hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Dia memutuskan untuk menyerah dalam pergelutannya dengan takdir dan memutuskan untuk keluar dari bahtera untuk pergi ke tujuannya yang lain.


Satu bulan terlalui, canda, tawa, dan segala hal tentang pahitnya tentang hidup telah kami lalui bersama. Namun aku tidak tahu mengapa, aku memiliki perasaan yang aneh dengan hari ini.

nat, makasih ya

makasih buat?

pelukan virtualmu lah, emang kamu kira apaan?

aku kira makasih buat waktunya

Kalian ngerasa ada yang janggal sama pesan singkat yang dia kirim? Iya, aku juga saat mengirim pesan itu merasa ada hal yang aneh. Namun aku coba untuk tak memperdulikannya dan melanjutkan kegiatanku yaitu makan kacang di salah satu wedhangan dekat rumah bersama saudaraku.

Namun sayangnya semua mimpi dan pemikiranku terjawab sepulang aku dari wedhangan tersebut. Aku yang tengah bercerita ria tentang hari itu di telepon sembari mendengarkan lagu harus berhenti setelah ia berkata,

“Ayo putus.”

Iya sesingkat itu namun hal itu yang langsung membuatku terjatuh. Benar-benar jatuh layaknya ditarik oleh sebuah lubang hitam yang ada di bawah kakiku. Ditarik menuju kegelapan abadi. Aku benar-benar membisu, rasanya sangat sulit untuk mengeluarkan sepatah kata.

Terima kasih ya buat 30 hari berkesannya. Terima kasih buat segala cintanya yang kamu beri. Kamu tahu, rasanya aku menjadi seorang ratu ketika bersamamu. Namun kembali lagi, kamu sudah menyerah dengan takdir yang berkata bahwa kita berbeda dan kita tak akan bisa menyatu in the future. Tulisku di Twitter privatku. Jujur, aku yang masih sayang sama dia harus dipaksa mundur dengan sebuah alasan,

Aku sudah terlalu jatuh dalam mencintai Hamba-Nya dan lupa bahwa aku adalah Anak-Nya.

Seketika malam itu aku menjadi setengah gila. Menelepon dengan sahabatku dan bercerita tentang kejadian ini namun dengan mood yang sangat aneh. Satu menit ketawa, dan satu menit kemudian menangis. Ia aku menghabiskan selama dua jam, empat puluh menit, dan satu detik menelepon sahabatku dan bercerita. Aku meracau dan selalu saja menangis lalu tertawa lalu menangis kembali sepanjang telepon. Hingga akhirnya sahabatku memilih untuk tidur dan aku memulai menulis cerita ini.

Iya, cerita Denzel dan Halunya. Tentang seorang bernama Denzel yang selalu berkata bahwa ia adalah jodoh Minju dan Mikasa, sesoang yang sangat mencintaiku, dan seseorang yang hanya bisa sebatas di cintai namun tak bisa dimilikki.

“Natnat, maaf ya ... tapi kita harus mengakhiri kisah ini karena aku tahu. Bahwa sebuah tasbih tidak akan pernah menyatu dengan rosario, dan tangan yang mengadah tidak akan bisa bersanding dengan tangan yang bertaut. Bahwa kita, tidak akan pernah menyatu sampai kapapanpun.”

© hvangrcnjun ; 2021

Dia memutuskan untuk menyerah dalam pergelutannya dengan takdir dan memutuskan untuk keluar dari bahtera untuk pergi ke tujuannya yang lain.


Satu bulan terlalui, canda, tawa, dan segala hal tentang pahitnya tentang hidup telah kami lalui bersama. Namun aku tidak tahu mengapa, aku memiliki perasaan yang aneh dengan hari ini. > nat, makasih ya

makasih buat?

pelukan virtualmu lah, emang kamu kira apaan?

aku kira makasih buat waktunya Kalian ngerasa ada yang janggal sama pesan singkat yang dia kirim? Iya, aku juga saat mengirim pesan itu merasa ada hal yang aneh. Namun aku coba untuk tak memperdulikannya dan melanjutkan kegiatanku yaitu makan kacang di salah satu wedhangan dekat rumah bersama saudaraku.

