hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Seli berjalan ke bangku penonton, menemani Mika yang kini telah berada di sana bersama kekasihnya, siapa lagi kalau bukan Yaksa kakak kandung Seli.

“Lo dari mana aja sih? Eh sialan, lo dapet free access jalur pacar.” Mika menarik kalung ID card Seli dan menatap foto Jiza lekat-lekat.

“Lo gak lihat gue di sini juga ngebabu?” Seli menunjukkan bagaimana bentukannya saat ini, sebuah handuk yang tersampir di pundak, beserta sebuah air mineral 1,5 liter berada di dekapannya.

“Derita lo sih itu, Sel. Eh, Jiza tampil tuh.” Seli langsung duduk dan mencari di mana posisi sang kekasih saat ini.

“Yang pakai kaos basket merah itu kan?” Seli mengangguk dan ia mulai fokus ke penampilan kekasihnya itu.

“Go Jiza, go Jiza go!” teriak Seli ketika Jiza mengenakan sebuah face paint berwarna hitam di pipi layaknya Rambo yang ingin menyerang. Membuat gadis itu menerima tatapan dari seluruh orang yang ada di tribun. Untung saja, geng Bumilangit mengambil alih dengan Bagas yang memukul drum dan berteriak hal yang sama seperti yang Seli teriakan. Membuat Jiza menatap Seli dan tersenyum sembari mengedipkan sebelah mata.

Seharusnya ini adalah puncak dari penampilan tim dance SMANDEL. Sebuah lompatan tinggi Jiza dengan sebuah bendera kelompok. Namun semua berubah ketika pendaratan itu gagal.

“Jiza!” Seli berusaha untuk menuruni tribun namun Yaksa menarik sang adik dan mendekapnya.

Jiza salah melakukan pendaratan dan membuat pemuda itu tergeletak di lantai lapangan basket sembari mendekap lututnya lalu berteriak kesakitan.

“Bang, itu Jiza kesakitan.”

“Udah biarin dia di urus tim medis dulu.”

“Sel.” Seli menoleh, mendapati kelompok Bumilangit yang kini berada di sampingnya.

“Lo punya akses kan? Ayo ikut. Gue juga mau lihat Jiza.”


“Saya tidak tahu ini apakah ini benar ligamennya yang terputus dikarenakan Rajiza sampai saat ini masih berteriak kesakitan. Tapi di lihat dari lututnya sebelah kanan yang terjadi pembengkakan, saya hanya bisa menebak bahwa ia mengalami cedera pada anterior cruciate ligament untuk saat ini, kita hanya bisa menunggu Rajiza untuk tenang dan setidaknya menunggu pembengkakannya mereda.”

Seli tak memperdulikan ucapan sang dokter dan langsung masuk ke ruang kesehatan, menemui Jiza yang setia berteriak kesakitan.

“Jiza, tenang. Ada gue. Oke semuanya bakal baik-baik saja.”

“Gak bisa Sel, lutut gue kayak nyeri banget.”

“Jiz, lo harus tenang. Kalau gak tenang, dokter ga bakal bisa periksa. Gue ada di sini.”

Satu jam berlalu dan kini Jiza berada di rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan fisik dan rontgen. Hal itu yang membuat pemuda bersurai hitam itu harus menginap di rumah sakit.

Hingga akhirnya hasil tes keluar, dan Jiza mendapati hal pahit yaitu ligamennya yang putus.

“Gue gak bisa dance lagi atau main basket lagi. Pahit banget hidup gue.”

“Enggak! Hidup lo gak pahit! Yang pahit tuh ketika lo gak semangat kayak gini. Ayo ih semangat, kemana resenya Seli ini?” Jiza merengut dan membuat Jiza terkekeh dan mengecup punggung tangan Seli.

“Iya. Gue semangat buat elo.”

“Maaf, kalau gue belum sesempurna itu buat jadi cowok lo.” Hiruk pikuk ibu kota menemani mereka berdua yang tengah menikmati sebuah kerak telor di tepi jalan. Jiza terus menerus menatap makanan itu tanpa ada sekalipun hasrat untuk menyantap makanan khas dari DKI Jakarta tersebut.

“Kalau lo mau mutusin gue. Gak pa-pa gue, Sel. Gue udah tahu resikonya buat pacarin elo.” Seli seketika terbatuk dan membuat Jiza langsung memberikan minuman yang ada di tasnya. Pemuda itu merasa kian bersalah karena menuturkan hal yang harusnya tak pernah ia ucapkan itu.

“Siapa yang punya pikiran mau putus cuman karena hampir satu bulan ga pernah diajak jalan? Itu cuman orang gila doang sih, kalau gue masih waras.”

“Jadi ....”

“Jadi apaan, Jiz?”

”... lo gak putusin gue kan?” Seli tertawa terbahak-bahak dan mengusap air mata yang menetes karena ia tertawa, lalu menatap pemuda di sampingnya itu.

“Gue gak sebodoh itu buat ngelepasin cowok paling rese yang pernah gue temui di SMANDEL. Apalagi cowok rese itu yang bikin gue jatuh cinta. Gak bakal gue putusin cuman karena hal rese gini doang.” Jiza langsung mendekap tubuh mungil Seli dan membiarkan gadis itu memberontak karena tidak dapat bernapas lega.

“Gue aslinya tadi capek banget, Sel. Kena omel pelatih terus. Tapi gue makasih banyak sama lo. Lo buat capek gue hilang.”

Seli cukup terkejut ketika melihat pakaian Jiza yang hampir senada dengan pakaian yang ia pakai saat ini. Kaos hitam yang senada dengan celana, disandingkan dengan jaket flanel bermotif kotak-kotak berwarna merah dan hitam. Sedangkan Seli mengenakan kaos turtle neck berwarna hitam dengan rok kotak-kotak berwarna merah hitam. Sangat seragam, bukan?

