hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

“Mahes! Hai!” Gadis itu terkekeh dan menunjukkan sepasang gigi kelincinya yang sangat membuatku gemas hingga tak terasa kedua tanganku memegang pipinya dan menarik hingga membuat ia kesal.

“Kamu soalnya buat saya tidak dapat berhenti mengucapkan rasa syukur karena diberi kehidupan sama Tuhan.” Euforia meletup-letup memenuhi rongga dadaku ketika melihat angin yang mengelus lembut tiap helai rambutnya yang indah. Sungguh! Rasanya aku ingin menyewa seluruh megafon yang ada di dunia hanya untuk berorasi bahwa Resa Amara adalah manusia yang hanya boleh aku cintai.

“Jangan senyum kayak gitu ih, Mahes. Serem tahu.” Gadis itu mengomel dan mencubit pinggangku, membuat tubuhku bereaksi dan menghindar dari cubitan maut miliknya.

“Aw, sakit Resa. Saya minta maaf deh,” tuturku sembari mengatupkan kedua telapak tangan untuk meminta pengampunan.

“Iya dimaafkan, tapi kabulin satu permintaanku dulu.” Aku memasang wajah serius dengan jemari yang mulai curi-curi untuk mengenggam tangannya. Menyalurkan kehangatan di setiap jengkal ketika sang awan tak henti untuk menuangkan air ke bumi pertiwi ini.

“Aku mau novel Hilmy Milan. Tapi, aku sibuk rapat terus. Sebenarnya mau beli online, tapi rumah kosong terus. Aku takut gak ada yang terima.”

“Ya nanti saya belikan, mau novel apa lagi? Biar saya belikan semuanya.” Aku melihat Resa yang menggeleng kuat. Ia berkata bahwa dirinya hanya ingin novel itu saja. Tak lebih. Aku hanya bisa mengiyakan permintaannya, dan membiarkan gadis itu berjalan masuk ke sekretariat untuk urusannya dengan anggota himpunan mahasiswa yang berkumpul di sana.

“Aku urusan sama Doni dulu ya, Mahes! Kabari aku kalau bukunya sudah kamu beli.” Aku mengacungkan ibu jari dan melambaikan tangan kepada Resa.

Namun ketika aku hendak berjalan menuju parkiran, tubuhku seketika terhenti karena sebuah dinding air raksasa yang dinamakan hujan. Aku masih berpikir, apakah aku harus membelahnya atau menunggu hingga reda.

“Lari saja, Hes. Saya tahu, diri ini sanggup,” monologku dan mulai menudungkan penutup kepala lalu berlari menghindari tiap rintik hujan yang menyerbu tubuhku serta menghantarkan segala rasa dingin yang menikam hingga ke tulang-belulangku.


Aku kembali, setelah satu jam berkutat di surganya para pecinta buku. Waktuku terkuras ketika sekumpulan buku berisi sajak yang cukup memikat perhatianku. Namun tetap saja, buku berwarna hijau muda dengan gambar akuarium menjadi hal utama yang aku bawa keluar dari toko berarsitektur Belanda itu.

Aku di sini, berdiri dan terbelalak tak percaya ketika melihat adegan tersebut di depan mataku.

Doni mengecup bibir kekasihku dan mereka justru saling balas melumat. Satu hal lagi yang harus kalian catat, gadis itu melakukan hal yang tak pantas itu di ruang sekretariat yang sepi dan remang.

“Aku mencintaimu, Doni.” Cukup! Aku membanting pintu itu dan pergi begitu saja dengan novel yang kini tak pernah aku beri kesiapapun.

“Mahes! Bisa aku jelaskan! Tunggu!” Gadis itu berteriak dan langit menjawab dengan suara gemuruh yang sangat kencang, mewakilkan gejolak emosiku yang kini memuncak.

“Mahes berhenti.” Aku tetap berjalan begitu saja. Tak peduli dengan Resa yang kini bersahut-sahutan dengan gemuruh.

