hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

“Kyra, keluar gih, itu udah ditunggu seseorang.” Mama mengejutkan Kyra yang sedang bingung merapikan rambutnya.

“Mama ... ngagetin tahu gak sih? Untung ini aku ga kena catokan.” Mama hanya terkekeh melihat sang putri yang kini menjadi gadis ceria. Tak seperti sebelumnya setelah ia mendapati kepergian Yehezkiel.

“Mama seneng, kamu udah bisa deket lagi sama cowok.” “Ih, Mama kenapa sih. Travis hanya teman tahu ... gak lebih. Sudah ya, aku pamit dulu.” Karena tergesa-gesa, Kyra sampai melupakan to do list miliknya masih tertinggal di atas meja belajar dan kini ia sudah keluar untuk menghampiri pria aneh itu.

“Hai ....” “Aku kecepetan kah yang jemput?” Kyra hanya menggelengkan kepala dan menatap nat lantai lekat-lekat. Ia masih ragu, apakah ia dapat melepas kepergian Yehezkiel saat ini.

“Hey? Kok ngelamun? Ayo naik sebelum kita terlambat.” Kyra melupakan semua pemikiran itu dan langsung menaiki jok belakang motor yang dikendarai oleh Travis dan membiarkannya melaju membelah kota yang kian padat dengan arus balik karyawan.


“Omong-omong, kamu beneran dapet sapu tangan?” Pertanyaan dari Travis memecah kesunyian, membuat Kyra tersadar dari lamunannya dan mengangguk.

Pria itu hanya tertawa, bahunya naik turun mengikuti suara tertawa terbahak-bahak yang keluar.

“Ryden, Ryden. Bisa-bisanya itu anak ngasih sapu tangan padahal aku ga pernah pakai sapu tangan. Dia ngomong pakai lo-gue enggak?” Kyra hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan itu. Karena seingatnya pada malam pertemuannya untuk pertama kali, Travis menggunakan lo-gue.

“Itu sebenarnya kembaranku, namanya Ryden. Ryden Hartanto. Kita memang suka tuker-tukeran gitu. Nah kemarin aku ngelihat kamu di loket masuk, aku suruh Ryden buat cari info tentang kamu. Dia yang kasih nomor kamu deh ke aku.” “Tunggu, tapi dia gak minta nomor dari aku.” Travis hanya tertawa dan memakirkan motornya dengan sempurna.

“Dah sampai. Lah seriusan ga minta? Atau dia minta dari Kak Aksa ya.” Travis memangut. Mencoba untuk mencari rahasia dari sahabatnya walaupun secara telepati karena ia percaya bahwa saudara kembar selalu terhubung melalui ikatan batin.

Tepat saja, dari pintu masuk konser muncul seorang pria yang tengah menarik paksa telinga salah satu orang yang memiliki wajah mirip dengan Travis, dan Kyra langsung menangkap bahwa itu pria yang memberikannya sapu tangan.

“Ini dua anak, bisa-bisanya kalian saling tukeran job.” Pria dengan wajah oriental itu mengoceh dan menatap kedua kembaran itu dengan seksama hingga matanya tertuju kepada Kyra. “Loh Kyra? Kamu pacarnya Yehezkiel kan?” Gadis itu hanya mengangguk dan membuat si kembar menatap mereka berdua secara serempak.

“Kalian ...” “... kenal?” “Ini Kyra yang Kakak ceritakan. Dia kehilangan kekasihnya pas kecelakaan waktu itu. Kekasihnya itu Kyle, teman segrup Kakak.” Kyra justru berlari meninggalkan mereka. Membuat ketiga pria itu meneriaki namanya secara serempak

“Kak Aksa sama Ryden dulu aja. Gue yang kejar dia.” Travis mengejar gadis itu dengan cepat hingga akhirnya ia berhasil mencengkram lengan Kyra.

“Hey. Kenapa nangis.” Travis menarik Kyra kepelukan. Membiarkan gadis itu menangis dipelukannya hingga merasa lega.

“Ra, lihat aku.” Travis menangkupkan kedua pipi Kyra dan mendongakan kepalanya. “Kita move on bareng ya.”

