The One Who Standing For You

Perbincangan keenam sahabat ini mulai kembali ke hubungan Sherina dan Husain, asik saja jikalau membahas tentang love-hate relationship tentang mereka berdua. Husain si cuek dan tidak suka belajar namun pintar dalam semua mata pelajaran, bersanding dengan seorang Sherina yang hanya pintar dalam bahasa dan suka belajar lebih tentang bahasa dan sastra.

“Ya kan gue udah bilang. Gue tuh mau masuknya kalau gak bahasa ya IPA, tapi psikotes gue masuknya ke IPS. Mana ketemu modelan dia lagi.” Gadis itu menunjuk Husain yang duduk di sebelahnya itu dengan jari telunjuknya. Walaupun akhirnya, teman-temannya hanya tertawa dan menghujani gadis itu dengan ledekan. Karena kembali lagi, Sherina adalah mantan kekasih seorang Husain Adam Pangemanan. Bagaimana gadis itu menyangkal bahwa dirinya tidak suka dengan kehadiran Husain? Husain seketika teringat sesuatu, membuat dirinya beranjak, menarik lengan gadis itu untuk berdiri dan mengikutinya ke taman yang ada di lantai dua.

“Mau ngapain, Husain?” tanya Sherina yang masih kebingungan dengan aksi mendadak pemuda itu. Namun, Husain masih diam, hingga ia membuka pintu kaca yang membatasi ruangan dalam dan ruang terbuka, menarik lengan Sherina untuk keluar, dan menguncinya.

“Ini berhubung gue masih jadi pacar satu hari lo. Gue mau nanya tentang ini.”

“Tanya tentang apaan Husain?”

“Cita-cita lama lo.”

Sherina hanya terdiam, bahkan membiarkan suara bising jalanan mengisi kekosongan di antara mereka. Gadis itu teeingat dengan janjinya dahulu kepada Husain. Di kafe yang sama dengannya berdiri, dengan beda nama dan pemilik. Sedangkan Husain menatap dengan penuh netra coklat milik Sherina yang menghanyutkannya, membawa dirinya kembali ke kisah mereka lima tahun silam di tempat ini.


MARET 2017

“Husain! Gue akhirnya tahu apa cita-cita gue.” Senyum Sherina sangat indah ketika gue melihatnya. Rasanya gue ingin berlama-lama untuk melihatnya, senyuman gadis itu seperti kafein, selalu membuat gue kecanduan. Tapi, pesan-pesan yang diberikan oleh Karin masih menghantui gue, apakah Sherina bahagia sama gue? Atau Sherina justru menghancuekan masa depannya karena gue?

“Apa emang?” jawab gue dengan singkat. Namun, justru jawaban gue menghilangkan senyuman yang paling gue sukai itu. Ah, rasanya gue mau mengutuk diri sendiri karena membuat netra gadis di depan itu berkaca-kaca.

“Lo kenapa sih, Sen. Ini bukan Husain yang gue kenal. Dia bakal nyindir gue seolah-olah gue itu masih kecil yang punya cita-cita dokter, tentara, polisi. Bukan Husain yang dengan dingin malah nanya apa cita-cita gue.” Gadis itu mendongakkan kepala, berusaha agar air matanya tidak turun dan membasahi pipinya. Namun,gue justru dengan lancangnya mengeluarkan sebuah kalimat yang membuatnya makin hancur.

“Gue gak bisa buat lo bahagia, Sher. Mau lo punya cita-cita pun, kalau lo sama gue juga apa artinya? Sekarang gini deh ….” Gue menyejajarkan tinggi dengan gadis itu, menatap netranya yang berkaca-kaca dan siap meledak itu, “… semenjak lo jadi pacar gue, apakah lo makin pinter? Apakah lo aglible ke SNMPTN? ENGGAK KAN?”

“IYA ENGGAK! LO TUH SELALU EGOIS. LO BUKAN HUSAIN YANG GUE KENAL DULU. LO—” Gue terkejut ketika Sherina bersimpuh di depan gue dan menumpahkan semua air matanya. Membuat gue lamgsung berlutut dan menangkup wajahnya untuk mengusap air mata Sherina.

“Maaf Sher … gue gak bermaksud buat nyakitin elo.” Sherina menepis tangan gue, mengusap kasar air matanya menggunakan lengan sweater yang ia kenakan, lalu berdiri dan melihat ke arah gue dengan netra yang sangat penuh amarah.

“Sen, mending udahan aja yuk. Sejujurnya itu cita-cita gue, gue mau lepas dari pria dingin dan cuek bahkan udah gak ada perhatiannya lagi ke gue.” Gadis itu langsung masuk ke dalam, meninggalkan gue sendirian dengan sebuah naskah cerita yang terjatuh. Tangan gue meraih tumpukan kertas yang dijilid dengan sangat rapi itu, sangat tebal hingga gue terkesima ketika melihatnya.

