hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Sebuah ketukan antara spidol dengan permukaan papan tulis membuat kedelapan pemuda itu kembali ke dunia mereka. Arga, Hendrian, Arjuna, Renjana, Madava, Naufaludin, Bagaswara, Chesna, serta Rajiza secara serempak memindahkan atensi mereka kepada gadis dua puluh tahun yang kini melipat tangan.

“Kalau ada yang ngantuk, cuci muka. Gue tahu, kalian semalem lembur yang bikin makalah lah, bikin lagu, desain sampul, apalah. Gue mau kalian fokus ke sini.” Margareth membuka tutup spidol dan mulai melingkari sebuah judul,

Bumilangit New Year Fest

“Konser gitu?” tanya Arjuna yang di jawab dengan acungan ibu jari Margareth.

“Iya, Papi besar meminta kita untuk mempersiapkan sebuah event akhir tahun. Festival musik.” Euforia bergejolak, kesembilan bujang itu saling berselebrasi karena akhirnya mereka akan merasakan panggung musik milik mereka. Bukan hanya panggung musik yang selalu mengundang mereka.

“Gue mau, kalian buat desain. Mau kayak gimana. Buat jadi proposal dan kasih ke gue. Biar nanti gue kasih ke Papi besar.”

“Siap laksanakan, Mami cantik!” jawab mereka serempak.

Jiza menarik tubuh Margareth untuk masuk ke gudang penyimpanan alat. Wanita itu terus memberontak dan akhirnya membuat Arga membungkam mulutnya.

“Mami, diem dulu please. Kita lagi telepon Papanya Chesna.”

Tepat di pukul dua belas, suara pintu terbuka dengan sangat ngeri bagaikan film horor yang sering mereka lihat di malam minggu. Membuat kedelapan pemuda berserta Margareth terdiam dan memasang telinga. Namun, hanya kesunyian dan suara jangkrik yang menjawab seluruh pertanyaan mereka.

“Gue mau cek du—” Baru saja Aheng hendak membuka pintu, suara tangisan terdengar dengan sangat jelas. Membuat mereka heran dan melihat jam tangan.

“Ini Papanya Chesna mana sih?”

“Ya udah, kita keluar aja dulu. Sumpek ini bray,” protes Bagas yang membuat mereka mulai keluar dan menyelaraskan nada slendro dan pelog mereka dengan nyanyian selamat ulang tahun.

Di sana, terdapat Seli, Margareth, dan Luci yang merekam kejutan ini.

“Lu pada gak lucu sih anjing,” umpat Chesna yang masih mengusap air matanya kasar. Lilin yang ada di ponsel Aheng telah padam dan kini mereka tengah memeluk Chesna yang setia menangis. Entah apa yang Chesna alami sebelumnya, namun pemuda itu masih menangis.

“Lo tadi kenapa deh, Ches?” tanya Arjuna yang membuat seluruh mata menatap Chesna.

“Bokap gua tadi bilang ke gua. Minta maaf dia gak bisa dateng karena ada urusan. Terus, dia suruh gua buka akun bank. Dia ngasih gua lima juta buat makan-makan.”

“Terus lo nangis kenapa?” timpal Jiza.

“Dia bilang i love you.” Sorakan memenuhi ruangan, siapa lagi kalau bukan dari Trio Icikiwir, Aheng, Arjun, dan Bagas. Yang alhasil membuat Jiza dan Arga berusaha untuk menenangkan euforia yang berbahagia itu.

“Akhirnya ya bray penantian berapa tahun lo?”

“Empat tahun.”

“Ya udah cari kafe yang buka dua puluh empat jam yok. Kita nongkrong di sana aja.” Arga merangkul seluruh sahabatnya dan mengajak mereka keluar untuk melanjutkan ulang tahun mereka hingga pagi hari.

“Nih buat lo. Dari Seli.” Chesna memberikan minuman dan buku catatan kepada sahabatnya. Lalu, pemuda berwajah oriental itu langsung duduk di sebelah Jiza.

“Lu kenapa pake alesan terapi sih? Terapi apaan? Ter-api-api maksud lu?” Jiza menggeleng, membuka botol air mineral dan meneguknya hingga tersisa setengah. Pemuda itu masih memikirkan apa yang terjadi kepada dirinya setelah keluar dari rumah sakit.

