Terima Kasih, Sobat

Suasana sunyi menyapa raga Nathan. Pemuda itu membelah seluruh nisan dan gundukan tanah yang ada. Menuju sebuah makam bernisan putih dengan ukiran nama seseorang dengan warna emas yang sangat indah.

Pemuda itu tersenyum sedikit kecut, terbayang wajah mengesalkan pemuda yang beristriahat di balik tanah itu semasa hidupnya.

“Gue kelamaan dateng, ya? Maaf, sibuk tanda tangan buku. Ha ha ha,” celetuk Nathan yang kini berlutut dan mulai duduk bersila menatap batu nisan yang tak akan menjawab pertanyaannya.

“Gue bingung, Tar. Dunia makin gila semenjak kehilangan elo. Gue sampai lupa diri gue sendiri.”

Nathan memulai pembicaraan, membiarkan alam membisikkan jawaban dari sahabatnya yang kini menempati surga, mungkin menjaga Nathan dari dunia yang begitu kejam.

Jemari Nathan bergerak mencabuti satu persatu rerumputan liar yang tumbuh. Menunjukkan bahwa keluarga sahabatnya sangat jarang berkunjung.

“Gue dulu denial. Masih gak percaya, stuck di satu titik. Gue dulu ngira, gue pembunuh elo. Pelukan ke gue itu jadi malapetaka. Makanya, gue jarang banget ke makam elo.”

Tak ada satu jawaban dan kini Nathan membuka sebuah air mawar yang ia bawa di tas selempang, menuangnya di atas gundukan tanah itu hingga habis.

“Gue juga kira, momen itu kutukan buat gue. Semua kenangan gue yang lama sampai di detik lo meluk gue, hilang! Beneran gue lupa. Otak gue hanya terkunci di momen lo meluk gue sampai elo udah di peti. Gue kira itu kutukan Tuhan yang paling gila buat gue, Tar. Gue bener-bener gila waktu itu.”

“Tapi gue inget satu kata elo, buatlah hidup lo bermakna walaupun satu kali. And semenjak itu, gue bener-bener mulai mencoba hidup gue bermakna. Sama istri gue, sama semua pembaca gue. Everything!”

Nathan tertawa dengan jemari yang masih setia menabur bunga yang ada di plastik hitam.

“Gue bener-bener terima kasih sama lo, Tar. Mungkin lo gabisa balik lagi buat bela gue, buat ngomelin gue, buat ajak gue ke makam kakek. Tapi gue bener-bener tahu dan paham arti hidup yang lo coba kasih ke gue. Tentang gimana lo punya kendali penuh atas keputusan hidup lo, tentang gimana menjalani hidup, tentang apapun itu. Bahkan jadi orang tua yang perhatian tapi tidak mengekang. Gue belajar dari elo yang justru pergi duluan.”

Nathan tersenyum, lalu bangkit berdiri dan menepuk beberapa bagian di pakaiannya yang berdebu. Menatap nisan itu untuk terakhir kalinya dan berkata, “Sampai ketemu nanti ya, Om Tara. Ha ha ha! Dapet salam dari ponakan lo yang paling ganteng.”