hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

“Pas dulu dateng ke sini bikin jarak pake istilah profesionalitas. Sekarang malah sok penasaran,” cibir Abella yang masih asyik menatap layar iPad-nya. Ia teringat dengan sosok Samuel yang menjaga jarak saat pertama kali ia datang.


Satu bulan yang lalu “Hai. Lama gak ketemu.”

Suara sapa pria yang lahir di awal era milenial itu membuat Abella mendongak. Ia menatap Samuel yang kini berdiri di depan meja kerjanya.

Samuel mengulurkan tangan, namun hanya dibalas dengan tatapan Abella. Hal itu sontak membuat Samuel merasa kikuk setengah mati.

“Très bien. c'est ce que tu veux. je vais professionnel. voici mon contrat signé. et puis-je commencer mon travail?” >Baiklah. itu yang kamu inginkan. Saya akan profesional. Ini kontrak saya yang sudah ditandatangani. dan bisakah saya memulai pekerjaan saya?

“Tunggu dulu di ruang meeting. Gue panggilin dulu Pak Rendra.”


“Bel. Abellaaaa.” Abella tersadar dari lamunannya dan langsung menoleh.

“Oh Tika. Baru dateng?”

“Gue udah dari tadi. Lima menitan ada kayaknya. Lo lagi ngapain?” Abella refleks menutup layar iPad, menghalangi Tika untuk melihat gambar yang sedang ia buat.

“Lo tahu gak sih. User thewallbetweenus lagi rame banget. Padahal gambarnya baru satu doang. Cuman nge-feel banget.”

Abella tertawa kecil, ia menata barang-barang miliknya dan beranjak.

“Gue balik ke meja dulu. Mau prepare buat meeting sama Hubert.”

“Bel, lo gatau kalo lo sama Hubert jadi bahan pembicaraan?” tanya Tika yang membuat langkah Abella terhenti.

“Tahu. Gue sama dia ngebangun tembok kan? Sama kayak postingan thewallbetweenus.”

Matahari mulai muncul di antara bangunan-bangunan indah kota Paris. Samuel, yang terjaga dari tidurnya masih setia menatap layar laptopnya. Ia mendengar suara langkah kaki menuju ke kamarnya, dan Juliane membuka pintu kamarnya sembari berkata, “Cari makan yuk, Sam! Lo masih ngerasa peng—”

Ucapan Juliane terpotong ketika ia melihat apa yang sahabatnya lakukan. Meja yang berantakan, pakaian yang tertumpuk di atas kasur dengan sebuah paspor berwarna hijau di atasnya, serta laptop yang menunjukkan sebuah situs pembelian tiket pesawat.

“Lo mau ngapain, Sam?”

“Balik,” jawab Samuel singkat.

“Ke Indo? Ngapain?” tanya Juliane yang semakin tidak paham dengan jalan pemikiran Samuel.

“Kerja. Lo gak mau ikut? Take off -nya jam delapan malem.”

Juliane langsung pergi tanpa menutup pintu, meninggalkan Samuel yang menghela napas dengan begitu berat.

Lo sama Abel sembunyiin rahasia apa lagi? batin Samuel.


Hari sebelum Samuel dan Abella putus

“Bel, besok pas christmas ke tempat biasanya aja gimana? Tukeran kado,” ucap Samuel dengan penuh semangat. Abella hanya bergeming. Pikirannya saat ini penuh, membuat gadis itu menutup buku yang ia baca dan berdiri dari tempat duduknya.

“Hubert, aku mau keluar sebentar. Cari angin,” bisik Abella.

“Mau ditemenin?”

Abella menggeleng, ia meraih mantelnya dan berjalan membawa buku itu pergi dari meja untuk keluar dari perpustakaan. Samuel awalnya tak merasa aneh dengan sikap sang kekasih. Namun, saat ia akhirnya merasa bosan dengan menggambar Abella. Ia memilih untuk keluar dan secara tak sengaja mendengar suara Abella dan Juliane di samping tangga luar perpustakaan.

“Ju, kalo gue balik ke Indonesia gimana?”

Langkah kakinya terhenti dan ia mencoba untuk mendengar semua pembicaraan Abella dan Juliane.

“Rahasiain alesan gue dari Hubert ya, Ju. Gue gak mau dia ikut balik ke Indo hanya karena gue.”