“Lu juga kenapa semingguan ini juga ngehindar dari Seli? Kalau lu gamau Seli....” Chesna mendekatkan bibir ke telinga Jiza.

”...mending buat gua aja.” Chesna menatap wajah Jiza dan tersenyum miring. Membuat sebuah bogeman mentah mendarat begitu saja ke pelipis Chesna, mencetak warna ungu kebiruan yang sangat jelas.

Chesna berusaha mendorong tubuh Jiza, mengamankan pemuda yang tengah mudah tersulut emosi seperti api yang terkena gas ke dinding putih kediamannya.

“Santai! Gua cuman bercanda! Gua juga udah di friend-zone sama Seli.”

“Bilang aja kalau lo tuh masih ngarepin Seli! Bilang aja.”

“Lu tuh ya, emang perlu gua jewer.” Chesna menarik daun telinga Jiza yang alhasil membuat pemuda bertubuh jangkung itu berteriak kesakitan serta memohon ampun.

“Makanya, jadi orang gak usah kesulut emosi. Heran gua sama lu,” omel Chesna yang membuat Jiza tidak bisa berkata apa-apa, tak berkutik sama sekali, atau dengan kata lain pemuda itu tengah kicep dengan semua omelan Chesna.

“Pipi lo gak pa-pa kan, Ches?”

“Lupain pipi gua. Bokap lebih parah dari ini. Jadi, gua mau nanya sama lu. Lu kenapa masih setia banget ngehindarin Seli bulan-bulan ini? Katanya lu sama Seli pacaran? Atau udahan nih?” Jiza mendongak, mencoba untuk memberi tahu seluruh kisahnya dari netra mata yang saling beradu.

“Gua gak bisa baca pikiran lu, Rajiza Agaye. Lu kira gua Om Deddy?” Merasa dirinya skak mat, membuat Jiza mulai berbicara dan bercerita alasannya yang menghindari Marselia.

“Jadi gitu, Ches. Gue kemarin ngira kalau gue emang bener-bener pacaran sama Seli. Tapi, Seli bilang kalau gue cuma mimpi selama koma. Dan dia juga mimpiin itu.” Chesna tertawa, menepuk bahu Jiza sembari memegangi perutnya yang sedikit kram karena tertawa terlalu kencang layaknya lumba-lumba.

“Jizaaa, Jizaaa. Gua harus bilang apa ke elu? Lu tuh cuman ada satu hal yang bisa gua deskripsiin.”

“Apaan tuh?”

“Goblok!” Chesna menoyor kepala Jiza layaknya emak-emak yang tengah memarahi putranya sambil memaki. Bagaimana tidak kesal? Jiza hanya bergelut dengan keraguannya dan membiarkan Seli dengan perasaan serta status yang tidak jelas.

“Tapi sebenarnya gue udah nembak pas di rumah sakit dulu. Tapi kayaknya kurang romantis.”

“Ya udah! Ulang! Sekarang, lu telepon Seli. Ajak jalan!” Jiza di dorong masuk ke kamar oleh Chesna. Minimal mempersiapkan diri dengan berganti baju dan sedikit mengaplikasikan pomade.

Jiza menutup pintu, tubuhnya masih menempel di belakang pintu—yang penuh dengan baju tergantung miliknya—namun, pikirannya melayang bebas memenuhi angkasa raya.

Pemuda itu membuka ponsel, mencari kontak milik Seli. Butuh waktu lama pemuda itu mengumpulkan tekad serta nyali, lalu menekan tombol panggil dan disambut dengan suara khas gadis yang memenuh pikirannya.

“Iya halo? Katanya terapi?”

“Gue mau bicara, boleh? Tempatnya gue bagiin di chat.”

“Sayang, lagi lihatin apa kamu?” Abimanyu bertengger di daun pintu, kedua tangannya menompang tubuh agar tidak terhuyung ke depan. Tidak lucu jikalau harga diri yang telah ia bangun sejauh ini harus rusak begitu saja karena ia yang terjatuh begitu saja.

