hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Bagas memarkirkan motor yang ia pinjam dari Dirgantara, di sebelah motor sang Kakak yang tak pernah ia pakai sama sekali karena malas. Namun untuk kali ini, ia harus membiarkan motor itu terpakai untuk satu kali saja.

“Ayo. Jadi gak?” Bagas membuka pintu unit apartemen dan langsung masuk begitu saja ke kamar untuk mencari sebuah kunci motor. Membuat Arga muncul begitu saja di daun pintu kamar mandi dengan sikat gigi yang berada di dalam mulut.

“Ke mana?” tanya Arga dengan suara yang tidak jelas karena mulutnya yang penuh dengan busa pasta gigi. Yang langsung saja pemuda itu keluarkan di wastafel kamar mandi setelah merasakan sensasi menthol yang sangat menyiksa lidah.

“Kepo. Ikut aja, lo bawa motor Bang Jona. Ngikutin gue dari belakang.” Bagas melempar kunci motor dengan gantungan kunci beruang itu kepada Arga, lalu langsung keluar dari unit apartemen dan diikuti dengan Arga dengan sebuah jaket bomber di lengan.

Yes, vespa!” sorak Arga ketika melihat sebuah motor Vespa P125X berwarna kelabu di depannya. Namun seketika makin berubah menjadi semakin antusias ketika Bagas membuka salah satu penutup motor dan berkata bahwa ini motor yang Kakaknya pakai. Sebuah Honda CB100 yang sama seperti milik Dilan di film Dilan 1990.

“Gila, abang lo yang punya?”

“Iye, dia dulu pakai ini buat nganterin pacarnya. Terus kandas aja gitu hubungannya, ya udah tuh motornya dianggurin aja di sini kaga dibawa balik Jakarta.” Bagas langsung men-starter motor Vespa dan menungganginya. Begitupula Arga yang masih amazed dengan motor impiannya itu.


“Ini udah jam dua belas, Ga. Jalanan agak sepi. Enak kalau nanti balapan gimana pas baliknya?” teriak Bagas yang bertanya kepada Arga.

Pemuda itu hanya mengacungkan ibu jari dan langsung mengikuti arah Bagas yang kini memarkirkan motor di salah satu angkringan di daerah Pasar Kembang.

“Lo harus cobain makanan sini, Ga. Minimal telur puyuhnya.” Bagas berjalan mendekati gerobak dan sesekali menyapa penjual dengan ramah.

“Minta es susu coklat satu. Arga! Mau apa lo?”

“Samain aja, ini telor puyuh mana? Oh ini.” Arga mengambil dua tusuk telur puyuh dan menaruhnya di atas piring. Lalu menghampiri Bagas yang kini mengambil sebuah nasi bungkus.

“Nasi bandeng, mau?” Arga menggeleng dan langsung mengambil sebuah sate usus dan menatap kepada penjual yang asyik menghitung total makanan seseorang.

“Mas, ini bisa dibakar?”

“Bisa, Mas. Sebentar, nggih.” Pedagang itu mengambil satu piring yang Arga bawa dan memberikan piring itu kepada rekannya yang berada di depan tungku.

“Nanti Mas'e duduk di mana?” Bagas langsung menjelaskan tempat yang Arga tidak ketahui dan langsung membayar semua makanan yang telah dia dan Arga ambil beserta minuman.

“Di mana sih, Gas?” Arga berjalan mengikuti langkah Bagas. Hingga mereka berada di depan sebuah rumah toko yang telah tutup. Di pelatarannya, terdapat sebuah tikar yang telah digelar. Membuat pemuda itu langsung duduk bersila.

“Sini nih posisi yang paling seru, Ga. Beda sensasinya sama kalau lo duduk di depan sana.” Tepat sekali setelah Bagas berkata, seorang waria datang menghampiri mereka sembari bernyanyi-nyanyi.

“Mbak, kenalan sek ki. Karo cah Jakarta,” Arga langsung panik ketika Bagas berkata seperti itu karena pria yang berdandan layaknya wanita tersebut mulai menggoda Arga. Sedangkan sang pelaku hanya tertawa terbahak-bahak sembari mengeluarkan sebuah uang di dompet.

“Mbak, suwun yo,” Arga menyalami pria itu dengan sebuah uang lima puluh ribu terselip di tangan, hitung-hitung ucapan terima kasih karena telah menghibur dirinya serta Arga.

“Lo gila, ya?” Arga memaki dan melayangkan sebuah toyoran kepada Bagas. Ini pertama kalinya, seorang Arga Maharu Awu didekati oleh seorang waria.

“Ya makanya, punya muka gak udah sok kegantengan. Mamam noh ditaksir waria. Gue denger-denger ya, Ga. Waria sini pada suka godain cowok ganteng.” Bagas tertawa dan membuat Arga melayangkan kembali sebuah pukulan di lengan pria berkulit kecoklatan itu.

Hingga seseorang mengenakan kaos hitam membawakan pesanan milik Arga dan Bagas yang langsung saja mereka santap selahi hangat.