Namun sayangnya semua mimpi dan pemikiranku terjawab sepulang aku dari wedhangan tersebut. Aku yang tengah bercerita ria tentang hari itu di telepon sembari mendengarkan lagu harus berhenti setelah ia berkata,

“Ayo putus.”

Iya sesingkat itu namun hal itu yang langsung membuatku terjatuh. Benar-benar jatuh layaknya ditarik oleh sebuah lubang hitam yang ada di bawah kakiku. Ditarik menuju kegelapan abadi. Aku benar-benar membisu, rasanya sangat sulit untuk mengeluarkan sepatah kata. > > Terima kasih ya buat 30 hari berkesannya. Terima kasih buat segala cintanya yang kamu beri. Kamu tahu, rasanya aku menjadi seorang ratu ketika bersamamu. Namun kembali lagi, kamu sudah menyerah dengan takdir yang berkata bahwa kita berbeda dan kita tak akan bisa menyatu in the future. Tulisku di Twitter privatku. Jujur, aku yang masih sayang sama dia harus dipaksa mundur dengan sebuah alasan,

Aku sudah terlalu jatuh dalam mencintai Hamba-Nya dan lupa bahwa aku adalah Anak-Nya.

Seketika malam itu aku menjadi setengah gila. Menelepon dengan sahabatku dan bercerita tentang kejadian ini namun dengan mood yang sangat aneh. Satu menit ketawa, dan satu menit kemudian menangis. Ia aku menghabiskan selama dua jam, empat puluh menit, dan satu detik menelepon sahabatku dan bercerita. Aku meracau dan selalu saja menangis lalu tertawa lalu menangis kembali sepanjang telepon. Hingga akhirnya sahabatku memilih untuk tidur dan aku memulai menulis cerita ini.

Iya, cerita Denzel dan Halunya. Tentang seorang bernama Denzel yang selalu berkata bahwa ia adalah jodoh Minju dan Mikasa, sesoang yang sangat mencintaiku, dan seseorang yang hanya bisa sebatas di cintai namun tak bisa dimilikki.

—mono “Natnat, maaf ya ... tapi kita harus mengakhiri kisah ini karena aku tahu. Bahwa sebuah tasbih tidak akan pernah menyatu dengan rosario, dan tangan yang mengadah tidak akan bisa bersanding dengan tangan yang bertaut. Bahwa kita, tidak akan pernah menyatu sampai kapapanpun.”

© hvangrcnjun ; 2021

“Natnat, maaf ya ... tapi kita harus mengakhiri kisah ini karena aku tahu. Bahwa kita tidak akan pernah menyatu,”


Satu bulan yang lalu

“Dek, lu tuh ya, udah gua bilangin jangan capek-capek. Gua tuh ga ada di deket elu. Nanti lu sakit gimana?” omel pria tersebut di balik telepon. Namanya Denzel, teman yang sudah aku anggap layaknya kakak begitupula sebaliknya. Kita dekat karena kesamaan satu hal yaitu sayang Mama dan suka kesel dengan Papa. Iya, Papaku yang semi otoriter dan terlalu protektif kepadaku.

“Bawel lu ah Bang, engap gua ini,” ucapku sembari menempelkan sebotol air mineral dingin di wajahku. Aku kini tengah berada di salah satu mall di kota Solo dan sedang terkapar setelah memaksakan diri untuk mengikuti acara random dance K-Pop yang jujur memancing sedikit gejala asmaku.