“Gue udah pesenin minuman sama makanan kesukaan lo,” tutur Jiza ketika Seli duduk di hadapannya. Sedangkan pemuda itu masih setia memembaca sebuah novel dengan gambar laut, sesuai dengan judul yang tercantum di sampul novel itu.

“Apaan?” Baru selesai Seli bertanya, sebuah Cookies n Cream beserta sebuah kue Red Velvet disajikan oleh seorang pelayan. Membuat lagi dan lagi seorang Marselia Krauser tergumam. Gadis itu menatap Jiza dan manik mata mereka saling bersua. Pemuda itu menutup buku, dan memberikan buku itu kepada Seli.

“Coba aja baca. Lo harus tahu kalau cerita ini keren sampai di rekomendasiin banyak orang.”

Hujan tetap setia turun, menghiasi kaca jendela dan menciptakan alur air. Membiarkan dua insan itu diselimuti oleh ketenangan. Antara Jiza yang kini asyik berselancar di dunia maya dan Seli yang setia membalik satu persatu halaman serta mengabsen seluruh deretan kalimat. Hingga sebuah pembatas terjatuh begitu saja. Membuat Seli sedikit penasaran dan melihat pembatas yang merupakan sebuah kode Spotify.

“Jiz ini apa?”

“Scan aja.” Seli mengeluarkan ponsel dan memindai kode tersebut. Ponselnya seketika terbawa menuju sebuah playlist yang berisikan lagu soundtrack kartun Frozen, Tangled, dan Aladdin. Gadis itu menatap lekat-lekat judul dan membaca sampul playlist tersebut.

“Gue kemarin menghindar dari elo karena gue itu belum yakin apakah gue bener-bener suka sama lo atau bukan. Tapi, ya sekarang gue benar-benar yakin. Makanya gue kasih playlist itu ke elo.”

“Jiz? Ini beneran gue pakai kaos lo? Besar banget sampai jadi daster.” Seli memandang lekat-lekat sebuah kaos berwarna krem dengan lengan panjang. Gadis itu masih menahan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang, sedangkan Jiza kini mengacak rambutnya yang basah.

“Iya. Daripada lo kedinginan gitu. Sekalian mandi aja, kotor. Udah gue siapin air panasnya. BTW, buku lo aman kaga?” Seli menggeleng. Ia hanya menunjuk ke arah di lantai tempat ia menaruh tas hitam. Jiza langsung menghampiri tas Seli dan membukanya. Pemuda itu mengeluarkan semua buku Seli dan beranjak pergi menuju kamar. Mengambil sebuah kain dan setrika listrik yang alhasil membuat Seli kebingungan setengah mati.

“Buku gue jangan lo bakar, Jiz.”

“Cerewet. Mandi sana keburu dingin.” Seli menurut dan Jiza kini mencolokkan setrika untuk mendapatkan aliran listrik lalu membiarkan hingga sedikit hangat. Pemuda itu membuka sebuah buku yang tak selamat dari hujan, melepas plastik sampul dan membuka tepat di tengah halaman. Pemuda itu berniat untuk menyetrika buku milik Seli dengan setrika. Namun karena pemuda itu takut membakar buku Seli, Jiza melapisi buku itu dengan sebuah kain sebelumnya.


“Jiz? Lo apain? Ini kenapa hangat gini? Lo setrika beneran?” Seli menempelkan buku bahasa Indonesia di pipi, memastikan bahwa ia tak salah merasakan bahwa buku itu hangat. Gadis itu telah usai membersihkan diri, dan ia kini tampil sangat lucu dengan kaos Jiza serta rambut yang ia kepang.

“Yang penting kering kan? Sama kenapa rambut lo kuncir gitu? Bukannya basah?”

“Kepo banget. Suka-suka. Nih, catetan bahasa Indonesia, tadi materinya teks eksplanasi sama eksposisi.”

Jakarta, 2012 “Kak, kamu beneran mau lanjut studi di Paris? Ke Le Conquir-Conquir—” Pria itu menatap gadis di depannya itu sembari tersenyum karena ia terbata-bata dengan nama universitasnya, lalu mengoreksi sang gadis.

“Le Conservatoire de Paris maksud kamu?” Gadis itu mengangguk dengan cepat, lalu ia melanjutkan aktivitasnya melipat pakaian milik pria gemini pemilik nama Rakabuming Prakasa. Sedangkan Raka, kini ia mengambil beberapa buku partitur kebanggaannya lalu duduk di sebelah gadis dengan senyum termanis menurutnya.

Raka tersenyum, menatap gadis bernama Mentari dan mengacak surai hitam miliknya. Membuat sang empunya menatap Raka dengan tatapan kesal.

“Maaf Mentari … maaf ya … aku terpaksa ambil ini. Kamu tahu kan cita-citaku mau jadi komposer terhebat? Di sana aku bisa punya peluang buat main bareng Conservatoire Graduates’ Orchestra. Itu cita-citaku Mentari,” tutur Raka sembari menggenggam tangan lembut Mentari sembari mengecupnya beberapa kali. Seolah-olah meminta izin kepadanya untuk pergi ke ibu kota Prancis.

“Tapi memangnya kita bisa dengan perbedaan waktu ini? Aku takut kita malah hilang kontak, Kak.” Mentari gusar, nampak dari matanya yang bergetar dan nampak seperti menahan tangis. Ia memikirkan bagaimana ia bisa melewati tahun terakhirnya di SMA tanpa seorang Raka yang ia anggap sebagai kakak kandungnya. Raka lagi-lagi hanya tersenyum, lalu menepuk puncak kepala Mentari.

