hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

[Halo ...] suara Meiliana di seberang panggilan. Menciptakan sebuah senyuman tipis di pria berumur 25 tahun ini. Ia memutar bolpoin yang ada di jemarinya dan mulai berkata,

“Tadi saya bilang ke kamu bukan? Saya ingin menikahi gadis satu-satunya di keluarga Admaja?” Suara hening menyapa telinga Angga. Ia mengeryitkan dahi, membayangkan bagaimana lucunya ekspresi kebingungan gadis yang selalu menjadi temannya saat tugas kelompok.

[Maaf Kak, saya bingung maksudnya. Maaf kalau ini geer apakah itu saya, atau justru keluarga Admaja lainnya?] Angga terkekeh, lalu memindahkan ponselnya di telinga sebelah kiri. Sedangkan tangan kanannya melanjutkan tulisannya untuk makalah.

“Kamu lucu Mei, saya cuma kenal satu anak Admaja dan orang itu adalah kamu. Meiliana Admojo.” Angga mendengar suara terbata-bata di balik telepon, sangat jelas terdengar apalagi di tengah malam yang kian sunyi.

[Kak, maaf. Saya bukan bermaksud untuk menyakiti perasaan Kakak. Tapi Kakak, saya sedang mencintai seseorang yang masih tak bisa saya raih,] tutur Meiliana yang membuat Angga semakin bertanya-tanya.

“Kamu memangnya suka sama siapa? Apakah itu seorang artis?” Gadis itu menjawabnya lembut dan menyebutkan satu nama pria itu,

[ Doyoung. ]

Angga tertawa, ia tidak jadi merasakan patah hati hebat karena cintanya tertolak. Ia meletakkan ponselnya dan mengaktifkan loud speaker-nya dan berkata, “Mei, Doyoung sayang sama kamu. Dia justru lagi menyatakan perasaannya ke kamu. Sekarang kita menyalakan kamera ya, saya tunjukkan satu hal.” Angga mengaktifkan kamera dan nampak sebuah kamar dengan rambut milik Meiliana yang muncul sedikit saja, sedangkan wajahnya tertutupi oleh selimut.

“Kamu lihat ini,” Angga mengeluarkan sebuah kartu tanda penduduk miliknya yang tertulis dalam bahasa Korea dan di situlah, nama Kim Doyoung terpampang dengan sangat jelas yang berhasil membuat Meiliana terejut tak main.

“Doyoung itu saya. Saya tidak punya satupun kembaran. Melainkan, aku memilik satu Kakak. Jadi apakah kamu mau kalau menjadi calon pendamping hidup saya?”

© hvangrcnjun ; 2021

Papa, hari ini adalah Hari Ayah. Tapi sayang sekali, Jingga ga bisa peluk Papa kali ini. Jingga masih ingat dulu aku selalu diajak Mama buat bikin roti blackforest buat hadiah ke Papa. Tapi kali ini, aku membuatnya sendiri bersama Kak Rangga.

Papa tidak kangen kah? Karena Jingga sangat rindu pelukan Papa. Jingga rindu sekali berada di atas bahumu, bermain seolah menjadi pesawat tempur dan aku rindu sekali sama lawakanmu.

Papa ... selamat hari Ayah ya! Jingga sayang banget sama Ayah. Tunggu Jingga kalau sudah waktunya ya. Nanti Jingga akan bawain Papa roti blackforest yang sangat besar.

Dengan penuh cinta —Jingga

“Sini sayang, aku beliin kamu sandwich coklat,” panggil pemuda itu dengan senyum manisnya bagaikan kelinci.

“Nath ... kita udahan aja ya?” Pria itu menghentikan aktifitas mengunyahnya yang asyik lalu menatapku. Sorot matanya seakan-akan bertanya apakah pertanyaanku baru saja adalah sebuah bentuk lelucon atau justru sebaliknya.

“Nath, kamu ga capek kah? Kita udah hampir lima tahun pacaran tapi gaada status yang jelas,” keluhku kepadanya.

