Yang Datang Bukanlah Yang Dinanti
“Long time no see, Athlete Cassiopeia Kalandra.“
Senyuman Samudera terpampang dengan jelas ketika netra mereka bersua di suatu titik temu. Jantung Cassiopeia berdegub sangatlah kencang bagaikan remaja yang baru dimabukan asmara. Sang wanita hanya tertawa mendengar sapaan Samudera, bahkan ia juga menyeletuk, “Udah enggak jadi atlet jugaan, Sam. Apa kabar?”
“Swedia mendung seketika pas kamu bilang putus.” Kekehan Samudera yang tertahan mengiringi setiap langkahnya, ia melewati Cassiopeia, dan duduk seraya mengambil bunga yang tadi ia titipkan kepada seorang bocah lelaki yang bermain. Ia melanjutkan ucapannya, “Tapi setidaknya ... saya senang bisa mendengar suara tegas dan ceriamu ketika membawakan berita, bukan frustasi hingga menangis saat bersama saya.”
Tutur kata Samudera sangatlah lembut, membuai Cassiopeia hingga ia menggeleng pelan sebab tak terima dengan pendapat pria berusia dua puluh dua tahun itu.
“Enggak kok, Sam. Masih frustasi sekarang sampai minum kopi. Kamu mau ngopi bareng enggak? Berhubung deket sini ada kafe.” Yang ditanya hanya menggeleng. Ia memberikan bunga itu kepada Cassiopeia beserta sebuah undangan dari papan, dibungkus dengan amplop cokelat dengan tali serta bunga kering yang terikat oleh tali cokelat. Tertera di ujung kanan surat, bahwa Cassiopeia Kalandra lah yang menerima undangan yang diberikan Samudera.
“Saya minta maaf, Cas. Mungkin ini terakhir kalinya saya bisa berjumpa denganmu. Saya minta maaf buat semua kesalahan saya di waktu lalu, semua janji yang saya ingkari sewaktu kecil.” Cassiopeia kebingungan setengah mati, lantas membuka amplop itu dengan paksa hingga sebuah undangan pernikahan atas nama Samudera tertangkap dengan jelas di retinanya.
Lagi dan lagi, Samudera berkata, “Saya menyerah dengan rasa takut saya untuk memulai semua kisah asmara kita. Memutuskan untuk menerima tawaran Uncle Jade. Jadi, saya kesini. Menemuimu. Memberikan bunga anggrek kesukaanmu sejak di taman mini milik Mama sebagai salam perpisahan.”
Seperti di film romansa, di mana kedua tokoh utamanya terpaksa diguyur dengan air dari selang pemadam kebakaran untuk menampilkan efek hujan, Samudera dan Cassiopeia juga merasakan hal yang sama. Mereka berdiri, menatap satu sama lain dengan rintik hujan yang membasahi setiap inci tubuh mereka.
“Aku akhirnya paham. Kalau kata putus yang aku lontarkan sudah menjadi bumerang yang melukai perasaanku.” Yang tiba, bukanlah yang dinanti. Mungkin itu sebuah kalimat yang bisa menggambarkan betapa hancurnya perasaan Cassiopeia saat ini. Pikirannya terus menerus memaki, melemparkan ribuan umpatan yang menghujam layaknya hujan yang tengah membasahi wanita itu.
“Saya minta maaf Cassiopeia.” Samudera mengencangkan suara sebab hujan yang berusaha untuk ikut andil bersuara. Tangan pria itu terulur, menutupi kepala sang gadis agar air hujan tak jatuh mengenai kepalanya. Cassiopeia merasakan sebuah getaran di kantung celana kulot yang ia kenakan, dan ia tak menggubrisnya sebab ia tahu bahwa itu pasti telepon dari Adi.
“Selamat ya atas pernikahanmu. Semoga kamu berbahagia dan selalu dicintai Sheila.” Cassiopeia menurunkan tangan Samudera dan tepat di detik itu juga, Samudera menarik tubuh Cassiopeia dan mencium bibir mantan kekasihnya dengan mendadak. Membuat sebuah bulir hangat sukses turun dan berbaur dengan air hujan yang membasahi wajah Cassiopeia. Itu kecupan yang hangat, sebagai salam perpisahan atas cinta pertama Cassiopeia yang karam di asmaraloka.
“I love you,” ucap Samudera.
“So?” tanya Cassiopeia.
“Please, let me go,” lanjut Samudera yang mengutip sebuah lagu bertajuk I Love You So sebagai kalimat perpisahannya dengan Cassiopeia. Disaksikan oleh derai hujan dan air mata yang membasahi mereka. Menutup buku perjalanan cinta pertama mereka yang manis dengan sebuah kalimat penutup yang menyiksa siapapun bagaikan lagu Heather milik Conan Gray atau Imagination milik Shawn Mendes, bahwa mereka berdua hanyalah sepasang orang yang hanya hidup berdampingan namun tak pernah ditakdirkan bersama.