“Jangan sedih. Cuman beda lima jam. Kamu di sini pas lagi belajar malam, aku di sana lagi ya … istirahat siang. Jangan sedih lagi oke. Kalau kamu bingung tugasnya, bisa banget telepon aku. Aku selalu siap menyediakan waktu buat kamu. Lagipula, mau bagaimanapun kita gak bisa pisah karena ….”

“Karena pertunangan?” Raka menjentikkan jarinya dan tersenyum kepada Mentari.

“Gotcha! Kamu tahu maksud aku.” Mentari hanya terdiam, menatap Raka penuh keraguan. Ia sangat ragu ketika kata pertunangan itu terucap. Karena menurutnya, hal itu terlalu belia untuknya dan membuatnya sangat terikat dengan semua harapan kedua orang tua mereka.

“Kamu beneran masih ragu?” Mentari menatap Raka dengan seksama, lalu mengangguk. Membuat pria itu lagi dan lagi mengacak rambut Mentari hingga berantakan.

“Ya sudah. Bersenang-senanglah dulu. Kamu pulang sana, nanti Bunda nyariin kamu. Gak usah khawatirin Kakak. Kakak bisa beberes sendiri.” Raka menuntun Mentari untuk keluar dari kamarnya menuju ke depan rumah. Membiarkan gadis itu pergi meninggalkannya untuk kembali ke rumahnya.


Goult, 2018 Kini Raka menyibukkan dirinya bermain dengan partitur-partitur yang berserakan di flat miliknya. Tak terasa, enam tahun ia tak pernah menginjakkan kaki di tanah air. Selain karena ia menjadi dosen Seni Musik, ia juga sudah betah dengan kota kecil yang ia tempati saat ini. Sebenarnya ini bukanlah kota seperti yang dipikirkan. Karena ini hanyalah sebuah desa mungil di selatan negara Prancis. Sebuah kota yang terkenal dengan arsitekturnya yang kuno dengan kotak jendela dan pintu berwarna pastel.

Namun tetap saja, rasanya ia sangat merindukan Mentari dan kota Yogyakarta yang menyimpan banyak kisah di baliknya.

“Mentari sekarang lanjut S2 atau kerja ya?” Raka bergumam hingga sebuah suara bel mengejutkannya. Ia segera membuka pintu dan menemukan seorang gadis berkulit putih dan memiliki wajah khas seperti orang daerah ini.

“Désolé d'interrompre votre temps, monsieur. ” Raka melotot tak percaya setelah mendengar penuturan gadis lokal itu. Ia berkata bahwa ada seseorang yang tersesat dan bertanya ke flat miliknya. Hingga akhirnya ia melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa seseorang yang tersesat itu adalah Mentari.

“Bonjour , Kak Raka.” Gadis itu hanya tersenyum kikuk dan Raka dengan sigap langsung memeluk tubuh mungil gadis itu. Melepas kerinduan yang mengudara dan mendekatkan jarak yang terpisah jauh. Rasanya Raka kembali menemukan arti rumah di setiap usapan punggung yang ia terima.

“Kamu kenapa gak bilang Kakak?”

“Aku gak mau bikin Kakak repot. Hitung-hitung, aku juga sekalian jalan-jalan ngelihat kota yang Kakak bangga-banggakan.” Raka hanya tertawa dan mencubit pipi Mentari.

“Astaga … lagipula kalau kamu bilang mau ke Prancis, nanti kan Kakak siapkan kamar di Paris. Kakak di sini cuman buat nyari inspirasi lagu.” Raka mengambil alih koper yang dibawa oleh Mentari dan menuntun gadis itu untuk masuk ke dalam kediamannya yang sedikit berantakan bagaikan kapal Titanic yang menabrak gunung es.

“Ini yang katanya tempat nyari inspirasi?” Raka hanya terkekeh malu sembari menatap Mentari. Bagaimana tidak? Berbagai macam partitur tersebar. Ada yang memenuhi meja belajar, menempel di kaca jendela, bahkan tersebar di lantai. Membuat Mentari hanya menggeleng tak percaya menatapnya.

Raka segera mengambil satu persatu lembar patitur itu dan membuat Mentari dengan sigap membantunya. Hingga tak sadar, tatapan mereka saling beradu dan membuat aktivitas mereka berhenti. Jikalau buku Ilmu Pengetahuan Alam berkata, kali ini sang rembulan sedang menatap mentari dan membuat seluruh penghuni bumi tak dapat melihatnya. Seperti itulah yang bisa menjelaskan apa yang ada di balik netra coklat milik Raka.

“Tu me manques tellement , Mentari.”

“Apa? Aku itu gak bisa bahasa Prancis, Kak.” Raka hanya memanyunkan bibirnya. Untuk pertama kalinya, Mentari melihat betapa menggemaskannya wajah Raka yang dikenal sebagai orang yang paling jarang menunjukkan ekspresi selain tersenyum. Membuat gadis itu secara refleks mencubit pipi Raka.

“Aku beneran gak tahu Kakak bilang apa. Aku cuman tahunya bonjour. Seriusan.” Gadis itu mengacungkan jari telunjuk dan tengah, membentuk sebuah tanda yang dikenal sebagai tanda damai. Tak lupa juga, Mentari memeletkan lidahnya sedikit yang membuatnya semakin menggemaskan.

Raka hanya menghela napas. Lalu mengacak surai hitam yang telah gadis itu warnai kecoklatan setengah. Ia tak mau mengulang kata itu karena ia masih teringat kejadian di malam sebelum keberangkatannya ke negara yang dijuluki sebagai Kota Mode ini. Bagaimana kata Mentari sebelum ia berjalan pulang ke rumah,

“Kakak tolong biarkan aku jatuh cinta sendiri. Bukan karena paksaan apalagi keterikatan dengan perjanjian itu. Karena aku ingin mencintai Kakak dengan tulus. Bukan karena paksaan dari berbagai pihak manapun.”