Sungguh. Aku ingin menarik semua ucapanku sore tadi. Aku tak memiliki hatinya. Semua rasa yang telah aku miliki telah runtuh dan hubunganku kini telah rusak. Tersisa seluruh kekecewaan dan rasa egois yang membuatku tak berhenti menyusuri lorong dan menoleh kepada gadis yang kini tak menjadi kekasihku kembali.

“Mahes tunggu!” Tubuhku berhenti mendadak. Rasanya seperti bumi menarik tubuhku dan menguncinya hingga aku tak dapat berkutik satu langkahpun. Suara gadis itu kian mengeras seturut jarak yang mulai mendekat, hingga iris mataku terkunci pada bola mata mengkilat milik Resa.

“Mahes, tolong. Dengarkan aku.”

“Kita adalah sebuah kerumpangan yang telah rampung, Resa. Harus berapa kali saya katakan kepadamu?” Aku meneguk kasar salivaku, berusaha untuk membasahi tenggorokanku yang kering setelah mengeluarkan sepenggal kalimat itu.

“Tapi biarkan aku menjelaskan dahulu. Tolong dengarkan aku.” Aku berusaha menepis tangannya yang mencoba untuk memegang lenganku. Menatapnya kian tajam dan menciptakan distopia di antara kami berdua.

“Doni hanya rekanku. Itu saja.” Aku hanya mendecak tak percaya dengan segala pengakuannya. Bagaimana aku bisa melihat dirinya bermesraan dan juga bercumbu dengan seonggok manusia yang ia sebut sebagai rekan itu?

“Kita itu rumpang, Res. Kita memang dekat sebagai sepasang kekasih, tapi saya sadar bahwa diantara kita terdapat sebuah cela. Saya memiliki ragamu, namun saya tak pernah berhasil mendapatkan hatimu barang sedikitpun. Bukankah merampungkan semuanya ini adalah hal yang cukup pantas demi kebahagiaan kita berdua? Saya tak perlu merasakan kesedihan, dan kamu bisa mendekati rekanmu itu lalu mengajaknya berkencan.” Aku mengucapkan semuanya itu dalam satu tarikan napas. Hingga rasa dingin terasa begitu saja di saat hujan yang mulai mengguyur dan menambah suasana kali ini kian sendu.

“Aku sayang sama kamu, Mahes. Maafkan aku.” Aku cukup muak, dan memutuskan untuk pergi membelah hujan demi meninggalkan gadis itu sendiri dengan semua kesalahan dan penyesalan yang ia perbuat.

“Reano! Aku ... capek ....” Rachel berhenti dan mulai berjongkok sembari mengatur napasnya yang kian menipis mengikuti ketinggian tempat yang gadis itu pijak.

“Jangan jongkok. Gak baik. Ayo berdiri terus duduk di sini.” Reano menuntun Rachel untuk naik ke salah satu tanah yang lebih tinggi dari tanah lainnya. Sebuah tanah lapang yang pemuda itu pikir sangat sesuai untuk mendirikan sebuah tenda untuk bermalam.

“Nih kamu minum ini.” Reano memberikan sebotol air gula merah dan langsung mendirikan tenda seorang diri. Gadis itu hanya mengenggam botol pemberian Reano dan justru menatap barisan bintang yang menghiasi angkasa di pos dua pendakian gunung Lawu, pos yang dikenal sebagai Taman Sari Atas yang terletak di ketinggian 2420 meter di atas permukaan laut.

“Cantik ya langitnya? Sama seperti kamu.” Rachel terkejut dengan kehadiran Reano yang kini ikut duduk dan menatap langit.

“Sayang sekali, saya gak bawa gitar. Nanti coba nanya ke pendaki di shelter deh, siapa tahu ada yang bawa.” Gadis itu langsung mencengkram bisep kekar dan menahan teman mendakinya itu.