“Intinya jangan capek-capek. Lurusin kakinya terus minum,” “Bang, lu inget 'kan gua habis beli novel Dikta & Hukum? Lu tahu, gua juga ngerasa, gua nemuin sosok Dikta versi yang masih hidup di seseorang,” “Siapa?” “Ada deh, tapi Dikta versi gua ini masih sama Aleanya. Sedangkan gua sebagai Nadhiranya justru udah lepas dari Jeno versi gua.” Suara sunyi menyapa telingaku yang menempel dengan telepon tersebut. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan di seberang, namun setelah ini ia bertanya, “Gua boleh ge-er ga?” “Ge-er aja selagi elu di dukung sama yang suka sama elu,” “Maksudnya?” “Gapapa. Lupakan.” Aku langsung berdiri dan menutup panggilan tersebut lalu kembali lagi untuk mengikuti acara yang ada di mall tersebut. Hingga suatu pesan masuk ke teleponku yang isinya adalah

maaf ... tapi gua masih di tengah-tengah, di satu sisi iya gua sayang sama lu, gua nyaman sama lu. tapi, di satu sisi ada Joanne. gua udah sadar kook sama sikap lu yang malam ini agak aneh, tapi gua gamau geer dan ternyata bener dugaan gua.

gua ga ngelarang elu buat suka ke gua karena ya kita sama. tapi gua belum sepenuhnya. gua bilang belum bukan ngga ya.

paham kan adekku sayang?

Iya aku malu buat mengakuinya saat itu bahwa jutaan kupu-kupu telah terbang dari dalam perutku. Mataku yang awalnya mengantuk seketika langsung segar dan lenyap rasa kantuknya.

Kita mulai dekat, hingga akhirnya Denzel mengirim pesan singkat kepadaku sehari setelah kejadian confess singkat terebut.

Joanne ajak gua buat putus

and yeah, gua sepenuhnya buat elu.

Dan aku menerima pernyataan cinta tersebut dan langsung saja menerimanya. Banyak hal harus aku lalui bersamanya selama satu minggu setelah berpacaran. Dari aku yang menerima beberapa teror dan doa agar aku tak bahagia dari saudara mantan, teman yang menjauh karena kecewa denganku, hingga permasalahan kecil lainnya. Namun tetap saja aku mencintainya dan menemukan arti bahagia di dekatnya.

© hvangrcnjun ; 2021

cw // harsh word

“Hai Dhimasta, hari ini seperti biasa ya,” suara suster itu tidak asing di telingaku. Selama satu bulan lebih aku bertemu dengannya terus menerus. Bisa aku bilang, ia yang merawatku selama di rumah sakit ini. Namanya suster Anne. Nama aslinya Anastasya tapi dia lebih sering dipanggil Anne. Dia yang mengurusku terus menerus seperti hal sesepele membenarkan infus yang macet bahkan membantu untuk mengganti kateter yang aku pakai karena sampai sekarang aku belum bisa untuk berpindah sendiri ke atas kursi roda tanpa bantuan Radhit alias berpindah secara mandiri dan ya, ku menghabiskan waktuku dengan tidur dan selalu tidur di atas ranjang ini.

Aku sangat suka ketika suster Anne berkata kepadaku bahwa hari ini adalah jadwalku check up karena di saat itulah aku bisa di pindahkan di atas kursi roda di bantu oleh sebuah alat seperti katrol mungkin, entahlah aku tidak tahu apa itu. Lalu Radhit akan membantu untuk mendorong kursi roda tersebut ke ruangan rontgen untuk melakukan pemeriksaan radiologi dan hasilnya sering diberikan sore hari atau paling lamaadalah keesokan harinya. Tapi aku tidak peduli, yang aku pedulikan adalah mataku yang bisa secara bebas melihat pemandangan yang ada di rumah sakit tersebut.

“Kak, mau jalan-jalan dulu di taman atau langsung ke kamar?” tanya Radhit setelah aku selesai melakukan pemeriksaan radiologi dan pastinya, aku akan memilih untuk menikmati taman terlebih dahulu. Hingga tiba-tiba si kunyuk tiga tersebut datang dari lorong rumah sakit dan pastinya hanya satu orang alay yang berteriak histeris seperti emak-emak yang baru saja menemukan anaknya yang menghilang di pasar malam. Siapa lagi kalau bukan Tristan, Joe, dan Jay. Kalian bisa menebak siapa yang bertingkah heboh. Iya, Jayden yang saat ini heboh dan memelukku erat hingga membuatku merasakan sesak.