“Ya sudah, nanti malam kita kembali ke Paris saja ya? Di sana kamu bakal lebih kelihatan lagi liburan ke Prancis.” Raka kembali mengambil partitur di lantai, hingga satu kecupan mendarat di pipinya. Membuat Raka terkejut bukan main dan menatap gadis pemilik mata yang menurutnya paling teduh dari semua gadis yang pernah ia temui.

“Aku memang tidak tahu bahasa Prancis. Tapi setidaknya aku bisa menjawab ucapan Kakak itu. I miss you too. Kayaknya aku di kehidupan dahulu berbuat baik, sampai aku ditemukan ke seseorang sebaik Kakak. Terima kasih ya untuk semua kasih sayang yang Kakak kasih.”

Raka hanya tertawa lalu menatap Mentari dan berkata, “Kenapa kamu bilang gitu deh? Kamu memangnya mau pergi ke mana lagi?”

Raka segera bangkit, menaruh seluruh partiturnya di atas meja lalu berjalan ke arah dapur untuk.mengambil segelas jus jeruk kesukaannya. Matanya selalu tertuju kepada Mentari yang terdiam menatap ke lantai kayu coklat itu lekat-lekat.

“Gak pa-pa kok Kak. Aku cuman takut nanti gak bisa dateng ke Prancis lagi. Oh iya, bagaimana kalau kita ke Roma saja? Aku mau ke kolam yang terkenal itu.” Raka masih bingung dengan maksud dari pernyataan Mentari dan ia tak tahu tentang semua kisah di balik Mentari yang memiliki senyuman termanis itu.

“Ya gak pa-pa. Walaupun itu di Italia. Aku kabulin buat kamu.”


“Mentari jangan lama dong. Itu yang dulu katanya selalu juara satu di lomba lari?” Raka membalik badannya, menatap Mentari yang kini sedang berhenti dan mengatur napasnya. Rasanya, nyawa di diri Mentari ingin terbang mengudara di angkasa.

“Mentari? Are you okay? ” Raka berlari menghampiri Mentari dan merangkul gadis itu agar tidak terhuyung dan jatuh. Karena Roma kini kian ramai mengikuti hari yang kian menggelap.

Mentari seketika menolak tawaran Raka yang hendak merangkulnya dan duduk di salah satu bangku yang ada sembari menatap salah satu kolam yang paling terkenal di Paris, Fontana di Trevi alias Air Mancur Trevi. Sebenarnya kolam itu tak pernah mengenal kata sepi, karena hingga malam sekalipun masih ada beberapa turis yang datang menikmati keindahan gaya arsitektur Baroque dan bagaimana megahnya pahatan patung dewa Romawi Oceanos dan Triton. Salah satunya adalah Mentari dan Raka.

“Kayaknya aku cuman di sini dua hari doang Kak. Jadi ya mungkin aku bakal main ke rumah Juliet.”

“Casa di Giulietta? Kakak bahkan belum main sampai sana. Boleh ikut?” Mentari menggeleng. Karena ia tak mau membuat Raka terbebani dengan kehadirannya. Lagipula, ia ingin menikmati keindahan rumah Juliet danengenang kisah yang ditulis oleh William Shakespeare itu sendirian sebelum akhirnya ia mengakhiri semua perjalanannya di Prancis.

“Aku gak mau, nanti kisah kita setragis apa yang dituliskan oleh William Shakespeare. Jadi biarkan aku sendiri aja yang ke sana. Kakak gak usah.”

“Ya sudah. Kamu mau lempar koin gak?” Mentari mengangguk lalu bangkit berdiri dan mendekati kolam itu untuk melempar koin. Disusul dengan Raka yang kini memejamkan mata untuk menyampaikan pengharapannya, lalu melempar koin itu ke air.

“Kakak tadi berharap apa?” tanya Mentari setelah mereka kembali ke flat milik Raka yang ada di Paris menaiki kereta kontemporer dari Roma-Paris. Raka yang saat itu tengah mengeringkan rambut mengenakan handuk segera berpikir setelah mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Mentari.

“Aku … apa ya … kamu dulu aja deh. Kamu berharap apa memangnya?” tanya Raka. Ia sebenarnya malu untuk mengucapkan permintaan itu karena menurutnya hal itu sangat mudah untuk ditebak. Ia ingin agar Mentari mencintainya.

“Aku? Aku mau Kakak mainkan ke aku versi demo dari lagu yang Kakak buat.”

“Beneran mau aku mainkan lagu ini?” Mentari mengangguk dan kini memposisikan dirinya di atas sofa. Bersedia menjadi penonton pertama dari pertunjukkan singkat seorang Rakabuming Prakasa.

“Okey kalau begitu. Aku mainkan lagu ini, judulnya Lever du Soleil, artinya matahari terbit.” Raka meregangkan jemarinya, lalu memainkan musik itu diatas piano. Jari jemarinya kini menari-nari dan menekan satu persatu tuts piano itu, menciptakan dentingan melodi nan indah dan membuat Mentari merasa terbang dan menari mengikuti buaian nada yang memenuhi pendengarannya.

Hingga permainanpun berakhir. Namun Raka merasa heran karena sunyi menyapa flat miliknya. Membuat ia membalik badan dan mendapati Mentari yang kini tertidur di sofa. Mungkin efek dari permainannya yang membuat gadis itu terlelap. Namun tetap saja, Raka langsung mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya ke kamar tidur. Membiarkan gadis itu untuk tidur terlelap di kamarnya sedangkan dia tertidur di sofa itu sembari menonton beberapa serial Netflix hingga tertidur.