“Gak usah! Ngapain sih?” Reano hanya terkekeh, membuat kelopak matanya membentuk sepasang bulan sabit yang sangat indah.

“Kan biar ada hiburan. Kamu gak bisa akses internet. Kata teman saya, kalau mau sinyal yang bagus harus ke base tiga, di sana sinyal Telkomsel katanya bagus.” Rachel tertawa, dan langsung beranjak untuk mengeluarkan sebuah kompor portable dari dalam carrier miliknya.

“Kamu mau mi kuah atau mi goreng, Re?” Reano berjalan mendekati Rachel sembari menggosok kedua tangan dan menempelkan telapak tangannya yang hangat itu ke pipi Rachel.

“Saya boleh minta mie kuah? Nesting saya ada di kamu kan?” Rachel mengangguk dan mulai memasak sebuah mi instan menggunakan nesting milik Reano.

“Nih,” ujar Rachel sembari memberikan sebuah nesting berisikan mi soto yang masih hangat.

“Kamu makan duluan aja.”

“Bareng aja. Nanti aku selesai keburu dingin. Ini juga udah dingin tahu.”

“Iya ... iya, saya makan.” Reano mengambil satu garpu yang tersedia dan mulai menyantap makanan yang disajikan oleh Rachel. Sedangkan gadis itu hanya tersenyum dan menatap Reano yang kini tengah menyeruput mi soto tersebut.

“Hog henda maghan?” (Kok enggak makan?) Rachel lagi dan lagi tertawa, lalu menyuruh Reano untuk menelan makanannya terlebih dahulu.

“Kamu habisnya lucu pas makan. Aku juga mau makan nih.” Rachel hendak menyuap namun terhenti karena sikap Reano yang menyelipkan rambut Rachel yang terjuntai ke belakang telinga.

“Makasih.” Rachel tersenyum dan melanjutkan aktivitas menyantap makanan dan memecah kesunyian malam dengan canda tawa.

Taman Sari Atas menjadi saksi di mana kedua insan itu saling melawan rasa dingin di ketinggian 2.420 mdpl, menikmati gemerlap bintang yang kini menjadi atap untuk mereka bernaung. Tak peduli dengan bau belerang dari kawah candradimuka.

“Rachel, besok pagi kamu di sini saja. Soalnya saya besok jam empat mau ngejar sunrise.”

“Ikut ....”

“Tidak usah ... nanti kaki kamu sakit. Masih sakit kan ankle kamu?” Rachel mengangguk, membuat pemuda itu menepuk kepala sang gadis sembari tersenyum.

“Ya sudah, kamu tidur di dalam saja. Saya mau jaga api unggun sambil menghangatkan badan. Selamat malam!”

Hampir satu minggu telah Seli lalui dengan latihan padat untuk menjadi pasukan . Kantung plastik kian penuh dengan bintang-bintang buatannya serta mimpi Jiza yang kian hari kian sering datang menyapa seolah-olah ia merasakan bahwa dirinya tengah berpacaran dengan pria seratus delapan puluh senti tersebut.

Namun di hari ini, Seli terbangun dan berteriak. Napasnya menderu dan pikirannya kacau seakan-akan ia membayangkan suatu hal.

Jiza terjatuh saat perlombaan dance dan dia berteriak kesakitan.

“Seli, lo kenapa?” Mika yang kini menginap di rumah Seli hanya bisa menatap sahabatnya itu dan berusaha menenangkan. Gadis itu tak tahu mengapa Seli kini menarik bantal dan menangis.

“Gue mimpiin Jiza cedera pas ikut lomba dance DBL dan gue kepikiran Jiza.”

“Udah, Sel. Tenang. Besok sepulang dari upacara, kita jenguk Jiza. Kelihatan banget, lo kangen Jiza.”


Keesokan hari “Sel! Sorry gue lancang. Gue tahu, lo sama Jiza cuma temenan kan?” Seli yang baru saja melepas peci serta setangan leher justru terkejut dan mengangguk.

