“Doni bajingan!” Aku meluapkan seluruh kekesalanku, melayangkan satu persatu pukulan ke sebuah samsak hitam yang tak berdosa ini. Tak ku rasa, jarum jam mulai menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Hingga kaos hitam yang ku kenakan untuk bergulat dengan hujan mulai mengering seturut tubuhku yang mulai berkeringat.
Aku kesal. Aku sangat-sangat kecewa. Mengapa mereka melakukan hal itu setelah aku mulai percaya? Mengapa Resa melakukan itu ketika aku mulai menaruh hati seutuhnya?
Suara ketukan pintu membuatku berhenti, hingga suara seorang wanita menarik atensiku.
“Mas Mahes, maaf Bi Jum mengganggu.”
“Kenapa Bi?”
“Ini teman Mas Mahes dateng.” Aku menghela napas, menyibakkan rambut yang menutupi dahi, dan berjalan keluar kamar.
“Siapa Bi?”
“Itu ... Mas Jamal.” Astaga, aku lupa kalau hari ini kita telah membuat janji untuk membahas acara kita besok. Aku segera menuruni satu persatu anak tangga dengan cepat hingga iris mataku terkunci kepada seorang pemuda dengan aroma parfum Jo Malone yang sangat mengumbar. Aku sangat mengenali parfum itu karena akulah dalang yang memperkenalkan aroma Wood Sage & Sea Salt yang menjadi ciri khas pria berlesung pipi itu.
“Lo habis ada masalah sama Doni ya?” Aku hanya diam. Rasa kekesalanku kepada pemuda berwajah bule itu masih membara. Takut saja kalau aku akan kelepasan memukul Jamal hanya karena nama Doni.
“Diam gue anggap, iya. Untung semalem gue gak jadi ajak Doni, intinya gitu. Tapi kabar yang harus gue kasih tahu saat ini adalah, besok jam delapan, kita harus kumpul di basecamp Selo. Ini barang gue yang gue titip dulu. Kostan gue gak cukup soalnya.”
“Buset? Ini seriusan? Nanti naik mobil saya kan?”
“Ya kali gue naik motor dari Semarang ke Selo. Lo gila kah? Mana bawa tenda lagi. Ya mending gue tektok aja ngejar sunset turun kalo gak tengah malem ya pagi.” Aku tertawa, dan langsung mengiyakan perkataan Jamal.
“Iya, besok saya siapkan mobilnya. Tapi omong-omong, saya jadi ingat satu hal. flysheet saya kemana?” Mataku kini menatap Jamal yang menepuk dahi lalu meminta maaf karena flysheet berwarna merah muda kepunyaanku masih tertinggal di kostan miliknya.
“Gak pa-pa, santai saja. Besok mending bawakan hammock saya. Gak kamu bawa kan hammock saya?”
“Iya kaga. Udah deh, gue balik dulu. Belom nyetok Indomie gue buat konsumsi di sana.” Aku mengacungkan ibu jari dan melambaikan tangan kepada Jamal yang kini menjauh dengan motor vespa miliknya.
Rasa sepi ini kembali menyeruak ke dalam ragaku, aku rindu ketika aku merasakan ini, aku selalu membuka ponsel dan menghubungi Resa untuk sekedar bertukar cerita atau mendengarkan lagu Taylor Swift yang gadis itu putar.
“Mandi saja deh, habis itu packing baru tidur,” ucapku dan langsung merenggangkan tubuh lalu berjalan mengambil handuk untuk bersiap membersihkan diri.
“Berani tektok kaga?” Kini kami berada di jalur pendakian gunung Merbabu, bersiap untuk menjajal medan area untuk melihat bagaimana keindahan ciptaan Tuhan yang sangat hebat.
“Ya kamu gila? Saya mana sanggup tektok. Mau saya tewas di gunung karena napas habis untuk mengejar sunset di puncak?” Begitulah omelan yang terlontar dari bibirku, membuat pemuda di depanku ini tertawa sejadi-jadinya.
“Ya sudah bentar, gue mau urus administrasi. Siniin KTP lo. Biar bisa dicatet namanya.” Aku merogoh kantung celana, mengeluarkan sebuah dompet dan mengambil kartu biru yang berisikan identitasku.
“Oke tunggu.” Jamal meninggalkanku, sedangkan aku kini menurunkan carrier sepuluh liter yang sedari tadi aku gendong dan mulai duduk di salah satu bangku. Aku membuka tas tersebut dan menemukannya,
sebuah novel yang masih apik di dalam plastik pelindungnya. Sebuah buku hijau yang membuka tabir hubungan semuku dengan Resa.
“Ayo, buruan.” Jamal meraih tas enam puluh lima liter yang ia agung-agungkan itu dan mulai menaiki satu persatu tangga untuk mendaki.
Entah mengapa, seluruh keresahanku yang merekah ini mulai mereda ketika mataku yang tak habis-habisnya disuguhi nikmat Tuhan yang sangat luar biasa. Aku kini berjalan menyusuri jalur pendakian, mengikuti tanda serta kata hati. Membelah hutan yang selalu berusaha menyembunyikan cahaya matahari.
“Kita melangkah, susuri hutan berdua.” Jamal bersenandung, membawakan lagu milik Fiersa Besari yang bertajuk Sepasang Mendaki.
“Tapi saya bukan pacar kamu, Jamal.”
“Berisik deh. Gue lagi menghayati nikmatnya lagu itu.”
Aku berjalan, hingga tak terasa kami telah mencapai pos lima. Sebuah pos di ketinggian sekitar 2.800-2.900 meter di atas permukaan laut yang terkenal karena menunjukkan bagamana keindahan sunset serta deretan bintang yang sangat indah. Maralu tak habis-habisnya menatap betapa luasnya sabana yang beradu dengan indahnya langit jingga.
“Bantuin gue kek, Hes. Lo mau gitu tidur beralaskan bumi beratapkan langit? Gue sih ogah.”
“Iya sabar kenapa? Saya mau keluarin kompor buat masak.”
“Eh mau masak? Gue mending berdiriin tenda sendiri deh. Lo aja yang masak.” Aku melayangkan tatapan kesal kepada sahabatku itu dan kini aku mulai mengeluarkan kompor serta merakitnya.
Setelah aku mulai mendidihkan air, aku meraih buku hijau yang tadi aku bawa, mulai membukanya dan membaca tiap lembar dari buku itu.
“Pantas saja, Resa tidak mau sama saya. Dia maunya modelan Hilmy, dan dia menemukannya di Doni.” Aku menutup buku itu dan mulai memasak makanan untuk kami santap sembari melihat satu persatu rasi bintang yang tergantung di cakrawala.