Why just me? Why you try to make a distance?

Abella menatap kosong layar laptopnya. Membiarkan lagu milik KIMMUSEUM yang bertajuk We're Already terputar melalui akun Spotifynya.

Lo masih gak mau kasih tahu tentang keadaan lo sekarang ke Samuel?

Kalimat itu rasanya sangat sulit untuk Abella cerna, membuat otaknya memilih untuk menyerah dan mengabaikan pertanyaan Juliane. Jemarinya bergerak untuk menggeser kursor, mencari draft kontrak kerja sama milik Samuel. Gadis itu mengirimkan fail kontrak ke e-mail Samuel. Namun, netranya justru terkunci akan sebuah e-mail yang sudah lama sekali ia buka.

Kok gue baru inget punya akun ini, ya? ujar batin Abella.

Kepalanya menggeleng cepat, melupakan kenangan yang terlintas di benaknya, dan menekan tombol control serta enter secara bersamaan untuk mengirim e-mail yang tertunda.


It will be a blank, till I find it through your mouth. I don't know. So, whisper the words floating in your tangled head.

Kita kembali ke sosok Samuel yang masih setia melihat satu persatu gambar di akun @beatbert. Ia terbangun dengan kepala yang begitu pusing sesaat setelah pintu kamarnya ditutup oleh Juliane.

“Kenapa namanya harus B&H? Aneh tauk!”

Samuel terkekeh, teringat dengan omelan Abella saat melihat nama akun yang ia buat untuk menjadi museum gambar mereka berdua. Pemuda itu terus menggulir layar, hingga ia menemukan sebuah postingan tanpa takarir. Hanya sebuah gambar sketsa yang sangat khas.

Samuel Hubert on Summer in Paris, France.

Itu judul yang tertulis di sketsa. Samuel bisa menebak kalau itu goresan Abella. Gambar dirinya yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana jeans.

“Ini pas gue lagi kelas, ya?” gumam Samuel. Tangannya kini meraih iPad, membuka sebuah draft gambar yang lama tak ia sentuh. Seketika semangatnya kembali dan dia merampungkan gambar itu.

Kaki mungil Abel melangkah, menghindari genangan air di halaman rumah. Sampai akhirnya, ia tiba di depan pintu rumah mungilnya. Gadis itu menemukan seorang pria yang berpakaian sangat rapi dalam balutan kemeja hitam yang mulai pudar, dipadukan dengan celana serta gasper hitam.

“Papa mau kemana?” tanya Abel.

“Mau ke rumah Om.” Rasa lelah karena seharian kerja seketika menguap. Abel sangat semangat saat mendengar bahwa sang Papa akan pergi bersama Paman.

“Jam berapa? Aku ikut, ya!”


Sepertinya, semua ekspetasi yang Abel bayangkan sirna. Tidak ada saudara sang Paman yang ikut menjemputnya. Gadis itu hanya bisa terduduk lesu di bangku tengah mobil. Menatap jendela yang penuh dengan ulir air hujan, sedangkan telinganya kini penuh dengan lagu rohani serta perdebatan dua orang pria dengan keyakinan dan kepercayaan mereka.

Mobil terus melaju, membelah rintik hujan yang membasahi Solo Baru. Pikiran Abel terus bercabang memikirkan hal apa yang harus ia ucapkan kepada Samuel di chat untuk pertama kali. Ego serta gengsi, kedua hal yang membuatnya ragu terus menghantui Abel.

Setelah mobil berbelok dari perempatan patung Padhawa dan memasuki area Atrium, Abel justru merasakan hal aneh. Kendaraan itu justru berputar balik ke arah menuju patung Pandhawa.

“Yah tutup,” seru sang Paman. Detik itu juga Abel baru sadar, bahwa sang Paman hendak mengajak dirinya dan sang Papa untuk menikmati nasi liwet. Namun, tak nampak warung kaki lima yang biasa menjual nasi liwet. Yang ada hanyalah sebuah warung kaki lima yang berbeda. Di spanduknya bertuliskan, Soto Daging Sapi Pak Jhon.

“Makan soto aja, ya,” tawar sang Paman. Tanpa basa-basi, Abel langsung membuka pintu mobil. Semangkuk nasi soto dengan cuaca dingin sepertinya sangat nikmat, begitu pikir Abel yang berjalan menuju tenda terpal yang tampak hangat.