“Oh ini. Suratmu, Mas.” Kirana tertawa kecil. Membuat pria itu menghampiri istrinya untuk sekedar mencari tahu aib apa yang telah ia perbuat. Menatap sebuah kertas buffalo berwarna putih ukuran kuarto. Nampak sangat jelas, tulisan latin tegak bersambung miliknya yang tegas dan berisikan ucapan selamat ulang tahun kepada Kirana.

Selamat ulang tahun kasihku, Kirana Candela Viviandra. Semoga kamu selalu bahagia, dan Mas selalu mencintaimu.

“Mas selalu mencintaimu,” ejek Kirana sembari tersenyum. Membuat pria itu berdeham dan melipat tangannya di depan bahu.

“Kamu tidak tahu? Itu saya membuat satu surat sampai pukul dua dini hari. Kamu tahu adik saya Andy? Tanya dia. Dia yang saya ganggu tidurnya.” Kirana tergelak hingga akhirnya tangan Abimanyu turun dan menggelitiki pinggul sang istri hingga menggeliat geli.

“Hahaha, udah dong! Geli. Mas Abi!”

“Makan nih hukumannya karena kamu menertawakan saya.”

Abimanyu membuka satu persatu tumpukan buku, lalu berpindah ke rak kamar dan kembali ke ruang TV untuk mencari sesuatu di laci bawah televisi.

Kirana yang melihat itu hanyalah bertanya, dan menghampiri suaminya itu.

“Mas cariin apa?”

“Kunci motor Alexander di mana?”

“Loh bukannya kemarin kamu pake buat manasin Alexander keliling komplek?” Abimanyu menatap Kirana sinis, seakan-akan pria itu dituduh yang menghilangkan motor pertama mereka.

“Saya gak pernah pakai. Kan saya naik mobil terus.” Abimanyu mengelak dan membuat Kirana hanya tersenyum. Tahu bahwa suaminya akan mengelak dan merasa benar atas semua tutur kata yang ia ucapkan.

“Kalau aku yang pakai ya pasti di belakang pintu, Mas. Aku selalu gantungin di situ kunci motornya.”

“Ini bukan biasanya.” Kirana yang kini ikutan emosi justru memilih untuk kembali ke dapur, menyiapkan makanan untuk kedua anaknya yang masih berada di sekolah. Membiarkan sang suami yang mengacak-acak lemari dengan penuh kekesalan sebab kunci motor yang hilang.

Fransiska melempar tubuh di atas ranjang empuk miliknya. Gadis itu merasakan lelah yang berlebih setelah menghabiskan satu hari berkendara dari kota tempatnya bekerja, Kota Kembang, Bandung.

“Dek, kamu gak mau nikah sama anaknya Pak Cipto? Cakep loh anaknya. Belum pernah punya pacar.”

Red flag pertama, gak pernah pacaran. Antara dia emang gak mau pacaran, atau gak ada gadis yang mau pacaran sama dia.

“Terus Mami mau aku gimana? Aku juga habis putus sama Andrew. Masa pacaran lagi? Capek aku.” Wanita itu memukul pelan paha sang putri dan meminta gadis itu setidaknya berpacaran dengan pria yang ia ceritakan.

“Iya, iya nanti aku coba. Mau tidur dulu. Capek.” Fransiska memejamkan mata, berusaha untuk terlelap namun nihil. Otak gadis itu masih memikirkan ucapan wanita yang ia panggil Mami.

Gadis itu bangkit, menemukan secarik kertas berisikan nama dan nomor telepon seseorang.

Liang 0271-XXXX-XXX

“Koh Liang? Huft. Oke deh.” Gadis itu berjalan keluar rumah, menuju salah satu bilik telepon yang ada di dekat rumah dan mencoba untuk menekan satu persatu nomor, lalu menghubunginya.

“Halo? Siapa ini?” Suara serak menyambut telinga Fransiska. Membuat gadis itu langsung berdiri tegap dengan jemari yang setia bermain dengan kabel telepon.

“Siska. Anaknya Pak Waluyo.”

“Oh, lagi di Solo?” Fransiska hanya mengangguk. Walaupun sebenarnya hanya Tuhan dan dirinya yang tahu jawaban itu.