Namun gue terdiam ketika melihat sampul naskah itu bertuliskan sebuah judul dan penulisnya,

Days Without You Ananda Sherina

Gue seketika membuka lembaran pertama, dan menemukan sebuah surat yang terlipat dengan sangat apik dengan tulisan tangan khas milik Sherina.

3 Maret 2017

Teruntuk Husain Adam Pangemanan, Pria hebat yang menjadi sosok Lail Pangemanan di kisah yang aku tulis ini.

Husain, sekarang apa kabarmu? Sudah satu bulan semenjak kamu berubah menjadi pria yang sangat dingin, pesanku tak pernah kamu balas, bahkan kamu selalu saja menghindar setiap kali aku berusaha untuk meraihmu. Aku bingung, apakah kisah cinta kita ini adalah suatu kesalahan?

Sen, aku tahu … kamu sangat sayang sama aku, sampai kamu melakukan hal itu. Tapi setiap hari sungguh membuatku semakin kehilanganmu. Aku sudah seperti orang gila, mengharapkan susu maupun sandwich yang kamu selipkan di laci meja maupun tas sekolahku. Sebenarnya, aku sudah mulai menulis kisah cinta kita sejak tahun lalu hingga akhirnya rampung pada akhir tahun lalu.

Dengan aku menjadi Layla dan kamu menjadi Lail. Bagus bukan? Mungkin ini cita-cita sesngguhnya dari aku, Sen. Tuhan sengaja tidak memberikan aku kesempatan untuk ikut SNMPTN, karena Tuhan tahu, kalau naskah ceritaku diterima oleh penerbit dan akan menjadi nyata dalam bulan ini. Sen, jangan menghilang lagi ya. Aku gak bisa melewati satu hari tanpamu. Sama seperti Layla yang tak ingin Lail pergi. Satu hari tanpa seorang Husain itu cukup menyakitkan, Sen. Jujur aja aku.

Tertanda, Ananda Sherina

NB. Jangan lupa buat baca naskahnya! Aku tahu kamu paling malas kalau disuruh beli buku.


“Naskah cerita lo jatuh pas di hari lo mutusin gue, suratnya masih gue simpen bareng naskah aslinya dan buku novelnya dalam berbagai versi cover.” Sherina menatap Husain dengan tatapan yang tak percaya, membuat sang adam hanya terkekeh dan menarik gadis itu ke dalam dekapannya.

“Gimana kabarnya Layla? Dia nikah sama Lail gak?”

“Sen … kenapa lo masih ngikutin semuanya?”

Because I’m the one who standing for you. Gue nyuruh satu penggemar lo buat mintain tanda tangan ke buku lo, bahkan di hari lo launching Days Without You, gue berdiri tegar di belakang pengunjung buat lihatin elo. Karena gue juga sama kayak Lail, Sher. Dia gak bisa melewatkan satu haripun tentang Layla. Dia akan selalu melakukan apapun buat bikin Layla-nya bahagia walaupun dirinya gak bisa melakukan itu.” Husain melihat jam tangan, detik-detik mulai mendekati penghujung hari dan dirinya makin mengeratkan pelukan kepada Sherina sebelum akhirnya hubungan mereka kembali menjadi sepasang orang asing yang pernah berbagi sejarah bersama.

“Gue bakal selalu ada di belakang lo, Sher. Jadi orang yang mendukung elo kapanpun itu. Terserah lo mau raih impian apa, gue selalu ada di belakang lo. Karena gue masih sayang sama lo Sher, dari dulu sampai sekarang.” Pelukan pun terlepas, bertepatan dengan jarum jam menunjuk tepat di angka dua belas. Mengartikan bahwa hubungan kekasih satu hari mereka telah berakhir.

Dare lo udah selesai. Sekarang lo jadi bocil gue lagi.” Pemuda mengacak rambut pasangannya sembari terkekeh, lalu meninggalkan gadis itu untuk masuk ke bangunan kafe dan bergabung kembali demgan teman-teman. Tetapi, berbeda dengan Husain lima tahun silam yang memilih untuk diam dan membeku, gadis itu justru menahan lengan sang pria. Dengan wajah yang sama dengan terakhir dia memutuskan hubungannya, mata yang berkaca-kaca dan siap untuk menumpahkan semua bulir kristal yang Husain benci.

Tangan pemuda itu meraih pipi hangatnya, mengusap air mata di ujung mata Sherina sembari tersenyum. Membuat gadis itu mulai berkata, “Di mana lo nyimpen semua tulisan gue?”