© hvangrcnjun ; 2021

Sorak sorai penonton memeriahkan pentas akhir tahun SMA. Ini adalah waktu terakhir seorang Kyra menikmati masa SMA dan untuk pertama kalinya ia menonton konser setelah sang kekasih yang meninggalkan dirinya akibat kecelakaan.

Rasanya sangat aneh bagi Kyra. Karena ia kini justru menitikkan air mata ketika salah satu grup membawakan lagu Banda Neira yang berjudul Sampai Jadi Debu.

Selamanya Sampai kita tua Sampai jadi debu 'Ku di liang yang satu 'Ku di sebelahmu

Itu lagu yang sering Yehezkiel nyanyikan untuk menidurkan dirinya di kala ia tak dapat memejamkan mata. Lagu itu membuatnya teringat kembali dengan vokalis sekaligus pacar yang ia sayangi.

“Nih.” Kyra terkejut menatap sebuah sapu tangan berwarna putih dengan bordiran bunga mawar di ujungnya. “Gue tahu lo lagi nangis. Pakai aja.” Kyra menerima sapu tangan itu dan mengusap air matanya.

“Kenalin, Travis Hartanto.” “Kyra Margareta.” Perkenalan itu sangat singkat dan aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena minimnya cahaya. Pria itu berpawakan tinggi dan memiliki suara berat yang sangat berbanding terbalik dengan Yehezkiel.

“Lo suka sama lagunya Banda Neira?” “Enggak. Sebenarnya, aku lebih suka lagunya HiVi. Tapi, lagu ini ada sejarahnya sendiri di aku.” Pria itu hanya tertawa dan jujur, Kyra merasa sedikit aneh dengan pria ini.

“Oh iya, kamu anak mana kok aku ... gak lihat.” Benar kan apa yang Kyra rasakan, pria itu benar-benar aneh. Namun, gadis itu tertegun melihat sapu tangan milik Travis yang masih ia genggam.

“Sial ... belum aku balikin.”

© hvangrcnjun ; 2021

“Kyra!” Yehezkiel langsung memelukku ketika aku membukakan pintu apartemenku. Membuatku seketika menoleh ke kanan dan kiri, memastikan agar tak ada satupun orang yang melihat.

“Kiel ... masuk dulu. Kamu ini kenapa?” “Kangen sama Kyra.” Aneh. Padahal baru saja tadi pagi kami bertemu di sekolah dan saling beradu rayu di perpustakaan.

“Kenapa? Kamu gak suka? Aku pulang aja ya.” Ia berbalik dan aku memeluk tubuhnya. Meminta pria itu tak pergi kemana-mana lagi. Yehezkiel membalik badan, dan melepaskan kalung yang terpasang di lehernya. Mengalungkan kalung perak itu di leher jenjangku.

“Maaf. Gaji pertamaku baru bisa aku beliin kalung perak buat kamu. Itu ada satu cincin bertuliskan namaku. Sedangkan di aku, liontin cincinnya atas namamu. Kalau liontin cincinnya mah emas putih. Ya buat kita besok lima tahun lagi menikah.” “Ya gak cukup dong?” “Biarin. Ya udah masuk yuk. Aku ajarin ekonomi sebelum aku pergi.” “Mau ke mana?”

Aku menatap Yehezkiel, mencari jawaban atas pertanyaanku. Hingga pemuda itu tersenyum dan mengusap pipiku dengan lembut sembari tangannya yang lain menutup pintu apartemen.

“Aku mau perjalanan ke Jakarta besok jam sepuluh. Persiapan buat besok konser di salah satu SMA. Nirwana yang jadi bintang tamu utama.” Pria itu hanya tersipu malu karena kini aku menggodanya dengan jurus andalanku setiap Yehezkiel mendapat job konser.

“Jangan lupa, besok hari Sabtu tonton di YouTube official ya.” “Pasti lah. Apa sih yang enggak buat Kiel?”

© hvangrcnjun ; 2021

Surabaya, 2017 “Kyra! Aku udah mutusin nama panggung buat aku manggung besok di Band Festival.” Waktu itu, Yehezkiel baru menginjak bangku sekolah menengah atas. Namun, semua hawa sudah mengenalinya sebagai seorang gitaris dan penyanyi kafe yang sangat tampan hingga seminggu yang lalu, ada seorang pria yang mengajaknya untuk mengisi posisi vokalis di grup band ternama, Nirwana dan ini adalah job pertamanya, mengisi acara Band Festival di salah satu universitas ternama di kota pahlawan.

