hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Mobil itu terparkir di pelataran Starbucks Pakubuwono. Dengan segera, Tama keluar dari kursi pengemudi dan membukakan pintu untuk sahabat sekaligus bosnya itu.

“Kamu mau kopi tidak Tam?” “Gak usah. Gue tadi masih bawa kopi buatannya Bi Iyem,” jawab Tama sembari menunjukkan satu botol minum berisikan kopi hitam. Abimanyu hanya menatap Tama dan menggeleng kepalanya terheran. Kebiasaan Tama dari zaman sekolah menengah atas tak pernah berubah, suka dengan kopi hitam buatan Bi Iyem, asisten rumah tangga di rumahnya.

“Ya sudah. Saya masuk dulu.” Abimanyu mengikat rambutnya yang gondrong menjadi cepol setengah, yabg alhasil membuat kaum hawa yang ada di sana menjadi terkesima dengan karisma yang terpancar.

“Selamat datang. Ada yang bisa Saya bantu?” “Saya sudah pesan atas nama Abimanyu Permana.” “Oh Abimanyu Permana, tepat sekali Anda sudah di tunggu sama seorang wanita di meja sebelah sana.” Barista itu menunjukkan satu meja yang ada di pojok. Terdapat seorang wanita berambut panjang dan bergelombang yabg tengah meneguk secangkir kopi.

Gadis itu lah yang Abimanyu cari. Gadis itu yang ingin ia pakai menjadi senjata untuk menjatuhkan keluarga Herlambang yang membuat sang Mama meninggal, dan sang Papa bunuh diri akibat tertekan setelah kepergian Mama.

“Mari Tuan, ini minumannya yang sudah Tuan pesan.” Abimanyu mengambil segelas Caramel Macchiato kesukaannya dan berjalan menuju meja pesanannya dan menemui gadis itu.

“Agatha,” sapa Abimanyu dan gadis itu langsung menoleh. “Sudah lama kah yang menunggu?” Agatha menggelengkan kepala, dan membiarkan Abimanyu duduk di depannya.

“Bagaimana Tuan Muda untuk rencananya?” Abimanyu langsung menjelaskan bagaimana rencananya dan Agatha hanya menyimak dan menganggukkan kepalanya.

“Intinya begitu ya Agatha. Saya hanya ingin kamu menggoda Herlambang. Jangan sampai kamu kelepasan.” Abimanyu menegaskan kata-katanya dengan hati-hati.

Setelah merasa bahwa penjelasannya telah cukup, ia bangkit dan menenteng Caramel Macchiatonya yang baru ia teguk setengah lalu pergi keluar kafe setelah berpamitan.

“Gimana?” tanya Tama setelah Abimanyu datang menghampirinya. “Ya begitu. Saya mau apa lagi?” “Ga mau urus masalah Kirana?” “Tidak perlu. Untuk apa saya mengurusi dia?” “Ya ya ya, ini Tuan Muda satu mulai ngambek. Ya udah kita mau ke mana?” “Kantor saja. Saya ada meeting.” “Baik Tuan Muda.” Abimanyu segera masuk ke dalam mobil dan Tama segera masuk lalu menjalankan mobil itu menuju kantor milik Abimanyu.

© hvangrcnjun ; 2021

“Nih buat kamu.” Lokananta mengulurkan secangkir cokelat hangat yang ia beli di kantin lalu duduk di sebelah Teresa yang sedang selimutan dengan handuk milik Lokananta di tepi lapangan.

Hujan tak menampakkan tanda akan mereda, menciptakan suasana canggung di antara mereka. Suara air yang jatuh mengenai atap sekolah itu mengisi keheningan yang tercipta.

“Ter, kenapa kamu hujan-hujanan tadi.” Loka memecah kesunyian dengan pertanyaannya. Teresa menoleh dan secara tak sadar air matanya turun yang membuatnya kini menundukkan kepalanya. Loka yang menyadari hal itu justru berlutut di dekat Teresa dan menatap wajah Teresa.

“Putus sama pacarmu yang brengsek itu ya?” tanya Loka dengan tepat dan sukses membuat Teresa semakin menangis dengan kencang.

“Et et et ... Teresa. Saya minta maaf, sudah ya ... putri ga boleh terus-terusan menangis. Nanti pangeran ikutan sedih,” ucap Loka yang membuat Tere mendongakan kepalanya dan bertanya maksud dari ucapannya.

