka tetap bahagia walaupun Hendrian sama Arjuna turun dari panggung, Pieter. Mungkin, kamu saat ini mikirin siapa dalang dari masalah Arjuna sama Hendrian. Percaya sama aku, suatu saat... waktu akan menjawabnya,” tutur Margareth penuh kehati-hatian. Tangannya setia mengusap poni dan anak-anak rambut Steve untuk menjauh. Memperlihatkan dahi Steve yang mulai ditumbuhi beberapa jerawat.

“Tahu gak? Tadi aku nanya ke Renjana. Dia nunjukkin hasil gambarnya buat album OUTERSPACE. Cantik banget.” Margareth tersenyum dan senyuman gadis itu menular kepada Steve yang mulai menarik kedua sudut bibirnya.

“Nah gitu, baru suami aku.”

“Sayang,” panggil Steve dengan suara yang sedikit serak. Sedangkan sang empunya julukan hanya menjawab panggilan dengan dehaman.

“Can I kiss you for one night?”

“Sure, why not? Aku bakal cium kamu sampai kamu bisa tenang dan gak overthinking segala macam.”