“Heh tolol, sahabat lu bisa matilah bego kehabisan nafas,” omel Tristan sembari menabok kepala Jayden menggunakan tangan kosongnya yang ampuh diikuti oleh Joe yang menoyor kepala Jayden.

“Sabar kurang satu lagi buat wakilin si Dhimas,” ucap Joe sembari melepaskan sandal Swallownya dan ia pakai buat memukul kepala Jayden. Sedangkan aku hanya tertawa kecil melihat tingkah mereka karena ya satu, aku masih tidak bisa tertawa lepas akibat rasa sesak ini.

“Gimana check upnya?” tanya Tristan yang hanya aku jawab engan gerdikan bahu. Lalu membiarkan Radhit yang menjelaskan tentang keadaanku yang masih sama saja namun sudah bisa mulai untuk rehabilitasi agar minimal aku bisa berpindah dari ranjang ke kursi roda secara mandiri.

” ... sama itu sih Bang, kalau semisal Kak Dhimas udah ga terlalu rasain sesek udah bisa di lepas aja selang oksigennya,” tutur Radhit yang seperti biasa di sambut oleh sorakan bocah MuLan TiRek alias muka berlian, tingkah gesrek siapa lagi kalau bukan Jayden.

“Tris, Jo, itu si Jay tenggelemin di danau RS aja, malu gua punya temen gesrek kek gini,” ucapku yang seketika membuat Jayden diam dan menurut.

“Oh iya Dhim, gua kan masih punya hutang cerita sama elu. Pas lu udah lepas oksigen ya gua bakal ceritain jalan ceritanya di balik menghilangnya Keith.”

© hvangrcnjun ; 2021

Dua bulan setelah kecelakaan

Aku mengerjapkan kedua kelopak mataku. Sungguh, hanya untuk membuka mata saja rasanya sangat berat. Sayup-sayup ku dengar suara entah apa—yang aku sadari ternyata adalah sebuah monitor jantung—serta suara Bunda yang nampaknya sedang heboh. Tubuhku masih lemas, dan aku tidak bisa berbicara akibat selang sialan ini yang membantuku untuk bernafas harus masuk melalui mulutku.

“Kak, akhirnya kamu siuman,” aku mendengar suara Bunda yang kini tengah menggenggam tangan kananku yang berhiaskan sebuah Oximeter. Aku mencoba untuk mengangkat tangan kiriku dan mengenggam tangan Bunda, mengusapnya serta memperhatikan tangannya.

Selang satu jam, Dokter masuk ke dalam ruanganku dan menyapa Bunda.

“Hai, Adhimasta. Saya cek kamu dulu ya,” ucap sang dokter yang kini tengah menyibakkan bagian bawah selimutku. Lalu mengeluarkan sebuah palu refleks dan mengetuknya di lututku.

Jujur. Aneh. Aku tidak merasakan apapun dan seingatku berdasarkan drama Korea yang sering aku lihat tentang medis, hal itu adalah hal yang buruk.

Betul saja, akibat dari kecelakaan itu, aku harus duduk di kursi roda hingga hari dimana aku menulis cerita ini.

Ⓒ︎ hvangrcnjun ; 2021

“Dan, lu gapapa Dan?” teriak Jay sembari membuka pintu walaupun sedikit mendobrak. Untung saja rumah kali ini kosong dan pembantu di rumah Danny cuti pulang kampung. Sehingga tidak ada kericuhan di rumah Danny.

“Si-si Sel-lena ... d-dia dateng lagi ...” ucap Danny dengan tangannya yang bergetar sembari memegang ponselnya. Iya, selain luka akibat dihajar habis-habisan oleh Arthur, ia juga harus melakukan terapi di psikiater akibat kejadian saat itu dan Alprazolam adalah obat yang selalu ia minum ketika berada di saat ia merasakan ketakutan yang berlebih.

