hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Surakarta, 2016 “Jo, gue lihat-lihat lo kerja, ya? Mana duitnya! Sini buat gue.” Johan mendorong pria yang tak ingin ia lihat kembali. Papi, itu sebuah kata terlarang yang ia ucapkan setelah belasan tahun bersabar dengan semua kelakuannya.

“Apaan sih Herman? Duit-duit gue jugaan.” Netra Johan sekilas melirik ke arah tangan Herman yang memegang sebuah botol kaca berwarna hijau. Ia tahu apa yang akan pria mabuk itu perbuat.

Herman melayangkan botol itu ke kepala Johan dan langsung pemuda itu tangkis sebelum mengenai kepalanya. Ia benar-benar mengunci pergerakan Herman dan menggiring pria itu keluar rumah, bertepatan dengan sebuah mobil polisi yang tiba bersama Cassiopeia yang berjalan mengikuti salah satu polisi wanita yang turut hadir.

Johan menghela napas lega saat Herman dibawa oleh polisi, namun ia melirik ke arah Mami dan berkata kepada wanita itu, “Mami kebangetan, ya. Pria kayak gitu masih aja mau buat rujuk. Untung Jo kepikiran buat mampir ke rumah setelah pesta sama Cassie. Kalau gak?”

Johan masuk ke dalam rumah, menaiki setiap anak tangga dan masuk ke kamar. Ia meraih tas koper yang dahulu ia pakai saat pergi ke Jerman dengan teman-temannya, dan selepas itu memasukkan semua pakaian ke dalam koper sehingga membuat Mami terkejut. “Kamu mau ke mana, Jo? Di sini aja, ya ....”

“Mau cari rumah yang lebih memberikan Johan arti pulang,” jawab Johan singkat dan menarik tas koper miliknya untuk keluar. Menyusul Cassiopeia yang berdiri di depan rumah dan menatapnya penuh tanya.

“Gue pamit ya, Cas.” Johan mencubit pipi Cassiopeia dan berjalan menelusuri gang. Gadis itu berpikir sejenak, hingga akhirnya ia berlari ke tetangga di depan rumah yang sangat dekat dengannya, meminjam mobil dan membawa kendaraan itu dengan sangat hati-hati karena ia tak dapat menyetir.

“Ya elah, Cas ....” Johan tertawa melihat Cassiopeia yang begitu dekat dengan stir mobil. Membuatnya kini memukul pintu dan menyuduh Cassiopeia untuk turun.

“Lo ngapain sih?”

“Nganter elo ... udah malem tahu, Jo ....” Johan menghela napas, rasanya ia ingin sekali mengacak rambut wanita yang ia sukai itu seperti Samudera lakukan. Tetapi, ia justru memilih untuk menaiki mobil dan memperbaiki pengaturan kursi Cassiopeia yang sangat tidak nyaman. Sedangkan wanita itu memilih untuk naik dan menemani Johan di bangku penumpang.

“Emangnya lo mau tinggal di mana sih, Jo?” tanya Cassiopeia saat kendaraan mereka mulai berjalan keluar dari kompleks perumahan dan berjalan menuju jembatan.

“Rumah pacar lo. Gue dikasih sama Samudera kunci studio dia yang dulu kita main itu. Nah katanya ada kamar di sana. Bisa gue pakai buat pelarian.”


Jakarta, 2019 Langkah kaki yang begitu yakin membawa pria yang cukup kekar itu untuk masuk ke salah satu ruangan yang penuh akan peralatan photoshoot. Johan, yang terpilih sebagai Prince of UPN kemarin malam mulai menyapa setiap orang yang juga mengenakan ID card yang sama dengannya.

“Hai Bang Venzhou ... kita ketemu lagi,” sapa Johan yang menjabat tangan seorang pria bertubuh tinggi. Ia juga beberapa kali menyapa kepada semua mahasiswa yang bekerja di UKM jurnalistik. Bahkan Johan sendiri tidak merasa berada di kampus, sebab semua orang yang nampak sangat profesional.

Johan diarahkan untuk berganti pakaian dan berdandan. Sembari ia berdandan, gadis dengan ID card bertuliskan nama Muthia justru memberikan briefering awal agar Johan tidak kaku saat nanti di wawancarai.

“Jadinya nanti di-upload ke YouTube UPN?” tanya Johan selepas semua riasan sederhana itu selesai. Muthia yang mendengarnya justru mengangguk, ia meraih sebuah mahkota dan memakaikan benda itu ke kepala Johan.

“Sekarang sesi foto dulu, Bang Venzho udah nunggu di luar.”


Sesi foto untuk sampul dan isi majalah benar-benar terasa begitu cepat, padahal Johan sudah mengambil banyak sekali gambar dalam tiga sesi yang berbeda sebelum dipilah oleh tim redaksi.

“Lo ganti baju nyaman dulu, Jo. Habis itu gue wawancarai,” ucap Muthia yang membuat Johan menurut. Ia lantas berjalan memasuki ruangan yang menjadi tempatnya berganti pakaian, melepas apron dan menyisakan kemeja yang ia kenakan.

Pemuda itu melangkah menuju salah satu set di atas karton berwarna putih, ia duduk di atas bangku kayu yang cukup tinggi dan menatap ke arah Muthia yang kini berdiri di belakang kamera.

“Oke, Jo ... kita mulai ya.” Sesi wawancara dimulai. Awalnya, ia mendapatkan pertanyaan dasar dan Johan masih dapat menjawabnya. Namun, saat memasuki pertanyaan keempat, pemuda itu justru mulai kesulitan.

“Apakah keluargamu mendukung secara penuh hingga kamu bisa meraih kesuksesan di usia muda?”

Lidah Johan seketika kelu untuk berbicara. Otaknya kini merangkai kata dan tanpa ia sadari, sebuah air mata justru turun seketika. Muthia yang melihat situasi itu seketika mengucapkan permintaan maaf dan mengganti pertanyaan. Namun, tangan Johan justru terangkat, ia menahan Muthia untuk mengganti pertanyaan sebab pikirannya kini menemukan sebuah jawaban.

“Gak ada ... satu orangpun dari keluarga gue gak ada yang telepon untuk ucapkan selamat, entah atas pembukaan gerai pertama, masuk Lorbes, atau bahkan saat penyematan mahkota Prince of UPN. Emang salahnya di gue yang memutuskan hubungan dengan mereka dan memilih untuk berlari mencari rumah ternyaman.

Keluarga memang gak memberikan satupun dukungan ke gue secara materi maupun non-materi. Tapi, mereka alasan gue buat bisa sukses. Gue gak mau jadi kayak bokap, gue gak mau jadi kayak nyokap. Setidaknya itu sih alasan gue bisa meraih kesuksesan.”