“Gua sebenernya suka sama lu, Sel. Gimana kalau di hari kemerdekaan ini, gue memerdekaan perasaan gua juga? Alias mau gak lu jadi pacar gua?” Seli hanya terdiam, lalu tersenyum dan melepas genggaman tangan Chesna.

Sorry, Ches. Gue emang di sini gak jadian sama Jiza. Itu karena kecerobohan gue yang buat dia sekarang masih di RS. Tapi, maaf banget ya. Gue lebih sayang dia.” Chesna langsung menundukkan kepala dan membuat Seli kelabakan.

“Eh Ches, bukan berarti gue gak sayang sama lo. Gue juga sayang sama lo, gue juga sayang sama anak Bumilangit lainnya. Tapi, cuman sebagai sahabat. Beda sama Jiza.” Tepat setelah Seli selesai bicara, Echa berteriak kepada Seli.

“Kata Arga, Rajiza udah siuman!”

“Beneran? Astaga doa gue.” Lutut Seli melemas dan gadis itu langsung berjongkok memeluk kedua kakinya. Ia tak menyangka bahwa tepat di origaminya yang seribu, Jiza kini tersadar.

“Mau ke tempat Jiza? Gue anterin,” tawar Chesna sembari mengulurkan tangan.


“Jiz! Gue minta maaf banget ya.”

“Gimana paskibnya? Gak ngebagongkan?” Sebuah pelototan tajam ia terima dari Seli.

“Kaga. Gue cuman kemarin malem tuh mimpi.”

“Mimpi?”

“Mimpi lo takut operasi ACL. Gue gak tahu kenapa semenjak lo masuk RS, gue selalu mimpi itu.” Jiza tersadar akan sesuatu, lalu mengenggam tangan gadis di depannya itu.

“Gue kira, gue mimpi. Ternyata beneran mimpi.” Jiza tertawa walaupun masih sedikit kesulitan.

“Gue kira, gue beneran jadi pacar lo, Sel. Ternyata enggak ya?” Seli mengerjap, dan ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kantung plastik yang berisikan ribuan bintang. Seli berjalan ke sisi nakas dan mengambil stoples yang telah terisi origami bintang separuh. Lalu memasukkan bintang-bintang dari kantung plastik hingga penuh.

“Gue udah nolak Chesna buat pacaran sama gue. Karena gue tahu, diri gue ini udah jadi pacar lo, Jiz. Setiap bintang ini, ada harapan gue buat lo siuman, terus semua mimpi gue yang gak tahu apakah lo juga ngalamin atau enggak. Satu lagi, di setiap bintang ini ada harapan gue biar bisa sama lo.”

“Maksudnya?” Seli mengambil sebuah bintang berwarna pink dan memberinya kepada Jiza. Membiarkan pemuda itu membuka dan membaca tulisan yang ada.

“Gue bermimpi, Jiza genggam tangan gue pas pacaran di PIM. Itu pacaran kesekian kita tapi jadi pacaran terakhir karena setelah itu Jiza harus sibuk latihan. Dia nyuruh gue buat bolos pas DBL nanti.”

Seli lanjut memberikan sebuah bintang berwarna kuning dan berkata, “Ini mimpi terakhir gue, semalem.”

“Gue kesel gak ada duit dan gue niatnya mau balik, tapi Jiza ngelarang gue. Oh gue tahu ini alesannya apa.” Jiza melipat origami itu dan memberikannya kepada Seli.

“Kenapa?”

“Gue punya kartu akses yang bisa buat dua orang. Gue juga larang elo, karena gue takut lo kenapa-napa di tangan musuh yang bakal main nanti.” Jiza mengenggam pergelangan Seli dan meniupnya, sama seperti yang ia lakukan di mimpi.

“Tapi itu gue tulis di bintang warna kuning karena gue menganggapnya mimpi buruk.”

“Gak pa-pa asalkan gue tahu sesuatu.”

“Apaan?”