Tak disangka, pagi itu menjadi pagi paling indah di kehidupan Mentari. Menikmati sebuah croissant yang Raka beli sembari menatap Raka yang menikmati sereal. Jangan lupa, dengan susu yang belepotan di sekitar bibir Raka akibat dirinya yang terlalu bersemangat.

“Astaga Kak Raka. Lihat itu cemong semua.” Mentari mengambil tisu dan mengusap ujung bibir Raka. Membuat pria itu refleks mencengkram pergelangan tangan Mentari dan menatap netra kecoklatan miliknya lekat-lekat. Membuat Mentari kehabisan kata dan membisu di hadapan Raka.

“Kamu beneran ambil flight malem ini?”

“Iya Kak. Mendesak banget … padahal kita belum foto di Eiffel. Tapi aku pengen main di Italia dulu. Gak pa-pa kan? Nanti aku juga berangkatnya dari Milan, biar lebih enak katanya.” Mentari hanya tersenyum lalu mengemasi barang miliknya dan berjalan keluar flat milik Raka.

“Gak pa-pa. Tapi lebih baik gini aja.” Raka mengambil koper hitam milik Mentari dan membuat gadis itu terkejut. Tanpa rasa bersalah satupun, Raka ikut berjalan keluar dan menutup pintu flat pribadinya.

“Loh? Katanya Kakak mau rampungin lagu.”

“Aku mau jalan-jalan sama kamu di Venice dan aku mau anterin kamu ke bandara. Karena aku gak mau kayak enam tahun lalu. Kita berpisah benua tanpa ada pamit.” Mentari hanya tersenyum. Dia tahu bahwa pria di depannya itu masih menyimpan rasa dengannya. Namun, ia masih ragu untuk mengambil penawaran orang tuanya untuk melangkah ke tingkat yang lebih serius dengan teman kecilnya ini. Dia memang sudah mencintai Raka, namun di sisi lain ada suatu hal yang membuatnya ragu.

“Baiklah … kita berangkat ke stasiun sekarang!” Raka dan Mentari berjalan menuruni satu persatu anak tangga langkah kakinya. Tiba-tiba, Raka berlutut membelakangi Mentari. Seolah-olah memberi kode untuk gadis itu agar Raka menggendongnya.

“Aku gak mau kamu kecapekan. Jadi biarin aku gendong kamu.” Mentari hanya tersenyum, lalu memeluk pria di depannya itu dan memintanya untuk berdiri.

“Gak usah, kita naik bus aja biar gak lari-lari.”

“Tapi sebentar lagi bus ke Paris Gare de Lyon tiba.” Mentari mengenggam tangan Raka lalu berlari. Ia tersenyum menatap Raka yang kini bahagia melihat kehadirannya. Mereka berlari menuju halte dan menaiki bus yang akan menuju ke Paris Gare de Lyon.


Mentari melangkahkan kakinya mendekati sebuah tembok yang kini ramai akan pengunjung wanita. Sedangkan Raka kini berjalan menuju Venice yang berada tak jauh dari kota Venora. Entahlah apa yang ingin Raka lakukan setelah Mentari selesai berjalan-jalan menikmati keindahan rumah tua yang menjadi latar kisah Romeo dan Juliet.

Gadis itu mengeluarkan sebuah surat dari kantong jaketnya, ia membuka surat itu dan membaca sekilas tulisan yang ia tulis semalam.

Jikalau aku bisa berharap, aku ingin terlahir kembali di kehidupan selanjutnya sebagai jodohmu dengan raga yang lebih sehat dan tak memiliki kecacatan apapun. Sebenarnya aku sudah mencintaimu dengan tulus di malam sebelum keberangkatanmu ke benua Eropa. Tapi aku ragu, apakah aku dapat bertahan hingga akhir permainan dunia ini. Karena kembali lagi, mentari tak pernah dapat bersama rembulan. Dari Mentari yang bersinar untuk Raka sang Rembulan yang meneduhkan.

Tanpa Mentari sadari, di belakangnya terdapat Raka yang setia menatapnya. Hingga gadis itu pergi meninggalkan tempat itu. Membiarkan Raka berlari mendekati tembok itu dan mengambil surat kuning milik Mentari lalu pergi begitu saja menuju Venice menaiki taksi sebelum Mentari tiba terlebih dahulu.

“Bonjour, monstieur. ”

“Dove stai andando ora, signore? ” Raka hanya menepuk dahinya. Ia lupa bahwa ia sekarang berada di Italia bukan di Prancis. Seketika ia mengeluarkan senjata andalannya setiap pergi ke luar daerah Prancis.

“Sorry, I can’t speak Italy. Can you speak English, Sir?”

“Yes, of course. Where are we going now?”

“Venice.”

Selama perjalanannya sembari membawa koper milik Mentari, ia membuka surat yang ditulis oleh Mentari. Hingga dahinya mengenyit karena tak tahu dengan maksud dari surat yang Mentari tulis.

“Raga yang lebih sehat dan tak memiliki cacat apapun? Maksud Mentari apa?” Raka hanya bergulat dengan batinnya hingga ia sampai di tujuan.

Ia menuruni taksi itu bertepatan dengan Mentari yang menuruni bis. Membuat Raka dengan cepat memasukkan surat itu ke kantong hoodie miliknya. Lalu tersenyum menatap Mentari. Raka berpikir bahwa ia dapat membicarakan semua masalah ini ketika mereka menikmati pemandangan di kota Venice di atas perahu yang ia sewa.