“Iya, Koh. Tapi aku bisa minta tolong?”

“Tolong apa?” Suara itu sedikit melunak, walaupun Fransiska masih mendengar bahwa kekakuan masih nampak jelas di setiap tuturnya.

“Aku mau ke rumah teman di Sragen. Bisa tolong antarkan?” Pemuda itu bersedia dan menyuruh gadis itu mengatur tanggal dan waktu.

“Besok jam sepuluh pagi.”

Keesokan paginya gadis itu telah bersiap dengan tampilan khasnya, rambut yang dikuncir setengah, kaos oblong berwarna putih dengan lengan yang sedikit tergulung, serta celana jeans pendek. Gadis itu menunggu di serambi rumah, menantikan kehadiran seorang pria keturunan china seperti yang Maminya ceritakan. Namun ketika ia melihat jam yang telah menunjukkan pukul sepuluhpun tak nampak satupun orang yang ia di deskripsikan sang Mami.

Red flag kedua. Dia sepertinya hanya main-main.

Fransiska langsung berjalan keluar rumah, berniat untuk mencegat sebuah bus untuk ke Sragen. Gadis itu langsung berlalu begitu saja ke Sragen tanpa menghubungi pria itu.


“Terus-terus Mama gimana ceritanya bisa nikah sama Papa? Bukannya Mama udah gak peduliin Papa?” tanyaku yang penasaran dengan cerita Mama tentang kisah percintaannya.

“Oh itu Papa kan gak tahu kalau Mama setiap akhir minggu selalu pulang Solo. Sampai akhirnya Papa tahunya pas nikahan tante. Hari itu juga Papa kamu lamar Mama.”

“Gimana lamarnya?” Wanita itu melambaikan tangan dan melanjutkan cerita.

“Cukup buruk. Puncak red flag itu. Dia nembak Mama posisi lagi mabuk. Bayangin saja, Papa dari Solo kota, ke Palur naik motor posisi mabuk.” Aku tertawa, tak percaya bahwa Papaku senekat itu untuk menyatakan perasaannya. Bertepatan dengan seorang pria yang muncul di daun pintu dengan badan yang sedikit basah setelah kehujanan.

“Nah itu Koh Liang yang ditungguin buat ke Sragen baru datang,” sindirku kepada Papa.

“Loh, Papa itu gak tahu di mana Sragen.”

“Wonogiri aja tahu, masa Sragen enggak.” Mama ikut menyindir fan membuatku tertawa karena Papa yang terus menerus mengelak dari kesalahan masa lalunya.

Begitulah, kisah Fransiska yang menikahi pria dengan penuh red flag bernam Liang. Sejujurnya, Mama pernah cerita alasan Papa yang tak pernah memiliki satu kekasih. Karena pria itu setia menunggu Mama sembari mengejar-ngejar nenek untuk menjodohkan Mama dengannya. Cukup lucu bukan?

I don't know why, when I wrote my Astronomy novel, i'm always thinking about you. Terkadang aku suka bingung saja, mengapa semesta ini mempertemukan kita dengan sangat lucu.

Memang, aku tak memiliki satupun kekasih. Namun kamu sukses mengambil seluruh atensiku, aku suka coretan kelincimu ketika aku bosan, aku suka bagaimana rekomendasi lagumu yang membuatku tak berhenti memutarnya.

Hal kecil darimu sungguh membuat perhatianku tercuri sedikit demi sedikit. Aku lalu mulai mencari tahu lebih dalam tentangmu. Kamu tahu, ketika aku tahu bulan kelahiranmu. Aku sangat ingin menjadi bintang Kullat-Nunu yang menerangi sepanjang bulan kelahiranmu.

Kamulah, gadis Oktober yang telah diciptakan untuk pria pises ini. Dan aku ingin menjadi bintang ter-terang, baik di bulan kelahiranmu, maupun di hari-harimu.

So, Oktaviana Karisma. Aku gak mau kita cuma temenan atau pacaran doang, will you marry me dan menjadi objek tulisanku untuk selamanya?

