Jakarta, 2012
“Kak, kamu beneran mau lanjut studi di Paris? Ke Le Conquir-Conquir—” Pria itu menatap gadis di depannya itu sembari tersenyum karena ia terbata-bata dengan nama universitasnya, lalu mengoreksi sang gadis.
“Le Conservatoire de Paris maksud kamu?” Gadis itu mengangguk dengan cepat, lalu ia melanjutkan aktivitasnya melipat pakaian milik pria gemini pemilik nama Rakabuming Prakasa. Sedangkan Raka, kini ia mengambil beberapa buku partitur kebanggaannya lalu duduk di sebelah gadis dengan senyum termanis menurutnya.
Raka tersenyum, menatap gadis bernama Mentari dan mengacak surai hitam miliknya. Membuat sang empunya menatap Raka dengan tatapan kesal.
“Maaf Mentari … maaf ya … aku terpaksa ambil ini. Kamu tahu kan cita-citaku mau jadi komposer terhebat? Di sana aku bisa punya peluang buat main bareng Conservatoire Graduates’ Orchestra. Itu cita-citaku Mentari,” tutur Raka sembari menggenggam tangan lembut Mentari sembari mengecupnya beberapa kali. Seolah-olah meminta izin kepadanya untuk pergi ke ibu kota Prancis.
“Tapi memangnya kita bisa dengan perbedaan waktu ini? Aku takut kita malah hilang kontak, Kak.” Mentari gusar, nampak dari matanya yang bergetar dan nampak seperti menahan tangis. Ia memikirkan bagaimana ia bisa melewati tahun terakhirnya di SMA tanpa seorang Raka yang ia anggap sebagai kakak kandungnya.
Raka lagi-lagi hanya tersenyum, lalu menepuk puncak kepala Mentari.
“Jangan sedih. Cuman beda lima jam. Kamu di sini pas lagi belajar malam, aku di sana lagi ya … istirahat siang. Jangan sedih lagi oke. Kalau kamu bingung tugasnya, bisa banget telepon aku. Aku selalu siap menyediakan waktu buat kamu. Lagipula, mau bagaimanapun kita gak bisa pisah karena ….”
“Karena pertunangan?” Raka menjentikkan jarinya dan tersenyum kepada Mentari.
“Gotcha! Kamu tahu maksud aku.”
Mentari hanya terdiam, menatap Raka penuh keraguan. Ia sangat ragu ketika kata pertunangan itu terucap. Karena menurutnya, hal itu terlalu belia untuknya dan membuatnya sangat terikat dengan semua harapan kedua orang tua mereka.
“Kamu beneran masih ragu?” Mentari menatap Raka dengan seksama, lalu mengangguk. Membuat pria itu lagi dan lagi mengacak rambut Mentari hingga berantakan.
“Ya sudah. Bersenang-senanglah dulu. Kamu pulang sana, nanti Bunda nyariin kamu. Gak usah khawatirin Kakak. Kakak bisa beberes sendiri.” Raka menuntun Mentari untuk keluar dari kamarnya menuju ke depan rumah. Membiarkan gadis itu pergi meninggalkannya untuk kembali ke rumahnya.
Goult, 2018
Kini Raka menyibukkan dirinya bermain dengan partitur-partitur yang berserakan di flat miliknya. Tak terasa, enam tahun ia tak pernah menginjakkan kaki di tanah air. Selain karena ia menjadi dosen Seni Musik, ia juga sudah betah dengan kota kecil yang ia tempati saat ini. Sebenarnya ini bukanlah kota seperti yang dipikirkan. Karena ini hanyalah sebuah desa mungil di selatan negara Prancis. Sebuah kota yang terkenal dengan arsitekturnya yang kuno dengan kotak jendela dan pintu berwarna pastel.
Namun tetap saja, rasanya ia sangat merindukan Mentari dan kota Yogyakarta yang menyimpan banyak kisah di baliknya.
“Mentari sekarang lanjut S2 atau kerja ya?” Raka bergumam hingga sebuah suara bel mengejutkannya. Ia segera membuka pintu dan menemukan seorang gadis berkulit putih dan memiliki wajah khas seperti orang daerah ini.
“Désolé d'interrompre votre temps, monsieur. ” Raka melotot tak percaya setelah mendengar penuturan gadis lokal itu. Ia berkata bahwa ada seseorang yang tersesat dan bertanya ke flat miliknya. Hingga akhirnya ia melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa seseorang yang tersesat itu adalah Mentari.