“Gimana? Seru?”

“Bagus banget Kak. Sayang sekali kita gak ke sana bareng. Soalnya aku di sana udah kayak orang kesasar. Pada pacaran semua.”

“Katanya kemarin gak mau kisah kita setragis kisah Romeo dan Juliet?”

“Aku tarik ucapanku.” Mentari tersenyum, membuat Raka mengacak rambut milik Mentari. Lalu menggandeng sang gadis menuju destinasi yang telah ia pesan, yaitu tur mengelilingi kota Venice di atas perahu.


“Bagaimana? Indah banget?” Mentari mengangguk penuh semangat menatap semua binar lampu di kota Venice yang amat indah bagaikan lentera di cerita Rapunzel.

“Okey, kamu bisa jelaskan maksud dari surat ini?”

“Surat yang mana?” Pupil mata Mentari membesar ketika melihat surat kuning yang ia tulis kini berada di genggaman Raka. Seketika gadis itu berdeham dan berkata,

“Sepertinya kamu salah ambil deh Kak. Aku gak nulis apa-apa di sana.”

“Ini tulisannya dari Mentari untuk Raka sang rembulan. Kamu kan?” Mentari hanya tertawa lalu menatap pria di depannya itu. Menahan agar bola matanya tak mengeluarkan setets air mata karena ia tak mau membuat Raka merasa bersalah.

“Rahasia Kak. Biar waktu aja yang menjawab.”

“Tapi kita bisa pacaran aja dulu sekarang?”

Mentari lagi-lagi menganggukkan kepalanya. Ia sebenarnya takut dengan perpisahan namun ia tak ingin membuat pria itu merasa bersalah akibat tidak memilikinya sama sekali sebelum ia pergi. Keindahan kota Venice yang ikonik itu menjadi saksi. Bagaimana seorang Mentari dan Raka bersatu menciptakan gerhana yang sangat menenangkan. Ciuman yang saling terbalaskan itu menjadi bukti, bahwa Mentari berani untuk mengambil semua resiko yang ada di hadapannya saat ini.


Daerah Istimewa Yogyakarta, 2021 “Hai Mentari, bagaimana kabarmu?” Angin berhembus mengenai permukaan pipinya yang basah. Tahun ini Raka memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya, berniat untuk meminang sang pujaan hati setelah tiga tahun mereka berpisah antara jarak dan waktu. Awalnya dia berpikir bahwa tiga tahun itu Mentari tengah sibuk menjadi seorang dosen seperti yang dia katakan di pesan singkatnya.

Namun ternyata, semua hal itu menjawab surat kuning yang selalu membuatnya berpikir. Lever du Soleil kini telah usai digarap, dan seharusnya ia menampilkan itu di pertunjukkan musik. Namun, semesta justru mengambil sang inspirator Raka pergi ke kediaman-Nya yang abadi. Mentari alias Soleil yang Raka maksud telah beristirahat untuk selama-lamanya. Meninggalkan Raka sendirian di kota kecil ini.

“Mentari, aku berpikir bagaimana kota kecil ini sangat kehilangan sang Mentari. Maaf, kalau aku tak tahu kamu memiliki thalassemia sejak kecil. Selamat beristirahat Mentari, biarkan Rembulan ini menghiasi langitmu yang indah dengan melodi kesukaanmu.”

TAMAT

“Lo kenapa sih, Sel? Masih kepikiran sama Rajiza?” Seli masih menatap buku pemberian Jiza seksama. Sebuah buku dengan ilustrasi sepasang kekasih yang berada di taman bunga mawar yang ia ketahui adalah penulis kesukaannya dengan sang kekasih.

“Yah beneran mikirin Rajiza?” Mika tertawa, mematikan ponselnya dan menatap Seli yang masih setia mengingat momen di mana Jiza memberikan buku novel Asmaraloka.

“Positif aja Sel. Rajiza suka sama lo. Siapa tahu?” Seli menatap sahabatnya itu dan melemparkan bantal.

“Nih anak minta gue coret dari list calon kakak ipar.”


Berbeda dengan Seli, kini Rajiza menatap jendela yang setia menampakkan pemandangan ibu kota yang tengah terguyur hujan. Pemuda itu belum kembali ke rumah karena terjebak hujan. Membuatnya harus meneduh di basecamp bumilangit—studio Arga—hingga waktu yang belum ia tentukan.

“Anak baru, lo kenapa galau?” Arjun menghampiri Jiza dan mengambil coklat hangat dari tangan Jiza lalu meneguknya hingga separuh.

“Gue masih mikirin anak kelompok gue, Bang. Gue gak suka dia sebagai cewe. Tapi kenapa gue pengen bahagiain dia.” Arjun menepuk bahu Jiza dan memetik gitar yang sedari tadi ia bawa.

“Jiz, lo tahu gak struktur lagu? Ada intro, chorus, bridge, dan coda. Ya gitu juga dalam suatu hubungan, lo ketemu, kenalan, belum tentu langsung jadian duar bebek! Gak ada. Flat aja kalau lo kayak gitu.”

“Terus gimana? Kak Echa sama Bang Bagas bilang sama gue buat gak main-main sama perasaan cewek.”

“Main sedikit gak pa-pa. Asalkan lo mau bertanggung jawab, Jiz.” Tepat setelah Arjun berkata, Bagas, Arga, Madava, dan saudara kembar Madava—Janna dan Udin—memasuki studio dan membuat kerusuhan.

“Chesna mana Jiz?” Jiza hanya mengerdikkan bahu. Dia harusnya yang bertanya di mana keberadaan rekan seangkatannya itu.

“Eh bray, urang teh denger-denger dari orang, maneh beliin novel buat Seli ya?” Seluruh penghuni studio itu menatap Jiza yang tengah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“I-iya. Gue beliin.”