“Kalau lo nolak Chesna buat gue. Gue ngerasa cukup istimewa, padahal gue baru nembak lo di mimpi.”

“Enggak. Lo gak nembak di mimpi.” Seli menggeleng dan mengusap punggung tangan Jiza.

“Gimana-gimana?”

“Gue hapal detail cara lo nembak sampai ke playlist buatan lo. Ya udah gue bikin aja lengkap sama fotonya. Fotonya lo ambil dari Pinterest kan?” Jiza tertawa dan mengacak rambut Seli dengan tangan kekarnya.

“Tahu aja lo. Coba lihat.” Seli mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sebuah foto.

“Salah lo. Tanda tanyanya harus tiga. Lo bikinnya cuma dua.”

“Rese banget, ih. Balik lagi yang rese.”

“Ya udah sana balik. Gue belum bisa anterin lo. Nanti kalau udah pulang, gue anterin dua puluh empat jam non stop muter-muter Jakarta.”

“Bawel. Iya-iya.”

Satu minggu berlalu. Seli tidak bisa mengunjungi Jiza barang sekali karena kesibukannya yang kian padat.

Plastik yang berisi bintang-bintang tentang mimpinya telah mencapai lima ratus buah dan kali ini, Seli menulis sebuah mimpinya ketika ia tertidur di kelas.

Jiza alias pacar gue, dia kasih tau satu rahasia tentang keluarganya. Dia juga bilang ke gue jangan jalan bagong pas jadi pengibar bendera tujuh belasan.

“Sel, lo mau daftar Paskib gak? Ini tim Paskib buka pendaftaran buat pasukan pengibar bendera besok pas hari kemerdekaan.”

“Mau!” Seli segera meminta kepada Mika lembar formulir dan mulai menulis semua identitas yang tertera.

“Tumbenan lo mau?”

“Gue mau ngewujudin mimpi seseorang.”

“Oh, ya udah. Good luck

“Boleh Kak, tapi sebentar saja ya.” Suster menuntun Seli untuk memakai alat pelindung diri. Lalu Seli kembali bertanya.

“Sus saya boleh taruh sesuatu kan di nakasnya Rajiza?”

“Boleh. Silakan.” Seli berjalan perlahan-lahan di bangsal hingga memasuki bilik di mana Jiza dirawat.

“Hai. Gue dateng bawa sesuatu buat elo.” Seli menaruh stoples kaca itu dan mengenggam tangan Jiza yang terbebas dari sentuhan dokter.

“Jiz, gue gak tahu lo di sana juga ngelihat hal yang sama dengan mimpi yang gue alami atau enggak. Tapi please Jiz. I hope that was true Bangun, Jiz. Gue kangen sama rese lo,” tutur Seli sembari setia mengusap punggung tangan Jiza yang terbebas dari sentuhan medis itu.

“Gue balik dulu, ya. Gue gak mau lo malah ngambek sama gue gara-gara mikirin elo terus. Besok atau nanti sore gue dateng lagi. Gue bawain bintang-bintang yang banyak buat lo.” Seli melepas genggaman Jiza dan pergi meninggalkan ICU untuk kembali ke rumah.


“Jiz ini apa?”

“Scan aja.” Seli mengeluarkan ponsel dan memindai kode tersebut. Ponselnya seketika terbawa menuju sebuah playlist yang berisikan lagu soundtrack kartun Frozen, Tangled, dan Aladdin. Gadis itu menatap lekat-lekat judul dan membaca sampul playlist tersebut.

“Gue kemarin menghindar dari elo karena gue itu belum yakin apakah gue bener-bener suka sama lo atau bukan. Tapi, ya sekarang gue benar-benar yakin. Makanya gue kasih playlist itu ke elo.”


Seli membuka mata, mendapati bahwa di luar tengah hujan deras. Lagu Symphony milik Clean Bandit masih setia terputar dari tadi siang sebelum ia terlelap.