” ... aku bosen Nath.” Nathan hanya terdiam dan tidak ada upaya sedikitpun untuk menghentikan langkahku yang pergi menjauh dan pulang ke rumah.

a message from Nath </3

Nath <3 17.56 maaf ya sayang kalau aku terkesan gantungin kamu dengan semua ekspetasi dan harapan yang aku buat ketika bersamamu. Semoga kamu dapetin yang lebih baik dari aku ya ... yang ga bikin kamu bosen sama hubungan yang gantung ini.

Dering panggilan masuk ke telepon gadis itu dengan tulisan Maraka terpampang dengan jelas. Memberi tanda bahwa ada suatu hal yang harus segera diberitahu. Gadis itu mengusap layar dan membiarkan panggilan itu terangkat. Disambut dengan suara ramai dari tempat lawannya menghubungi.

[ Sella, lu dimana? Ini si Nathan ... ] “Hm? Gua udah putus sama Nathan, kenapa?” [ Hah? Gila lu mutusin Nathan? Dia lagi planning buat lamar elu minggu depan, Marsella. ]

Gadis itu terdiam, sadar akan kesalahannya. Ia mencoba untuk mengirimkan pesan kepada Nathan tapi hanya mendapatkan sebuah centang abu-abu yang tak kunjung berubah.

“Ka, Nathan dimana?? Dia sama elu kah? Gua chat kok centang satu,” [ Nah ... justru itu yang mau gua bilang ke elu ... Nathan meninggal barusan gara-gara bawa motor ngebut sampai ga sadar di depannya ada truk. ]

“Sorry ga sengaja.” Haidar melepas airpodsnya dan membantu gadis itu untuk membereskan barangnya yang berantakan akibat jatuh tertabrak olehnya.

“Gapapa Kak Haidar,” ucap gadis itu sembari mengambil cepat barangnya. Takut dirinya dihujat oleh penggemar seorang Haidar Chandra Abimana.

“Kalem euy. Urang teu nyaplok maneh.” Haidar membantunya untuk berdiri.

Maneh anak sastra bukan sih? Perasaan urang pernah ketemu sama kamu.” Gadis itu menganggukan kepalanya. Ia masih ingat bahwa kakak tingkat di depannya ini pernah menggombalinya sampai mleyot setengah mampus.

“Eh Haidar lu di sini ternyata. Ayo siaran.” Kehadiran Juna memecahkan suasana yang sangat kikuk. Haidar menoyor kepala kembarannya itu dan berpamitan kepada gadis yang memiliki nama Nara tersebut.

“Dar, lu napa mesem-mesem kek orang mabok cinta sih?” “Urang nemuin jodoh Jun. Asli,” jawabnya dengan penuh sumringah. Di otaknya kini berputar berbagai cara untuk menyatakan rasanya.

Hingga pada akhirnya Haidar melakukan suatu hal yang membuat gempar di base. Yaitu dengan postingannya dalam bentuk foto yang berartikan I have crush on you.


“Kak, kenapa kakak suka sama aku? Padahal ada banyak wanita yang lebih cantik dari aku?” Kini Nara dan Haidar tengah berada di bawah pohon beringin yang selalu di pakai untuk anak sastra mencari ilham dalam bersajak di dunia maya.

Haidar tak henti-hentinya menggenggam tangan Nara dengan erat. Matanya menatap lekat ke netra milik Nara. Anginpun menyetujui permintaan Haidar dengan menyapu lembut wajah gadis tersebut dan membiarkan wajahnya yang manis tersibak oleh angin.

“Ya karena, saya tidak pernah menemukan cinta yang tulus dari mereka. Hanya kamu yang mencintai saya sebagai manusia. Bukan sebagai dewa karena ketampanan saya maupun harta saya.”


lima tahun kemudian

“Ayah, ambilin minumannya Raka,” teriak Nara kepada suaminya.

“Iya sabar Bun.” Haidar datang dengan membawa sebotol susu formula yang masih asik ia kocok.

“Bun, nanti Ayah pamit lagi ya, Bang Marka minta di temenin buat kerja di Kalimantan katanya,” “Berapa hari?” “Sebulan ada kayanya, sekalian survey si Abang” “Yah ... nanti Raka kangen Ayahnya gimana?” “Bilang aja kamu yang kangen Bun ...”

