The Interview
Dada pemuda itu mengembang, seturut dirinya menarik napas untuk memenuhi paru-paru dengan oksigen. Pertama kalinya setelah hampir kira-kira empat tahun dirinya menginjak gedung rumah sakit milik orang tuanya ini.
“Kenapa gue gak bisa lewat orang dalam aja sih?” Elion merenggangkan tubuhnya yang kaku dan berjalan memasuki gedung berwarna putih itu. Kakinya terus melangkah, bahkan dirinya tak menyadari bahwa terdapat seorang perempuan yang tengah menyeruput sekaleng Milo mengikuti langkahnya.
Sebuah tepukan mendarat begitu saja, membuat Elion langsung menjengit dan memegangi punggung yang terasa panas sembari menatap gadis yang melayangkan pukulan maut itu.
“Ya, lo masih mau hidup kah?” Netra Elion menatap ke pelaku, rupanya itu adalah Anna sang kekasih yang bekerja di rumah sakit keluarganya sebagai anak magang.
“Gitu ya!” Sebuah cubitan mendarat begitu saja ke perut Elion, mengakibatkan pemuda jangkung itu segera menghindar walaupun harus terjengit kembali. Bisa mampus ini Elion jikalau menikmati satu hari bersama cubitan dan pukulan sang kekasih.
“Udah deh, ya. Gue mau wawancara.” Elion merapikan jasnya dan Anna menarik bahu pemuda itu untuk sekedar merapikan dasi merah yang sang adam kenakan.
“Akhirnya kamu mau nyobain jadi dokter. Good luck! Aku tahu kamu pasti bisa sih.”
“Ya mungkin sih, soalnya gue gak pakai jalur orang dalam.” Sebuah pukulan mendarat di bahu Elion. Netra sang gadis sangatlah mengkilat, tanda bahwa dirinya menahan amarah di dalam raganya yang mungil.
“Walaupun kamu itu anak pemilik rumah sakit, ya ga boleh seenak jidat, dong! Profesional. Ikuti aturannya. Mengerti?”
Elion mengangguk kencang, ia nampak seperti seorang bocah yang tengah diberikan nasihat oleh bundanya untuk tidak menyontek saat ujian.
Jemari pemuda itu bergerak, mendekati surai gadis di depannya yang terikat apik. Niat awalnya, ia ingin mengusak rambut itu, namun dengan segera, dirinya berubah pikiran dan justru menepuk puncak kepala wanita bernama Joanna Karolina itu dengan lembut.
“Semangat yang kerja. Nanti gue beliin Milo Nuggets, deal?” Pemuda itu mengulurkan tangan, seolah-olah memulai sebuah penawaran menarik di acara lelang.
Anna hanya berusaha memikir dan dirinya langsung meraih tangan Elion sembari tersenyum. “Nanti kalau kamu berhasil keterima, aku beliin dua susu pisang Korea kesukaanmu itu.”
Elion mengangguk pelan, lalu berlari kecil menuju gedung di mana wawancara berlangsung sembari sesekali menoleh dan melambaikan tangan kepada Anna.
“Dasar bocah.” Anna hanya terkekeh dan membuka ponselnya sebelum berlari memasuki unit gawat darurat yang terlihat sangat ramai akan pasien.
Pemuda itu mengatur napasnya yang tersengal. Rasanya, kaki ingin lepas begitu saja setelah berlari mengitari gedung yang luasnya melebihi gedung kampusnya dahulu.
“Sumpah. Berapa lama gue gak ke sini sih? Udah gede aja ini tempat.” Elion mendorong pintu kayu raksasa itu perlahan-lahan dan mendapati puluhan pendaftar lainnya yang tengah menanti giliran. Ada yang sambil membaca ulang materi, ada juga yang sambil berkomat-kamit untuk merapalkan doa kesuksesan serta kelancaran wawancara.
Elion melangkahkan kaki mendekati meja daftar ulang, mengeluarkan stopmap berwarna biru yang berisikan semua data pribadinya dari dalam tas, dan memberikannya kepada petugas untuk ia tukarkan dengan sebuah name tag seukuran telapak tangannya.
Kini Elion terdiam, menunggu satu persatu antrian wawancara. Akhirnya ia paham, mengapa orang-orang merapalkan doa ketika menunggu giliran wawancara. Karena satu alasannya, deg-degan! Jujur, kaki Elion saja tak berhenti untuk bergerak karena pemuda itu merasakan grogi.
“Elion Ferdinan Pangarep.”
Akhirnya, Elion merasakan jantungnya tidak berdegub kencang, melainkan terjun bebas menuju rongga pencernaan. Tak peduli akan keringatnya yang bercucuran membasahi pelipis. Yang terpenting saat ini adalah, dirinya harus menyelesaikan wawancara dengan sigap.
“Okey, terakhir. Kita tanya basic aja sih. Apa alasan kamu jadi dokter di Neo Medical Center?” Pertanyaan itu seakan mudah untuk Elion.
Entah mengapa, keringat setengah jam lalu telah mengering dan dirinya kini sangat bersemangat untuk menyelesaikan wawancara lalu menikmati ujung hari dengan susu pisang layaknya drama Korea yang ia tonton.
Elion kini mulai berpikir, hingga sebuah jawaban meluncur bebas tanpa pamit. “Karena saya ada job drama tentang medical, dan juga Mama saya direktur rumah sakit ini.”
Pemuda itu tersenyum lebar, membiarkan pewawancara menilai dirinya.
“Baiklah ... Elion, besok langsung saja ya kita urus untuk seragam dan lain-lain.”