And now your song is on repeat And I'm dancin' on to your heartbeat And when you're gone, I feel incomplete So if you want the truth

Seli ingat sekali Jiza pernah bercerita selain ia menyukai lagu Disney, ia juga sangat menyukai lagu yang dipopulerkan oleh Clean Bandit terutama lagu Symphony.

“Gue gak bisa ke tempat Jiza lagi ya?” Seli beranjak dari ranjang dan menuju ke meja belajarnya yang berada di depan kaca jendela yang sangat lebar. Membuat gadis itu dapat melihat pemandangan yang ada di depan rumah.

Gadis itu mengambil kertas dan menulis mimpinya. Setelah itu, ia membentuk kertas itu menjadi bintang dan memasukkannya ke dalam plastik bersama seratus bintang kosong yang hanya berisikan harapannya kepada Jiza.

Seli terperanjat ketika melihat bahwa dirinya tengah berada di dekapan seseorang dengan suara hujan dan petir yang saling sahut-menyahut.

“Mati lampu doang, gue ambil lilin dulu ya. Habis itu lo jelasin ke gue tentang materi selama gue di RS.” Seli mendekap kian erat tubuh Jiza dan ia menggeleng kuat.

“Di sini aja, Jiz. Gue takut gelap.”

“Bayar ya, satu jam seratus ribu.”

“Apaan sih? Rese banget.”

“Canda!”


Seli membuka mata, menatap ke seluruh penjuru langit-langit kamar. Itu adalah mimpi teraneh selama dia hidup.

Berdua bersama Jiza saat mati lampu. Tapi tunggu, dia teringat sesuatu. Gadis itu melihat kalender saat sebelum mati lampu. Tanggal tujuh belas Juli yang Jiza lingkari dengan sangat jelas dengan spidol.

“Emangnya kemarin hujan?” Seli melihat ke koridor depan, rupanya jalanan penuh dengan kumbangan air bekas hujan.

“Gue kayaknya terlalu stress gara-gara kepikiran Jiza.”

TOK TOK

“Dek, lo sekolah kaga?” Suara Yaksa mengejutkan Seli. Gadis itu menatap jam yang berada di atas nakas dan berteriak.

“Lo kira gue mau masuk jam sembilan, Bang? Mau ditaroh di mana muka gue kalau disuruh bersihin toilet?” Seli kembali duduk di kasur dan setia memikirkan mimpinya.

Hingga ia teringat sebuah hal. Bahwa jika kita membuat 1000 origami bintang sambil mengucapkan atau memikirkan satu harapan kita, maka harapan tersebut akan terkabul.

Seli langsung beranjak ke meja belajar lalu menulis semua mimpi yang ia alami tadi malam dan membentuknya menjadi bintang. Selain itu, Seli juga membuat bintang tanpa isi mimpi untuk sekedar menemani satu bintang. Namun, tetap ia mengirimkan harapan akan kesembuhan Jiza.

“Sekarang gue harus masukin di mana?” Seli menoleh dan mencari tempat yang cocok untuk menampung origami bintang sebanyak kurang lebih seratus ini.

Hingga Seli menemukan sebuah stoples kaca. Gadis itu lupa ia memakai stoples ini untuk apa, namun akhirnya stoples itulah yang Seli pakai untuk menampung semua origami bintang buatannya.

“Ke rumah sakit deh. Siapa tahu boleh jenguk udahan.” Seli berganti pakaian, dan memasukkan stoples itu ke dalam tas. Lalu pergi menuju rumah sakit untuk menaruh stoples berisi Lucky Stars itu

Seli terperanjat ketika melihat bahwa dirinya tengah berada di dekapan seseorang dengan suara hujan dan petir yang saling sahut-menyahut.

“Mati lampu doang, gue ambil lilin dulu ya. Habis itu lo jelasin ke gue tentang materi selama gue di RS.” Seli mendekap kian erat tubuh Jiza dan ia menggeleng kuat.

“Di sini aja, Jiz. Gue takut gelap.”