Inilah kehidupan seorang Haidar saat ini, menjadi seorang ayah sekaligus manager perusahaan bersama Marka abangnya.

© hvangrcnjun ; 2021

“Na, mau?” ucapnya sembari menyodorkan kepadaku sebuah permen karet. Namanya Zidane, sahabatku dari kecil.

“Gila kali gua nolak penawaran langka ini. by the way ya Ji, masih inget ga lu sama pertemuan pertama kita?” Zidane mencoba untuk memikir, mengingat kembali kejadian saat itu dan kami terbawa kembali di masa itu.


Sebelas tahun yang lalu

[ Zidane POV ] Saat itu aku tengah berumur kira-kira delapan tahun. Tengah menikmati udara sore yang sangat sejuk setelah terguyur hujan kurang lebih satu jam lebih. Tanganku memegang sebuah penangkap capung dan mulutku tengah asyik mengunyah sebuah permen karet yang setiap kali aku meniupnya akan menciptakan sebuah balon berwarna merah muda yang indah.

Namun di tengah perjalananku menuju ke kali untuk menangkap capung, aku melihat seorang gadis sedang terduduk di bawah pohon besar, mengenakan sebuah baju berwarna putih dan ketika aku mengahmpirinya ia tengah menangis.

“Eum ... permisi, k-kamu mau permen?” ucapku sembari menyodorkan premen karet yang aku kantongi tadi. Gaadis itu tersadar dan ia menatapku malu. Ia menerima permen karet itu dan mengunyahnya, sedangkan aku mengurungkan niatku untuk pergi berburu capung dan memilih untuk menemani gadis itu berbicara dan bercerita tentang dirinya.

Namanya Na, dia gadis yang baru saja melarikan diri dari rumah barunya atas perintah sang Bunda. Katanya sih akibat sang ayah datang dan hendak mengajaknya pergi ke Jerman. Aneh bukan? Tapi aku tidak tahu bahwa sang Ayah akan membawanya pergi dari sang Bunda. Ia tidak tahu mau kemana dan akhirnya memilih untuk duduk di sini lalu menangis karena memikirkan keadaan Bundanya.

“Harusnya aku ga usah lahir aja ya ... Jadi Ayah sama Bunda ga rebutan aku,” ucapnya polos. Aku jadi tambah bingung kenapa gadis ini memiliki pemikiran terlalu dewasa, bukannya dia masih berpikiran untuk bermain sepertiku?

Sampai cerita itu berhenti dan siang berganti sore. Bundanya datang dan berkata bahwa ia mencari putrinya itu di seluruh komplek. Ia pergi dan sebelum dia pergi, dia berkata kepadaku.

“Zidan, nanti kalau sudah besar kita pacaran saja yuk. Na sayang sama Zidan.” Setelah ia mengucapkan hal itu, dia pergi dan aku tidak pernah menemukannya lagi. Aku mendengar dari Mama bahwa Na telah pindah keluar kota.

Sampai aku menginjakkan kaki di SMA. Aku menemukannya, gadis dengan ikat rambut pitanya yang khas dan senyumannya yang manis. Berdiri sebagai perwakilan calon peserta didik baru. Semenjak itulah aku mencoba menghubunginya dan ya, kita berteman hingga saat ini.


“Oh ... inget gua, yang lu nangis di pohon itu kan?” tanya Zidan sembari menunjuk sebuah pohon di seberang jalan. Pohon itulah menjadi saksi pertemuan pertamaku dengan Zidan.

“Ih kaga ye, gua cuma tidur pas itu,” elakku yang dibalas dengan senyumannya yang sangat mengesalkan itu. Iya turun dari gazebo dan mendekatiku lalu membisikkan suatu kata kepadaku dengan suara beratnya yang khas.

“Gua juga mau nagih janji gadis kecil itu. Katanya sebelum pergi ... mau jadi pacar gua pas udah gede, dan gua mau menagih itu. Jadi, mau tidak jadi pacar seorang pria yang dulunya nemenin elu seharian sambil makan permen karet sama bawa raket buat nangkep capung?”