Lagi dan lagi, pikiran Abel justru ditarik mundur. Ke masa di mana dirinya bersama Samuel.

Rintik hujan membasahi kota indah, Paris. Suara Sam Kim yang indah di lagu Love Me Like That memenuhi telinga Samuel. Pemuda itu asik melihat keindahan kota dalam balutan hujan, mengabadikannya ke dalam goresan cat akrilik. Bibirnya sesekali berkomat-kamit mengikuti lirik lagu.

You see the world in colors, I see in the black and white. Paint me a picture, out of the lines that.

Retweet gue udah dibaca belum, ya? batinnya sembari menahan tawa. Baru saja, ia melihat cuitan milik Abel yang menurutnya sangat lucu. Samuel tak segan-segan mengomentari melalui quote retweet.

“Sam!” pekikan Juliane mengejutkannya. Rupanya, pemuda itu sudah memanggil nama Samuel sejak masuk ke flat. Tapi, suara Juliane kalah dengan speaker bluetooth dan lamunan Samuel. Juliane hanya menggeleng heran, berjalan menuju dapur untuk menaruh belanjaannya.

“Lo dapet chat, gak?” tanya Samuel. Juliane yang baru saja mengeluarkan roti baguette seketika heboh mengambil ponsel dari kantung celana training yang ia kenakan.

Non. Qui a envoyé le message?” tanya Juliane balik.

“Presiden Direktur Penerbit Alinea. Morendra. Check your email.

Juliane kembali membuka ponsel, mencari aplikasi surat elektronik di kumpulan aplikasi permainan yang begitu banyak. Sampai akhirnya, ia menemukan e-mail yang dimaksud oleh Samuel.

“Se-seriusan ini Rendra nanyain lo masih desain cover?”

“Lo mau tahu satu hal kaga?”

“Apaan?”

“Baca bagian terakhir e-mail.”

Juliane membaca bagian penutup surat dan ia terkejut bukan main. Ia berkata, “Anjir, lo dapet bisikan dari mana?”

Nanti buat desain dan yang lainnya. Biar Ketua Pemasaran gue aja yang chat lo. Namanya Abella Beatrice.

“Gue, hubungin lo? Mimpi!” maki Abel ke ponselnya yang tak bersalah. Ia merasa sangat kesal dengan mantannya yang terlalu percaya diri itu.

“Samuel Hubert, lo kenapa gak dewasa-dewasa sih? Selalu pengen gue di deket lo gitu?”

Abel yang terus mengoceh tentang ketidak dewasaan seorang Samuel Hubert langsung terlonjak kaget ketika mengetahui bahwa jarum jam di kamarnya sudah menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Ia menatap ke papan tulisnya yang penuh dengan agenda dan to do list.

09.00 meeting sama Pak Rendra 10.00 meeting promosi novel yang akan datang sama tim

“Mampus! gue belum nyusun materi sama sekali!”


“Selamat pagi semuanya,” sapa Abel sembari menahan kantuk. Beberapa karyawan menahan tawa saat melihat penampilan perempuan itu. Rambut yang mekar belum di sisir bagaikan singa, bibir pucat karena belum diolesi lipstick, dan alis mata yang botak karena belum sempat ia gambar. Bisa dikatakan, penampilan Abel sangat berantakan.

“Bel-Bel, lo semalem ngegalauin mantan atau ngelembur?” celetuk seorang pria dengan kacamata bening yang bertengger di wajah manisnya.

“Bacot banget lo, Jar! Gue nyiapin materi buat meeting, nih!”

Pemuda bernama Fajar itu tertawa, ia lantas berkata, “Iya deh, Ibu Kepala Pemasaran Penerbit Alinea. Gue percaya banget kalau lo gak pernah luput dari tanggung jawab.”

Fajar memberikan dua ibu jarinya.

“Kok lo tahu gue jadi Kepala Pemasaran?”

“Tadi pagi di layar informasi udah ditulis sama Pak Rendra, informasi kenaikan jabatan lo. Oh iya, katanya dia nyari lo. Rapiin dulu tuh rambut, sama minimal gambar alis lo dulu!”

Abel terkekeh, teman kantornya ini memang paling ahli dalam berkomentar.