“Bonjour , Kak Raka.” Gadis itu hanya tersenyum kikuk dan Raka dengan sigap langsung memeluk tubuh mungil gadis itu. Melepas kerinduan yang mengudara dan mendekatkan jarak yang terpisah jauh. Rasanya Raka kembali menemukan arti rumah di setiap usapan punggung yang ia terima.
“Kamu kenapa gak bilang Kakak?”
“Aku gak mau bikin Kakak repot. Hitung-hitung, aku juga sekalian jalan-jalan ngelihat kota yang Kakak bangga-banggakan.” Raka hanya tertawa dan mencubit pipi Mentari.
“Astaga … lagipula kalau kamu bilang mau ke Prancis, nanti kan Kakak siapkan kamar di Paris. Kakak di sini cuman buat nyari inspirasi lagu.” Raka mengambil alih koper yang dibawa oleh Mentari dan menuntun gadis itu untuk masuk ke dalam kediamannya yang sedikit berantakan bagaikan kapal Titanic yang menabrak gunung es.
“Ini yang katanya tempat nyari inspirasi?” Raka hanya terkekeh malu sembari menatap Mentari. Bagaimana tidak? Berbagai macam partitur tersebar. Ada yang memenuhi meja belajar, menempel di kaca jendela, bahkan tersebar di lantai. Membuat Mentari hanya menggeleng tak percaya menatapnya.
Raka segera mengambil satu persatu lembar patitur itu dan membuat Mentari dengan sigap membantunya. Hingga tak sadar, tatapan mereka saling beradu dan membuat aktivitas mereka berhenti. Jikalau buku Ilmu Pengetahuan Alam berkata, kali ini sang rembulan sedang menatap mentari dan membuat seluruh penghuni bumi tak dapat melihatnya. Seperti itulah yang bisa menjelaskan apa yang ada di balik netra coklat milik Raka.
“Tu me manques tellement , Mentari.”
“Apa? Aku itu gak bisa bahasa Prancis, Kak.” Raka hanya memanyunkan bibirnya. Untuk pertama kalinya, Mentari melihat betapa menggemaskannya wajah Raka yang dikenal sebagai orang yang paling jarang menunjukkan ekspresi selain tersenyum. Membuat gadis itu secara refleks mencubit pipi Raka.
“Aku beneran gak tahu Kakak bilang apa. Aku cuman tahunya bonjour. Seriusan.” Gadis itu mengacungkan jari telunjuk dan tengah, membentuk sebuah tanda yang dikenal sebagai tanda damai. Tak lupa juga, Mentari memeletkan lidahnya sedikit yang membuatnya semakin menggemaskan.
Raka hanya menghela napas. Lalu mengacak surai hitam yang telah gadis itu warnai kecoklatan setengah. Ia tak mau mengulang kata itu karena ia masih teringat kejadian di malam sebelum keberangkatannya ke negara yang dijuluki sebagai Kota Mode ini. Bagaimana kata Mentari sebelum ia berjalan pulang ke rumah,
“Kakak tolong biarkan aku jatuh cinta sendiri. Bukan karena paksaan apalagi keterikatan dengan perjanjian itu. Karena aku ingin mencintai Kakak dengan tulus. Bukan karena paksaan dari berbagai pihak manapun.”
“Ya sudah, nanti malam kita kembali ke Paris saja ya? Di sana kamu bakal lebih kelihatan lagi liburan ke Prancis.” Raka kembali mengambil partitur di lantai, hingga satu kecupan mendarat di pipinya. Membuat Raka terkejut bukan main dan menatap gadis pemilik mata yang menurutnya paling teduh dari semua gadis yang pernah ia temui.
“Aku memang tidak tahu bahasa Prancis. Tapi setidaknya aku bisa menjawab ucapan Kakak itu. I miss you too. Kayaknya aku di kehidupan dahulu berbuat baik, sampai aku ditemukan ke seseorang sebaik Kakak. Terima kasih ya untuk semua kasih sayang yang Kakak kasih.”
Raka hanya tertawa lalu menatap Mentari dan berkata, “Kenapa kamu bilang gitu deh? Kamu memangnya mau pergi ke mana lagi?”
Raka segera bangkit, menaruh seluruh partiturnya di atas meja lalu berjalan ke arah dapur untuk.mengambil segelas jus jeruk kesukaannya. Matanya selalu tertuju kepada Mentari yang terdiam menatap ke lantai kayu coklat itu lekat-lekat.