© hvangrcnjun ; 2021

Lagu To The Bone oleh Pamungkas terputar melalui airpods milik Adjie. Kini ia memakirkan motornya digarasi motor kosan. Ia mematikan kendaraan dan disaat yang bersamaan Hendri dan Bagaskara bersaudara datang dan memakirkan kendaraannya.

“Kalian darimana aja dah? Kemarin ga keliatan dikosan,” tanya Ezekiel kepada Hendri dan Adjie.

“Anu kak, Adjie kemaren rapat OSIS ampe malem. Yaudah deh balik kerumah aja.” “Biasa gua mah El... nginep di warnet demi event legend.” Ezekiel, Jevais, dan Adjie serempak menoleh ke arah Hendri. Sedangkan Hendri? Ia hanya tersenyum kikuk.

“Mas Hen, kamu udah berapa kali sih dibilang jangan sering-sering ngewarnet...” ucap Jevais sembari memukul pelan pundak Hendri.

“Udah ya kakak-kakak sekalian, Adjie mending masuk dulu.” Adjie berjalan menuju kosan dan ia tanpa sengaja berpapasan dengan Rajendra.

“Lu anak baru yang diceritain Kak Dika bukan?” tanya Adjie. Rajendra memutar badannya dan mengangguk pelan.

“Salam kenal, gua Adjie. Lu Rajendra pacarnya Arjuna Lokananta yak?” Rajendra terkejut. Ia yang tengah telefonan dengan seseorang seketika terdiam.


Adjie POV

“Lu lagi telefonan sama Arjuna? Boleh gua bicara sama dia?” tanyaku kepada Rajendra. Aku melihatnya berbicara kepada seseorang dibalik telefon itu dan memberikannya kepadaku.

“Halo, ini Juna buriq bukan?” [anjir gua dikata buriq. pasti ini si adjie anaknya saskia sungker] “Ngaco anjir. Apa kabar lu?” [baik... eh kok lu bisa ketemu ama pacar gua?] “Anu... kan pacar lu ngekost di kosan tempat gua. Pas banget saudara dia juga disini,” [ohh gitu... titip pacar gua ya, kalau main sama cewe lapor ke gua. ntr dia balik Bandung kaga gua kasih jatah tuh anak] “Ahahahaha okey siap-siap, dah ye gua balikin ke pacar lu. Mukanya masam kek ketek kang becak,” ucapku sembari mengembalikan telepon genggam tersebut kepada Rajendra.

“Jen, kalau lu butuh apa-apa jangan sungkan dobrak kamar gua yang ada tulisan 'Adjie kembaran Park Jisung' okey.” Rajendra mengangguk lalu pamit untuk melanjutkan pacarannya.

Oh iya, aku belum memperkenalkan diri. Aku Adjie Sungkar Pradana, putra kesayangan keluarga. Saking sayangnya mereka, selalu saja aku diperebutkan untuk hak asuh setelah mereka berpisah. Aku? Aku tidak memilih siapa-siapa dan memutuskan untuk meninggalkan Kota Bandung dan tinggal ditanah kelahiranku yaitu Jogja. Sesekali aku menginap kerumah nenekku yang ada di Jogja setiap kali pulang malam dan sisanya dihabiskan dengan tinggal di Kosan Bujang.

Beruntungnya aku bisa menemukan rumahku di kosan ini. Bertemu dengan Dika yang seperti mama bagiku dan Kyle yang seperti ayah. Begitupula dengan yang lainnya yang aku anggap layaknya kakak.

“Ini ya kamarmu Jen,” kata Senandika sembari membuka pintu kamar. Menampilkan sebuah kamar dengan desain minimalis dan kental akan nuansa monochrome.

“Oke thanks kak. Btw, gua mau nanya tentang kosan ini gih sekalian tentang foto yang ada diruang tamu.” Senandika menganggukan kepalanya lalu beranjak memasuki kamarnya yang ada di depan kamarku.

Aku mengikutinya dan terkagum dengan desain kamarnya yang tak kalah indah dengan kamarku. Nampak sebuah rumah tingkat beserta dua ekor kucing yang tengah asik terlelap.