“Gila nih telurnya enak. Berapaan ini, Gas?”

“Dua setengah kalau ga salah setusuknya. Kenapa?” Arga langsung berdiri begitu saja dan berjalan mendekati gerobak. Meminta kepada sang pedagang dan kembali setelah membayar seluruhnya.

“Beli apaan lagi, Ga?”

“Telor lah.” Hingga sebuah piring penuh, kira-kira berisi dua puluh tusuk sate dengan empat telur puyuh di setiap tusuknya tiba. Membuat Bagas tercengang bukan main.

“Tadi senampan gue beli semua. Ha ha ha.”

“Asli nih anak gila.”

Bagas mengetuk jemarinya di atas helm. Tak peduli bahwa kini rembulan telah bersinar di atas kepala.

Udara dingin kota Jakarta kembali menyapa tubuhnya. Membawa kembali kenangan di setiap sudut kota, dari pikiran yang masih meliar ini tersisa secercah harapan ketika melihat lampu kamar sang pujaan hati yang masih menyala dengan sangat terang.

Ia kembali menemukan permatanya yang menghilang, dan membawanya pulang tanpa satupun luka. Membuat pemuda itu kembali tersenyum bagaimana pertemuan tak terduga antara insting kedua insan itu di pesisir Yogyakarta. Tempat yang sangat Bagas tak pernah duga dan di luar perkiraannya.

Bagas membuka ponsel, menekan nomor dial dan langsung diarahkan menuju panggilan suara ke nomor milik Sabiru.

“Hai, belum tidur, ya?”

Baru mau tidur aku, tapi gak bisa.

“Turun sini, saya ada di luar.” Jendela lantai dua itu terbuka, menampakkan gadis berusia dua puluh tahun yang terkejut bukan main dengan kehadiran Bagas.

“Kamu ngapain ke sini?” teriak gadis itu, tak peduli jikalau tetangga menggrebeknya karena membuat keonaran.

“Saya mau ngasih sesuatu buat kamu. Bukain gerbangnya, dong.” Bagas balik berteriak, membuat gadis itu hilang di balik tirai putih kamarnya, dan tiba-tiba membuka pintu rumah lalu menghampiri Bagas yang ada di luar.

“Ini dingin banget, Bagas. Kamu gak kedinginan?” Bagas menggeleng, namun gadis itu langsung meminta Bagas untuk memasukkan motor ke dalam lalu menghangatkan diri di dalam rumah.


“Kamu mau kasih apa?” Sabiru menaruh segelas coklat hangat di atas meja belajar miliknya. Memang seperti itu Sabiru, selalu membawa sang kekasih untuk masuk ke kamarnya saja. Bahkan sesekali meminta pemuda itu untuk menginap satu malam saja setiap kali Sabiru merasa resah dan takut. Membiarkan Bagas menggunakan bunk bed bagian bawah untuk menjaga Sabiru yang terlelap di bagian atas.

“Saya mau kasih ini.” Bagas memberikan sebuah amplop putih, membuat Sabiru tersenyum dan lantas membukanya.

Hal pertama yang ia temukan adalah sebuah flash disk berwarna putih bersih, seolah-olah Bagas baru saja membelinya.

Pemuda itu langsung meraih flash disk tersebut dan memasangnya di sebuah pemutar musik. Yang langsung saja, sebuah musik ballad menyapa telinga.

“Lagu baru, saya suka dan artinya bagus banget. Ya sudah saya simpan. Siapa tahu, kamu butuh itu lagu buat penenang.” Sabiru tak menggubris dan justru mengambil sebuah kartu ucapan yang ada di dalamnya.

Gadis itu membaca lekat-lekat dan sangat teliti bagaikan soal Ujian Nasional. Memahami makna tiap kata yang sangat singkat.

Langit malam yang dalam, memegang cahaya konstelasi. Aku akan memelukmu dan menghiburmu

Selamat malam, cintaku

“Bagas ....” Sebuah kecupan mendarat di pipi Sabiru dan pemuda itu tersenyum dengan sangat tulus.

Good night and sweet dream, Sabiru van Dijk.

Bagas membuka pintu kaca, membiarkan panas kota Surakarta membakar kulitnya. Sesekali pemuda itu menyapa tukang parkir yang ada sembari netranya yang tak lepas dari aplikasi ojek online.

Sejujurnya, Bagas sudah lupa tentang Sabiru. Namun, hatinya selalu saja memaksa seluruh pikiran yang ada untuk selalu mengingat gadis berdarah Belanda itu. Membuat pria itu mulai menggila dan mengalihkan dunianya ke siaran dan aktivitas kampus. Hingga kopi serta rokok yang menjadi teman sehari-hari.

Hari ini adalah puncaknya, tentang Bagaimana kenyataan bahwa Sabiru tetaplah kekasih Bagas masih terikat di tubuh Bagas. Gadis itu masih kepunyaannya, sampai kapanpun gadis itu miliknya.