Lagu Conan Gray yang bertajuk Astronomy terputar memenuh ruangan berwarna kelabu dengan aksen kayu yang sangat minimalis. Aroma Marlboro merah yang membumbung dari pemuda berambut hitam sedikit panjang itu beradu dengan aroma tubuhnya yang cenderung seperti mawar dan leci. Aroma manis yang tak pernah di tebak dari seorang Arlo Karkata.

Sangat lucu, bahwa nama belakang pria yang kini tengah bergelut dengan rangkaian kata ini tak sesuai dengan zodiaknya yang tak lain dan tak bukan adalah pises. Pemuda itu pernah satu kali protes kepada sang Bunda mengapa ia diberi nama Karkata yang berartikan scorpio namun sia-sia karena wanita itu tak peduli dengan omelan khas pemuda itu.

“Telepon siapa ya ....” Arlo menyandarkan punggungnya yang sedari tadi tegang. Menatap kursor yang setia berkedip tak kunjung menambahkan atau mengurangi kata. Otak pemuda itu mulai panas dan rasanya sedikit berasap seperti sigaret yang terselip di jemari kirinya.

Tulisan itu menggambarkan perasaannya kepada seseorang gadis Oktober yang ia temui saat liburan di Bali. Gadis asal Jakarta yang menetap dan bekerja di Bali sebagai pemandu wisata.

Arlo meraih ponselnya, lalu menghubungi sang gadis Oktober yang ia ceritakan baru saja.

“Hai? Maaf banget Arlo, gue sibuk ngurusin tamu dari Aussie. It's okay?” Suara gadis sangatlah lembut, sampai beberapa kali Arlo suka mengira bahwa ia menelepon nomor yang salah.

“Gapapa, gue cuma mau nanya. Lo ada waktu luang gak? Gue mau ajak ketemuan lo di Beach Walk. Gue mau bicara sesuatu.”

“Oh nanti sore aja, gue udah selesai yang mandu wisata. Kalau mau sambil lihat sunset juga.” Arlo memikirkan tawaran itu dan mengiyakan. Kapan lagi ia dan Okta bisa bertemu setelah bergelut dengan kesibukannya masing-masing.

Arlo teringat sesuatu, ia harus membuat sesuatu untuk memberikan kejutan kepada Okta. Pemuda itu kembali membuka laptopnya, mengetikkan suatu alamat laman di bar pencarian dan membukanya. Pemuda itu sangat lihai mengetikkan setiap aksara dan menciptakan sebuah paragraf penuh cinta dan rasa. Mungkin karena ia sudah sangat sering bergelut dengan puisi ciptaan Khalil Gibran atau milik Tere Liye, pemuda itu sangat teliti dan cermat dalam pemilihan diksi agar tak membuat gadis itu kesulitan dalam memahami.

“Okey selesai.” Pemuda itu menenggelamkan rokok di dalam abu, membiarkan bara api itu padam di antara puntung dan abu di asbak kaca itu. Lalu tersenyum sembari menatap setiap untaian kata yang telah ia ciptakan sebelum ia menekan tombol publish.


Sorry, Ar. Tadi molor soalnya gara-gara tamunya minta mampir di Joger.” Arlo menatap gadis yang memakai kebaya dan rambut tercepol itu sembari tersenyum. Pemuda itu menghembuskan asap rokok jauh dari Okta dan gadis itu mulai duduk di depannya.

“Jadi mau bilang apa, Ar?” Arlo menyodorkan sebuah tampilan link. Meminta sang gadis untuk membukanya.

https://write.as/d0i3p09cq3mvw22j.md

“Arlo ... are you serious?” Arlo hanya mengangguk dan mengeluarkan sebuah gelang emas putih yang sangat sederhana, menarik lengan sang gadis dan mengenakannya.

“Maaf kalau gue gantungin elo tanpa kejelasan. Maaf kemarin gue gak bisa anterin elo ke rumah temen lo yang di Gianyar. Karena jujur, gue cuma hapal Denpasar doang. Kalau disuruh luar sana, gue takut kesasar.” Oktavia tertawa, dan bangkit untuk memeluk tubuh Arlo.

“Kan gue tour guide, sayang. Ngapain takut kesasar?”

“Ya sudah, caranya biar gak kesasar di hatimu gimana? Aku butuh caranya.”