Aku melihat Senandika mengambil sebuah album foto lalu duduk disofa dekat jendela kamarnya. Aku mendekatinya dan ia menunjukkan sebuah foto. Foto yang hampir sama dengan foto yang ada di ruang tamu.

“Kenalin, member Kosan Bujang. Awalnya dulu hanya Bastiaan yang menyewa rumah ini. Lalu kami satu persatu menempati rumah ini. Bastiaan ga tinggal disini sekarang. Setelah ada berapa anak berkumpul disini, ia memutuskan untuk membeli satu rumah dan tinggal disana. Ia kesini hanya sesekali untuk ya... melihat persediaan makanan.” Aku hanya mengangguk berusaha mendengarkan ceritanya.

“Nih,” ucap Dika sembari memberikan sebuah foto polaroid. Aku menerima foto itu dan melihat dengan lekat foto itu.

“Namanya Jevais dan Ezekiel. Kita satu kosan masih bingung aslinya mereka saudaraan atau anak kembar. Mereka nempatin kos ini duluan. Tepatnya disaat mereka SMA kelas akhir. Mereka nempatin tempat ini.”

“Terus mereka kemana?” tanyaku

“Biasa lagi kuliah... satunya anak kedokteran satunya lagi anak sastra inggris.” Aku menganggukan kepalaku lalu aku melihat sebuah foto di album Senandika.

“Kak, yang foto bareng elu itu siapa?”

“This one?” ucapnya sembari menunjuk seseorang yang ada difoto.

“Jangan bilangin bunda... he's my boyfie.” perkataannya seketika membuatku terbelalak. Bisa-bisanya kakak sepupuku yang dulu di Bandung gemar gonta-ganti perempuan sekarang memacari pria.

“Ya mana gua tau dek. Gua ketemu dia di kampus terus dia tau-tau pindah ke kosan ini terus yaudah makin deket ampe jadian,” katanya.

“Lu sama dia belom...” tanyaku yang berhasil memberikan satu tempelengan darinya.

“Lu kira gua pacaran ama dia main bokep BL? Kaga. Gua belom pernah,” ucapnya. Namun sayang sekali telinganya memerah dan aku hanya menyimpan jawabannya sendiri.

“Lah kak, sisanya ini kemana?” tanyaku sembari menunjukka foto mereka kepada Senandika.

“Oh okey gua kenalin. Diatas Jevais itu Adjie, sebelahnya Hendri, terus sebelahnya Hendri itu Yudha. Mereka lagi sibuk ngambis keknya. Orang belom balik ke kosan dari kemarin,” jelasnya.

“Dika...,” panggil seseorang sembari mengetuk pintu kamar Senandika. Si empunya kamar segera berdiri dan membukakan pintu.

Tampak seseorang bertubuh jangkung yang kini menyium bibir Senandika. Aku yang merasa menjadi nyamuk hanya berdeham dan seketika mereka berhenti dari aktivitasnya.

“Oh iya by hehehe. Kenalin ini adek sepupuku yang di Bandung,” ucap Senandika.

“Salken Kyle,” “Salam kenal juga kak, Rajendra. Ah iya gua harus ngerapiin baju dulu.” Aku segera keluar dari kamar Senandika dan segera masuk ke kamarku dan menutup pintu.

“Gila punya abang sepupu rada-rada. Gua kan jadi kangen uke gua anjir,” ucapku sembari membuka telepon genggam dan mulai mengirimkan pesan kepada pacarku yang ada di Bandung.

“Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi kereta api Kahuripan dengan rute Stasiun Bandung menuju Stasiun Tugu Jogja akan segera sampai. Segera periksa barang pribadi anda sebelum meninggalkan kursi. Terima kasih.”

Suara yang tidak asing itu berbunyi. Membuat semua orang yang berada di KA Kahuripan beranjak dari kursi penumpang. Lain halnya denganku yang masih asyik memutar lagu SuperM-Tiger Inside dan sesekali mencoba untuk menyanyikan bagian rap Mark Lee yang konon katanya semua temanku di Bandung mengatakan bahwa suaraku dan wajahku mirip dengannya.