“Dengan Mas Bagas?” Bagas tersadar dari lamunannya, mengangguk, dan menerima helm berwarna hijau dengan aksen putih dari sang driver lantas menaiki motor bebek itu untuk ke titik yang terdapat di balik foto Sabiru yang ia simpan di dompet.

Keraton Surakarta Hadiningrat.

Ternyata, lari dari kenyataan cukup menyiksa Bagas. Ia telah memblokir seluruh teman-temannya yang meminta dia untuk kembali ke Jakarta. Bagi Bagas, kota itu sudah tak ada istimewanya sama sekali. Tak ada suara tawa Sabiru bahkan surai rambut yang melambai tertiup angin.

Bagas dahulu mengira, bahwa ia dapat menemukan Sabiru. Namun nyatanya, nihil. Gadis itu tak ia temukan di kota seluas 44,02 km² ini. Beberapa destinasi wisata telah ia datangi satu persatu, namun pemuda itu tak menemukan batang hidung Sabiru.

Kendaraan itu memasuki sebuah jalan yang penuh dengan tembok keraton. Seingat Bagas, tempat ini disebut sebagai Supit Urang.

Bagas membuka ponsel dan memotret pemandangan Supit Urang lalu mengunggahnya ke Instagram pribadinya.

Andaikan Wilson tidak terbujuk oleh rayuan maut Luthfian si bassist, mungkin kini ia tak akan duduk di bar dengan sebuah cerutu terselip di kedua jemarinya dan segelas vodka yang ia capit.

Pikiran pemuda itu kacau hanya karena rasa iri dan ingin menyaingi Pieter yang tak lain dan bukan merupakan komposer grup band Bumilangit.

Entah apa yang terjadi, pria itu menaruh gelas dengan sangat keras ke meja bar yang berbahan dasar marmer, membuat gelas itu pecah dan ada beberapa yang tertancap di telapak tangan. Membuat seluruh atensi pengunjung mengarah kepadanya.

Mereka berusaha keras untuk menolong pendarahan di jemari Wilson, namun langsung diurungkan karena pemuda itu yang tertawa kencang sembari menangis dan tak jarang ia mengancam dirinya untuk melakukan suatu hal yang lebih berbahaya.

Oh my God, Casper. What happen to you?” Suara itu tak asing bagi Casper. Itu suara Aprilita, wanita yang selalu menemani seorang Wilson Caspiar menjalani harinya yang kelabu.

Terutama ketika psikiaternya memvonis dia dengan gangguan kepribadian ambang, atau bahasa bekennya, Borderline Personality Disorder.

Gangguan itu sangat mempengaruhi Wilson dan bertingkah laku dan menjalani sosialisasi dengan orang. Namun hanya Aprilita yang berhasil menarik dia dan mendekapnya agar tak makin terjun ke dalam jurang.

“Ayo ke rumah sakit. Telapak tangan lo luka semua.” Aprilita membopong Wilson dan memberi kode kepada bartender langganannya bahwa ia akan kembali untuk membayar semua pesanan Wilson setelah dari rumah sakit.


“Casper, lo kenapa lagi?” Aprilita mengusap bahu Wilson dengan lembut, berusaha untuk membuat pria keturunan tionghoa itu agar tenang sebelum ia melakukan operasi kecil yaitu menjahit luka terbuka di telapak tangan Wilson.

Aprilita membiarkan Wilson terus bercerita dan tangannya terampil mengayunkan jarum itu untuk menutup luka. Gadis itu memang seorang dokter di rumah sakit di mana mereka berdua itu berada. Maka dari itu, ia memilih untuk menjahit luka Wilson sendirian.

“Gue kehilangan D'Jure dan sekarang gue dikejar-kejar sama polisi.” Itu salah satu bentuk delusi yang selalu dialami oleh Wilson setelah psikiater memvonis dia. Pria itu selalu merasa tengah dikejar-kejar oleh seseorang, dan merasa yakin hingga ketakutan setengah mati.

Dahulu Aprilita pernah diberitahu oleh Wilson, bahwa apa yang ia alami saat ini adalah efek samping dari kehidupan yang dia pilih. Rasa takut, marah, dan kecewa seperti bercampur menjadi satu kesatuan. Membentuk Wilson menjadi pria yang rapuh.

“Lo udah gue bilangin kan ... kalau emang mau mabuk, telepon gue. Gue temenin lo mau ngelantur kesana-kemari. Jangan kayak gini lagi ya? Lo pendem sendiri, gak suka gue lihat lo kayak gini.” Aprilita melilitkan perban di tangan Wilson dengan sangat rapi, lalu tersenyum dan berdiri.

“Lita,” panggil Wilson.

“Gue gak salah kan? Gue mau nunjukkin ke Pieter kalau gua bukan bocah yang gak tahu apa-apa.” Lita setia tersenyum, dan kini tangannya bergerak untuk mengusap tiap helai rambut Wilson.