“Bagaimana? Cakep gak?” Aku meraih kertas pemberiannya dan terdapat sebuah tulisan tangan,

Kyle

“Kenapa Kyle? Kenapa gak Kiel? Kan itu dari Yehezkiel.”

“Gak mau. Ky itu dari namamu, Kyra. Sedangkan Le, itu dari El, nama panggilan kecilku dari kamu. Tapi aku balik dan jadilah Le. Kyle. Bagus kan?” Aku masih setia menatap tulisan itu. Lalu tersenyum dan mengembalikan kertas itu ke sang empunya.

“Bagus kok. Aku suka.” “Syukurlah kalau suka. Biar aku bisa bahagia yang ngonser besok,” tuturnya sembari memberikan senyuman paling cerah dari seluruh alam semesta yang aku ketahui.

© hvangrcnjun ; 2021

“Kakak bisa tidak mengganggu hubunganku? Kakak takut semua harta Papa jatuh ke istriku kah?” Abimanyu menggertak di lorong rumah sakit. Tak peduli dengan seluruh mata yang memandanginya.

Ia sangat kesal dengan ambisi sang Kakak yang ingin mengambil hak waris perusahaan yang Papa beri ke dirinya. Beberapa kali persiapan pernikahan Abimanyu telah ia gagalkan, hingga sang Oma pernah diam-diam ia culik dan hendak dibunuh agar harta warisan itu mutlak turun kepadanya.

Salah satunya ini, Abimanyu yang tadi memikirkan siapa yang mencelakakan sang istri, hingga bertanya kepada petugas yang berjaga. Hingga satu ciri-ciri menuju kepada gadis di depannya itu.

“Kak Abim. Udah ... kita ngopi aja yuk.” Jeno berusaha untuk melerai pergelutan ini namun sayang sekali, jemari Abimanyu telah mengencang dan rahangnya mengeras ketika melihat sang Kakak hanya memandangnya remeh.

“Kakak mau kamu itu sama gadis kecil yang kamu maksud. Bukan sama gadis murah——” “Dia Kirana. Gadis kecil yang Saya maksud,” jawab Abimanyu dengan nada dinginnya. Binar matanya telah berubah dari yang sayu menjadi penuh kemarahan. Hingga membuat Abimanyu akhirnya menggertak Renita.

“Saya tidak mengenal anda, Kak. Anda bisa angkat kaki dari sini dan kemasi pakaian anda di rumah. Lalu pergi! Saya tak butuh seorang Kakak yang matrealistis hingga melakukan berbagai cara picik. Jeno, tarik dia dan urus dia. Saya tidak mau melihat gadis ini dihadapan Saya.” Sebuah tamparan mendarat di pipi putih Abimanyu dan mencetakkan bekas kemerahan. “Kurang ajar kamu sama Kakak.” “Anda hanya ada dua pilihan. Keluar dari rumah, atau Saya ungkit kasus Oma sampai kamu mendekam di tahanan?” Renita hanya mendengus dan menghentak kakinya keluar dari tempat itu.

Kembali lagi Abimanyu terduduk lemas. Menunggu dokter yang masih bergulat di dalam. “Kak,” panggil Jeno dan membuat Abimanyu menatap sang adik dengan tatapan sendunya. “Hm? Kenapa?” “Kak Kirana itu beneran gadis kecil yang Kakak maksud?” Abimanyu hanya mengangguk. Jujur saja dia merasa tak ada semangat. Hingga dokter datang menghampirinya.

“Ibu Kirana sudah terlewat dari fase kritisnya. Kemungkinan besok pagi, dia sudah bisa dirawat di kamar biasa saja.” Seketika senyuman itu tercipta di wajah tampan Abimanyu hingga memunculkan lesung pipinya yang khas. Ia sangat bahagia. Karena gadis kecil yang ia sayangi itu tetap bertahan.

© hvangrcnjun ; 2021

“Abimanyu. Apa maksudmu?” Gadis itu menggertak dan menatap Abimanyu dengan tatapan sinis. “Kenapa? Masih kurang puas suamimu menjadi general manager? Mau Saya naikan lagi jabatannya? Oh atau ... kamu kehilangan suamimu?” Abimanyu menatap balik gadis di depannya.