“Saya suka sama kamu sejak kamu menolong saya yang cedera, Teresa. Bolehkah saya menjadi pangeran di hatimu?”

© hvangrcnjun ; 2021

“Nih buat kamu.” Lokananta mengulurkan secangkir cokelat hangat yang ia beli di kantin lalu duduk di sebelah Teresa yang sedang selimutan dengan handuk milik Lokananta di tepi lapangan.

Hujan tak menampakkan tanda akan mereda, menciptakan suasana canggung di antara mereka. Suara air yang jatuh mengenai atap sekolah itu mengisi keheningan yang tercipta.

“Ter, kenapa kamu hujan-hujanan tadi.” Loka memecah kesunyian dengan pertanyaannya. Teresa menoleh dan secara tak sadar air matanya turun yang membuatnya kini menundukkan kepalanya. Loka yang menyadari hal itu justru berlutut di dekat Teresa dan menatap wajah Teresa.

“Putus sama pacarmu yang brengsek itu ya?” tanya Loka dengan tepat dan sukses membuat Teresa semakin menangis dengan kencang.

“Et et et ... Teresa. Saya minta maaf, sudah ya ... putri ga boleh terus-terusan menangis. Nanti pangeran ikutan sedih,” ucap Loka yang membuat Tere mendongakan kepalanya dan bertanya maksud dari ucapannya.

“Saya suka sama kamu sejak kamu menolong saya yang cedera, Teresa. Bolehkah saya menjadi pangeran di hatimu?”

© hvangrcnjun ; 2021

“Nih buat kamu.” Lokananta mengulurkan secangkir cokelat hangat yang ia beli di kantin lalu duduk di sebelah Teresa yang sedang selimutan dengan handuk milik Lokananta di tepi lapangan.

Hujan tak menampakkan tanda akan mereda, menciptakan suasana canggung di antara mereka. Suara air yang jatuh mengenai atap sekolah itu mengisi keheningan yang tercipta.

“Ter, kenapa kamu hujan-hujanan tadi.” Loka memecah kesunyian dengan pertanyaannya. Teresa menoleh dan secara tak sadar air matanya turun yang membuatnya kini menundukkan kepalanya. Loka yang menyadari hal itu justru berlutut di dekat Teresa dan menatap wajah Teresa.

“Putus sama pacarmu yang brengsek itu ya?” tanya Loka dengan tepat dan sukses membuat Teresa semakin menangis dengan kencang.

“Et et et ... Teresa. Saya minta maaf, sudah ya ... putri ga boleh terus-terusan menangis. Nanti pangeran ikutan sedih,” ucap Loka yang membuat Tere mendongakan kepalanya dan bertanya maksud dari ucapannya.

“Saya suka sama kamu sejak kamu menolong saya yang cedera, Teresa. Bolehkah saya menjadi pangeran di hatimu?”

© hvangrcnjun ; 2021

“Sudahlah Karina, anakmu itu tak akan pernah bisa jadi artis seperti yang kamu impi-impikan. Tidak usah berharap lebih dengan anakmu yang idiot itu.” Karina hanya mendengarkan caci maki dari tetangganya tentang buah hati kesayangannya, Tarendra. Hatinya begitu teriris ketika mereka mengatakan buah hatinya dengan julukan idiot.

Memang, Tarendra itu berbeda. Ketika yang lain dapat berbicara dan membaca dengan sangat lancar, Tarendra masih terbata-bata. Bahkan kemampuan dia dalam berbahasa masih di bilang paling minim dari anak-anak seumurannya.

Tarendra yang tahu, Bundanya selalu menerima komentar miring tentangnya hingga ia menginjak bangku SMA.

“Bun, kalau mereka masih ngata-ngatain aku idiot. Tunjukkin nilai Taren aja ya?” Tarendra sedang sibuk mengikat dasi seragamnya. Kini anak laki-laki yang di labeli bocah idiot oleh tetangga telah berubah menjadi pemuda tampan dan murah hati. Bundanya menghampiri Tarendra dan menaruh roti bakar milik Tarendra dan membantu buah hatinya itu untuk mengenakan dasinya.