“Atas dasar apaan Jiz? Dasar suka atau dasar main-main?”

“Gak tahu. Gue cuman pengen mewujudkan impian dia yang ada di Twitter.”

“Apaan Jiz?”

“Punya cowok kayak di AU kesukaannya.”

Arga menuruni satu persatu anak tangga sembari mengingat-ingat di mana ia meletakkan novel biru kecoklatan itu. Ia masih ingat bagaimana Echa sangat menyayangi karakter yang divisualisasikan oleh Jungwoo dari grup NCT bernama Elio.

“Arga tahu gak? Aku lagi gak sayang sama Dikta. Aku lagi jatuh cinta sama Elio,” tutur Echa di sambungan telepon di saat Arga mengerjakan skripsiannya di temani oleh sebuah lagu milik A-Wall yang bertajuk Loverboy.

“So?” Arga bertanya, membuat Echa kini merajuk tidak jelas di panggilan. Membuat pria leo itu menghrntikan aktivitas dan memulai bujukan mautnya.

“Am I hurt you? I'm sorry. By the way, why you falling in love with Elio? Is it cool or handsome? But, I'm always your best boyfriend more than your fictional boyfriend, right?” Echa tertawa, membuat Arga kini terkekeh dan merasa berhasil untuk menggoda sang kekasih.

“Kirimkan saja novelnya. Nanti biar aku baca.” Arga menimpali perkataannya dan melanjutkan semua cerita Echa yang tergila-gila dengan karakter fiksinya sedangkan Arga terpusing-pusing dengan skripsi.

“Ga! Maneh teh ngelamun? Ntar kerasukan setan Amrik kan urang bingung mau ngerukiyahnya pake apaan.” Arga tersadar dari lamunannya, dan melangkahkan satu kaki untuk turun ke lantai satu rumah kontrakan GrandMa. Sedangkan keempat pria itu hanya menatap Arga penuh tanya.

“Gue nyari novel punya Echa. Judulnya kalo gak salah 2,578.0 km? Gak tahu deh lupa gue, intinya angka gitu.”

“Ini?” Arga menatap dengan buku yang ada di genggaman Janna dan membuat Arga langsung sumringah. Ia menghampiri Janna dan mengambil novel itu.

“Kenapa novel Echa ada di elo deh? Kapan lo move on?” tanya Udin yang langsung membuat ketiga rekannya berusaha untuk menutup mulut pria bergigi kelinci itu.

“Echa suka sama karakternya, dan gue emang jatuh cinta apapun pokoknya tentang Echa. Dan tentang move on mungkin sekarang udah mulai *move on gue.”

“Terus si Elga itu gimana? Lo ga jadi pepet?” Semua tatapan sinis berpindah ke arah Bagas. Membuat Bagas kini terdiam dan berganti menutup mulutnya sendiri.

“Kaga. Gue gak mau mengulang kisah yang sama.”

“Maksudnya?” Kini gantian Dava dan Janna yang bertanya. Membuat Arga duduk bersila di atas karpet dan mulai menceritakan tentang kejadian ia melihat Luthfian di restoran.

“Hah? Si brengsek? Kalo gue jadi lo, gue bongkarin semua kebusukannya, apalagi kalau dia kembarannya Echa. Ya kali dia mau bernasib sama kayak kembarannya?”

“Gue gak mau banyak bicara dan menyelamatkan seseorang dari hubungan. Lagipula apaan? Gue udah tertolak habis-habisan dan Mereka bukan anak kembar.” Suara tawa menggelegar begitu saja setelah Arga selesai berbicara. Membuat Arga berpikir di mana letak kesalahannya.

“Mana ada sih orang nama sama, muka sama, tapi gak kembar?”

“Siapa tahu doppleganger?” bantah Arga. Membuat Bagas menepuk bahu Arga.

Brader, gak harus semua di selesaikan dengan cara. Ada juga beberapa yang butuh bicara. Salah satunya ini. Sekarang DM ElgaKhara. Gue nemu dia di komen elo.”

“Ya, nanti aja. Gue mau rampungin Elio dulu.” Arga berjalan ke halaman belakang, lalu merbahkan dirinya di salah satu kursi pantai yang diletakkan di sana. Tak lupa, ia memutar sebuah lagu yang sebelumnya telah ia corat-coret ala Pinterest.

Kaki Arga memasuki sebuah restoran berdinding gelap dan disambut dengan interior klasik kayu yang khas.

“Hey!” Arga menoleh dan mendapati sahabatnya yang duduk di salah satu meja yang terdapat papan bertuliskan reserved.

“Heyyo, wassup. Arjuna Mahatma.” Arga duduk dan langsung menatap rekannya sewaktu sekolah itu.

“Hendrian miss you, katanya sih gitu,” ucap Arga yang membuat pria berwajah oriental itu tertawa terbahak-bahak.

“Telepon aja, buruan.” Arga menuruti permintaan Juna, membuka ponsel dan menghubungi nomor Aheng alias Hendrian.

“Ya Tuhan, ini gue baru tidur setelah ngurusin lagu lo. Kenapa lagi sih bujang?”

“Good morning Shakala's daddy.”

“Heh? Juned? Really? Apa kabar lo anak setan. Sekali tinggal di Kanada langsung lupa tanah air beta.” Juna tertawa, begitupula Arga. Namun suara tawa mereka berhenti ketika mata Arga melihat Elga dengan seorang pria yang tak asing menurutnya, Luthfian.

“Gue matiin dulu ya, Heng. Nanti bicarain aja mau rekaman online atau offline.” Arga langsung mematikan panggilan secara sepihak dan membisikkan sesuatu kepada Juna dengan bantuan buku menu sebagai penutup.