Venzhou yang merekam semua wawancara justru memekikan sebuah kalimat yang memotong acara syuting mereka. Menurutnya, sesi wawancara sudah cukup jelas dan panjang. Mereka justru beralih ke sesi lainnya untuk mengisi kanal YouTube universitas.


“Lo udah berapa tahun pelarian, Jo?” tanya Venzhou ketika acara syuting telah selesai. Kini mereka berada di atap gedung kampus, menikmati kopi botol dan langit malam yang sangat kosong tanpa sedikitpun bintang.

“Dari kelas ... sepuluh kalau gak salah. Kenapa?” Venzhou hanya terdiam, walaupun di dalam hati ia memuji kemampuan Johan yang bertahan dalam waktu yang cukup lama.

“Gue dari dulu pengen pergi juga, Jo. Tapi baru pas kuliah gue bisa.” Venzhou tertawa, ia mengeluarkan sebuah kotak berisi dua linting rokok, mengambil salah satu dan memberikan kotak itu kepada Johan selagi ia menyalakan rokoknya.

“Bokap gue dulu cuman maunya duit, duit, dan duit. Gue disuruh jadi teman seseorang yang cukup kaya biar bisa melorotin duitnya walaupun sama aja gue menyerahkan diri gue buat jadi alatnya. Tapi pas gue dapatkan duitnya, dihabisin sama bokap buat judi, mabuk, terus kadang-kadang juga nyabu,” ucap Johan saat ia selesai menyalakan rokok miliknya. Pemuda itu menghembuskan perlahan asap nikotin itu hingga membumbung tinggi ke angkasa.

“Tapi sekarang gue merasa ... kenapa gue harus lari karena gak suka sama bokap gue? Siapa yang jaga nyokap gue dari bokap kalau dia udah keluar lapas?” tanya Johan yang kini membuat mereka berdua turut larut dalam pikiran mereka. Kedua pemuda itu asyik menghisap selinting penuh nikotin, dan menghembuskan asap putih yang menenangkan pikiran kusut mereka.

Hingga akhirnya, Johan memadamkan sigaret yang ia hisap ke beton bangunan itu, beranjak dan berkata kepada Venzhou, “Bang ... percaya sama gue. Kalau hubungan lo sama bonyok masih ada jalan terbaiknya, lebih baik lo jangan lari. Soalnya, gue gak mau lo jadi kayak gue yang kebingungan mencari jalan buat pulang.”

Break ... break ... roger di-copy.” Malih mulai berbicara di sebuah alat berwarna hitam yang ia beli bulan lalu. Pemuda itu tak pernah absen untuk mengudara, bercengkrama dan menambah lingkup pertemanan melalui frekuensi radio.

“Break ... break ... dengan Nick yang mengudara, ini Matt bukan? Ganti.” Suara seseorang membalas Malih. Pemuda itu sangat mengenal suara cempreng milik Nick, membuat ia langsung berbincang di frekuensi itu seperti dua orang yang tengah berbicara di telepon. Sesekali kedua remaja yang terseret arus tren itu tertawa saat membahas banyak sekali hal.

Kamu sudah punya pacar belum, Matt? Ganti” tanya Nick yang menginterupsi topik pembicaraan mereka. Malih tak dapat mendengar ucapan Nick dengan jelas. Membuatnya kini bertanya, “Apa? Tadi kamu bilang apa, Nick? Ganti.”

Papa Alpha Charlie Alpha Romeo. Kamu sudah punya?” Baru juga Nick berbicara, suara wanita yang begitu lembut justru terdengar di indera pendengaran Malih. Sepertinya, hari ini adalah keberuntungannya karena menemukan seorang wanita, atau dalam bahasa kerennya disebut young lady.

Malih langsung berdeham, ia mulai menjawab panggilan si young lady dan mengajak gadis itu berbicara. Meli adalah nama samaran gadis itu dan Malih langsung jatuh cinta. Ia langsung mengubah nadanya berbicara, seolah-olah ia menjadi seorang penyiar mahir. Hal itu sontak mengundang gelak tawa Nick. Tanpa mereka sadari, ruangan obrol itu mulai padat dan semua pria mulai merebut atensi Meli dari Malih.

“Matt kepada Meli, mau cari frekuensi yang sepi? Ganti.”

Tak ada jawaban sedikitpun dari Meli. Membuat satu tongkrongannya kini menertawakan tingkah Malih. Pemuda itu justru berceletuk, “Kopdar aja kita. Main gundu nanti, yang kalah aku gebuk sampai pagi.”

Kopdar, alias kopi darat. Beberapa orang juga menyebutnya jumpa darat. Itu adalah kata yang dipakai oleh para penyiar amatir untuk bertemu. Malih adalah orang yang sering sekali melakukan kopdar, bahkan bisa dibilang ia akan selalu melakukan kopdar di malam minggu bersama Nick dan teman-teman lainnya.

Malih mematikan alat komunikasinya, ia lantas merenggangkan ototnya yang begitu tegang. Dan di saat yang bersamaan, sebuah dering telepon masuk, membuat Malih menghela napas dan beranjak menuju meja di ruang keluarga.“Biar Malih aja yang angkat, Bun!”

Malih meraih gagang telepon, mengangkat panggilan dan berkata, “Halo, dengan rumah Malih di sini. Apa yang bisa dibantu?”

Syukurlah kalau ini Malih. Aku mau nanya dong, Malih. Kamu ada rekomendasi lagu gak? Aku mau ke toko kaset tapi bingung mau beli apa.” Suara Amelia yang begitu lembut menyapa indra pendengaran Malih. Membuat pemuda itu justru teringat akan suara lembut Meli yang tiba-tiba menghilang dari frekuensi.

“Amel.”

Iya kenapa?

“Kamu Meli yang tadi nge-break bukan?” Malih berbicara dengar suaranya yang berat, pemuda itu menunggu jawaban dari seberang sembari mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi rambut tipis.

Tetapi Amelia nampaknya sangat panik jika identitasnya ketahuan. Gadis itu sengaja menghilang tiba-tiba dari QSO karena menyadari kesalahannya yang mencoba bermain alat break milik sepupunya dan salah kamar karena ke-sok tahu-an yang ia miliki.

Em ... Malih, kayaknya aku dipanggil Mama, aku matikan panggilannya du—

Wait on there, i will pick you up.” Malih menaruh gagang telepon, lantas berjalan ke kamar untuk mengambil jaket serta kunci motor miliknya.

“Kamu mau kemana, Malih?” tanya Mama saat melihat putranya berjalan keluar dari kamar dengan begitu cepat. Wanita itu mengikuti arah langkah Malih yang mengenakan jaket bomber dengan cepat.

“Mau kopdar, Ma. Malih pergi dulu, ya.”