“Udah Dan kalem-kalem ... minum dulu,” ucap Jay yang kini memberikan satu kaplet obat milik Danny dan segelas air putih. Membiarkan temannya untuk meminumnya. Tak lupa juga Jay memutar sebuah lagu berjudul Beautiful milik boygrup Treasure sebagai penenang bagi Danny.

“Urusan mantan lu itu tenang, gua udah bilang bokap gua buat urus penolakannya. Dah tidur sonoh lu njir. Gua izin bajak PS ya. Mau main GTA,” ucap Jay sedangkan Danny memilih untuk tidur agar bisa lupa dengan kehadiran Selena.

“Mama aku pulang,” aku menolehkan kepalaku. Melihat gadis kecilku telah pulang namun dengan pakaian yang kotor dan terdapat sedikit luka kecil di pelipisnya. Aku segera menghampirinya dan melihat gadis kecil yang memiliki rupa yang sama persis denganku.

“Kamu kenapa sayang?” Gadis kecilku mulai bercerita bahwa ia habis menerima bully dari teman satu kelasnya.

” ... mereka juga bilang, aku aneh karena aku selalu berbicara sendiri. Padahal aku lagi dihibur sama Fullsun.”

“Siapa itu Fullsun Abby? Kenapa kamu tidak memperkenalkan ke Mama?”

“Fullsun itu malaikat. Senyumnya secerah matahari, katanya Fullsun juga dulu pernah jadi malaikat pelindung Mama sewaktu remaja.” Tunggu, sepertinya aku kenal itu siapa.

“Ah ... Mama ingat, sini Mama ceritain siapa itu Fullsun.”

**

“Ya! Eric berhenti!!! Tugasku jangan kamu bawa lari,” teriakku kepada seseorang. Dia pembullyku yang selalu menghalalkan segala cara untuk membuatku menangis salah satunya adalah tingkahnya kali ini. Namun sayangnya Eric jatuh tersungkur di lorong sekolah akibat tersandung kaki seorang pria.

“Ups sorry, gua ga sengaja.” Pria itu mengambil tugas milikku dan menghampiriku.

“Hai, jangan pernah mau dibully sama anak yang otaknya kaya bocah SD. Salam kenal, gua Haikal mau manggil Ikal juga boleh.” Ia mengulurkan tangannya dan aku membalas salamannya.

Mulai dari situ aku makin dekat dengan Haikal, bocah yang punya seribu cara membuatku bahagia dan terkadang sampai rela mengajak pembullyku untuk bertengkar dan saling adu pukul di lapangan sekolah. Hingga aku memasuki bangku SMA.

“Riakkk, gua pamit ya ... mau rayain kelulusan naik gunung Lawu. Sekalian mau adu sunshine.” Aku tertawa mendengar ucapannya yang hendak adu dengan matahari.

“Gua pasti ga boleh ikut.” Dia menganggukan kepalanya. Katanya anak manis ga boleh naik gunung karena takut disruduk sama babi hutan. Aneh bukan? Tapi itulah Haikal.

Namun keesokan harinya aku mendengar kabar bahwa Haikal telah tersesat dan selang beberapa jam kemudian, sebuah berita tiba bahwa sebuah jasad ditemukan dan itu Haikal.

Aku yang menangis sesenggukan setelah mendengar kabar itu, kini sedang membuka buku jurnal milik Haikal. Menemukan sebuah kalung dengan liontin sebuah batu berwarna ungu gelap. Aku membuka catatan di baliknya.