Terkadang, dunia itu lucu. Mempertemukan kita yang sama-sama tidak kenal, membuat kita mendekat dan nyaman, untuk pada akhirnya dipisahkan untuk selama-lamanya.


“Dika, lagi ngapain?” Suara lembut itu menyapa lembut indra pendengaranku, membawakan seluruh perasaan hangat yang bergejolak di dalam dadaku.

“Kok wajah kamu babak belur gini sih? Kamu habis berantem sama siapa? Ayo cerita sama aku.” Gadis bersurai hitam panjang itu tak henti-hentinya memandangi wajahku yang penuh luka memar sembari bibirnya yang terus menerus melemparkan pertanyaan. Wajah Sekala memanglah biasa saja, namun entah mengapa aku menyukai gadis itu dan sangat mencintainya dengan sepenuh hati.

“Enggak berantem kok. Cuman jatuh tadi.” Bohong. Aku sengaja berbohong kepada gadis itu karena aku tak mau membuatnya semakin khawatir denganku. Sejujurnya, luka lebam ini tercipta setelah perjuanganku bertahan hidup setelah dua orang laki-laki sepantaranku yang melayangkan bogeman mentah secara mendadak. Lalu menghabisi aku tanpa penjelasan apapun.

“Masa sih? Jatuh darimana kayak gini? Dari empang?” Aku tertawa begitu saja ketika mendengar lawakan receh milik Sekala. Padahal aku bisa saja diam dan tak tertawa, namun aku sungguh tak kuat untuk menahan ekspresi wajah Sekala yang sangatlah lucu.

“Hahaha, iya ... jatuh dari empang Mpo Saleh. Oh iya Kala, hari ini kamu ada jadwal konsultasi dokter kan?” Gadis itu mengangguk, dan ia berkata bahwa sebenarnya ia sangat malas untuk bertemu dengan dokter senior yang menanganinya. Karena ujung-ujungnya, gadis itu harus berbaring di ranjang rumah sakit, menerima sebuah cairan yang masuk ke tubuhnya, dan pada akhir cerita akan membuatnya merasa tak napsu makan sama sekali.

Mungkin saat kalian membacanya, kalian akan mengatakan bahwa penyakit Sekala adalah penyakit yang sangatlah biasa dan selalu dialami oleh wanita-wanita di cerita fiksi. Namun benar, gadis yang kini mulai berambut tipis itu mengalami leukimia. Sebuah penyakit yang sewaktu-waktu akan memisahkan aku dan Sekala.

“Kemana nih, Sekala yang tangguh?”

“Hilang di makan buaya,” jawabnya ketus. Rasanya, aku ingin menarik tangannya dan mengajaknya untuk berkeliling kota hanya sekedar membujuk gadis itu agar mau menemui dokter.

“Gak mau sayang ... aku mau tidur aja ....”

“Besok aku janji deh, temenin kamu buat botakin rambut. Sekalian sama aku juga.”

“Ih kenapa ikutan sih? Gak usah tahu ... rambut kamu tuh bagus, fluffy. Masa dicukur habis?” Aku menatap Sekala yang kini menggembungkan pipi, gadis itu masih melayangkan tatapan memelasnya agar aku tak memangkas rambutku hingga habis.

“Biar kamu nanti di les-lesan ada temen, di kelas ada temen, jadi kamu gak usah malu.”

“Aku biar gini aja sih, kenapa harus dibotakin?” Aku terkekeh, mengusap kepala Sekala hingga beberapa helai rambutnya ikut turun mengikuti gerakan tanganku. Gadis itu tetap tersenyum, dan aku mau tidak mau harus ikut tersenyum agar ia tak membaca raut kesedihan di wajahku.

“Udah dibilangin jangan dielus, Dika ... ih kan mukanya gitu lagi. Ya udah deh besok botakin aja aku, daripada kamu nahan nangis gitu. Jelek soalnya.”


Hari berganti menjadi minggu, dan minggu berganti menjadi bulan. Namun kini aku berada di sebuah lorong rumah sakit dengan kaca pembatas yang membuatku hanya dapat berdiri sembari menatap tubuh putih nan mungil milik Sekala.