“Bayar ya, satu jam seratus ribu.”

“Apaan sih? Rese banget.”

“Canda!”


Seli membuka mata, menatap ke seluruh penjuru langit-langit kamar. Itu adalah mimpi teraneh selama dia hidup.

Berdua bersama Jiza saat mati lampu. Tapi tunggu, dia teringat sesuatu. Gadis itu melihat kalender saat sebelum mati lampu. Tanggal tujuh belas Juli yang Jiza lingkari dengan sangat jelas dengan spidol.

“Emangnya kemarin hujan?” Seli melihat ke koridor depan, rupanya jalanan penuh dengan kumbangan air bekas hujan.

“Gue kayaknya terlalu stress gara-gara kepikiran Jiza.”

TOK TOK

“Dek, lo sekolah kaga?” Suara Yaksa mengejutkan Seli. Gadis itu menatap jam yang berada di atas nakas dan berteriak.

“Lo kira gue mau masuk jam sembilan, Bang? Mau ditaroh di mana muka gue kalau disuruh bersihin toilet?” Seli kembali duduk di kasur dan setia memikirkan mimpinya.

Hingga ia teringat sebuah hal. Bahwa jika kita membuat 1000 origami bintang sambil mengucapkan atau memikirkan satu harapan kita, maka harapan tersebut akan terkabul.

Seli langsung beranjak ke meja belajar lalu menulis semua mimpi yang ia alami tadi malam dan membentuknya menjadi bintang. Selain itu, Seli juga membuat bintang tanpa isi mimpi untuk sekedar menemani satu bintang. Namun, tetap ia mengirimkan harapan akan kesembuhan Jiza.

“Sekarang gue harus masukin di mana?” Seli menoleh dan mencari tempat yang cocok untuk menampung origami bintang sebanyak kurang lebih seratus ini.

Hingga Seli menemukan sebuah stoples kaca. Gadis itu lupa ia memakai stoples ini untuk apa, namun akhirnya stoples itulah yang Seli pakai untuk menampung semua origami bintang buatannya.

“Ke rumah sakit deh. Siapa tahu boleh jenguk udahan.” Seli berganti pakaian, dan memasukkan stoples itu ke dalam tas. Lalu pergi menuju rumah sakit untuk menaruh stoples berisi Lucky Stars itu

Seli berlari membelah kepadatan orang yang ada di sepanjang lorong rumah sakit. Gadis itu masih memikirkan teman satu kelasnya itu, hingga tatapan matanya terkunci di seorang pemuda berwajah bule yang kini tengah terduduk dan menatap nat lantai.

“Kak Arga! Kak Arga kenapa gak bilang kalau di sini? Terus Jiza di mana sekarang?” Arga mendongak dan menatap Seli lalu berdiri. Mengajak Seli ke salah satu jendela di mana mereka dapat melihat Jiza dengan jelas.

“Itu ICU. Dia tadi kejang-kejang terus ada sekali henti jantung. Gue tadi nanya temen bokap, emang kalau alergi berat gak bisa main-main, Sel. Resiko paling parah bisa meninggal.”

“Gue beneran gak tahu, gue gak tahu kalau Jiza alergi kacang.” Seli memegang kaca pembatas dan matanya tak berhenti melihat seorang Rajiza yang kini terbaring dengan alat medis menghiasi tubuhnya.

“Lo gak usah khawatir, Sel. Jiza nanti gue jagain bergilir sama anak Bumilangit. Pulang aja lo. Istirahat. Kita juga belum bisa ketemu Jiza soalnya.”

Seli menganggukkan kepala dan mendekap kakak kelasnya itu lalu berpamitan pulang.

“Sel? Mau balik?” tanya Chesna saat berpapasan di pelataran rumah sakit.

“Iya. Jiza belum bisa di kunjungin.”