Ketika aku merasa hiruk pikuk penumpang sudah tidak seramai tadi, aku segera beranjak. Mengambil koperku diatas kabin dan meraih tas ranselku lalu meninggalkan gerbong kereta dan keluar dari stasiun.

Oh iya, aku belum mengenalkan diriku. Namaku Rajendra Laksmana Bumantara. Seluruh temanku di Bandung memanggilku dengan panggilan Tara sedangkan keluarga dan orang dekat memanggilku Rajen.

Kini aku berada didepan stasiun sembari mencari dimana saudaraku yang menjemput berada. Aku membuka chattinganku dengannya hingga akhirnya aku terkejut karena tepukan di bahu.

“Kak Dika ngajak gelut lu ya?” Dia Senandika Bumantara, kakak sepupuku yang kini kuliah di Jogjakarta. Aku menatapnya dari atas hingga bawah. Tidak ada yang berubah, hanya rambutnya yang hampir panjang serta ditubuhnya terhias beberapa tattoo.

“Ayo Jen, tak ajak ke kosanku wae ya. Soale mamamu nyuruh aku nyari kosan nggo kamu,” (Ayo Jen, gua ajak ke kosan aja ya. Soalnya mamamu nyuruh aku nyari kosan buat kamu)

Aku mengiyakan saja perkataannya lalu segera mengikutinya menuju taksi online yang telah ia pesan. Aku memasukan koperku kedalam bagasi lalu masuk kedalam mobil tersebut.

“Oh iya Jen lupa mau ngomong. Selamat datang di kota Jogjakarta, kotanya para pelajar. Hati-hati kamu bisa kepincut sama cewe anak Stella Duce atau malah kepincut cowo cantiknya De Britto,” ucap Senandika sembari terkekeh.

Taksipun berhenti disalah satu rumah. Senandika melepaskan seatbeltnya dan keluar dari mobil. Aku segera mengikutinya keluar. Tak lupa pula aku mengambil koperku didalam bagasi dan berjalan mengikutinya masuk kedalam rumah tersebut.

“Eh Mas Babas, ngopo mas?” (Eh Mas Babas, ngapain mas?) tanya Senandika ke orang yang aku tidak mengenalinya.

“Oh iya mas lupa, kenalin ki Rajendra sing meh tinggal di kosan. Jen, kenalin nih Mas Bastiaan yang punya kosan.” Aku segera menjabat tangan Bastiaan sembari memperkenalkan diriku.

“Bastiaan, panggil aja Babas,” “Rajendra panggil aja Rajen,”

“Dah yak sing kenalan, yok Jen masuk. Tak ajak kenalan sama anak kosan lain,” ucap Senandika sembari masuk kedalam kosan. Aku segera berpamitan kepada Bastiaan lalu mengikuti Senandika memasuki kosan.

“Kau tahu rasa sakit sesungguhnya? Ketika aku ingin memanggilnya sayang. Di kala aku bukan miliknya lagi,”


Suara petikan gitar menggema diseluruh penjuru ruangan kelas. Jeffrian entahlah sedang kesambet hujan atau bagaimana sudah duduk di tempat kekuasaannya dan bermain gitar pukul enam pagi. Padahal jam pertama kelasnya adalah pukul delapan.

Those were the good times That I miss you badly

Suara baritonnya sangat indah dan iya, dia baru saja putus dengan kekasihnya, Intan. Ia masih tidak menyangka saja bahwa asmaraloka yang baru ia bangun bersama dengannya harus ia tempati sendiri tanpa sosoknya.

“Ngapain lu Jeff? kelas lu kan masih nanti.” Suara khas itu yang dirindukan oleh Jeffrian. Ia tidak peduli dengan ucapannya dan masih melanjutkan nyanyiannya.

Sometimes I wish, that I could still call you mine

Intan terperanjat ketika mengetahui bahwa pria yang dulunya pernah menyandang status sebagai kekasihnya itu masih menyukainya. Ia bingung, karena di satu sisi ia sudah lupa dengan namanya jatuh cinta dengan seseorang bertubuh jangkung dengan lesung pipinya yang khas itu.