“Terus toko nanti siapa yang jaga?” Mama nampak sangat kebingungan saat Malih pamit, sebab ini bukanlah jadwal Malih untuk nongkrong di salah satu warung kopi dengan teman udaranya.

“Sebentar doang, Ma. Nanti Malih bawain oleh-oleh. Oke?” Malih menyalakan kendaraan menggunakan kaki, lantas memasukkan gigi, dan menjalankan kendaraan itu keluar dari kompleks perumahannya.


“Amel ... Amel ...,” panggil Malih setibanya di depan rumah Amelia. Acap kali pemuda itu mengetuk gembok rumah Amelia ke pagar besi agar menciptakan suara nyaring dan seseorang yang sangat Malih kenali langsung keluar untuk membukakan Malih. “Bi, Amel ada?” tanya Malih.

“Ada, Kang. Sebentar ya, Bibi panggilkan. Masuk dulu.” Bibi berjalan dan Malih mengekor di belakang wanita yang mengenakan daster itu masuk ke dalam kediaman Malih.

Malih sangat senang jika ia berlama-lama di rumah Amelia, teras dengan kanopi yang membuat teduh, bahkan Malih dapat melihat bagaimana buah mangga yang begitu menggugah selera masih bergantung dengan rapi di pohon. Bahkan udara rumah Amelia sangatlah sejuk dan menambah poin plus agar Malih betah menunggu Amelia di teras rumah gadis itu.

“Padahal gak usah datang juga ....” Suara Amelia membuat Malih langsung menoleh, ia mengulas sebuah senyuman dan membuat bola matanya kini tenggelam di antara kelopaknya. Amelia berjalan mendekat, ia duduk di sebelah Malih dan menatap buah mangga yang ditatap oleh Malih.

“Kamu itu gak pinter bohong kalau sama aku, Mel. Meli, Amelia, kamu harus pintar-pintar cari nama samaran supaya tidak ketahuan,” celetuk Malih yang menarik atensi Amelia.

“Seharusnya kamu itu bilang gini. Break ... break ... roger di-copy, pacar Matt ada yang dengar mohon di-copy.”

“Loh kamu Matt?” Malih tertawa lepas, tangannya tanpa sengaja terulur dan mengacak rambut Amelia.

“Tapi kan kamu bukan pacar aku, Malih. Kita kan temenan.” Mendengar penuturan Amelia membuat Malih langsung meraih tangan Amelia dan mendekatkannya ke dada bagian kiri. Pemuda itu ingin sekali membiarkan Amelia mendengarkan detak jantunganya yang tidak beraturan.

“Kalau cuman teman, kenapa aku selalu deg-degan kayak gini kalau ketemu sama kamu baik di darat maupun di udara?”

“Malih ... kok jantung kamu berdetaknya cepet banget? Kamu kenapa?” Amelia khawatir dengan teman sekelasnya, ia benar-benar menatap dengan seksama netra cokelat Malih.

“Aku mau panggil kamu Papa Alpha Charlie Alpha Romeo, boleh?”

“Maksudnya?”

“Mau jadi pacarku?”

Langkah kaki Cassiopeia membawanya bergerak mengitari salah satu mal terbesar di ibukota. Beberapa kali ia harus berhenti, memijat kakinya yang terasa pegal sebab sepatu heels yang ia kenakan. Ia menyesalkan, mengapa dirinya tidak memilih untuk memakai lift saja agar menghemat waktu dan tenaga.

Sudahlah, kayu sudah menjadi arang. Cassiopeia hanya dapat menyesali hal itu sembari menggerakkan kedua kakinya menuju salah satu restoran Korea.

Annyeonghaseo, Eonni! ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang pramusaji dengan begitu ramah kepada gadis berambut ikal itu. Cassiopeia terkejut, ia bahkan ikut menyapa wanita dengan pakaian hanbok itu dengan gaya yang sama persis dengan kebiasaan orang Korea di drama tontonannya.

“Saya ada janji di sini, atas nama Johan Prince.” Pramusaji itu seketika berbicara melalui interkom, netra Cassiopeia beberapa kali menangkap anggukan kecil wanita di depannya seolah-olah tengah mendengarkan sesuatu dari earphone yang menyumbat telinga kirinya.

“Tuan Muda Andaru sudah menunggu Anda, silakan lewat sini.” Pramusaji itu berjalan mendahului Cassiopeia, gadis itu mengekor di belakang wanita yang mengenakan pakaian adat Korea, menelusuri ruang makan yang ditutupi sekat, sepertinya ini ruangan untuk para kolega-kolega bisnis yang sedang rapat.

“Ini ruangan Tuan Muda Andaru,” ucap wanita itu sembari menggeser kedua pintu dan menampilkan tubuh yang sangat tak asing bagi Cassiopeia.

Gadis itu mengucapkan terima kasih kepada sang pramusaji dan melepaskan sepatu untuk naik ke atas tempat lesehan privat itu. Sedangkan Johan kini berkata kepada wanita yang mengantar Cassiopeia untuk mengeluarkan satu-persatu hidangan yang telah ia pesan.

“Lo gila Jo? Andara's Kitchen ini restoran termahal di Jakarta! Bahkan selalu dapat urutan teratas di segala situs food rating. Lo seriusan, ajak gue ke sini?”

“Ini restoran punya gue, Cas. Makanya tadi di pintu tulisannya Mr. Andaru's Room kan?”

Cassiopeia tersedak salivanya sendiri, sejak kapan pemuda itu menjadi se-tajir ini? Ia benar-benar tidak percaya jika orang yang duduk di depannya saat ini adalah orang yang sama saat dahulu berada di rooftop karena ketakutan dikejar Intan, hantu sekolahnya.

“Gue juga heran kok bisa kayak sekarang, Cas. Dulu patah hati gue gara-gara lo pacaran sama Samudera malah gue belokin buat buka bisnis corn dog eh tiba-tiba viral dan sekarang gue bisa buka restoran dan banyak hal lainnya,” jelas Johan.

Cassiopeia menggeleng dengan cepat, lantas berkata kepada Johan dengan nada candanya, “Gimana? Lo mau jadi sugar daddy gue aja gak?”

“Lebih tepatnya, gue maunya jadi daddy for your child, sih. Gimana?” Johan tertawa lepas, begitupula dengan Cassiopeia. Mereka lantas mulai bertukar cerita selepas lulus dari SMA Nusantara, bahkan bernostalgia semua kenangan masa SMA selagi menikmati hidangan yang mulai berdatangan.

Dari bertukar cerita itu Cassiopeia tersadar, bagaimana Johan selalu ada di manapun dan kapanpun, bahkan saat Cassiopeia terpuruk sekalipun, Johan selalu ada untuk memberikan pelukan hangat yang ia miliki.