“Ya udah naik aja. Gue anterin lo balik. Ga baik cewek galau kayak lo malah naik transjakarta atau naik taksi. Resiko melamun tinggi.” Seli tertawa renyah dan langsung menerima helm pemberian Chesna—yang merupakan helm milik Jiza— lalu pergi meninggalkan pelataran rumah sakit.


“Istirahat, Sel. Wajah lo keliatan lesu banget dari tadi.”

“Iya Ches. Gue masuk dulu ya.” Seli mencangklong tasnya dan membuka pintu pagar. Gadis itu memasuki rumah yang masih sepi karena sang kakak yang masih kuliah. Berjalan menghitung seluruh anak tangga hingga ia membuka kamar dan melempar tubuhnya di atas kasur yang empuk.

“Jiza masuk ICU. Karena gue ....” Seli masih setia menyalahkan diri hingga tanpa ia sadari, gadis itu terlelap tanpa berganti pakaian.

Jiza membuka mata, menatap langit-langit rumah sakit yang terasa asing di pandangannya.

Pemuda itu tak dapat bersuara karena seluruh alat medis yang terpasang, dari selang ventilator hingga selang saluran makan. Pemuda itu bingung, berusaha untuk bergerak hingga oksimeter yang terpasang di jemarinya terlepas dan menciptakan ritme acak di monitor.

“Jiz, lo udah bangun? Astaga lo ketinggalan banyak cerita.” Arga memasangkan kembali oksimeter di jemari Jiza. Pemuda itu masih berusaha untuk berkomunikasi namun nihil. Arga tak tahu dan justru hendak pergi menuju meja perawat sebelum akhirnya Jiza meraih pergelangan tangan Arga.

“Kenapa? Iya gue mau bilang sama suster dulu kalau akhirnya lo siuman setelah hampir sebulan tidur.” Jiza mengerutkan dahi dan menatap sahabatnya itu hingga akhirnya, Arga menyadari sesuatu. Pemuda berwajah bule itu memberikan ponselnya, membuka note untuk corat-coret dan membiarkan Jiza mencoret-coret apa yang ingin ia katakan.

Pacar gue mana?

“Pacar? Lo gak punya pacar, Jiz.”

Seli pacar gue.

Tepat disaat yang bersamaan, dokter memasuki bilik Jiza untuk mengecek keadaannya.


“Sepertinya, Rajiz kalau tidak ada masalah, besok bisa dipindahkan.” Dokter itu mengalungkan stetoskopnya dan meninggalkan Jiza yang kini telah terbebas dari ventilator dan selang makan. Kecuali selang oksigen serta monitor jantungnya yang srtia berbunyi.

“Bang, lo utang cerita.”

“Istirahat aja dulu.”

“Jawab pertanyaan gue. Ini tanggal berapa?”

“17 Agustus. Lo sebulan koma cuma gara-gara roti selai kacang buatan Seli.”

“Hari ini, Seli paskib jadi pembawa bendera.”

“Kok lo tahu, Jiz?”

“Dibilang gue pacaran sama Seli.” Jiza mempertegas kalimatnya namun membuat pemuda itu lemas.

“Galak bener. Lo tuh baru siuman, gak usah sok keras. Udah ya gue mau keluar dulu.” Arga berjalan keluar dan tepat di saat itu, Seli memasuki ruangan di mana Jiza berada.

“Jiz! Gue minta maaf banget ya.”

“Gimana paskibnya? Gak ngebagongkan?” Sebuah pelototan tajam ia terima dari Seli.

“Kaga. Gue cuman kemarin malem tuh mimpi.”

“Mimpi?”

“Mimpi lo takut operasi ACL. Gue gak tahu kenapa semenjak lo masuk RS, gue selalu mimpi itu.” Jiza tersadar akan sesuatu, lalu mengenggam tangan gadis di depannya itu.

“Gue kira, gue mimpi. Ternyata beneran mimpi.” Jiza tertawa walaupun masih sedikit kesulitan.

“Gue kira, gue beneran jadi pacar lo, Sel. Ternyata enggak ya?”