“Enggak. Lo mau nunjukkin kalau lo tuh hebat. Lo tuh mampu. Tapi mungkin cara lo dengan mendiamkan Luthfian mencemarkan nama mereka itu salah. Salah banget.” Aprilita hendak pergi keluar untuk mengembalikan nampan kecil, namun tangan Wilson yang tak diperban justru mencengkram dan menarik tubuh Aprilita untuk ia dekap.

Bau alkohol bercampur dengan Ginepro di Sardegna menyapa indra penciuman Aprilita ketika dekapan Wilson mulai mengerat. Gadis itu merasakan degup jantung Wilson yang berpacu dengan cepat dan telinganya mendengar deru napas pria di depannya yang mulai memberat.

“Casper, lo kenapa?”

“Jangan tinggalin gue. Cukup nyokap, Pieter, sama D'Jure yang ninggalin gue. Gue gak punya siapa-siapa lagi.” Entah mengapa, setelah pria itu mengatakan agar Aprilita tak pergi, detak jantung dan deru napas Casper mulai kembali normal.

Pelukan Aprilita memanglah antidepresan untuk seorang yang kerap dipanggil Casper itu. Bahkan, sesederhana suara Aprilita, pria itu dapat tertidur pulas tanpa merasa ketakutan.

“Gue gak bakal pergi kok, Wil. Sampai napas gue yang terakhir sekalipun, cuma elo yang boleh gue tatap dan nemenin gue.”

“Anjing lo ya, Ga!” Suara canda tawa anak Bumilangit mulai meredam tertahan pintu studio Steve yang ia tutup.

Di kepala pria itu mulai tercampur aduk segala permasalahan yang ia tak ketahui asal muasalnya. Membuat ia memijat pelipis dengan lembut, berusaha untuk melepas segala rasa tak tenang yang tumpah tanpa izin.

Hingga tak Steve sadari, Margareth membuka pintu studio dan berjalan mengendap-endap agar tak mengejutkan pemuda dengan bekas luka berbentuk mawar yang kini tengah merenung. Gadis itu mulai menyalakan satu persatu lilin aromaterapi yang ada di seluruh penjuru ruangan dan memutar sebuah lagu milik Yura Yunita.

“Capek banget, ya?” Margareth mengusap bahu pria kebanggaannya itu. Membuat Steve menoleh dan langsung memutar kursi untuk sekedar memeluk tubuh ramping milik Margareth.

“Iya, saya capek banget. Mikirin nasib Bumilangit yang kehilangan dua sayapnya.” Kedua telapak tangan Margareth mengusap lembut setiap helai rambut pria bernama Steve Pieter Christian dan turun menuju dagu pasangannya untuk didongakkan.

“Hey, kamu lihat sendiri kan? Mereka tetap bahagia walaupun Hendrian sama Arjuna turun dari panggung, Pieter. Mungkin, kamu saat ini mikirin siapa dalang dari masalah Arjuna sama Hendrian. Percaya sama aku, suatu saat... waktu akan menjawabnya,” tutur Margareth penuh kehati-hatian. Tangannya setia mengusap poni dan anak-anak rambut Steve untuk menjauh. Memperlihatkan dahi Steve yang mulai ditumbuhi beberapa jerawat.

“Tahu gak? Tadi aku nanya ke Renjana. Dia nunjukkin hasil gambarnya buat album OUTERSPACE. Cantik banget.” Margareth tersenyum dan senyuman gadis itu menular kepada Steve yang mulai menarik kedua sudut bibirnya.

“Nah gitu, baru suami aku.”

“Sayang,” panggil Steve dengan suara yang sedikit serak. Sedangkan sang empunya julukan hanya menjawab panggilan dengan dehaman.

“Can I kiss you for one night?”

“Sure, why not? Aku bakal cium kamu sampai kamu bisa tenang dan gak overthinking segala macam.”

Kembali lagi ke Arga yang baru saja satu bulan kembali ke Jakarta, tanah di mana ia tumbuh. Ia memilih untuk melepas seluruh mimpinya yang ia tinggal di Toronto dan kembali di Jakarta. Menemui tunangannya yang ternyata telah meninggalkan dirinya.

Lalu saat ini, ketika Bumilangit telah berlayar. Ia harus menjadi penengah antara hubungan Hendrian dan Luciana yang retak.

“Aa, Arshaka Aa bawa aja.”

“Kamu mau kemana?” Begitulah kejadian yang harus dilihat oleh Arga di studio. Luciana yang membawa koper besar dan Arshaka di gendongannya. Wajahnya terlihat panik seperti tengah dikejar oleh seseorang. Gadis itu mencium Arshaka dan memberikan bayi itu kepada Hendrian.

“Luci! Kamu mau kemana?”

“Heng, tahan! Di luar gue lihat bonyoknya Luci. Lo gak mau kan digebuk sama bapaknya gegara bawa kawin lari anak orang?” Hendrian terdiam, membuat Arga segera menarik sahabatnya itu untuk duduk dan mengambil Arshaka dari pelukan Hendrian lalu memberikan bayi itu untuk ditenangkan oleh Seli yang tepat sekali sedang berduaan dengan Rajiza.