Hingga suara panggilan Kirana membuat Rosa menoleh dan secara langsung menarik krah kemeja Abimanyu dan mencium bibir pria itu. Membuat senyuman yang tercetak di bibir Kirana seketika pudar dan ia pergi meninggalkan Abimanyu.

“Kirana? Mau kemana?” tanya Tama yang baru saja keluar dari mobil ketika gadis itu berlalu di depannya sembari mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi. Lalu disusul oleh Abimanyu yang berteriak memanggil Kirana.

Bagi Kirana, semua ini telah rusak termasuk kepercayaannya. Namun bagi Abimanyu, hal ini membuatnya deja vu akan kejadiannya dahulu yang memergoki sang Mama mendua.

“Kirana tunggu! Itu bukan yang seperti kamu lihat.” Abimanyu akhirnya paham bagaimana perasaan sang Mama yang dahulu mengejarnya. Ia tak mempedulikan beberapa kali suara klakson berbunyi hingga pada akhirnya gadis itu justru membalik tubuhnya lalu berlari menghampirinya dan berteriak, “Abimanyu, awas!”

Kirana mendorong tubuh Abimanyu dan menjauhkan pria itu ke bahu jalan. Berbeda nasibnya dengan Kirana yang kini justru tertabrak mobil yang melaju dengan cepat ke arahnya dan membuat tubuh mungil gadis itu terpental.

“Kirana!” Abimanyu dan Tama serempak berteriak lalu berlari menghampiri tubuh Kirana yang tak berdaya di atas aspal. Orang-orang mulai menghampiri tempat kejadian dan dengan cepat Abimanyu yang sudah sampai langsung berteriak kepada Tama untuk menghubungi polisi. Sedangkan dirinya langsung menggendong tubuh Kirana dan membawanya ke dalam mobil.

“Gue aja yang bawa mobil. Gue gak yakin lo bisa waras yang bawa mobil kalau kondisi lo kayak gini.” Tama membuka pintu kemudi, menyalakan mobil dan melajukan mobil sedan itu pergi dari TKP menuju rumah sakit terdekat.

“Kirana, dengarkan Saya. Tolong. Dengarkan Saya,” racau Abimanyu sembari menepuk wajah Kirana agar gadis itu tak terpejam. Pada akhirnya mobil itu memasuki pelataran rumah sakit dan dengan cepat Abimanyu segera menggendong tubuh gadis yang ia cintai itu masuk ke dalam gedung rumah sakit.

“Tolong istri Saya!” teriak Abimanyu dan kini suster datang sembari mendorong sebuah ranjang. Ia menidurkan tubuh Kirana di atasnya dan membantu untuk mendorong ranjang itu memasuki ruang pemeriksaan. “Tuan tolong tunggu sebentar.” “Tapi istri Saya butuh Saya!” “Tolong ya Tuan.” “Istri Saya di dalam, Sus. Biarkan Saya masuk.” Tama menarik tubuh Abimanyu untuk duduk dan menarik napas. “Tenang, oke? Gue yakin. Ibu Kirana itu gadis kuat. Lo lupa yang dia ngehajar habis-habisan preman itu pakai satu koper?” Abimanyu memikir ulang apa yang dikatakan oleh Tama dan ia hanya mengangguk.

“Ya udah. Gue mau ambil baju lo dulu ya. Lihat noh baju lo darah semua.” Tama bangkit berdiri, melempar dan menangkap kembali kunci mobilnya dan menepuk bahu Abimanyu. Ya, sekedar untuk memberikan dukungan kepada pria yang menjadi sahabatnya itu.

“Gue pergi dulu ya.” Tama pergi meninggalkan Abimanyu dan tepat setelah itu, dokter keluar dari ruangan pemeriksaan dan berkata kepada Abimanyu bahwa kondisi Kirana sangat kritis karena beberapa cidera di tubuhnya yang fatal dan membutuhkan tindakan operasi.

“Tapi kemungkinan setelah di operasi, gadis itu harus mengalami koma yang kemungkinan akan panjang.” Abimanyu hanya mengacak-acak rambutnya frustasi dan membiarkan dokter melakukan apapun kepada istrinya.