“Jo,” panggil Cassiopeia.

“Apa?” jawab Johan yang menghentikan aktivitas makannya.

“Mulai trial pacaran gimana?”

Johan terlihat seolah-olah berpikir, ia lantas menerima jabatan tangan Cassiopeia dan berkata, “Oke, deal. Tapi lo harus selalu lakukan hal ini.”

“Udah kayak jadi bayi gula gue ... apaan?”

“Angkat panggilan gue. Soalnya gue suka telepon tiba-tiba.”


Cassiopeia menekan satu persatu tombol angka, memasukkan kombinasi agar dapat membuka pintu apartemen yang ia tempati. Pertemuannya dengan Johan berjalan cukup lancar, bahkan gadis itu tak tersadar bahwa hari sudah menggelap dan ia harus segera pulang untuk mempersiapkan diri sebelum berkerja nanti malam.

Gadis itu melepas sepatu heels yang menyiksanya. Berjalan menuju dapur dan meraih sebuah teko serta gelas kaca, menuang air putih yang ada di dalam teko ke dalam gelas, lalu meneguknya.

Tetapi, baru juga air itu terminum setengah gelas, sebuah panggilan masuk dan mengganggu ketenangan apartemennya. Cassiopeia kira bahwa panggilan masuk itu dari Adi, temannya di stasiun televisi yang mengabari bahwa ada sebuah kejadian dan Cassiopeia ditugaskan untuk meliput langsung ke TKP.

Ia lantas menggeser tombol hijau, menempelkan benda pipih itu ke telinga seraya berkata, “Iya Di, ada apa? Gue lagi di apartemen.”

“Udah di apart?” Suara bariton Johan justru mengejutkan Cassiopeia. Ia langsung memeriksa nama kontak dan rupanya itu panggilan dari Johan, pria yang baru saja ia temui tadi.

“Gue kira tadi temen gue di kantor ... ada apa, Jo? Kok lo telepon padahal baru aja ketemu.” Cassiopeia menarik kursi, lantas duduk sembari mendengar suara pria yang ada di seberang panggilan.

“Gue nunggu panggilan lo dari tadi, awalnya gue mau telepon duluan ... tapi takutnya lo masih di jalan ... tapi gue gak sabaran nunggu satu jam lagi, jadinya gue telepon deh. Syukurlah kalau lo udah di apart sekarang.”

Cassiopeia mengulas sebuah senyuman. Setelah sekian lama, ia merasakan kembali rasanya diberi perhatian kecil oleh lawan jenis. Gadis itu justru berceletuk, “Lo gak ada meeting kah? Kan lo big boss.”

Tawa Johan meledak, ia menjawab bahwa jadwal meeting-nya hari ini telah usai. Pemuda itu mulai bercerita begitu panjang tentang hari ini, dari tidak sengaja ke siram salah satu petugaa kebersihan yang masih baru, kekesalannya saat menerima sebuah berkas yang menggunakan lembar bekas, bahkan sampai ia yang menunggu selama dua jam lebih untuk keluar dari gedung parkir mal karena macet.

“Apes banget ya hidup lo ....”

“Enggak juga sih, pas sama lo gak apes gue,” ucap Johan dengan kekehannya. Ia bahkan melanjutkan, “Lo sering-sering tawa ya, Cas. Gue seneng aja debger suara tawa lo. Bener-bener ngobatin hari gue yang buruk.”

Cassiopeia menatap jam di dinding, rupanya ia telah berteleponan dengan pacar sewanya itu selama tiga jam. Ia berkata kepada Johan, “Gue izin tutup panggilan ya, Jo. Gue harus siap-siap ke kantor.”

“Oh oke, lo di sana sampai jam berapa?” tanya Johan.

“Jam tiga dini hari mungkin. Itu kalau gak ada kejadian entah kebakaran atau kecelakaan gitu,” jelas Cassiopeia seraya mengambil jaket miliknya dan berjalan ke luar unitnya.

“Gue nanti ke sana, mau kasih cemilan buat lo sama temen-temen lo. Sekalian, nanti jemput elo pulang. Gimana?”

“Ngerepotin Jo, gak usah!” tolak Cassiopeia. Ia tak enak hati dengan Johan karena merepotkan oemuda itu. Tetapi, Johan justru mengotot dan kekeh akan ucapannya. Cassiopeia akhirnya mengalah, ia membiarkan pemuda itu datang ke kantor redaksinya.

“Oke, hati-hati di jalan.”

“Iya ....” Cassiopeia mematikan panggilan dan memasuki lift sebelum pintu tertutup kembali.

“Aturan terakhir dari gue, selama lo di sini, jangan pernah ucapin gue selamat ulang tahun,” ucap Dilaga saat memberikan beberapa informasi penting ke Nediva yang baru saja dipindahkan ke divisinya.

“Baik, Inspektur Dilaga!”

“Gak usah formal-formal banget, Ned. Panggil aja Aga.”

“Oh, oke Aga. Tapi gue boleh tanya sesuatu gak? Ini tentang peraturan yang lo kasih barusan,” tanya gadis itu yang membuat Dilaga langsung menoleh dan tersenyum.

“Memangnya ada apa sama hari ulang tahunmu, Ga?”

Senyuman Dilaga pudar, ia teringat kembali dengan hari ulang tahunnya ke empat belas.

“Gue berhenti ngerayain ulang tahun pas umur empat belas tahun.”


6 Juni 2014 Suasana rumahnya begitu penuh dan sesak akan pelayat yang berduka akan kepergian atlet muda mereka. Tetapi, Dilaga benar-benar membenci saat itu.

Bukan lilin warna-warni yang menyala di atas roti, melainkan lilin putih yang terus menyala di altar kecil penuh bunga, menemani foto seseorang yang memiliki wajah serupa dengannya.

Tidak ada bunga maupun ucapan selamat ulang tahun untuknya dan Diraga, melainkan ucapan turut berduka cita dan kalimat-kalimat yang berusaha membuatnya tegar.

“Abi,” panggil Dilaga kepada seorang pria. Sepertinya sang Abi terlalu sibuk dengan tamu, sehingga mau tidak mau ia harus kembali ke kamar tidur dan mengambil sejumlah uang yang ia tabung.

“Umi, Aga pergi dulu sebentar.”

“Mau kemana?”

“Cari roti tart, Mi. Nanti Aga balik.”

Dilaga meraih sepeda miliknya, lantas ia mengayuh terus pedalnya agar semakin cepat ia tiba di toko roti depan kompleks.

“Minta roti blackforest satu, Mbak.” Seorang pramusaji mulai berjalan, ia mengambil pesanan Dilaga dan membungkusnya dalam kotak kardus.