Problematika kehidupan itu rumit. Tak ada satupun yang dapat menyelesaikan keruwatan ini, termasuk seorang Arga Maharu Awu.

Di umurnya yang menginjak kepala dua, membuat ia merasa bahwa kehidupan mulai banyak ulangan mendadak layaknya sekolah. Ulangan dalam bentuk permasalahan yang harus ia jawab dengan sebuah tindakan dan pastinya harus memikirkan kausalitas di setiap keputusannya. Termasuk yang harus ia hadapi kali ini.

“Ngopi, yuk. Sekalian gue mau ngomong sama lo.” Arga mendorong sahabatnya untuk turun ke bawah seperti orang yabg tengah bermain ular tangga. Menyuruh pemuda itu untuk duduk di salah satu bangku untuk ia tinggal ke kasir. Memesan kepada Americano untuk diberikan kepada Hendrian serta Ice Golden Ginger untuknya.

Pemuda itu kembali dan menemukan Hendrian yang kini tengah menatap ruang obrolannya dengan Luciana dengan tatapan lesu.

“Gak dijawab?” Hendrian menggeleng dan menerima minuman dari pemuda berdarah Amerika itu lalu menyesapnya.

“Gini, Heng. Gue dulu pernah nanya kan sama lo, sama Luci juga. Kalian nikah ini ada restu kedua orang tua atau enggak. Dan kalian jawab gak ada yang tahu.” Arga berhenti berbicara. Pemuda itu menarik napas sembari memikirkan kata-kata yang tepat untuk dilayangkan kepada pria di depannya.

“Gue juga tanya sama Luci, kalau semisal terjadi apa-apa gimana? And she said, dia bakal kasih bayinya ke elo. Dia bakal balik ke keluarganya untuk menyelesaikan masalah yang dia buat. Itu konsekuensinya. Menurut gue, dia emang gitu. Apalagi lo berdua udah emang dikejar-kejar kan sama bapaknya Luci? Teror demi teror di keluarga lo. Sebenarnya itu bukan buat elo. Tapi buat Luci biar balik.”

“Jadi saran gue ya, Heng. Kasih Luci waktu. Kalau emang dia gak balik, gak pa-pa. Lo juga ada Bumilangit yang siap sedia buat rumah lo balik. Anak lo juga bisa, nanti ada Seli atau nyokap gue yang bantu urus.”

“Gue balik aja ya, Ga. Pusing. BTW, makasih traktirannya sama gue nitip Arshaka dulu, ya? Gue takut kalau gue kalap mapah kenapa-napa tuh bocah.” Hendrian beranjak dari tempat duduk, menjabat tangan Arga dengan erat walaupun pandangannya masih sedikit sayu.

“Butuh gue anterin?”

“Gak usah. Gue mau balik jugaan.”

“Kabarin gue kalau udah sampe rumah!” Hendrian mengacungkan ibu jarinya dan langsung memacu kendaraan yang ia tunggangi bak kesetanan. Membuat Arga berdoa agar sahabatnya itu tak mengalami sesuatu hal yang buruk.

Ya, beginilah Arga. Hubungannya saja kandas, tapi ia selalu menjadi penengah untuk hubungan orang lain. Berlagak seperti kancil yang akan memberikan sebuah petuah yang menguntungkan untuk kedua belah pihak.

Tak lengkap rasanya jikalau menulis kisah bocah Antareksa jikalau belum menceritakan si bontot, Naufaludin Mahardika.

Ia memanglah paling disayang, dan sangat didukung untuk menjadi apapun dan sepertinya, Renjana sedikit tak suka dengan dirinya.

“Andai saja, hal baik itu ada.” Begitulah tutur Naufal ketika menginjak bangku sekolah menengah pertama.


TIGA TAHUN KEMUDIAN “Tolong kerjain PR gue, please.” Naufal menoleh kepada sang kakak, tak lain dan tak bukan adalah Madava yang satu kelas dengannya.

“Ya udah taruh situ aja. Aku kerjain. Emang kamu mau ngapain sih, Bang?”

“Gak mood. Lo tahu sendiri, gue habis gelut sama Papa,” adu Madava sembari menunjukkan wajahnya yang memar. Membuat Naufal berhenti mengerjakan tugasnya dan berlenggang begitu saja ke kamar mandi.

“Makanya, jangan suka bantah Papa. Abang sama Papa tuh sama-sama keras. Kalau nekat dipaksain, yang ada malah ngerusakin satu sama lain.” Naufal kembali, membawa sebuah handuk yang ia basahi dengan air.

“Sini, aku kompres dulu memarnya.” Naufal terduduk di atas ranjang, menghadap tepat di depan Madava. Pandangannya terkunci kepada lebam pada ujung bibir Madava. Ketika ia mengompresnya, sang kembaran justru meringis kesakitan dan menjauhkan kain putih itu dari wajahnya.