Sel itu sudah menggerogoti tubuh Sekala, membuat gadis hanya bisa terbaring dengan beberapa bantuan alat medis yang menompang kehidupannya. Dokter sudah mengangkat tangan, mereka tak bisa menahan dan memperpanjang umur Sekala. Hanya Tuhanlah yang kini bekerja untuk menentukan di mana akhir cerita kehidupan kekasihku.

“Andika, kamu lebih baik pulang saja. Besok sekolah kan kamu? Biar tante yang jagain.” Aku hanya mengangguk lesu, dan melambaikan tangan kepada Sekala yang sialnya, gadis itu justru membalasnya.


Tuhan, kalau memang dapat aku bertukar, aku ingin menukarkan hidupku kepada Sekala. Aku tak ingin membuat gadis itu terus menderita, aku tak mau ia harus memaksa untuk menarik bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman.

Namun Tuhan sang pemilik semesta ini sangat tak tertebak, Ia memang memulihkan Sekala. Namun, gadis itu tak dapat aku peluk, dan tak dapat aku lihat lagi senyumannya.

30 Januari 1987, semua kisah seorang Sekala Indhira telah selesai dituliskan oleh Tuhan. Sang tokoh utama itu telah Ia jemput untuk beristirahat abadi di kediaman-Nya di surga. Meninggalkan aku sendiri tanpa sebuah kata perpisahan.

Kisah ini membuatku tak berani untuk membuka hati, karena aku tahu bahwa hubungan ini tak berakhir. Gadis itu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal seakan-akan memberi tahuku bahwa ia akan kembali untuk menjemputku.

“Doni bajingan!” Aku meluapkan seluruh kekesalanku, melayangkan satu persatu pukulan ke sebuah samsak hitam yang tak berdosa ini. Tak ku rasa, jarum jam mulai menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Hingga kaos hitam yang ku kenakan untuk bergulat dengan hujan mulai mengering seturut tubuhku yang mulai berkeringat.

Aku kesal. Aku sangat-sangat kecewa. Mengapa mereka melakukan hal itu setelah aku mulai percaya? Mengapa Resa melakukan itu ketika aku mulai menaruh hati seutuhnya?

Suara ketukan pintu membuatku berhenti, hingga suara seorang wanita menarik atensiku.

“Mas Mahes, maaf Bi Jum mengganggu.”

“Kenapa Bi?”

“Ini teman Mas Mahes dateng.” Aku menghela napas, menyibakkan rambut yang menutupi dahi, dan berjalan keluar kamar.

“Siapa Bi?”

“Itu ... Mas Jamal.” Astaga, aku lupa kalau hari ini kita telah membuat janji untuk membahas acara kita besok. Aku segera menuruni satu persatu anak tangga dengan cepat hingga iris mataku terkunci kepada seorang pemuda dengan aroma parfum Jo Malone yang sangat mengumbar. Aku sangat mengenali parfum itu karena akulah dalang yang memperkenalkan aroma Wood Sage & Sea Salt yang menjadi ciri khas pria berlesung pipi itu.

“Lo habis ada masalah sama Doni ya?” Aku hanya diam. Rasa kekesalanku kepada pemuda berwajah bule itu masih membara. Takut saja kalau aku akan kelepasan memukul Jamal hanya karena nama Doni.

“Diam gue anggap, iya. Untung semalem gue gak jadi ajak Doni, intinya gitu. Tapi kabar yang harus gue kasih tahu saat ini adalah, besok jam delapan, kita harus kumpul di basecamp Selo. Ini barang gue yang gue titip dulu. Kostan gue gak cukup soalnya.”

“Buset? Ini seriusan? Nanti naik mobil saya kan?”

“Ya kali gue naik motor dari Semarang ke Selo. Lo gila kah? Mana bawa tenda lagi. Ya mending gue tektok aja ngejar sunset turun kalo gak tengah malem ya pagi.” Aku tertawa, dan langsung mengiyakan perkataan Jamal.

“Iya, besok saya siapkan mobilnya. Tapi omong-omong, saya jadi ingat satu hal. flysheet saya kemana?” Mataku kini menatap Jamal yang menepuk dahi lalu meminta maaf karena flysheet berwarna merah muda kepunyaanku masih tertinggal di kostan miliknya.