Setelah semua transaksi selesai, Dilaga langsung kembali ke rumah. Ia sudah memperhitungkan waktu, masih ada cukup waktu untuk merayakan ulang tahunnya yang terakhir bersama sang kembaran.

“Permisi, permisi.” Dilaga langsung berjalan memasuki rumah, menggeser seluruh benda di altar kecil hingga sang Umi kebingungan setengah mati dengan kelakuan anak bungsunya.

“Kamu mau ngapain, Aga?”

“Ngerayain ulang tahun terakhir,” ucap Dilaga yang menyalakan kedua lilin angka dengan korek lantas menatap Umi dan Abi yang memandangi dirinya.

“Hari ini ulang tahun Aga sama Raga, berhubung semua orang pada datang, ayo nyanyi selamat ulang tahun.”

Lagu selamat ulang tahun dikumandangkan walaupun dalam nada yang sedih. Umi lagi dan lagi menangis, membuat suaminya mendekap sang istri. Perasaan mereka berdua cukup hancur ketika melihat aksi Dilaga detik ini.

Dilaga sudah beberapa kali mengusap air matanya, ia menatap separuh jiwanya yang kini tertidur dalam keabadian dengan pakaian anggarnya. Dilaga meniup lilin dan memaksakan sebuah senyuman walaupun ia merasakan sesak yang begitu sangat di dalam dada.

“Umi ... Abi ... mulai hari ini ... Aga gak ngerayain lagi ulang tahun. Cukup hari ini aja, tahun berikutnya Aga gak mau ada yang rayain ulang tahun lagi.”


Alarm di jam tangan Dilaga berbunyi. Waktu istirahat telah tiba, ia langsung menarik sebuah senyuman kepada Nediva dan berjalan ke arah pintu.

“Gue pamit dulu, ya. Mau ke makam Diraga.”

“Ga.”

“Iya kenapa?”

“Kalau gue gak boleh ucapin selamat ulang tahun ke elo, gue boleh nitip ucapan selamat ulang tahun ke saudara kembar lo?”

Dilaga terdiam, ia berusaha berpikir sebentar, dan mengangguk sembari berkata, “Sure, nanti gue sampaikan ucapan elo.”

Suara teriakan dan canda tawa menyerebak keluar dari gedung sekolah taman kanak-kanak. Cassiopeia dengan pakaian semi formalnya setia bersandar di mobil Pajero putih sembari menatap satu persatu anak kecil yang keluar.

“Ibunnnn!!!” Seorang anak kecil berteriak, bahkan berlari kecil mendekati Cassiopeia dengan cengirannya yang khas seperti ayahnya. Tangan pria kecil itu melambai, menunjukan mahakaryanya saat acara di tempat kerajinan gerabah hari ini. Sebuah hati dengan tulisan berantakan milik bocah itu.

Laut ♡ Bunda Cassiopeia

Membaca tulisan itu seketika membuat air matanya menggenang. Ia kembali merindukan sosok Samudera, telah lama sekali perasaan itu terkubur dalam-dalam sampai ia membuka hati kepada seseorang atlet anggar yang dahulu ia wawancarai dan menjalin asmara hingga ke jenjang pernikahan. Namun, semuanya kandas tatkala melihat pemuda berengsek itu tengah bermadu dengan seorang wanita di hotel ketika dirinya tengah hamil tua.

Uncle yang ajarin aku bikin ini baik banget, Bun. Katanya ... Laut itu beruntung punya Bunda Cassiopeia, soalnya Uncle dulu kehilangan bintang utaranya.” Seketika Cassiopeia teringat sosok Samudera dan tepat di saat yang bersamaan, bocah bernama Laut itu berteriak, “Itu Uncle, hai Uncle!

Cassiopeia menoleh, mendapati Samudera yang menggendong seorang anak perempuan yang rambutnya terikat cukup rapi. Rasanya, gadis itu dutarik kembali ke momen pertemuan pertama mereka setelah putus, tapi dengan dua malaikat kecil yang menemani mereka.


“Sheila udah gak ada, Cas.”

“Maksudnya?” tanya Cassiopeia yang tak percaya dengan penuturan Samudera. Mereka kini berada di sebuah restoran cepat saji, untuk bercengkrama, menikmati makan siang, dan membiarkan putra-putri mereka bermain di area yang telah disiapkan pengelola restoran.

“Ya gitu, pas lahirin Kala ... dia gak selamat. Omong-omong, masih sama aja ya kamu, makan McNuggets harus pakai ekstra saos sambal.” Cassiopeia terkekeh, ia kembali meraih satu buah nugget ayam dan mencocolkan makanan itu ke sambal.

“Nama anakmu siapa, Sam?”

“Senjakala Timoer. Saya masih terngiang sama nama yang kamu sukai, kalau gak Fajar ya Senja. Oh iya, Cas. Saya dengar kamu ce—”

“Iya cerai. Dia lebih berengsek daripada William. Sok banget dia. Dikira udah lebih berkuasa di dunia anggar, main sama cewek sana-sini. By the way, aku turut berduka ya, Sam.” Giliran Samudera yang terkekeh, ia justru mengeluarkan sebuah surat dan meminta Cassiopeia untuk membacanya sewaktu senggang.

“Ini apa, Sam?”

“Saya tahu kamu nulis kisah kita di buku, siapa tahu ini bisa jadi pelengkap di bagian paling akhir di buku kamu.”


Cassiopeia melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Tubuhnya remuk setelah seharian mengejar laporan berita, bahkan matanya terasa sangat lelah karena seharian harus menatap layar prompter yang tak henti-hentinya bergulir membawakan narasi berita.

Ia teringat dengan surat dari Samudera, ia langsung meraih tas cangklong, mengeluarkan selembar surat yang dimasukkan ke dalam amplop yang menguning, dan mulai membaca setiap isi surat.

Saya merasa bahwa saya adalah pria terbodoh di dunia, menikahi seorang gadis tanpa rasa cinta, dan berharap akan muncul benih-benih cinta seturut berjalannya waktu. Padahal, saya sendiri masih mencintai sosok Cassiopeia seutuhnya.

Tetapi, Tuhan sepertinya lelah mendengar ratapan dan penyesalanku yang tiada habisnya. Ia memberikan maut di antara saya dan Sheila agar saya tersadar jikalau saya tak dapat hidup tanpanya. Tapi sepertinya saya sangat tidak tahu diri, ketika wanita itu meninggalkan seorang putri yang sangat cantik, secara tak sadar, saya memberikan nama padanya, Senjakala Timoer. Senja diambil dari nama kesukaan Cassiopeia dan Kala diambil dari namanya, Kalandra. Hanya karena saya melihat sosok Cassiopeia yang manis di wajahnya yang terlelap.