Pantesan aja Pak Rendra jadiin dia ketua editor, batin Abel yang kini sedang menggambar alis matanya.


“Abel,” panggil Rendra setelah mereka selesai berdiskusi tentang perencanaan promosi kedepannya.

“Ada apa, Pak?”

“Kamu coba cari referensi promosi untuk novel Take Me to Paris, ya.” Rendra memberikan satu bundel kertas HVS. Di lembaran pertama tertulis judul dan nama si penulis naskah.

Take Me to Paris

Jule

“Saya tunggu nanti sore, ya,” ucap Rendra yang dijawab dengan anggukan kepala Abel.

Abella merebahkan tubuhnya di kasur. Menatap kosong langit-langit kamarnya. Tak ada angin, tak ada hujan, gadis itu mulai menangkupkan wajahnya dengan bantal sembari berteriak, “Bego! Abella Beatrice paling bego! Kenapa sih selalu telepon Hubert? Ditambah ini malah buka blokirannya Hubert.”

Merasa wajahnya kian memanas dan sulit bernapas, Abella menjauhkan bantal dari wajahnya. Ia meraih ponsel, membuka foto Samuel yang dikirimkan oleh Juliane. Gadis itu tersenyum masam ketika mengingat sejarah di tempat itu.

“Kenapa dulu gue mutusin Hubert di the Louvre Museum, ya?”


25 Desember 2021

Langkah kaki Abella tak henti-hentinya melangkah. Di tengah guguran salju yang membuat indah kota Paris, gadis itu tetap melangkah dengan satu hal yang sangat pasti. Membawanya pergi ke sebuah museum terkenal di ibukota Prancis.

Hello, Darling. Joyeux noël!” sapa Samuel dengan senyuman indahnya. Pemuda itu memberikan hadiah, sebuah syal rajut yang begitu indah.

Merci beaucoup, mon cher,” jawab Abella dengan kekehan di akhir. Sedetik kemudian, wajahnya berubah menjadi sendu. Menatap wajah tampan kekasihnya saja rasanya sangat enggan.

“Kenapa? Kamu sakit?” Abella menggeleng mendengar pertanyaan Samuel.

“Bert, I'm so sorry,

“Kenapa? Kamu gak bawa hadiah? Gapapa, lagian kamu dateng udah jadi hadiah natal spesial buat aku.” Samuel meraih syal pemberiannya, mengenakan kain hangat itu ke leher Abella.

“Aku mau balik ke Indo.”

Tangan Samuel terhenti. Ia menatap penuh tanya ke perempuan di depannya.

You said you want to go to Paris for go away from your parents right? Katanya kamu mau sama aku, bukan sama pria pilihan Mamamu, kan? Kamu lu—”

“Aku inget. Inget banget ucapanku waktu itu. Kembali ke Indonesia sama dengan hubungan kita putus. I'm so sorry, Hubert. Banyak pertimbangan yang harus aku pilih dan kembali ke Indo itu satu-satunya jalan yang aku punya.”

How about your study?” tanya Samuel.

“Pindah juga.” Suasana hening menyelubungi kedua insan itu. Abella menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia mengeluarkan dua paperbag dan memberikannya kepada Samuel.

“Aku flight jam tiga. Ini hadiah natalmu, sekalian nitip buat Juliane juga. Aku pergi dulu, ya.” Abella tersenyum untuk berusaha menahan air matanya yang akan jatuh. Ia berjalan meninggalkan Samuel, namun pemuda itu justru berlari dan mendekap tubuh Abella.

“Aku tadi mau bilang ke kamu. The snow is beautiful, isn't it?

“Nama samaranmu Livie bukan, Liv?”

Olivia yang baru berjalan keluar dari salah satu pintu seketika menoleh, ia bahkan bertanya bagaimana Samudera mengetahui nama samaran yang ia pakai di dunia roleplay.

Samudera justru terkekeh, netranya justru terpusat kepada sosok bertubuh mungil dengan rambut cepaknya yang tengah berdiri mencari seseorang.

“Richard!” panggil Samudera yang membuat pemuda itu menoleh. Samudera hanya bisa mendengus, melihat bagaimana beruntungnya teman sekaligus saudaranya itu karena dapat berpacaran.