“Baiklah, ibu Kirana akan segera kami operasi.” Dokter itu berlalu meninggalkannya dan membuat Abimanyu hanya terduduk pasrah di lantai dinginnya rumah sakit.

© hvangrcnjun ; 2021

“Lo kenapa sih Bim? Sampai gila cuci tangan gitu. Udah heh anjir, kering entar jari lo,” ucap Tama sembari mengambil paksa sabun cuci tangan yang digunakan oleh Abimanyu. Sebagai kaki tangan sekaligus sahabat Abimanyu yang selalu mengikuti jadwal kegiatannya bahkan sampai tidur di kamar yang sama, baru kali ini, seorang Abimanyu tergila-gila dengan aktivitas mencuci tangan.

“Saya lebih baik mundur saja menggoda Rosalinda. Melihat ketikannya cukup membuat Saya muak.” Abimanyu mengusap tangannya menggunakan handuk lalu melanjutkan untuk mengusap mukanya.

“Ya elo pakai gegayaan godain Rosa. Ga kuat kan?” “Tidak peduli Saya. Dendam Kirana harus Saya balas juga.” “Dulu katanya ga suka Kirana, kenapa sekarang peduli?” Abimanyu terhenti, lalu menumpukan tubuhnya di atas wastafel marmer. Tatapannya yang menatap lekat bayangan kini beralih menatap Tama yang melipat tangannya dan bersender di daun pintu kamar mandi.

“Saya tidak cinta sama gadis itu, Tama. Cam kan itu. Saya masih mencintai gadis kecil itu.” Tama hanya tertawa lalu mendekati Abimanyu dan duduk di atas wastafel itu sembari menghisap vape miliknya.

“Abim, sejak kapan sih lo bego banget sama yang namanya cinta? Dulu, Alea. Sekarang, Kirana.” Abimanyu memukul wastafel itu dengan keras hingga tangannya memerah. Ia sangat benci ketika nama gadis itu disebut karena menurutnya gadis itu sama saja seperti sang Mama. Penipu.

Calm down brodi!” Tama menarik sahabatnya itu ke ranjang dan membiarkannya menenangkan diri.

“Udah. Tenang. Nanti gue aja ya yang bawa mobilnya. Lo kayak gini menurut gue bahaya.” “Oma bagaimana?” “Dia pulang sama Renita & Jeno.” “Jadi kemarin yang menggantikan baju Saya, Kirana?” Tama hanya menaikkan bahunya dan menjawab bahwa ia tak mengetahui. “Gue gak tahu. Yang gue tahu cuman ibu Kirana bawa elo ke kamar sendirian. Sisanya gue gak tahu.” Abimanyu mengusap wajahnya kasar dan bangkit dari duduknya di ranjang. “Sebentar, Saya ada telepon.” Abimanyu mengangkat telepon yang masuk ke ponselnya. Rupanya, itu panggilan dari sang istri, Kirana.

“Halo, ada apa?” “Tuan Muda masih pusing?” Abimanyu seketika keluar dari kamar dan berjalan kembali ke kamarnya. “Tuan? Tuan di mana?” “Keluar kamar.” Tepat setelah panggilan dimatikan oleh Abimanyu, Kirana membuka pintu kamarnya dan terkejut dengan pria di depannya. “Kenapa? Saya tidak pusing.” “Yah ... baiklah ... tadi Saya memesan air kelapa. Buat mengurangi hangover -nya.” Abimanyu tertegun, melihat Kirana yang membawakan sebuah kelapa dan menyuruhnya untuk minum.

Abimanyu mengambil air kelapa itu dan meneguknya. Sembari menatap sang ustri yang tersenyum dengan manis.

Oh damn, Saya jatuh cinta dengan gadis ini,” batin Abimanyu namun tetap saja wajahnya hanya terpasang datar dan bibirnya hanya mengeluarkan kata terima kasih.

“Kita sarapan diluar saja bagaimana? Bareng Oma, Tama, Kak Renita, dan Jeno?” Abimanyu hanya menganggukkan kepalanya dan membiarkan gadis itu menentukan makanan yang ia mau.