Cassiopeia, kalau surat ini tiba di tanganmu, kamu harus tahu sesuatu. Bahwa sampai kapanpun, saya mencintaimu. Sungguh egois dan tidak tahu diri memang, tapi benar kenyataannya, bahwa saya tak dapat melupakan satupun memori kebersamaan kita walaupun posisimu telah digantikan.

Akhir kata, bisakah kita memutar waktu kembali, Cas? Saya merindukanmu.

Long time no see, Athlete Cassiopeia Kalandra.

Senyuman Samudera terpampang dengan jelas ketika netra mereka bersua di suatu titik temu. Jantung Cassiopeia berdegub sangatlah kencang bagaikan remaja yang baru dimabukan asmara. Sang wanita hanya tertawa mendengar sapaan Samudera, bahkan ia juga menyeletuk, “Udah enggak jadi atlet jugaan, Sam. Apa kabar?”

“Swedia mendung seketika pas kamu bilang putus.” Kekehan Samudera yang tertahan mengiringi setiap langkahnya, ia melewati Cassiopeia, dan duduk seraya mengambil bunga yang tadi ia titipkan kepada seorang bocah lelaki yang bermain. Ia melanjutkan ucapannya, “Tapi setidaknya ... saya senang bisa mendengar suara tegas dan ceriamu ketika membawakan berita, bukan frustasi hingga menangis saat bersama saya.”

Tutur kata Samudera sangatlah lembut, membuai Cassiopeia hingga ia menggeleng pelan sebab tak terima dengan pendapat pria berusia dua puluh dua tahun itu.

“Enggak kok, Sam. Masih frustasi sekarang sampai minum kopi. Kamu mau ngopi bareng enggak? Berhubung deket sini ada kafe.” Yang ditanya hanya menggeleng. Ia memberikan bunga itu kepada Cassiopeia beserta sebuah undangan dari papan, dibungkus dengan amplop cokelat dengan tali serta bunga kering yang terikat oleh tali cokelat. Tertera di ujung kanan surat, bahwa Cassiopeia Kalandra lah yang menerima undangan yang diberikan Samudera.

“Saya minta maaf, Cas. Mungkin ini terakhir kalinya saya bisa berjumpa denganmu. Saya minta maaf buat semua kesalahan saya di waktu lalu, semua janji yang saya ingkari sewaktu kecil.” Cassiopeia kebingungan setengah mati, lantas membuka amplop itu dengan paksa hingga sebuah undangan pernikahan atas nama Samudera tertangkap dengan jelas di retinanya.

Lagi dan lagi, Samudera berkata, “Saya menyerah dengan rasa takut saya untuk memulai semua kisah asmara kita. Memutuskan untuk menerima tawaran Uncle Jade. Jadi, saya kesini. Menemuimu. Memberikan bunga anggrek kesukaanmu sejak di taman mini milik Mama sebagai salam perpisahan.”

Seperti di film romansa, di mana kedua tokoh utamanya terpaksa diguyur dengan air dari selang pemadam kebakaran untuk menampilkan efek hujan, Samudera dan Cassiopeia juga merasakan hal yang sama. Mereka berdiri, menatap satu sama lain dengan rintik hujan yang membasahi setiap inci tubuh mereka.

“Aku akhirnya paham. Kalau kata putus yang aku lontarkan sudah menjadi bumerang yang melukai perasaanku.” Yang tiba, bukanlah yang dinanti. Mungkin itu sebuah kalimat yang bisa menggambarkan betapa hancurnya perasaan Cassiopeia saat ini. Pikirannya terus menerus memaki, melemparkan ribuan umpatan yang menghujam layaknya hujan yang tengah membasahi wanita itu.

“Saya minta maaf Cassiopeia.” Samudera mengencangkan suara sebab hujan yang berusaha untuk ikut andil bersuara. Tangan pria itu terulur, menutupi kepala sang gadis agar air hujan tak jatuh mengenai kepalanya.  Cassiopeia merasakan sebuah getaran di kantung celana kulot yang ia kenakan, dan ia tak menggubrisnya sebab ia tahu bahwa itu pasti telepon dari Adi.

“Selamat ya atas pernikahanmu. Semoga kamu berbahagia dan selalu dicintai Sheila.” Cassiopeia menurunkan tangan Samudera dan tepat di detik itu juga, Samudera menarik tubuh Cassiopeia dan mencium bibir mantan kekasihnya dengan mendadak. Membuat sebuah bulir hangat sukses turun dan berbaur dengan air hujan yang membasahi wajah Cassiopeia. Itu kecupan yang hangat, sebagai salam perpisahan atas cinta pertama Cassiopeia yang karam di asmaraloka.

I love you,” ucap Samudera.

So?” tanya Cassiopeia.

Please, let me go,” lanjut Samudera yang mengutip sebuah lagu bertajuk I Love You So sebagai kalimat perpisahannya dengan Cassiopeia. Disaksikan oleh derai hujan dan air mata yang membasahi mereka. Menutup buku perjalanan cinta pertama mereka yang manis dengan sebuah kalimat penutup yang menyiksa siapapun bagaikan lagu Heather milik Conan Gray atau Imagination milik Shawn Mendes, bahwa mereka berdua hanyalah sepasang orang yang hanya hidup berdampingan namun tak pernah ditakdirkan bersama.

“Gue bakal kembali lagi nanti di istirahat kedua, yang mau request atau titip salam bisa dikirim ke laman anonim sekolah dengan hashtag Nusantara Radio. Last but not least, gue mau kasih pesan bahwa di dunia ini gak ada yang sempurna selain Sempurna, Andra and The Backbone, let's check this out!” Jemari ramping pemuda itu mulai bergerak, menaikkan tombol volume ke atas hingga studionya terdengar begitu jelas lagu romantis itu.

Matanya terpejam, tubuhnya sengaja ia sandarkan di bangku kayu, hingga suara decitan pintu menganggunya.

“Sjahrir! Gue nitip ini diinformasikan bisa?” Sang empunya nama langsung menurunkan kaki, meraih satu lembar lelayu yang lagi dan lagi membuatnya terdiam.

Wanita yang memberikan kabar duka kepada Sjahrir hanya dapat menatap wajahnya yang menegang, kedua alis pemuda itu tertaut, seolah-olah sedang berusaha menyatukan setiap kepingan puzzle yang ia acak.

Radjiman Widya Saputra, itu nama sang ayah tertulis dengan jelas di kertas buram. Beberapa kali ia memastikan bahwa ini adalah mimpi dan bukanlah sang ayah, tetapi nama Sjahrir Saputra benar-benar tertulis dengan sangat jelas di bagian keluarga yang berduka.

Gak, gue gak berduka. Ini bohong kan kalau Ayah? batin Sjahrir yang mulai mencengkram erat hingga kertas itu berkerut dan lecek.

