Terlambat Kita!
“Siapa Timoer?” tanya Marsha ketika sang putra hanya cengengesan sembari memasuki mobil dengan satu paperbag berisi minuman.
“Richard ... curiga aja, Ma. Kalau dia pacaran sama temanku. Here's your coffee, Mom.“
Marsha menerima segelas kopi yang dijulirkan oleh Samudera, menatap secara bergantian kopi serta Samudera dan bertanya, “Ini bukan resep kopi kamu kan?”
Samudera terkekeh dan menggeleng dengan cepat, mana mungkin dia memberikan sembarang resep kopi maut itu kepada siapapun termasuk sang mama. Pemuda itu memasang sabuk pemgaman, sedangkan Marsha mulai melajukan mobilnya, membawa mereka menuju perumahan yang menjadi saksi bisu mereka berdua.
“Sudah banyak yang berubah, ya. Kamu dulu lewat di depan rumah lama gak pas antar Cassiopeia pulang?” Samudera bingung dengan pertanyaan Marsha. Di satu sisi, ia tak ingin membuat hati mamanya sedih, tapi di satu sisi dia harus bilang bukan?
“Cerita saja, Mama gak bakal marah atau sedih.” Samudera mengangguk. Lantas berkata dengan pelan, “Iya dulu lewat, pas banget Papa lagi main sama anaknya.”
Marsha menepuk bahu Samudera dengan salah satu tangan, lantas memberhentikan mobil tepat di depan rumah yang sebelumnya ditunjukkan oleh pemuda itu.
“Turun dulu sana, Mama bakal bukain pintu bagasi.”
“Wahhh thank you Samudera!”
“*Danke, Sam.” Samudera berjalan mendekati Cassiopeia yang masih bergulat dengan daftar barang yang harus dia bawa, menyodorkan sebuah gelas minuman favorit gadis itu.
“A venti double chocolate frappucino and classic dark chocolate cake for the star constellation,” ucap Samudera sembari menyengir. Dibalas dengan Cassiopeia dengan senyuman yang begitu membuat Samudera terpana. Pemuda itu mengambil alih koper milik Cassiopeia, membawa benda berwarna biru tua itu ke mobil Marsha dan memasukkannya.
“Ada yang ketinggalan?”
“Eh! Ini udah jam berapa njir, ayo berangkat!” pekik Johan tatkala ia melihat jam di tangan. Sudah hampir memdekati pukul dua belas dan mereka belum juga berangkat.
Johan dan Cassiopeia berpamitan kepada orang rumah, lantas masuk ke dalam mobil untuk segera berangkat.
“Nahkan, terlambat kita!” teriak Olivia dengan heboh, membuat keempat remaja itu berlari-lari menuju gerbang keberangkatan.
Tapi penuturan seorang pegawai maskapai justru membuat mereka langsung membuang napas kesal.
“Maaf Kak, tapi penerbangan ke Munich lagi delay mohon tunggu sebentar, ya. Terima kasih.”
Jadilah, saat ini Cassiopeia, Johan, Samudera, dan Olivia menikmati dunianya sendiri-sendiri, menunggu panggilan penerbangan mereka yang tertunda.
“Ada apa Cas?” tanya Samudera ketika melihat wajah kesal sang kekasih.
“Ini ... si Willi ngeselin. Tahu gak sih, aku itu jadi atlet nasional loh, bukan jadi babu dia. Masa aku suruh lakuin semua pekerjaan kayak bersih-bersih gitu.”
“Ya siapa tahu memang biar semua anak baru tahu sama pekerjaan mereka, tanggung jawab mereka, gitulah.” Cassiopeia mendengus kesal, lantas ia membuka salah satu novel dan memindahkan atensi ke sana. Gadis itu sangat malas berdebat, menurutnya sangat sia-sia mendebatkan seorang senior bernama Willi.
Menyadari bahwa perkataannya salah, membuat Samudera kini langsung merasa tidak enak. Kepalanya kini berputar, mencari sebuah gerai toko roti andalan dan berlari meninggalkan ketiga sahabatnya untuk membeli roti khas mereka.
“Nih,” ucap Samudera sembari menyodorkan roti O yang sangat melegenda, membuat pertahanan Cassiopeia runtuh karena aroma manis roti itu mulai menyapa penciumannya. Ia menerima roti itu dan mulai menyantapnya dengan lahap.
“Saya minta maaf ya sudah salah bilang, besok saya lihat aja kamu di sana ngapain. Baru nanti saya yang menilai. Bagaimana?”
“Bagus ... pacaran terus ....”
“Apaan sih? Orang bukan pacar,” cibir Cassiopeia yang membuat Johan hanya dapat menahan tawa sembari menatap Samudera. Emang kurang ajar punya teman yang satu itu.
“Udah ayo masuk. Udah dipanggil itu.” Johan merangkul Samudera dan Olivia menarik Cassiopeia menuju pintu masuk pesawat, membawa mereka terbang melintasi benua menuju ke salah satu kota di negara Jerman.