© hvangrcnjun ; 2021

“Rosa!” tegur Abimanyu ketika melihat tubuh jenjang milik Rosalinda memasuki pelataran Starbucks Paris van Java. Kini Abimanyu meneguk Caramel Macchiatonya dan berlagak bagaikan pria normal pada umumnya.

“Hai Abim ... kenapa manggil Rosa?” Sejujurnya, ketika mendengar suara genit Rosa, bulu kuduk di tengkuk Abimanyu langsung merinding geli. Benar-benar gadis itu sangat haus akan kekayaan miliknya.

“Saya merasa salah meminang. Harusnya Saya meminang kamu menjadi istri Saya.” Rosa hanya tersenyum dan tertawa. Sedangkan Abimanyu harus setia memasang senyumannya yang menggoda itu walaupun aslinya dalam hati ia ingin mencaci maki gadis di depannya itu.

“Ah Abim, gak usah bilang gitu ih. Rosa jadi malu.”

“Saya cinta sama kamu Ros. Tapi Saya belum bisa menikahimu.” Abimanyu mengatakan hal itu dengan nada yang sedikit serius. Pastinya agar membuat Rosalinda semakin jatuh hati kepadanya.

“Mending Abim sama Rosa saja. Daripada sama Kirana. Dia bawa sial.” Gadis itu tertawa, dan Abimanyu hanya mengikuti apa yang ia tuang di skenario miliknya.

“Ya sudah. Sampai ketemu nanti lagi ya Rosa. Saya ada urusan dulu di Bandung. Untuk minumanmu, biar Saya yang bayar,” ucap Abimanyu sembari mengeluarkan satu kartu debit miliknya dan berjalan ke kasir. Memesan lagi segelas Caramel Macchiato dan membayar minuman milik Rosa.

Sudah banyak rencana jahat di kepalanya ketika ia memasuki mobil. Ia hanya tersenyum dan bermonolog, “Rosa ... Rosa ... bodoh sekali kamu.”

© hvangrcnjun ; 2021

“Saya tidur di sini saja Tuan.” Kirana menarik bantalnya dan tidur di sofa panjang depan TV. Sedangkan Abimanyu tak peduli dan berjalan memasuki kamar yang memang selalu ia kunci.

Sebenarnya ini adalah rumahnya setelah ia pindah dari Jakarta sewaktu berumur empat belas tahun dan selama lima tahun itulah ia memenuhi kamar dengan kenangannya tentang gadis kecil.

Abimanyu menatap lukisan yang ia buat. Seorang gadis dengan tatapan dan wajahnya yang manis.

“Kamu sekarang di mana ya? Saya rindu kamu.” Abimanyu berucap sembari mengusap permukaan lukisan itu dan berjalan mendekati sebuah kotak lalu mengambil gelang. Gelang itulah milik gadis kecil yang ia maksud.

Lalu ia memutuskan untuk tidur di kasur empuk miliknya.


“Kasihan sekali. Mamanya selingkuh.” “Jadi anak tuh yang berguna sedikit biar Mamanya ga pergi.” “Kaya sih, tapi culun.” Olokan dan caci maki Abimanyu terima. Sudah beberapa kali mereka menghujamnya dengan kata-kata yang membuatnya menciut. Rasanya ia ingin marah ke kedua orang tuanya. Namun, kematian kedua orang tuanya membuat Abimanyu hanya terdiam dan tak acuh ketika pemuda di depannya itu mulai mengambil sebuah batu dan melemparkan ke arah Abimanyu.

“Awas!” Seorang gadis memeluk Abimanyu dan membiarkan tubuhnya yang mungil menjadi tameng. Abimanyu hanya menatap surai hitam milik gadis itu. Hingga akhirnya ia merasakan pelukan gadis itu melonggar.

“Kamu kenapa tidak melawan?” Netra coklatnya menatap Abimanyu dengan lekat-lekat. Hingga pemuda itu hanya menjawab secara singkat.

“Gak pa-pa. Ga di bolehin Oma buat jahat ke orang.”

“Ga melulu kamu jahat ke orang. Selahi orang itu jahat sama kamu, kamu harus bisa ngelawan tau.” Gadis itu mengomel dan mengusap rambut Abimanyu.

“Aku pergi dulu ya. Kamu jangan lupa pulang.” Gadis itu pergi meninggalkan Abimanyu tanpa perkenalan sekalipun.