“Gak pa-pa, santai saja. Besok mending bawakan hammock saya. Gak kamu bawa kan hammock saya?”

“Iya kaga. Udah deh, gue balik dulu. Belom nyetok Indomie gue buat konsumsi di sana.” Aku mengacungkan ibu jari dan melambaikan tangan kepada Jamal yang kini menjauh dengan motor vespa miliknya.

Rasa sepi ini kembali menyeruak ke dalam ragaku, aku rindu ketika aku merasakan ini, aku selalu membuka ponsel dan menghubungi Resa untuk sekedar bertukar cerita atau mendengarkan lagu Taylor Swift yang gadis itu putar.

“Mandi saja deh, habis itu packing baru tidur,” ucapku dan langsung merenggangkan tubuh lalu berjalan mengambil handuk untuk bersiap membersihkan diri.


“Berani tektok kaga?” Kini kami berada di jalur pendakian gunung Merbabu, bersiap untuk menjajal medan area untuk melihat bagaimana keindahan ciptaan Tuhan yang sangat hebat.

“Ya kamu gila? Saya mana sanggup tektok. Mau saya tewas di gunung karena napas habis untuk mengejar sunset di puncak?” Begitulah omelan yang terlontar dari bibirku, membuat pemuda di depanku ini tertawa sejadi-jadinya.

“Ya sudah bentar, gue mau urus administrasi. Siniin KTP lo. Biar bisa dicatet namanya.” Aku merogoh kantung celana, mengeluarkan sebuah dompet dan mengambil kartu biru yang berisikan identitasku.

“Oke tunggu.” Jamal meninggalkanku, sedangkan aku kini menurunkan carrier sepuluh liter yang sedari tadi aku gendong dan mulai duduk di salah satu bangku. Aku membuka tas tersebut dan menemukannya,

sebuah novel yang masih apik di dalam plastik pelindungnya. Sebuah buku hijau yang membuka tabir hubungan semuku dengan Resa.

“Ayo, buruan.” Jamal meraih tas enam puluh lima liter yang ia agung-agungkan itu dan mulai menaiki satu persatu tangga untuk mendaki.

Entah mengapa, seluruh keresahanku yang merekah ini mulai mereda ketika mataku yang tak habis-habisnya disuguhi nikmat Tuhan yang sangat luar biasa. Aku kini berjalan menyusuri jalur pendakian, mengikuti tanda serta kata hati. Membelah hutan yang selalu berusaha menyembunyikan cahaya matahari.

“Kita melangkah, susuri hutan berdua.” Jamal bersenandung, membawakan lagu milik Fiersa Besari yang bertajuk Sepasang Mendaki.

“Tapi saya bukan pacar kamu, Jamal.”

“Berisik deh. Gue lagi menghayati nikmatnya lagu itu.”

Aku berjalan, hingga tak terasa kami telah mencapai pos lima. Sebuah pos di ketinggian sekitar 2.800-2.900 meter di atas permukaan laut yang terkenal karena menunjukkan bagamana keindahan sunset serta deretan bintang yang sangat indah. Maralu tak habis-habisnya menatap betapa luasnya sabana yang beradu dengan indahnya langit jingga.

“Bantuin gue kek, Hes. Lo mau gitu tidur beralaskan bumi beratapkan langit? Gue sih ogah.”

“Iya sabar kenapa? Saya mau keluarin kompor buat masak.”

“Eh mau masak? Gue mending berdiriin tenda sendiri deh. Lo aja yang masak.” Aku melayangkan tatapan kesal kepada sahabatku itu dan kini aku mulai mengeluarkan kompor serta merakitnya.

Setelah aku mulai mendidihkan air, aku meraih buku hijau yang tadi aku bawa, mulai membukanya dan membaca tiap lembar dari buku itu.

“Pantas saja, Resa tidak mau sama saya. Dia maunya modelan Hilmy, dan dia menemukannya di Doni.” Aku menutup buku itu dan mulai memasak makanan untuk kami santap sembari melihat satu persatu rasi bintang yang tergantung di cakrawala.