“Makanya, gak usah belagak sok jago. Kalau gak—” Suara isak terdengar jelas di telinga Naufal. Membuat pemuda itu menghentikan kegiatannya dan menyuruh sang kakak untuk diam.

“Itu Bang Galih nangis?” Madava hanya mengerdikkan bahu. Membuat Naufal harus turun untuk menghampiri asal suara yang berada di luar jendela.

Benar saja, itu adalah Renjana sang kakak yang tengah menangis. Ia nampak seperti anak kecil yang kehilangan arah. Bukan seperti singa yang marah dan siap menerkam seperti beberapa jam yang lalu.

“Bang Galih?” Pemuda itu terkejap dan mengusap air matanya dengan cepat. Lalu kembali memasang wajah ketusnya.

“Kenapa?”

“Gak pa-pa, Bang. Cuman tadi lihat tokek gede banget.”

Semenjak itulah, Naufal selalu memperhatikan kakak kembarnya yang paling tua. Si sulung yang nampak tak memiliki satupun bahu untuk bersandar.

Hingga hari ini, di usia mereka berada di penghujung sembilan belas tahun. Pemuda itu lagi dan lagi menemukan Renjana yang tengah menangis di atap rumah.

Pemuda itu berjalan mengendap-endap agar sang kakak tidak memarahinya. Namun semakin dekat, semakin ia mendengar jelas bagaimana pergumalannya dengan semesta yang tak berpihak kepada Renjana.

Naufal tak tega. Naufal ingin segera menghampiri Renjana untuk memeluknya.

“Apakah aku harus berhenti, Tuhan?”

“Jangan!” Naufal mendekap sang kakak. Berusaha menghangatkan hati Renjana yang mulai mendingin serta pikiran Renjana yang mulai panas.

“Lo ngapain di sini? Gak tidur?”

“Bang Galih tidur dulu. Baru aku tidur.” Naufal masih memeluk sang kakak. Sembari berusaha untuk menjadi kuat.

“Bang Galih, Bang Galih mungkin enggak dapet cintanya Papa. Gak dapet cintanya Mama. Tapi, percaya sama aku. Papa sama Mama nitip cintanya ke aku. Aku mau peluk abang, aku mau kasih cinta mereka. Kalau abang butuh bicara sama mereka, bilang ke aku. Biar aku yang bilang, biar aku yang bertengkar.”

Sebuah usapan di puncak kepala sangat dirasakan oleh Naufal dan pertama kalinya, ia melihat sang kakak tersenyum dengan sangat tulus.

“Ternyata di peluk seenak ini ya?” Boleh Naufal akui, sang kakak sangatlah tertutup. Ia tak pernah suka ia sentuh bahkan ia peluk. Namun, untuk pertama kalinya ia tahu bahwa sang kakak butuh peluk.

“Gue gak punya siapa-siapa buat cerita. Beda sama kalian. Mungkin gue di Bumilangit paling rame, tapi lo satu-satunya yang tahu sisi rapuh gue. Capek gue, beneran.” Malam itu, Renjana menghabiskan malam bersama Naufal. Bercerita bagaimana sudut pandang mereka sebagai sang sulung dan sang bungsu.

“Na, gue minta maaf ya kalau selalu judes sama lo.”

“Gak pa-pa. BTW balik badan, Bang. Mau lihat bekas cambukannya Papa, biar sekalian aku obatin.”

“Gak usah! Udah gue obatin tadi pakai mandi.”

“Gak. Udah sini masuk. Aku obatin.” Naufal menarik lembut sang kakak agar segera masuk. Lalu mengangkat kaos putihnya dan menunjukkan beberapa bekas cambukan sabuk yang ada di punggung sang sulung.

“Bang, aku cuman mau bilang. Akan ada masanya hal baik tiba ke abang. Entah itu cepat atau lambat. Tapi pastinya, di waktu yang tepat.”

Itu menjadi momen terakhir kesedihan yang Naufal lihat dari sang kakak. Karena hari ini, tanggal 24 Maret 2020. Ia meniup lilin ulang tahunnya dengan perasaan bahagia.

Tak ada hati yang terluka dan tak ada suara isakan yang terdengar. Semua stigma dan kekangan telah Naufal lepaskan setelah ia berbicara dengan kedua orang tuanya secara baik-baik.

Hal baik memang selalu datang secara tiba-tiba. Namun hal baik itu akan selalu datang di waktu yang tepat seperti alur yang Tuhan tuliskan.

“Mada di mana? Lelet banget jadi orang.” Gertakan Herawan menggema di seluruh penjuru rumah. Membuat pemuda itu bergegas berlari menuruni anak tangga sembari berpikir apa yang akan dilayangkan kepadanya.

Namanya Madava Enozekiel. Anak kedua dari keluarga Antareksa.

“Maaf, Pa. Tadi ha—” Belum sempat menjelaskan alasannya terlambat, sebuah botol air mineral kosong terlempar mengenai kepala. Membuat pemuda itu terdiam dan menunduk.