Richard berjalan menghampiri Samudera dan kerumunannya, namun pemuda itu justru berkata, “Reynold, Reynold … kenapa kamu selalu bodoh setiap mengajak seseorang untuk meet up? Bagaimana dia tahu kalau kamu pacarnya kalau foto profilemu hanya Wonwoo SEVENTEEN?”

Samudera lantas berjalan mendekati saudara jauhnya, lantas menyentil jidat pemuda itu dan membuat Richard mengomel dalam bahasa Jerman.

Olivia yang mendengar ucapan Samudera hanya dapat membeku, rasanya ada sebuah magnet yang menahan langkahnya saat melihat Richard dari dekat.

“Kamu … Reynold Oliver?” tanya Olivia yang masih tak percaya.

“Livie?” Richard justru bertanya balik kepada wanita didepannya. Tangannya masih mengenggam ponsel dengan layar yang setia menunjukkan roomchat-nya bersama Livie.

Kedua muda-mudi itu hanya terdiam dalam kecangunggan. Namun hanya sebentar, sebab Johan yang ikut dalam tur bersama Samudera justru berceloteh karena hanya dirinya yang jomlo.

“Gue inget semuanya. Gue inget gimana gue bisa lupa sama nama gue dan alasan kenapa gue sangat suka sama nama Kazuko yang lo kasih.”

Bonnie menoleh, menatap tubuh transparan Kazu yang nampak begitu kelabu. Dalam genggamannya masih memegang sebuah ponsel yang menampilkan foto Kazu dengan nama aslinya, Jigme Raditya Buana.

“Jigme ... jadi itu nama lo, Kaz?” tanya Bonnie perlahan.

“Gue dibuang dari keluarga Buana. Mereka semua berisikan anak-anak berintelektual, masuk di perguruan tinggi terpopuler, pandai sosialisasi, dan pastinya mereka semua rupawan. Setidaknya sebuah kesempurnaan adalah hal yang mereka dapatkan.”

“Terus kamu kenapa, Kaz?” Bonnie mulai melunak, bahkan gadis itu bergeser tempat duduk dan semakin dekat dengan Kazu yang setia menatap kosong rerumputan yang menembus.

“Hari itu ... hari peluncuran novel. Bersamaan dengan acara Cakra Buana, itu acara untuk merayakan ulang tahun Kakek. Mereka semua membicarakan tentang pendidikan mereka, kecantikan maupun ketampanan mereka seolah-olah membangun sebuah standart penilaian. Sialnya, orang itu juga turut andil untuk menjadi juri kehidupan seseorang. Dia menilai gue sebagai sebuah sampah.”

Bonnie mengerutkan dahi. “Orang itu?” tanyanya.

“Papa. Dia orang yang berkata bahwa gue adalah sampah di keluarga Buana hanya dengan berkhayal dan menulis cerita.”


“Sayang, jangan katakan hal itu  ....” Mama menarik lengan pria dalam balutan jasnya yang begitu mewah. Ia terus-menerus memaki dan menoyor kepala Jigme tanpa ampun. Tetapi pria yang sudah digelapkan oleh sebuah validasi hanya dapat menangkis tangan istrinya dan menghampiri pria bertubuh tinggi itu untuk ia jadikan samsak sebuah tamparan yang tak bertuan.

Jigme terhuyung, ia merasakan bagaimana panasnya pipi yang memerah dengan cap tangan Papa. Pemuda itu langsung beranjak dari ruangan, membiarkan Papa berteriak memanggilnya sebagai anak tak punya etika.

Ia menghampiri motor besarnya, menunggangi kendaraan itu dan mulai melajukan motor dengan cepat meninggalkan Mama yang nampak dari pintu basement dan memanggilnya untuk kembali.


“Terus gue kecelakaan di depan kampus ini. Gue nabrakin diri ke pohon yang ada di pinggir jalan dengan kecepatan tinggi.” Kazu terkekeh, ia menatap tangannya dan kini melanjutkan ucapan, “Gue kira ... dengan gue mengakhiri hidup, semua masalah hidup gue teratasi.  Setidaknya gue bisa keluar dari lingkaran setan yang membelenggu gue.”

Bonnie memeluk Kazu, walaupun gadis itu nampak seperti memeluk sebuah angin tetapi Kazu hanya tertawa dan menenggelamkan diri di dalam pelukan semu milik Bonnie.