“Gak pa-pa kok Kak. Aku cuman takut nanti gak bisa dateng ke Prancis lagi. Oh iya, bagaimana kalau kita ke Roma saja? Aku mau ke kolam yang terkenal itu.”
Raka masih bingung dengan maksud dari pernyataan Mentari dan ia tak tahu tentang semua kisah di balik Mentari yang memiliki senyuman termanis itu.
“Ya gak pa-pa. Walaupun itu di Italia. Aku kabulin buat kamu.”
“Mentari jangan lama dong. Itu yang dulu katanya selalu juara satu di lomba lari?” Raka membalik badannya, menatap Mentari yang kini sedang berhenti dan mengatur napasnya. Rasanya, nyawa di diri Mentari ingin terbang mengudara di angkasa.
“Mentari? Are you okay? ” Raka berlari menghampiri Mentari dan merangkul gadis itu agar tidak terhuyung dan jatuh. Karena Roma kini kian ramai mengikuti hari yang kian menggelap.
Mentari seketika menolak tawaran Raka yang hendak merangkulnya dan duduk di salah satu bangku yang ada sembari menatap salah satu kolam yang paling terkenal di Paris, Fontana di Trevi alias Air Mancur Trevi. Sebenarnya kolam itu tak pernah mengenal kata sepi, karena hingga malam sekalipun masih ada beberapa turis yang datang menikmati keindahan gaya arsitektur Baroque dan bagaimana megahnya pahatan patung dewa Romawi Oceanos dan Triton. Salah satunya adalah Mentari dan Raka.
“Kayaknya aku cuman di sini dua hari doang Kak. Jadi ya mungkin aku bakal main ke rumah Juliet.”
“Casa di Giulietta? Kakak bahkan belum main sampai sana. Boleh ikut?” Mentari menggeleng. Karena ia tak mau membuat Raka terbebani dengan kehadirannya. Lagipula, ia ingin menikmati keindahan rumah Juliet danengenang kisah yang ditulis oleh William Shakespeare itu sendirian sebelum akhirnya ia mengakhiri semua perjalanannya di Prancis.
“Aku gak mau, nanti kisah kita setragis apa yang dituliskan oleh William Shakespeare. Jadi biarkan aku sendiri aja yang ke sana. Kakak gak usah.”
“Ya sudah. Kamu mau lempar koin gak?” Mentari mengangguk lalu bangkit berdiri dan mendekati kolam itu untuk melempar koin. Disusul dengan Raka yang kini memejamkan mata untuk menyampaikan pengharapannya, lalu melempar koin itu ke air.
“Kakak tadi berharap apa?” tanya Mentari setelah mereka kembali ke flat milik Raka yang ada di Paris menaiki kereta kontemporer dari Roma-Paris. Raka yang saat itu tengah mengeringkan rambut mengenakan handuk segera berpikir setelah mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Mentari.
“Aku … apa ya … kamu dulu aja deh. Kamu berharap apa memangnya?” tanya Raka. Ia sebenarnya malu untuk mengucapkan permintaan itu karena menurutnya hal itu sangat mudah untuk ditebak. Ia ingin agar Mentari mencintainya.
“Aku? Aku mau Kakak mainkan ke aku versi demo dari lagu yang Kakak buat.”
“Beneran mau aku mainkan lagu ini?” Mentari mengangguk dan kini memposisikan dirinya di atas sofa. Bersedia menjadi penonton pertama dari pertunjukkan singkat seorang Rakabuming Prakasa.
“Okey kalau begitu. Aku mainkan lagu ini, judulnya Lever du Soleil, artinya matahari terbit.” Raka meregangkan jemarinya, lalu memainkan musik itu diatas piano. Jari jemarinya kini menari-nari dan menekan satu persatu tuts piano itu, menciptakan dentingan melodi nan indah dan membuat Mentari merasa terbang dan menari mengikuti buaian nada yang memenuhi pendengarannya.
Hingga permainanpun berakhir. Namun Raka merasa heran karena sunyi menyapa flat miliknya. Membuat ia membalik badan dan mendapati Mentari yang kini tertidur di sofa. Mungkin efek dari permainannya yang membuat gadis itu terlelap. Namun tetap saja, Raka langsung mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya ke kamar tidur. Membiarkan gadis itu untuk tidur terlelap di kamarnya sedangkan dia tertidur di sofa itu sembari menonton beberapa serial Netflix hingga tertidur.