“Pa! Jangan gitu ke Mada!” teriak Renjana yang ternyata berada di bawah tangga dan diam-diam menyimak pergelutan kedua pria itu.

“Tutup mulutmu, Renjana! Jangan coba-coba kamu melindungi kembaranmu yang sama saja denganmu. Lelet! Mada, di mana charger Papa? Kamu ambil kan?” Madava beranjak naik, niatnya untuk mengambil kepala charger sang Papa. Namun, pemuda itu teringat bahwa kepala charger itu diberikan kepadanya karena miliknya yang rusak.

“Aku ambil dulu. Tapi, bukannya itu kemarin Papa kasih ke aku ya?”

Seperti biasa. Pria itu membantah dengan nada yang keras. Membuat pergulatan panas terjadi di rumah. Yang pada akhirnya, membuat Herawan pergi begitu saja.

“Kamu ini, bertengkar terus. Kalau Mama sama Papa pisah gimana? Cerai gimana?!” Riska melayangkan tamparan ke paha Madava. Membuat Naufaludin berusaha untuk memisahkan ibu dan anak itu sendirian karena Renjana sang tertua tengah mengejar sang Papa untuk ya, mungkin memarahinya dan mengajak pria tua itu untuk adu fisik demi menyadarkan kesalahannya.

“Maaf, Ma. Tapi kata Papa, Mada harus melawan kalau Mada merasa benar.” Memang benar, Madava diberitahu seperti itu kepada sang Papa, namun keras kepala mereka sama. Sama-sama mau menang, dan sama-sama tak mau mengalah.

Hanya perbedaan terjadi di cara mereka mengakhiri masalah. Madava selalu mengucapkan permintaan maaf. Bisa dikatakan, bahwa Madava adalah orang yang sangat mudah untuk mengucapkan maaf. Daripada sang Papa yang selalu terjebak dengan rasa gengsi.

Itulah kisah Madava, perihal kata maaf yang tak pernah luntur dari dirinya hingga ia memasuki bangku kuliah.

“Maaf. Gue gak sengaja,” ujar Madava sembari menunduk dalam-dalam setelah tak sengaja menabrak seorang gadis.

“Lo gak salah. Ngapain minta maaf? Ini murni kesalahan gue.” Gadis itu tersenyum dan menepuk bahu Madava lalu berlenggang pergi.

Semenjak itulah, Selena mengetahui tabiat Madava yang telah menjadi sahabatnya. Ia selalu meminta maaf, bahkan saat tak sengaja pemuda itu memeluknya untuk menghindari sebuah pengendara motor yang ugal-ugalan.

“Lo tuh malah selametin gue, lo pahlawan buat gue. Dan kenapa lo justru minta maaf?” tanya Selena ketika berada di salah satu kafe untuk belajar bersama Madava.

“Karena bokap gue gengsi minta maaf. Rasanya sakit aja, ngelihat dia susah banget minta maaf. Makanya, gue gak mau orang lain rasain apa yang gue rasain. Dan, ya udah gue selalu minta maaf.” Selena memegang tangan Madava dan mengusapnya lembut. Berusaha untuk menyalurkan kehangatan yang ia punya.

“Meminta maaf itu emang baik kok. Biar gak menimbulkan rasa sakit di dalam hati. Tapi Dav, gak semua hal harus lo minta maafin. Ya emang, ada orang yang bilang kalau maaf itu bukan menunjukkan bahwa lo kalah. Tapi, sesekali lo harus tahu konteksnya, Dav.”

“Maksudnya?”

“Kalau lo ngelakuin suatu kesalahan dan lo ngelihat orang di depan lo udah menunjukkan emosi yang kebalikan dari yang lo pikirkan. Baru lo minta maaf. Itu kalau kata gue,”

“Termasuk yang ini?” Selena memiringkan kepala dan bertanya maksud dari pertanyaan Madava.

“Iya, gue minta maaf. Gue belum bisa balas perasaan lo.”

Renjana terbangun dari tidurnya, menatap kedua saudara kembarnya sembari tersenyum.

Hari ini tanggal 23 Maret 2020. Tahun inilah, dirinya menginjakkan kepala dua. Pemuda itu berjalan menuju jendela kamar, membukanya perlahan dan keluar menuju atap rumah. Tempat di mana ia selalu merenung dan lari dari kenyataan yang mengejarnya.

“Selamat ulang tahun, Renjana.” Air mata mengalir begitu saja membasahi pipi dan langsung pemuda itu usap agar tak menunjukkan bekas alur. Rasanya, semesta sepertinya kurang berpihak kepada dirinya.

Pemuda itu menarik napas, memenuhi seluruh rasa sesak di jiwa dengan oksigen yang cukup tipis. Namun, justru isakan makin menjadi dan membuat ia meringkuk layaknya anak kecil.

Dahulu, ia ingin sekali segera menjadi dewasa dan menjadi seorang pelukis. Namun semakin ia bertambah usia, semakin ia menjadi pengecut.