Ria, lu tau ... gua jatuh cinta sama elu pas awal pertemuan kita, lu tuh unik banget. Mau jadi tameng buat orang yang kena bully di kala diri elu ga bisa ngelindungin diri elu sendiri. Kalau lu baca tulisan ini berarti gua udah ga ada ya? Kan gua paling antipati ngasih liat buku jurnal ini ke siapapun termasuk elu. Nih kalungnya gua kasih ke elu. Itu kalung saksi bisu bokap gua nyatain perasaannya ke nyokap. Batunya tuh seinget gua batu dari pecahan komet atau apaan ya? Lupa gua. Pakai aja ya, gua bakal selalu lindungin elu walaupun gua ga ada melalui kalung itu.

** Aku memegang kalung pemberian Haikal yang kini dikenakan oleh Abby.

“Iya, malaikat Fullsun itu dulu malaikat yang Mama sayangi namanya Haikal. Kadang Mama panggil dia Ikal terkadang juga Mama panggil Echan.” Aku menghela nafas pelan untuk mengurangi rasa pedih di diri ini. Aku melihat kalender yang ternyata telah menunjukkan tanggal 6 April dan aku tersenyum.

“Haikal, terima kasih ya selalu jadi malaikat dan selamat ulang tahun juga. Ria kangen sama kamu.”

Ⓒ︎ hvangrcnjun ; 2021

Kaithleen POV “Tumbenan lu ke sini? Biasanya gua suruh ke rumah ogah,” ucapku sembari menuruni satu persatu anak tangga. Membuat Dhimasta menoleh dan Bunda menghampiriku lalu memukul pundakku pelan.

“Dasar ini anak di datengin doinya malah galak,” “Ihhh Bun ... jangan cepu ihhhh,” gerutuku. Sedangkan Dhimasta tanpa dosanya terkekeh. Belum juga aku slepet pakai sandal, tapi jangan deh ... aku masih sayang sama doi hehehehe

“Bun, Dhimas izin ajak Kaith dulu ya,” ucap Dhimasta sembari pamit kepada Bunda. Aku ikut pamit ke Bunda dan keluar rumah lalu menyebrangi jalan komplek menuju rumahnya.

“Pakai dulu ini, kepala lu ntar benjol ga lucu.” Dhimas memakaikan helm kepadaku. Membuatku salah tingkah dan lagi, Dhimasta hanya terkekeh yang justru membuatku kesal kepadanya.

“Jangan kesel gitu, lu lucu kalau kaya gitu. Jadi keinget sama foto ini,” ucap Dhimasta sembari menujukkan layar ponselnya. Terpampang jelas mukaku di saat classmeeting. Aku teringat itu adalah mukaku yang kesal karena tak kunjung menemukan Dhimasta.

“Ihhhh kok lu simpen! Hapus ga?!” “Ga dulu deh, nanti gua hapus. Kalau lu mau jawab pertanyaan gua.”

Aku hanya menurut. Menaiki motor Vespanya dan pergi entah kemana.

**

“Kaith, inget tempat ini?” Dhimas memberhentikan laju Vespanya. Membuatku terdiam dan menatap ke sekeliling tempat itu. Sebuah bangunan usang bekas Taman Kanak-kanak, aku masih ingat hal itu karena di sinilah tempat di mana aku mengenal Dhimasta dan menjadi teman.

“Yaudah turun dulu. Kita muter-muter dulu,” ucapnya sembari melepas helm. Aku ikut melepas helm dan turun dari motor, lalu mengikuti langkah kakinya memasuki bangunan itu.

“Kaith,” panggilnya. Aku menoleh menatapnya. Kini ia tengah menatap sebuah lemari kayu tua yang sudah reyot termakan usia. Aku mendekatinya dan melihat sebuah ukiran tulisan yang sudah mulai pudar.

Cita-citaku besok adalah menjadi pacar Kaithleen

“Itu tulisan gua 12 tahun lalu. Gua udah jatuh cinta sama elu dari pertemuan pertama kita di sini. Gua kira semakin gede gua bakal suka sama orang lain dan bakal ngira kalau cinta ke elu itu cuma cinta monyet. Tapi nyatanya gua salah. Gua masih jatuh cinta sama elu. Jadi, Kaithleen Cantika ...” Ia menghadap kepadaku lalu mengenggam tanganku.