“Jangan pernah pamer satupun kepada orang Tarendra, biarkan waktu yang membungkam mereka.” Bunda selesai mengikatkan dasi Tarendra dengan sangat rapi. Ia menatap anak semata wayangnya ini dengan tatapan takjub. Tak percaya saja, dahulu ia melihat anaknya masih kesusahan untuk berjalan, telat membaca, sekarang telah menjadi pemuda gagah dan tingginya telah melebihi dirinya.

“Yaudah deh, Tarendra berangkat ya. Bunda jaga diri baik-baik.” Tarendra mengigit roti bakar buatan Bundanya, menggendong tasnya dan bersalaman kepada Bundanya. Lalu keluar dari rumah dan berangkat ke sekolah.

***

“Tarendra, selamat ya Nak. Kamu lolos audisi untuk masuk ke salah satu agensi. Ibu tahu, pasti Mamamu sangat bangga denganmu.” Tarendra sedang bertemu dengan guru favoritnya. Guru yang selalu mendukungnya untuk menjadi seorang aktor. Ketika guru lain menganggap miring impian Tarendra, hanya guru itu lah yang mendukung Tarendra.

Namun, perbincangan mereka berhenti ketika satpam sekolah datang dan berkata bahwa Tarendra di jemput Ayahnya dan harus pulang.

Betapa hancurnya Tarendra saat ia datang ke rumah yang telah di penuhi oleh bangku dan orang yang mengenakan pakaian serba hitam. Menemukan sang Bunda yang tadi pagi membuatkannya roti bakar favoritnya, telah berbaring di dalam peti.

“Bunda tadi ga sadarin diri. Habis di bawa ke rumah sakit, eh bablas.” Tarendra hanya diam, menatap Bundanya yang telah tertidur cantik. Hatinya hancur ketika cinta pertamanya di dunia justru pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Satu bulan ia lalui dengan ratapan dan tangisan. Beberapa kali orang datang dan mengetuk pintu kamarnya, namun pintu kamar itu tetap tertutup dan Tarendra tak ingin membukanya. Hingga suatu saat ketika ia tertidur, sang Bunda hadir ke mimpinya dan tersenyum kepadanya. Seolah-olah memberi pesan kepada Tarendra.

“Raih mimpimu saat ini. Bunda bangga sama kamu.”

*** Sepuluh tahun kemudian

“Hai, gue mau sampaikan terima kasih sebesar-besarnya buat kalian yang telah hadir di konser perdana gue. Konser ini adalah bentuk terima kasih gue kepada cinta pertama gue di dunia ini. Katanya, jangan pernah tunjukkan nilai kepada orang demi sebuah pengakuan, tapi biarkan waktu yang mengakui segalanya.” Tarendra berdiri di antara penggemarnya. Setelah menangis karena nyanyian selamat ulang tahun dari penggemar yang hadir ke acara konsernya.

“Buat Bunda yang sudah lahirin Tarendra, terima kasih banyak buat semua cinta yang kau berikan.”

© hvangrcnjun ; 2021

“El, Eleana! Tunggu.” Jaeger berlari mengejar kekasihnya di sepanjang lorong yang padat oleh mahasiswa yang selesai kelasnya. Eleana tak peduli dengan teriakan Jaeger. Matanya berkaca dan sesekali turun membasahi pipinya, membuat ia sibuk mengusap secara kasar menggunakan punggung tangannya.

“Eleana. Kamu kenapa?” tanya Jaeger saat ia berhasil menahan gadis itu di parkiran fakultas. Jaeger menatap netra gadisnya itu. Tatapan teduh milik Eleana yang selalu Jaeger sukai sudah menghilang dan berganti dengan tatapan kecewa.

“Emang ya ... susah. Susah pacaran sama orang yang masih belum selesai sama masa lalunya,” ucap Eleana. “Maksudnya?” “Kamu lupa? Kamu dulu pacaran sama saudara kembarku sendiri, Eleanor? Aku baru tahu, Eleanor beri kamu lagu Muara, dan kamu nyanyikan lagu itu ke aku, Eleanor yang menemukan kafe itu, dan kamu yang mengajakku ke kafe itu, kamu berkata bahwa kamu baru menemukannya di internet. Tapi sejujurnya, kamu hanya kembali kan? Aku jadi tambah mikir. Kamu pacarin aku hanya karena kamu masih terbayang-bayang kembaranku kah?” tutur Eleana yang membuat Jaeger segera mengelak.