“Kenapa kamu gak bisa keluar dari lingkaran setan? Bukannya kamu sudah me—”

“Gue masih hidup, tubuh gue masih ada di rumah sakit tapi koma,” tukas Kazu yang membuat Bonnie terbelalak, baru pertama kalinya ia melihat hantu dari seseorang yang koma di rumah sakit.

“Bisa kasih tahu rumah sakit mana?”

Gemuruh hilir mahasiswa menuntun langkah seorang gadis dengan rambut sebahunya untuk berjalan memasuki gedung perpustakaan, rasanya satu tahun telah ia lalui dengan menutup diri serapat mungkin dengan pakaian serba hitamnya. Bonnie terus melangkahkan kakinya dan membiarkan sol sepatu Converse yang ia kenakan beradu, menciptakan sebuah melodi yang meninggalkan setiap langkahnya.

Gadis itu sangat membenci semua tatapan itu.

Bukan. Bukan dari orang-orang yang memandang aneh pakaiannya. Tetapi hantu-hantu di sekelilingnya yang kini mulai memandang ke arahnya bagaikan menemukan seorang sasaran yang empuk untuk mereka goda.

Andaikan saja, Mahen masih di dunia ..., hela gadis itu seraya berjalan ke arah rak buku fiksi yang ada di ujung. Netra Bonnie lagi dan lagi hanya dapat berpendar malas, melihat buku yang ia tulis tahun lalu tentang Mahen yang hanya menjadi seonggok kertas yang mulai menguning di kumpulan novel fiksi.

Tetapi ada yang aneh di saat ia berdiri di tempat itu karena untuk pertama kalinya, Bonnie melihat sosok arwah yang lebih menarik perhatiannya daripada hantu berwajah rusak maupun berbau bangkai dan amis yang sering ia jauhi.

Pria itu nampak seperti mahasiswa umumnya, namun saat Bonnie melihat ke bawah, tak nampak sedikitpun bayang tubuhnya yang acap kali gadis itu temui pada manusia. Bonnie memejamkan mata, ia berusaha untuk tidak mempedulikan pria tak kasat mata itu dan memilih untuk berputar balik dan berjalan ke lorong sebelah yang penuh akan buku sastra.

“Hai, kayaknya kamu lihat aku. Iya kan?” ucap pemuda asing itu saat Bonnie hendak mengambil sebuah buku. Di rak teratas. Sikap pria dengan jaket flanel berwarna merah yang mendadak dengan menembus rak benar-benar mengejutkan Bonnie yang berdiri di atas tangga. Hampir saja wanita itu hendak terjatuh.

Santai, Bonnie ... dia ... cuman ... hantu ... usil. Begitulah ucapan batin Bonnie saat ia melihat tajam hantu di depannya hingga membuat pemuda itu memilih untuk mundur dan kembali ke lorongnya semula. Membiarkan Bonnie yang kini mengambil sebuah buku sastra dan berjalan menuju meja perpustakawan untuk meminjamnya.

“Kak. Kakak merasa ada yang ganggu gitu gak?” tanya Bonnie kepada pemuda dengan tag nama Adam itu. Ia hanya tersenyum kecil, mengarahkan mesin scan ke barcode buku yang dipinjam oleh Bonnie, lantas meraih kartu identitas milik gadis di depannya.

“Kamu pasti bisa lihat hantu, ya?” tanya Adam dengan suara pelan hingga membuat Bonnie terkejut, gadis itu berusaha keras untuk menggeleng namun Adam yang mengetahuinya sejak pertama kali kedatangan Bonnie ke perpustakaan kampus justru berkata, “Mereka sering lihatin kamu, soalnya aroma kamu beda dari yang lain. Kayaknya kamu habis bantu satu hantu untuk menyebrang ke alam lain ya?”

Adam memberikan buku sastra yang dipinjam Bonnie lantas berkata, “Hantu yang tadi ganggu kamu itu baru di sini. Dia udah lima jam di sini, saya coba ajak dia mediasi tapi dia cuman menggeleng. Kayaknya, dia akan memberikan suatu jawaban ke kamu. Ini ya, bukunya.”

Bonnie hanya tertawa mendengar penuturan Adam yang menurutnya hanyalah omong kosong. “Hahaha, terima kasih Kak.”

Perpustakaan aneh.