”... mau ga wujudin cita-cita gua 12 tahun lalu?”

Ⓒ︎ hvangrcnjun ; 2021

Danny POV Satu tahun yang lalu

“Daniel, sini kamu dicari sama om Wijaya.” Gua yang lagi asyik bermain playstation segera turun ke ruang tamu dan di sana terdapat om dan tante Wijaya, bokap dan nyokap Jayden. Tapi gua tidak melihat si kunyuk satu itu.

“Lah Om, Jayden mana? Tumben ga dateng,” tanya gua terheran-heran.

“Nah itu nak Daniel yang saya bahas sama Papa kamu. Jadi Jayden tadi niatnya mau Om jodohkan sama anak kolega Om, tapi gatau dia tadi kabur. Om kira ke rumahmu ternyata ga ada. Jadi Om sekalian deh minta izin sama Papa kamu supaya kamu dijodohkan sama Selena ya?” Gua kaget. Gila kali gua baru mau kelas dua belas tiba-tiba di jodohin sama Om sendiri ke koleganya. Rasa gua mau narik Jay menggebu-gebu. Pengen aja gitu gua ke basecamp biasanya dia kabur dan nimpukin dia. Namun apa daya, gua cuma bisa nerima apa yang mereka mau.

Gua berangkat dan ketemu dengan Selena. Dia perempuan yang menurut gua unik. Gua sama Jay udah sering banget dijodohin sama bonyok kita. Beberapa perjodohan itu kita tolak karena sifat perempuannya yang terlalu matre. Bisa dibilang hampir semua perempuan yang dijodohin ke kita itu rich digger. Namun, saat gua bertemu dengan Selena, gua merasa beda aja gitu.

Selama satu bulan kita berhubungan. Pertamanya Selena pacaran sama gua itu karena terpaksa, soalnya Selena masih punya pacar namanya Arthur, saingan gua di sekolah. Sampai suatu saat, mimpi buruk dateng ke gua.

Arthur mergokin gua jalan sama Selena. Dia marah dan pukulin gua sampai gua ga sadarin diri dan berakhir gua dirawat di rumah sakit selama satu bulan. Arthur putus sama Selena dan Selena secara sepihak batalin perjodohan ini. Gua patah hati malem-malem di rumah sakit, Jay selalu aja nemenin gua melewati malam penuh galau itu dengan membawa playstation punya gua buat dimainin di sana. Bokap yang tau gua dikeroyok habis-habisan sama Arthur justru lapor ke sekolah dan memutuskan buat pindahin sekolah gua.

Gua yang tau gua bakal di pindahin, dan gua tau kalau nasib gua bakal kaya di sekolah sebelumnya yaitu bakal di deketin sama gold digger, memaksa buat bokap masukin gua ke sekolah tempat Jay. Setidaknya gua bisa punya temen lah.

Gua bukan ga suka perempuan. Tapi gua lagi ngobatin diri gua sendiri dari luka yang kemarin. Gua masih sesayang itu sama Selena. Tapi justru gua harus ngerasain kepahitan dan sedikit anyir gara-gara ditimpuk sama Arthur.

Ⓒ︎ hvangrcnjun ; 2021

“Daniel sini!” teriak Jay ketika Danny memasuki kantin SMA Permata. Danny menghampiri Jay dengan tatapan yang bingung.

Hingga akhirnya Jay menunjukkan ponselnya yang terpampang jelas cuitan dari base sekolah.

“Baca isi chat gua. Lu udah gua pesenin bakso tadi.” Danny duduk di sebelah Jay, masih shock saat mengetahui bahwa ia tidak mengenakan kacamata sama sekali. Ia masih memikirkan di mana kacamatanya terjatuh karena ia sangat ingat bahwa kacamata itu sangat mahal.

“Udah El, makan dulu gih,” ucap Jayden.

Ⓒ︎ hvangrcnjun ; 2021