Rasanya Abimanyu seperti menemukan kehangatan sang Mama, dan ia jatuh hati kepada gadis itu.


Abimanyu terbangun, hari telah menjadi pagi dan kini ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

“Tuan, hari ini jadi pulang?” tanya Kirana saat Abimanyu membuka pintu kamarnya.

“Tidak. Nanti Tama akan datang membawa pakaian untuk kamu.”

“Ah ya sudah, mau sarapan?” Kirana mengajak Abimanyu ke meja makan. Rupanya, Kirana tadi pagi belanja semua bahan untuk masakannya kali ini.

“Tuan semalam belum makan sama sekali kan? Lebih baik makan dulu saja.” Kirana mengambilkan piring untuk Abimanyu dan duduk di depan pemuda itu. Membiarkan Abimanyu yang hanya terpaku menatap Kirana.

“Kenapa kamu membuatku merasa bahwa aku menemukan gadis kecil itu?”

© hvangrcnjun ; 2021

“Terkadang, aroma hujan itu memiliki kenangan yang berbeda-beda. Entah itu pagi, siang, sore, bahkan malam sekalipun memiliki aroma yang membawakan kenangan yang berbeda.” Kasa menatap netra gadis pujaannya penuh harap. Hari ini adalah tanggal 31 Desember, yang artinya adalah hari terakhir seorang Nayuta Prakasa bisa memeluk dengan erat raga milik Katarina karena hari ini, gadis yang ia elu-elukan di depan rekan satu tongkrongannya hendak pergi jauh. Sangat jauh hingga perbedaan waktu memisahkan mereka berdua.

“Kamu kan anak hukum, Prakasa ... kenapa kamu malah jadi kayak anak sastra begini sih?” Katarina hanya mengusap punggung lebar Kasa yang sedari tadi memeluk tubuh mungilnya seperti koala yang tak mau lepas dari pohon bambu. Sangat erat, hingga ia mendengar suara isakan dari Kasa yang menemani suara hujan turun dan menciptakan melodi yang menenangkan.

“Kok nangis? Hey ....” Katarina mendongakkan kepala Kasa dan mendapati pria kebanggaannya itu tengah menangis.

“Aku cuman ke Netherland sayang. Kamu ini kenapa takut banget?”

“Aku takut sama semua kemungkinan yang terjadi setelah kamu pergi. Aku takut kehilangan kamu, aku benar-benar takut.”

“Aku gak bakal pergi Prakasa ... oke? Aku mau check-in dulu sebelum last call. Kamu jaga diri baik-baik ya sayangku. Sampai ketemu di natal tahun depan dan terakhir, selamat tahun baru!” Katarina berjalan meninggalkan Kasa yang masih mengusap air matanya kasar menggunakan punggung tangannya sembari menatap punggung tubuh kekasihnya yang kian menghilang dimakan keramaian pengunjung bandar udara yang padat.


1 Januari, 10.00

“Tuy, ini pesawat cewe lo kan?” Kasa melihat ponsel milik Adhitama yang menayangkan sebuah berita tentang pesawat yang jatuh ke samudra. Membuat Kasa memiliki firasat buruk dan segera mencari tahu informasi lebih lanjut.

Hingga akhirnya ia mengetahui bahwa itu nomor penerbangan milik Katarina, dan membuatnya segera bangkit lalu menaiki motornya.

“Tuy, Atuy! Gue aja yang nyetirin.” Suara teriakan Adhitama itu tak dihiraukan oleh Kasa. Ia tetap melesatkan sepeda motor itu dengan cepat dan membelah jalan yang masih basah setelah hujan semalam yang tak berhenti.

Hingga semua jawaban dari ketakutannya terjawab ketika ia sampai di kediaman Katarina. Tenda sudah terpasang, dan bendera kuning sudah terkibar. Ia masih denial bahwa ini adalah kenyataan. Ia masih ingat, semalam ia masih memeluk gadis itu dan memintanya untuk membatalkan kepergiannya ke negeri kincir angin itu.

Rupanya malam tahun baru itu adalah saksi perpisahannya yang abadi dengan Katarina dan hujanlah yang menjadi perekam kenangan itu.

© hvangrcnjun ; 2021