Terapi, curhat, dan omelan
“Nih buat lo. Dari Seli.” Chesna memberikan minuman dan buku catatan kepada sahabatnya. Lalu, pemuda berwajah oriental itu langsung duduk di sebelah Jiza.
“Lu kenapa pake alesan terapi sih? Terapi apaan? Ter-api-api maksud lu?” Jiza menggeleng, membuka botol air mineral dan meneguknya hingga tersisa setengah. Pemuda itu masih memikirkan apa yang terjadi kepada dirinya setelah keluar dari rumah sakit.
“Lu juga kenapa semingguan ini juga ngehindar dari Seli? Kalau lu gamau Seli....” Chesna mendekatkan bibir ke telinga Jiza.
”...mending buat gua aja.” Chesna menatap wajah Jiza dan tersenyum miring. Membuat sebuah bogeman mentah mendarat begitu saja ke pelipis Chesna, mencetak warna ungu kebiruan yang sangat jelas.
Chesna berusaha mendorong tubuh Jiza, mengamankan pemuda yang tengah mudah tersulut emosi seperti api yang terkena gas ke dinding putih kediamannya.
“Santai! Gua cuman bercanda! Gua juga udah di friend-zone sama Seli.”
“Bilang aja kalau lo tuh masih ngarepin Seli! Bilang aja.”
“Lu tuh ya, emang perlu gua jewer.” Chesna menarik daun telinga Jiza yang alhasil membuat pemuda bertubuh jangkung itu berteriak kesakitan serta memohon ampun.
“Makanya, jadi orang gak usah kesulut emosi. Heran gua sama lu,” omel Chesna yang membuat Jiza tidak bisa berkata apa-apa, tak berkutik sama sekali, atau dengan kata lain pemuda itu tengah kicep dengan semua omelan Chesna.
“Pipi lo gak pa-pa kan, Ches?”
“Lupain pipi gua. Bokap lebih parah dari ini. Jadi, gua mau nanya sama lu. Lu kenapa masih setia banget ngehindarin Seli bulan-bulan ini? Katanya lu sama Seli pacaran? Atau udahan nih?” Jiza mendongak, mencoba untuk memberi tahu seluruh kisahnya dari netra mata yang saling beradu.
“Gua gak bisa baca pikiran lu, Rajiza Agaye. Lu kira gua Om Deddy?” Merasa dirinya skak mat, membuat Jiza mulai berbicara dan bercerita alasannya yang menghindari Marselia.
“Jadi gitu, Ches. Gue kemarin ngira kalau gue emang bener-bener pacaran sama Seli. Tapi, Seli bilang kalau gue cuma mimpi selama koma. Dan dia juga mimpiin itu.” Chesna tertawa, menepuk bahu Jiza sembari memegangi perutnya yang sedikit kram karena tertawa terlalu kencang layaknya lumba-lumba.
“Jizaaa, Jizaaa. Gua harus bilang apa ke elu? Lu tuh cuman ada satu hal yang bisa gua deskripsiin.”
“Apaan tuh?”
“Goblok!” Chesna menoyor kepala Jiza layaknya emak-emak yang tengah memarahi putranya sambil memaki. Bagaimana tidak kesal? Jiza hanya bergelut dengan keraguannya dan membiarkan Seli dengan perasaan serta status yang tidak jelas.
“Tapi sebenarnya gue udah nembak pas di rumah sakit dulu. Tapi kayaknya kurang romantis.”
“Ya udah! Ulang! Sekarang, lu telepon Seli. Ajak jalan!” Jiza di dorong masuk ke kamar oleh Chesna. Minimal mempersiapkan diri dengan berganti baju dan sedikit mengaplikasikan pomade.
Jiza menutup pintu, tubuhnya masih menempel di belakang pintu—yang penuh dengan baju tergantung miliknya—namun, pikirannya melayang bebas memenuhi angkasa raya.
Pemuda itu membuka ponsel, mencari kontak milik Seli. Butuh waktu lama pemuda itu mengumpulkan tekad serta nyali, lalu menekan tombol panggil dan disambut dengan suara khas gadis yang memenuh pikirannya.
“Iya halo? Katanya terapi?”
“Gue mau bicara, boleh? Tempatnya gue bagiin di chat.”