Tak disangka, pagi itu menjadi pagi paling indah di kehidupan Mentari. Menikmati sebuah croissant yang Raka beli sembari menatap Raka yang menikmati sereal. Jangan lupa, dengan susu yang belepotan di sekitar bibir Raka akibat dirinya yang terlalu bersemangat.
“Astaga Kak Raka. Lihat itu cemong semua.” Mentari mengambil tisu dan mengusap ujung bibir Raka. Membuat pria itu refleks mencengkram pergelangan tangan Mentari dan menatap netra kecoklatan miliknya lekat-lekat. Membuat Mentari kehabisan kata dan membisu di hadapan Raka.
“Kamu beneran ambil flight malem ini?”
“Iya Kak. Mendesak banget … padahal kita belum foto di Eiffel. Tapi aku pengen main di Italia dulu. Gak pa-pa kan? Nanti aku juga berangkatnya dari Milan, biar lebih enak katanya.” Mentari hanya tersenyum lalu mengemasi barang miliknya dan berjalan keluar flat milik Raka.
“Gak pa-pa. Tapi lebih baik gini aja.” Raka mengambil koper hitam milik Mentari dan membuat gadis itu terkejut. Tanpa rasa bersalah satupun, Raka ikut berjalan keluar dan menutup pintu flat pribadinya.
“Loh? Katanya Kakak mau rampungin lagu.”
“Aku mau jalan-jalan sama kamu di Venice dan aku mau anterin kamu ke bandara. Karena aku gak mau kayak enam tahun lalu. Kita berpisah benua tanpa ada pamit.” Mentari hanya tersenyum. Dia tahu bahwa pria di depannya itu masih menyimpan rasa dengannya. Namun, ia masih ragu untuk mengambil penawaran orang tuanya untuk melangkah ke tingkat yang lebih serius dengan teman kecilnya ini. Dia memang sudah mencintai Raka, namun di sisi lain ada suatu hal yang membuatnya ragu.
“Baiklah … kita berangkat ke stasiun sekarang!” Raka dan Mentari berjalan menuruni satu persatu anak tangga langkah kakinya. Tiba-tiba, Raka berlutut membelakangi Mentari. Seolah-olah memberi kode untuk gadis itu agar Raka menggendongnya.
“Aku gak mau kamu kecapekan. Jadi biarin aku gendong kamu.” Mentari hanya tersenyum, lalu memeluk pria di depannya itu dan memintanya untuk berdiri.
“Gak usah, kita naik bus aja biar gak lari-lari.”
“Tapi sebentar lagi bus ke Paris Gare de Lyon tiba.” Mentari mengenggam tangan Raka lalu berlari. Ia tersenyum menatap Raka yang kini bahagia melihat kehadirannya. Mereka berlari menuju halte dan menaiki bus yang akan menuju ke Paris Gare de Lyon.
Mentari melangkahkan kakinya mendekati sebuah tembok yang kini ramai akan pengunjung wanita. Sedangkan Raka kini berjalan menuju Venice yang berada tak jauh dari kota Venora. Entahlah apa yang ingin Raka lakukan setelah Mentari selesai berjalan-jalan menikmati keindahan rumah tua yang menjadi latar kisah Romeo dan Juliet.
Gadis itu mengeluarkan sebuah surat dari kantong jaketnya, ia membuka surat itu dan membaca sekilas tulisan yang ia tulis semalam.
Jikalau aku bisa berharap, aku ingin terlahir kembali di kehidupan selanjutnya sebagai jodohmu dengan raga yang lebih sehat dan tak memiliki kecacatan apapun.
Sebenarnya aku sudah mencintaimu dengan tulus di malam sebelum keberangkatanmu ke benua Eropa. Tapi aku ragu, apakah aku dapat bertahan hingga akhir permainan dunia ini. Karena kembali lagi, mentari tak pernah dapat bersama rembulan.
Dari Mentari yang bersinar untuk Raka sang Rembulan yang meneduhkan.
Tanpa Mentari sadari, di belakangnya terdapat Raka yang setia menatapnya. Hingga gadis itu pergi meninggalkan tempat itu. Membiarkan Raka berlari mendekati tembok itu dan mengambil surat kuning milik Mentari lalu pergi begitu saja menuju Venice menaiki taksi sebelum Mentari tiba terlebih dahulu.