“Sjahrir ... lo gak apa-apa? Tadi Kakak lo izin keluar sekolah sebentar di jam ketiga, terus pas jam istirahat mau selesai, dia balik bawa lelayu sama mau jemput lo. Tapi dia tahu kalau elo lagi siaran. Kakak lo masih di ruang tamu.” Sjahrir langsung beranjak dari kursi, berjalan menyusuri lorong yang kosong itu sendirian. Bahkan suara sol sepatu Warior yang ia kenakan mulai beradu dengan dinginnya tegel dan menciptakan bunyi yang nyaring.

“Kak Adam! Bilang sama gue kalau itu bohong,” ucap Sjahrir yang masuk ke ruang tamu sekolah dan meraih kerah baju pria yang lebih tinggi darinya itu.  Pria yang masih mengenakan seragam SMA dengan badge nama Yordania Adam S. itu hanya menghela napas, bingung mau menjawab bagaimana ke pemuda itu.

“Ambil tas lo, kita pulang.” Adam mencengkram balik bahu Sjahrir, memutar tubuh pemuda yang umurnya selisih satu tahun darinya, dan mendorong sang adik agar kembali ke kelas. Tak ada jawaban apapun yang Sjahrir dapatkan saat ini selain gelisah, ayahnya adalah inspirasi seorang Sjahrir dalam berseni, entah lukisan maupun sajak puisi yang indah. Bahkan bisa disebut sang ayah sebagai panutannya.  Bagaimana ia dapat melihat ayahnya saat ini? Sjahrir hanya dapat melihat sang Bunda yang menangis, meneriakkan tubuh pria yang berbaring di dalam peti untuk membuka mata. Semua orang turut berduka atas kematian mendadak sang maestro, bahkan lautan pelayat yang ikut menghantarkan kepergiannya untuk beristirahat di muara terakhirnya, di sebuah laut yang selalu ia tulis di setiap syair lagu juga ikut berduka atas berpulangnya rekan, sahabat, serta saudara yang sangat mereka cintai.

Tak hanya orang yang mengagumi serta mencintai ayah Sjahrir yang datang melayat, teman-teman Sjahrir serta Adam juga tiba dengan kendaraan mereka. Membawa bendera merah dan membunyikan klakson untuk membuka jalan menuju krematorium. Sedangkan Sjahrir sendiri hanya dapat menatap semuanya secara kosong. Otaknya masih mencerna semua kejadian yang datang mendadak itu. Bahkan sampai langit senja di keesokan hari di bibir pantai. Sjahrir hanya bisa melamun, pikirannya berkecamuk dan membuatnya mati rasa.

Semenjak hari itu, pembawa acara radio sekolah tak seceria dahulu. Rasanya begitu suram walaupun lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu romansa yang sangat manis. Syair-syair cinta yang sering Sjahrir kumandangkan melalui pengeras suara berubah menjadi syair yang penuh pilu dan menyayat hati.

Sjahrir benar-benar nampak seperti sebuah syair yang dibungkam ketika hendak dibacakan. Tak ada tingkah laku Sjahrir yang mengundang gelak tawa, bahkan tak ada lagi goresan cat baru di atas kanvas putih di ruang gambarnya. Kehidupannya membungkan Sjahrir, bahkan sampai detik ini. Di kala Sjahrir berada di vila sang ayah di tepi pantai, mengenakan pakaian tradisional Jepang karena Ishimura—sang bunda—yang hendak melakukan sebuah tradisi tahunan ketika mengunjungi suaminya.

“Sjahrir, sampai kapan lo mau berhenti dari dunia seni?”

“Kakak kalau mau ngambil, tinggal ambil saja. Gue gak butuh semuanya. Gue cuman mau Ayah.”

Adam hanya bisa menghela napas, ia menatap Sjahrir yang pandangannya kosong seperti tahun-tahun sebelumnya. Pria itu setia akan pendiriannya, menghancurkan diri dengan duduk berjam-jam di sofa favorit sang ayah, menikmati aroma laut yang disahut oleh bunyi desiran ombak dengan tatapan kosong. Jiwa Sjahrir mati, benar-benar mati hingga ia tak sanggup melakukan semua aktivitasnya dahulu. Yang ada dibenaknya hanyalah pemikiran aneh yang tak berujung.

“Kak, kalau gue nyusul Ayah aja gimana?”

“Lo kenapa mikir itu lagi sih, Sjahrir! Lo masih mikirin kata Bunda?” tanya Adam yang berjongkok di depan Sjahrir dan menangkup kedua pipi pemuda itu dengan air mata yang menggenang. Perasaannya sebagai seorang kakak hancur ketika adiknya terus menerus memikirkan untuk mengakhiri hidup. Berulang kali Sjahrir mengutarakannya, hingga Ishimura memasukan sang bungsu ke rumah sakit jiwa karena kondisi kejiwaan Sjahrir yang menganggu keseharian pemuda itu dalam beraktivitas.

“Obat lo di mana?” Adam merogoh baju kimono Sjahrir mencari sebuah tempat berwarna putih berisikan pil penenang yang selalu ia sebut sebagai pil kebahagiaan itu.

“Gue buang. Gak mempan soalnya,” jawab Sjahrir datar. Yang lagi dan lagi, membuat Adam langsung beranjak dan berjalan ke kamarnya untuk mengambil obat milik Sjahrir yang ia simpan. Beberapa kali, Adam menuangkan pil di tangannya, meraih satu gelas berisi air putih di atas meja, dan menyodorkan benda itu kepada Sjahrir.

“Gue gak mau minum.”

“Sjahrir ... please sekali aja, lo gak kangen kah sama teman-teman lo? Mereka pada nyerbu DM Instagram gue, Instagram lo, nanyain kapan balik.”

“Gue cuman butuh Ayah, Kak. Udah itu aja.”

“Sjahrir ....” Adam kembali berlutut, menatap sang adik dengan berusaha untuk tegar sebelum ia melanjutkan kalimatnya, “Ayah udah selesai buat lakuin tugasnya. Sekarang waktunya elo lanjutin darah seni yang mengalir dari Ayah ke elo. Gue gak bisa buat ngambil kemampuan seni Ayah, karena gue emang gak ada darah seni dari Ayah sedikitpun. Gue cuman punya darah dokter Bunda, Sjahrir.”

“Gue mau lanjutin juga gimana? Bunda gak mau gue ikutan kayak Ayah.” Sjahrir mulai melunak, bola matanya kini nampak berkabut bahkan air matanya mulai menggenang dan bersiap untuk terjun bebas.