“Jeff—” “Iya, gua masih sayang sama lu Ntan, gua terkadang cemburu tiap lihat story Instagram lu lagi jalan sama cowo lain,” “Jeffrian, sorry ... tapi hubungan kita udah berakhir,” “Justru karena itu. Lu tahu? Gua masih pengen panggil elu sayang, gua masih pengen ngacak-ngacak rambut lu sampai lu keluarin muka masam lu yang lucu. Tapi gua sadar ...” Jeffrian menghentikan kata-katanya sebentar. Ia berdiri dan menghampiri Intan.

” ... bahwa gua bukan milik lu lagi.” Ia memberikan sebuah buket berisikan tulip putih yang ia bawa lalu meninggalkan Intan pergi dengan kesunyian ruangan kelas.

© hvangrcnjun ; 2021

“Ly, percuma hubungan kita berakhir. Karena setiap kali aku mencoba untuk mendekati wanita lain, aku merasa sedang mengkhianatimu,”


“Lyaa,” panggil pria itu. Namanya Tristan Mahatma, seseorang yang pernah menjadi alasanku untuk bahagia. Kini tengah mengejarku untuk entahlah, menjelaskan sesuatu yang sudah jelas? Bahwa hubungan kita telah berakhir? Aku hanya bersikap cuek dan tetap berjalan tanpa memperdulikan panggilannya yang membuat orang di sepanjang lorong kampus merasa penasaran dan memperhatikan Tristan.

“Lyaa, dengerin aku dulu.” Tangannya yang penuh urat itu meraih pergelangan tanganku, dan reflek saja aku memutar badanku dan aku menatap wajahnya yang sangat tidak realistis bagaikan tokoh anime yang keluar ke dunia nyata.

Mataku terpana menatap kedua bola matanya yang sangat bulat. Wajahnya memelas tanda bahwa ia sedang membujukku agar mau mendengarkan penjelasannya.

“Bukannya udah jelas Tristan Mahatma, kita sudah bukan lagi sepasang kekasih. Jalani hidupmu sendiri ya. Gua mau bimbingan buat skripsi dulu. Permisi,” ucapku sembari menundukkan kepala untuk bersikap sopan. Namun justru cengkramannya kian kencang dan aku harus menghela nafas secara kasar dan membiarkannya untuk bercerita.

“Jadi ... kamu putusin aku karena suatu masalah yang aku saja tidak tahu apa masalahnya. Kamu mengajakku untuk mengakhiri hal ini dan bodohnya aku memilih untuk mengiyakan begitu saja tanpa peduli bahwa kamu justru membutuhkan suatu penolakan untuk mengakhiri hubungan tersebut.” Aku hanya diam menahan agar cairan bening ini tidak meleleh begitu saja dan menghiasi pipiku Aku mencoba untuk mendongakkan kepala, pikirku supaya cairan bening itu kembali masuk namun hasilnya nihil. Malah air magtaku turun begitu saja dan menghiasi wajahku.

“Jangan nangis. Aku lemah tiap lihat kamu nangis. Apalagi alasan kamu menangis adalah aku.” Ia menangkupkan pipiku lalu menatap wajahku lekat-lekat. Aku menatap sebuah bekas luka di bawah matanya, sebuah bekas luka yang bentuknnya mirip dengan kelopak bunga mawar.

“Setiap ngelihat kamu nangis, aku ngerasa jadi pria paling brengsek di dunia,” “Kalau lu merasa begitu, lu juga brengsek di mata perempuan yang lu dekati itu. Dia sayang sama elu tapi justru lu masih deket-deket gua.” Ia terdiam lalu mengedarkan pandangannya lalu kembali memfokuskan pandangannya kepadaku.

“Ly, dia cuma temen. Kamu tetap wanita yang aku sayangi setelah Bunda. Kenapa perempuan itu aku anggap sebatas teman? Karena setiap kali aku dekat dengan perempuan itu, aku selalu saja ingat kamu. Setiap kali aku berusaha untuk menyukainya, aku merasa telah mengkhianatimu.”

©hvangrcnjun ; 2021