“Itu ada Luthfian, di arah jam sebelas. Dia sama cewek, gak tahu kenapa gue ngerasa kayak lihat Echa.”

“Udah deh, Ga. Kalau itu Luthfian, ya udah. That's he life. Lo udah gak bisa menyelamatkan cewek orang lagi kayak pas SMA.” Tepat saat Juna selesai dengan ucapannya, hidangan mulai datang dan menyapa mereka.

Hingga pukul enam lebih yang artinya, telah satu jam mereka habiskan untuk bercengkrama dan bercerita masa kejayaan mereka.

“Lo butuh fotografer buat album gak? Gue bisa bantuin nanti.” Arga mengangguk dan langsung pergi memasuki mobil. Meninggalkan Juna sendiri dengan sepeda miliknya.


“Fotografer album ya ... Bisa sih, apa gue bikin dua versi ya? Tapi lagunya? Bikin satu lagi aja deh.”

Jiza beranjak dari kursinya dan menoleh ke arah jam lima, di sana terdapat Arga beserta rekan-rekannya yang tengah asik. Ada yang tengah bergoyang dan berdendang, ada juga yang mengiringi dengan sebuah pukulan meja.

“Nah ini dia, tokoh utama cerita. Kenalin, gue Hendrian panggil aja Aheng soalnya Hendri sama Ian hanya neng Uci semata yang boleh panggil.” Sorakan menuju ke arah Aheng yang kini turun dari meja namun setia dengan nyanyian Cendol Dawetnya.

Sorry ya, emang berisik kelompok gue. Ini ada Bagas, Aheng, Janna anak MIPA, sama ini saudaranya Janna; Udin sama Madagaskar.”

“Madava, setan.” Jiza tak peduli dengan amukan Dava. Karena ia kini menatap seseorang yang mengenakan kacamata hitam dan tangan yang sibuk memainkan ponsel.

“Lah lu belom kenal dia, Jiz?” Bagas menatap Jiza. Membuat pemuda itu menurunkan kacamata dan memperlihatkan wajah orientalnya yang khas seperti koko-koko yang selalu Jiza lihat di Pasar Glodok sewaktu Imlek.

“Chesna, kelompok Papua. Salam kenal.” Jiza menyalami Chesna dan langsung duduk.

“Mabar kuy.” Udin memecahkan situasi dan langsung membuat semua orang membuka ponselnya. Jiza hanya melongo tak tahu hendak memainkan apa, karena ia hanya memiliki Kart Rider dan PUBG yang jarang dia buka bahkan naik level.

“Main PUBG, Jiz. Tenang lo mau noob sekalipun, gue bantu,” ujar Arga yang langsung membuat Jiza yakin untuk membuka aplikasi permainan battle ground tersebut.


“Jiza mending lo di belakang gue deh. Aih,” umpat Chesna ketika karakter Jiza terjatuh karena terkena tembakan brutal.

“Yah mati.” Jiza menaruh ponselnya. Sudah hampir tiga babak, pemuda itu selalu menjadi wasit karena kelalaiannya yang membuatnya tertembak dan kalah. Sampai satu kelompok itu memberi gelar kepada Jiza sebagai wasit abadi.

“Ntar gue bantu naikin level lo deh, Jiz. Sekarang balik-balik.” Chesna bangkit, mengenakan kembali kacamatanya dan pergi melenggang begitu saja. Sedangkan Arga kini mengapit Jiza untuk pergi meninggalkan kelompok itu. Karena mereka akan kabur dari pelajaran yang tersisa pada hari itu.

Jiza melangkahkan kaki memasuki halaman sekolah yang padat dengan mobil-mobil pengantar.

“Kamu baik-baik di sekolah. Jangan tawuran. Awas sampai Ayah tahu kamu tawuran sama kakak kelas.” Jiza langsung memberi hormat kepada pria yang mengenakan seragam aparat itu dan tersenyum sumringah.

“Iya, Ayah. Tenang saja. Aku masuk, ya.” Jiza mengecup punggung tangan Ayah dan berjalan memasuki sekolah untuk berbaris. Karena Ayahnya adalah seorang aparat, Jiza sangat baik sekali dalam urusan baris-berbaris. Maka dari itu, dia memancing perhatian panitia MPLS termasuk pasangan kekasih, Arga dan Echa.

“Itu kayaknya Jiza deh, Ga. Coba tanyain aja.” “Kan itu anak kelompok kamu. Jawa kan kamu?” “Ya kan kamu juga Jawa, sayang.” Arga menepuk dahi dan langsung menggandeng Echa untuk menghampiri Jiza.

“Maaf, ini Rajiza Agoye bukan?” Echa menatap Jiza dan pemuda itu mengangguk. Membuat Arga langsung merangkul pemuda yang sama tingginya dan membawa pemuda itu pergi dari barisan yang rupanya kelompok Kalimantan.

“Kak, maaf. Ini aku dikeluarkan dari barisan ada apa ya?” “Kamu salah baris. Itu Kalimantan. Harusnya di Jawa. Nah udah di sini aja. Kamu jadi perwakilan siswa.” Arga berteriak dan memanggil rekannya untuk memberi pengarahan singkat.

Di sebelah Jiza terdapat seorang gadis, sepertinya ia juga diseret kakak panitia untuk menjadi perwakilan.

“Salam kenal, Rajiza. Panggil saja, Jiza.” “Seli. Marselia.” Gadis itu menjawab sangat singkat dan langsung kembali menatap ke seseorang yang mengenakan name tag bertuliskan Bagaskara Kurniawan.

Itulah awal masa pengenalan Rajiza dan Marselia.