Kekangan dari kedua orang tua dan posisinya yang menjadi tertua, cukup membuatnya terikat. Berbeda dengan kedua saudara kembarnya yang bebas menentukan langkahnya.

“Galih! Kamu harus masuk IPA.”

“Apa-apaan ini, Galih?! Apa gunanya Papa sekolahkanmu tinggi-tinggi!”

“Papa kecewa sama kamu, Galih.”

Menjadi dewasa cukup menyakitkan untuk seorang Renjana. Kekecewaan, kebebasan, dan kebahagiaan seakan-akan direnggut tanpa diberi satupun bagian.

Renjana menengadah, menatap langit gelap Jakarta yang penuh dengan gemerlap bintang. Lalu bermonolog, “Renjana Galih Antareksa. Mungkin kamu masih terjebak di ekspetasi pelik orang tuamu. Namun, aku tahu. Diri ini kuat, iya kan?”

Renjana memukul dadanya kencang, dan berusaha menghilangkan rasa sesak yang kian bergejolak.

“Psst! Psst!” Renjana menoleh. Ia terkejut dengan kehadiran Naufaludin yang kini berada di jendela dan tersenyum lebar.

“Bang Galih gak usah sedih gitu. Mana nih sifat Janna yang bar-bar?” Renjana mengusap air matanya yang basah dengan punggung tangan. Pemuda mungil itu terkekeh lalu bangkit dan berjalan perlahan mendekati jendela dan masuk.

Di sanalah ia bertemu dengan kedua orang tuanya yang kini berdiri di depan pintu dengan dua buah kue, satu untuk Renjana dan satu lagi untuk Madava—karena Naufaludin baru merayakan ulang tahunnya besok.

“Papa minta maaf ya sama kamu.”

“Sini permatanya Mama.”

Renjana langsung memeluk Riska sang Mama. Entah mengapa, pertahanannya kini kian runtuh dan ia menjadi anak berusia lima tahun yang terlepas dari pengawasan orang tuanya.

“Mama dan Papa sering marah bukan karena kami tidak sayang kamu. Justru, ini kami lakukan karena begitu sayang pada kamu. Mama dan Papa ingin lihat kamu lebih dewasa, lebih mandiri, dan lebih bertanggung jawab sama hidup kamu.” Wanita itu mengusap puncak kepalanya dengan salah satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain berusaha memberikan kue ulang tahun kepada Naufaludin agar tidak terjatuh.

“Tidak selamanya kami memdampingi kamu, melindungi kamu, menjagamu, dan membantumu. Kami ingin melepasmu dengan tenang. Terus terang, kami tidak ingin lihat hidup kamu jadi kacau,” tutur Riska yang membuat Renjana kian sesenggukan.

“Udah, Galih. Sekarang tiup lilinnya.” Renjana melepas pelukan, mengusap kembali air matanya dan meniup lilin bersama Dava.

Lagu milik Sam Smith terus berkumandang seharian penuh di kepala seorang Hendrian Tanuwijaya. Suara denting gelas yang bertabrakan dan seluruh pengunjung kafe tak menghentikannya merenung.

Genap sebulan, Luciana pergi begitu saja setelah kedua orang tuanya merebut paksa sang putri. Membiarkan Hendrian sendiri bersama Arshaka. Ia tak tahu hendak kemana lagi tubuh ini beristirahat. Kontrakannya tak sama lagi dengan sebelumnya. Bahkan selimut putih di ranjang mereka hanya membawa kembali ingatan saat-saat penuh cinta yang memabukkan jiwa.

“Heng, lo di tanyain Jiza terus. Kok gak dateng di markas katanya gitu,” tutur Yaksa yang kini mengelap satu persatu meja dan mengambil gelas milik Hendrian untuk di isi lagi.

“Gue gak selera.”

“Anak lo gimana sekarang?”

“Ada di rumah Mama. Biarin dia sama Omanya. Gue takut kelepasan kalau lagi kalut.” Hendrian menggumam dan melantunkan sebuah bait lagu yang sedari tadi terputar di kepalanya.

But every time you hurt me, the less that I cry And every time you leave me, the quicker these tears dry And every time you walk out, the less I love you Baby, we don't stand a chance, it's sad but it's true

Hendrian menghentikan senandungan, menghela napas sebelum melanjutkan lirik yang cukup menyiksa untuk dirinya.

I am too good at goodbyes

Yaksa hanya menepuk dahi, menatap bagaimana kacaunya adik tingkat sekaligus teman dari pacar sang adik, Marselia.

Bro gue bilangin.” Yaksa duduk di sebelah Hendrian. Menyampirkan lap kain di pundak lalu menepuk bahu pemuda di sampingnya.

“Emang dunia ini se-lunatic itu. Suka ngebolak-balikin perasaan manusia. Tapi lo jangan sampai ikutan di balik. Anak lo, sahabat lo, butuh lo. Lo mungkin beranggapan bahwa dunia gak butuh elo. Tapi, trust me. Mereka butuh elo.”