“Enggak sayang. Aku sudah selesai sama di—” “Do you get dé javu huh?” ucap Eleana sembari melepaskan cengkraman Jaeger secara paksa dan berjalan mendekati Jaeger.

It's over Jaeger Nathaniel. I'm not your girlfriend from now.

Hai! Kalian coba lihat ke arah jendela. Namanya Raka Megantara, anak jurusan biologi yang kini sedang bergelut dengan air raksa di kelas kimia. Rambutnya yang sengaja ia panjangkan sampai menjadi incaran guru BK kini ia kuncir setengah. Matanya asik menganalisis cairan itu hingga pada akhirnya seseorang datang kepadanya.

“Raka!” Pria itu menyiramkan air raksa ke arah wajah Raka. Membuat semua perempuan di kelas itu terkejut. Berbeda dengan Raka yang tadi menahan air itu dengan tangannya agar tidak masuk ke dalam matanya. Ia baru saja membaca bahwa air raksa yang kontak fisik secara lama ke kulit akan berakibat pada kulit kemerahan, gatal, hingga nyeri dan perih. Itulah yang dirasakan oleh Raka. Ia merasakan perih dan nyeri yang teramat sangat di telapak tangannya. Aku yang merupakan anggota PMR segera bangkit dari meja praktikumku dan segera menuju ke arahnya.

“Raka, Raka tahan ya ... Ci, ambilin air,” teriakku kepada sahabatku, Cici. Sedangkan teman satu kelasku yang bernama Adit yang merupakan pelaku penyerangan Raka diamankan oleh guru biologi dan satpam keamanan sekolah. Cici datang membawakan satu baskom air, aku meraih lembut tangan Raka.

“S-sakit Amel. Ah anjing gua mau ngumpat ga bisa!” Raka berteriak ketika tangannya bersentuhan dan masuk ke dalam air karena rasanya terlalu perih.

“Ngumpat aja gapapa, biasanya lu juga teriak abis itu gebuk orangnya kan?”

“Gabisa gua Mel.”

“Kenapa kok ga bisa?” Aku melilitkan kain kasa ke tangannya secara lembut. Mataku terfokus ke kegiatan melilitkan kain kasa dan memberi sebuah plester di tangannya.

“Gua ga bisa soalnya gua ga bisa ngumpat ke arah doi gua.”

“Nah cakep udah kaya pegulat, hah? Lu bilang apa? Lu punya doi? Siapa? Nana? Sella? Maria?” tanyaku penuh keingin tahuan. Raka hanya berterima kasih kepadaku dan berbisik tepat di telingaku.

“Makasih sekali lagi sudah obatin luka gua, calon pacar.”

© hvangrcnjun ; 2021

“The moon is beautiful isn't it?” bisik Raka ke telinga seorang gadis yang berhasil membuatnya menoleh dan memukul pelan bahunya.

Gadis itu masih mengenakan seragam kantornya dan sebuah id card berisikan foto dan wajahnya menggantung di leher. Namanya Mentari, gadis yang selalu didambakan oleh seorang bernama Raka Jumantara sejak duduk di bangku kuliah.

“Ga usah aneh-aneh deh Rak. Gua udah tau maksud katanya dari internet. Bahasa Jepangnya ini kan, 月が綺麗ですね, arti tersiratnya I love you kan?” (tsuki ga kirei desu ne). Raka hanya memasang wajah cengo khasnya. Entah mengapa, mau dia cengo sekalipun, wajah tampannya akan menutupi betapa aibnya wajah Raka.

“Nahkan kaya orang bego lagi. Rak, gua bilangin lagi deh. Gua tahu, tahu banget kalau lu suka sama gua dari jaman masih kuliah. Tapi Raka ...” Gadis itu merubah posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Raka. Matanya menatap lekat netra Raka yang seteduh bulan purnama kala itu.

“Rembulan tidak akan pernah selamanya bersama mentari, memang ada waktunya mereka bertemu dan tercipta sebuah gerhana matahari. Tapi itu hanya sementara Raka. Begitu pula gua sama elu. Lu Raka dan gua Mentari. Ga bakal bisa bersatu karena gua tahu, bokap sama nyokap sekeras itu sama anak semata wayangnya. Sahabatan aja ya? Biar lu nanti sama bintang, gua sama awan.”