Adam menepuk bahu sang adik, lantas mendekapnya seraya berkata, “Jangan jadikan diri lo sendiri sebagai boneka kayu yang hanya dikendalikan oleh pemain. Ini hidup lo, Sjahrir. Lo yang tahu kemana arahnya. Ayah diam-diam udah kasih lo jalan dengan ngenalin lo ke teman-temannya di setiap dunia seni. Gue pernah dikasih tahu sama Ayah suatu hal. Mau tahu gak?”

“Apa?”

“Gak ada yang namanya syair yang dibungkam, yang ada hanyalah syair yang tidak mau diutarakan.”

Aku terlonjak setelah melihat video yang baru saja diputar, Samudera masih mencintaiku bahkan di saat aku mengucapkan kata pisah dan tepat di saat itu, seorang bocah laki-laki memghampirinya.

“Halo Kakak Cassiopeia yang cantik. Ini ada bunga dari lautannya Kakak.” Aku menatap buket bunga pemberian sang bocah. Ini bukan sembarang bunga, sebuah anggrek black leopard yang sangat aku sukai dulu saat bermain di taman bunga Tante Marsha, mamanya Samudera.

Hanya Samudera yang mengetahui bunga kesukaanku satu itu dan aku yakin, Samudera berada di sini. Aku seketika menoleh ke arah perginya sang anak laki-laki itu.

“Tunggu ... Dek! Kakak mau na—” Belum sempat aku bertanya, iris cokelatku beradu dengan cokelatnya mata sosok yang membuatku merasa kembali ke rumah yang menghilang.

Long time no see, Athlete Cassiopeia Kalandra.

Namanya Samudera Timoer dan dia adalah cinta pertamaku yang sangat manis.

Suara cengkrama menyeruak tanpa izin memenuhi gendang telinga Dilaga, kakinya yang begitu panjang terus melangkah, melewati setiap nat lantai kelabu yang nampak baru saja dibersihkan oleh petugas. Kepalanya celingukan kesana dan kemari, seolah-olah tengah mencari seseorang yang ia janjikan untuk bertemu.

Hi, Bro! Udah lama?” Sebuah rangkulan mengejutkannya, Samudera—teman yang baru ia kenal beberapa bulan lalu—menghampiri dan ikut mengantri ke arah meja kasir.

“Barusan nyampe, lo duduk di mana?”

“Di pojok sana, saya tidak enak kalau Cassiopeia dilihatin banyak orang setelah skandal buatan itu.” Kaki mereka melangkah, membawa mereka mendekat ke seorang pelayan restoran cepat saji yang tengah berjaga di meja kasir. Keduanya menatap lekat-lekat setiap kotak lampu yang berisikan menu.

“Minta McFlurry Oreo satu, McNuggets satu, Hot Coffee satu, kamu mau apa, Ga?”

“Big Mac aja gue, sama Cola.”

Wanita berpakaian hitam dengan topi hitamnya itu mengangguk, membaca ulang semua pesanan mereka berdua dari layar monitor seperti standar prosedur operasional yang sering Samudera lihat, dan bertanya, “Ada pesanan lagi?”

Samudera teringat suatu hal dan ia langsung berkata kepada wanita di depannya itu, “Minta Happy Meal yang Chicken Burger satu, pakai Kid-size fries, sama minumannya diganti Milo medium saja.”

Seriously? For senior high school's student, lo memilih buat nambahin Happy Meal? Buat adik lo pasti. Ya 'kan?” tanya pria yang kerap dipanggil Aga itu tatkala melihat Samudera tengah tersenyum sumringah sembari menatap dan memilih mainan mana yang cocok sebagai hadiah.

“Saya anak tunggal. Kalau saudara sepupu sih ada, hanya saja mereka di Surabaya sama sebagian di Jerman. Omong-omong bagus yang gantungan kunci ini, atau jam tangan?”

“Terus buat siapa? Gantungan kunci. Kalau jam, gue gak yakin bakal bertahan lama itu.” Samudera mengikuti apa yang dikatakan Dilaga, menaruh mainan gantungan kunci Hello Kitty di atas nampan yang telah penuh dengan pesanan mereka.

Mereka mulai melangkahkan kaki, memdekati seorang gadis yang mengenakan kacamata bodong pemberian Samudera. Bisa pemuda itu tebak, bahwa Happy Meals itu untuk gadis yang ada di sana. Mereka mulai berkenalan satu sama lain, membuat Cassiopeia tahu dan kenal akan latar belakang yang suram seorang bernama Herlian Dilaga.

“Gue bukan anak anggar, tapi agak ngerti anggar berkat kembaran gue. Gue dulu berusaha banget buat masuk ke dunia anggar buat balas dendam atas kematian dia. Tapi gak bisa, gue nyesel gak percaya sama dia, padahal dia separuh jiwa gue,” racau Dilaga sembari menenggak satu gelas Coca Cola.

“William emang orangnya kayak gitu, tapi gue sekarang udah ga bisa ngalahin dia. Power dia kenceng banget, semua orang takut sama dia, mungkin setelah masalah kembaran lo itu, tapi dia ....” Netra Cassiopeia melirik ke arah sang leo yang duduk di depannya. Membuat Samudera yang sedang menyeruput kopi hanya menatap balik mereka berdua.

“Iya, saya mau turun tangan. Masa lalu yang mulai liar, harus dijinakkan sama yang masa lalunya juga dilatih menjadi liar.”

Tak terasa satu minggu telah Hermian Diraga lalui di asrama atlet setelah membawa pulang kemenangan untuk Indonesia pada cabang olah raga anggar. Gaung namanya masih setia terdengar, bahkan saat seseorang pemuda hadir di tengah-tengah dia dan teman-temannya.

Nama pemuda itu William Fernando, tangannya begitu hangat tatkala bersalaman dengan tangan Diraga. Namun, pria yang acap kali dipanggil Willi itu tak serta-merta datang seorang diri. Ia datang dengan berbagai macam latar belakang suramnya yang sangat bertolak belakang dengan senyumannya di balik kacamata bulat yang selalu bertengger menghiasi wajah.

“Kok lo masih temenan sama Willi sih, Ga? Dia udah tukang bully, keluarganya aja hancur, nyokapnya malah kayak tutup kuping sama kelakuan dia,” ujar seorang pemuda yang nampak lebih tua daripadanya. Diraga tetaplah Diraga, dengan satu gelas AQUA yang ia seruput secara terbalik, ia justru berkata,

“Santai aja, lagian kalau dia nge-bully tuh masih rumor kan? Terus yang masalah keluarga hancur, ya masa gara-gara keluarga, seorang anak tidak dapat meraih mimpinya? Jangan ngaco deh lo, Bang. Udah ah! Mau nelepon Bang Herlian dulu.”

Entah mengapa, Diraga merasa ada sesuatu yang janggal tentang sosok pria yang nampak alim itu, tapi ia justru mengabaikan dan membiarkan bom waktu itu meledak menujunya.