“Bonjour, monstieur. ”
“Dove stai andando ora, signore? ” Raka hanya menepuk dahinya. Ia lupa bahwa ia sekarang berada di Italia bukan di Prancis. Seketika ia mengeluarkan senjata andalannya setiap pergi ke luar daerah Prancis.
“Sorry, I can’t speak Italy. Can you speak English, Sir?”
“Yes, of course. Where are we going now?”
“Venice.”
Selama perjalanannya sembari membawa koper milik Mentari, ia membuka surat yang ditulis oleh Mentari. Hingga dahinya mengenyit karena tak tahu dengan maksud dari surat yang Mentari tulis.
“Raga yang lebih sehat dan tak memiliki cacat apapun? Maksud Mentari apa?” Raka hanya bergulat dengan batinnya hingga ia sampai di tujuan.
Ia menuruni taksi itu bertepatan dengan Mentari yang menuruni bis. Membuat Raka dengan cepat memasukkan surat itu ke kantong hoodie miliknya. Lalu tersenyum menatap Mentari. Raka berpikir bahwa ia dapat membicarakan semua masalah ini ketika mereka menikmati pemandangan di kota Venice di atas perahu yang ia sewa.
“Gimana? Seru?”
“Bagus banget Kak. Sayang sekali kita gak ke sana bareng. Soalnya aku di sana udah kayak orang kesasar. Pada pacaran semua.”
“Katanya kemarin gak mau kisah kita setragis kisah Romeo dan Juliet?”
“Aku tarik ucapanku.” Mentari tersenyum, membuat Raka mengacak rambut milik Mentari. Lalu menggandeng sang gadis menuju destinasi yang telah ia pesan, yaitu tur mengelilingi kota Venice di atas perahu.
“Bagaimana? Indah banget?” Mentari mengangguk penuh semangat menatap semua binar lampu di kota Venice yang amat indah bagaikan lentera di cerita Rapunzel.
“Okey, kamu bisa jelaskan maksud dari surat ini?”
“Surat yang mana?” Pupil mata Mentari membesar ketika melihat surat kuning yang ia tulis kini berada di genggaman Raka. Seketika gadis itu berdeham dan berkata,
“Sepertinya kamu salah ambil deh Kak. Aku gak nulis apa-apa di sana.”
“Ini tulisannya dari Mentari untuk Raka sang rembulan. Kamu kan?” Mentari hanya tertawa lalu menatap pria di depannya itu. Menahan agar bola matanya tak mengeluarkan setets air mata karena ia tak mau membuat Raka merasa bersalah.
“Rahasia Kak. Biar waktu aja yang menjawab.”
“Tapi kita bisa pacaran aja dulu sekarang?”
Mentari lagi-lagi menganggukkan kepalanya. Ia sebenarnya takut dengan perpisahan namun ia tak ingin membuat pria itu merasa bersalah akibat tidak memilikinya sama sekali sebelum ia pergi.
Keindahan kota Venice yang ikonik itu menjadi saksi. Bagaimana seorang Mentari dan Raka bersatu menciptakan gerhana yang sangat menenangkan. Ciuman yang saling terbalaskan itu menjadi bukti, bahwa Mentari berani untuk mengambil semua resiko yang ada di hadapannya saat ini.
Daerah Istimewa Yogyakarta, 2021
“Hai Mentari, bagaimana kabarmu?” Angin berhembus mengenai permukaan pipinya yang basah. Tahun ini Raka memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya, berniat untuk meminang sang pujaan hati setelah tiga tahun mereka berpisah antara jarak dan waktu. Awalnya dia berpikir bahwa tiga tahun itu Mentari tengah sibuk menjadi seorang dosen seperti yang dia katakan di pesan singkatnya.
Namun ternyata, semua hal itu menjawab surat kuning yang selalu membuatnya berpikir.
Lever du Soleil kini telah usai digarap, dan seharusnya ia menampilkan itu di pertunjukkan musik. Namun, semesta justru mengambil sang inspirator Raka pergi ke kediaman-Nya yang abadi.
Mentari alias Soleil yang Raka maksud telah beristirahat untuk selama-lamanya. Meninggalkan Raka sendirian di kota kecil ini.
“Mentari, aku berpikir bagaimana kota kecil ini sangat kehilangan sang Mentari. Maaf, kalau aku tak tahu kamu memiliki thalassemia sejak kecil. Selamat beristirahat Mentari, biarkan Rembulan ini menghiasi langitmu yang indah dengan melodi kesukaanmu.”
TAMAT