© hvangrcnjun ; 2021

Karsa mengetik sebuah kisah di atas papan ketik ponselnya. Namun dengan cepat ia menghapusnya kembali. Ia mengenakan kembali airpods di telinganya dan memutar lagu di playlist Spotifynya. Sebuah lagu yang berjudul Lantas memenuhi telinganya. Ia terpejam dan mengingat bagaimana pertemuannya dengan gadis dari jurusan IPS, Kasa.

Baru kau sapa, ku tersipu, Kau puji lupa amarahku

Satu tahun yang lalu “Selamat pagi Karsa,” sapa Kasa sembari mengajak Karsa untuk highfive. Karsa yang sadar akan hal itu segera bersiap untuk membalas ajakkan Kasa, namun sebuah jari yang membentuk layaknya gunting dan suara tawa Kasa menggelegar di seluruh penjuru aula yang sedang sibuk dengan persiapan pentas seni. Kini Kasa hanya tertawa melihat sahabat dekatnya ini tertipu.

“Uhuk, Karsa sama Kasa ini pacaran mulu,” ucap Rendra salah satu OSIS yang bertugas sebagai sie dekorasi saat itu yang sukses mendapatkan sebuah pelototan dari Karsa.

“Udah Pak KetOs harus kalem ga boleh galak.” Karsa seketika luluh dan menjadi jinak setelah Kasa mengalungkan tangannya dan berkata kepadanya.

Karsa & Kasa. Pasangan berbeda jurusan yang sangat terkenal satu sekolah. Siapa sih yang tidak mengenal Karsa si ketua OSIS dan Kasa si ketua Dewan Ambalan dan wakil ketua PASKIBRA. Beberapa orang mengharapkan mereka agar menjalani suatu hubungan bukan sebatas sahabat dan salah satunya yaitu Karsa sendiri. Namun sayang, di hari kelulusan, di mana itu adalah tanggal yang sudah dipersiapkan oleh Karsa untuk menyatakan perasaannya kepada Kasa. Ia mendapatkan sebuah jawaban pahit.

“Maaf Karsa, bukannya Kasa mau nolak. Kasa juga cinta sama Karsa, tapi Bunda udah jodohin Kasa.”

Satu dunia rasanya ingin roboh. Karsa setelah pesta kelulusan hanya dihabiskan dengan kesedihan. Hingga saat di mana Karsa sedang mendengarkan lagu kali ini.

Suara notifikasi pesan WhatsApp masuk, membuat Karsa membuka matanya dan meraba di mana keberadaan ponselnya lalu mendapati sebuah pesan dari Kasa.

Karsa, turun. Jelek, mantan KetOs jadi tukang galau. Bunda katanya mau ketemu sama anak sahabatnya yang sekaligus sahabat anaknya.

“Arlo, Mika mau nanya boleh?” Wajah manisnya menoleh dari aktivitasnya mengerjakan skripsi lalu tersenyum.

“Boleh Mika, kamu mau nanya apa?” Arlo menyenderkan punggungnya di kursi. Menghentikan kegiatan mengetiknya dan menatap gadis yang pemegang gelar sebagai wanita satu-satunya di hidup dia. Gadis itu berusaha memikirkan sesuatu, seolah-olah meyakinkan dirinya untuk bertanya.

“Arlo ... kayanya Mika ga cocok deh sama Arlo. Soalnya Mika kan baca nih di majalah, kalau scorpio itu cocoknya sama cancer. Nah Mika kan scorpio, kamu kayanya libra kan? Ga cocok,” ucap Mika lalu meletakkan kepalanya di atas meja dan membuang nafas. Arlo yang melihat itu hanya tertawa pelan dan mengacak-acak rambutnya.

“Mika sayang, astaga kamu. Nama aku saja Karkata Arlo. Karkata itu artinya kanser alias cancer sayangku ...” jelas Arlo sembari mencubit pipi Mika. Sedangkan Mika hanya memasang wajah masamnya walaupun sesaat dan kembali tertawa.

“Kamu itu sampai kapanpun tetap jadi jodoh aku Mika, udah ah mau lanjut skripsian biar cepet selesai abis itu nikahin kamu,” ucap Arlo sembari mengikat rambutnya yang sedikit panjang itu dan melanjutkan aktivitasnya yang tertunda

© hvangrcnjun ; 2021