hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

“Yeah maybe in six hour I will arrive on Toronto. Hahaha, I miss you too, GrandMa. Okey see you soon.” Arga mematikan panggilan dan kini ia lanjut melihat kaos. Hingga ia menemukan sebuah kaos yang ia cari.

Kaos berwarna merah tua dengan tulisan Vancouver dan bendera Kanada. Sama seperti kaos kebanggaannya saat duduk di bangku SMA. Memang hanya sebuah kaos, namun menyimpan banyak kenangan.


Jakarta, tujuh tahun lalu “Arga, kenapa kamu suka banget sama kaos itu sih?” Arga menatap kaos merah miliknya dan tersenyum menatap Echa. Memang setiap kali mereka pacaran, atau panggilan video selalu Arga memakai kaos itu.

“I don't know, ini banyak kenangannya buat aku. Di beliin almarhum Papa. Kamu gak suka kah? Bosen kah?” Echa menggeleng lalu memeluk tubuh pemuda itu.

“Aku suka banget malah. Baju ini tuh baju paling wangi yang kamu pakai.” Gadis itu tertawa, membuat Arga tidak terima dengan perkataan Echa.

“Kamu terus bilang baju aku yang lain bau gitu?” Arga menggelitik tubuh Echa dan membuat Echa tertawa terbahak-bahak.

“Please, forgive me. Arga geli, please”


“Fuck, gue lupa penerbangannya.” Arga yang tersadar dari lamunan langsung mengambil kaos itu dan membayarnya lalu berlari untuk check in penerbangan menuju Toronto.

Arga menutup masker putihnya rapat-rapat. Pemuda itu tak ingin bahwa ada penggemar yang mengenalinya dan mengikuti perjalanan mereka.

“Dude, don't forget to airplaine mode your phone,” ucap Arga sembari mengubah pengaturan ponselnya menjadi mode pesawat karena ia melihat keempat orang yang mempunyai gelar sebagai sahabat itu masih asyik dengan dunia maya. Bagas dengan WhatsApp bersama sang tunangan, Janna dengan AU yang ada di aplikasi Twitter, Udin dengan YouTube yang menyajikan fancam idolanya, sedangkan Dava dengan Netflix yang memutar film Big Boss Baby.

“Bawel lo bule,” ucap mereka secara serempak dan langsung menutup ponsel mereka lalu duduk di setiap bangku sesuai dengan nomor tiket mereka. Arga bersama Bagas, sedangkan Trio Icikiwir berada di seberang mereka.

Berbeda dengan keempat sahabatnya yang kini memesan jus jeruk, Arga justru mengeluarkan buku hitam kebanggaannya dan mulai mengolah berbagai kata di imajinasinya untuk menjadi sebuah lagu diremani dengan sepasang earphone yang memutarkan lagu miliknya yang bertajuk Night in Jakarta.

Lagu itu sangatlah indah, orang banyak yang mengira bahwa lagu ini bergenre RnB karena gayanya yang santai dan membawa ketenangan seperti lagu RnB yang ramai di pasaran. Lagu itulah yang menemani Arga menulis hingga Bagas menganggu pemuda itu dengan segelas jus jeruk.

“Air mineral aja gue.” “Mana-mana ke pesawat tuh mesennya orange juice bukan air mineral.” “Ya. Suka-suka lo. Mending gue nonton film Avengers aja.” Arga menutup buku, lalu menyalakan monitor yang ada di pesawat untuk menonton sebuah film kesukaannya, Avengers.

“Oh iya, nih untung Janna nanya. Ntar di Toronto kita tidur di mana?” “GrandMa Marshall's house. Gue dari zaman kuliah tidur di rumah dia. Kamar gue masih ada di sana. Cukup buat berlima,” jawab Arga singkat dengan matanya yang tidak berpaling dari adegan film itu. “Ya udah gue tidur dulu. Biar kaga jet lag.”

Begitulah percakapan singkat Arga dengan Bagas selepas pesawat take off dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Menandakan bahwa perjalanan panjang mereka akan segera dimulai.

“Ya, bantuin gue ngurus Jayden dulu.” Yahya tak sengaja menggulung sweaternya dan menunjukkan goretan bekas luka yang menarik perhatian Marka sang kakak.

“Tangan lo kenapa?” Refleks saja Yahya menarik tangannya menjauh dan menutup seluruh bekas goresan itu. Usianya kini dua puluh satu tahun, yang artinya tahun ini ia telah diberondong dengan banyak tuntutan. Ditambah, hanya dia lah satu-satunya di keluarga yang belum menikah. Kakak dan seluruh kembarannya telah menikah bahkan Marka saja telah mempunyai seorang putra. Membuat pria itu kian dikejar untuk segera menyusul.

Belum berakhir sampai disitu, Yahya masih saja dikejar dengan berbagai tuntutan pekerjaan dari sang kakak. Dia cukup kesusahan, dan dia kekurangan waktu untuk memanjakan dirinya. Membuat pikirannya sedikit kacau dan kantung mata berwarna hitam adalah bukti bahwa ia tak pernah dapat terlelap di malam hari.

“Gak papa, Bang. Ya udah gue urus dulu aja.” “Gak usah. Lo lanjut kerjaan lo aja.” Marka berlalu begitu saja karena sang anak kini menangis dengan sangat kencang. Membuat Yahya menghela napas yang sangat berat.

Ia berjalan menuju meja kerja, melihat pergelangannya yang penuh luka itu dan dia hanya tersenyum. Luka itu memang menjadi saksi bagaimana tertekannya seorang Yahya Laskar Abimana. Membuatnya langsung mengambil sebuah silet yang ia simpan di tempat ATK dan langsung beranjak menuju suatu ruangan sepi.

Dia rindu masa remajanya. Namun, dia merasa bahwa masa remajanya juga tak seberuntung kelima saudara kembarnya. Dia merasa, dia selalu mendapat getahnya. Terkenal hanya karena menjadi si kembar dari keluarga Abimana. Namun, ketika ia berdiri sendiri, semua orang menginjak dan memeras segalanya tentang Yahya. Harta, ketenaran, segalanya! Tak segan-segan terdapat orang-orang tak bertanggung jawab yang menyuruhnya untuk mati saja karena ia tak berguna.

Dia kesal. Sangat kesal.

Yahya menatap silet yang ada di genggamannya. Lalu menatap pergelangan tangan dan mencari di titik mana yang nyaman untuk menggoreskan sebuah luka.

Omong-omong tentang gores-menggores, dia telah melakukan itu sejak lama. Lebih tepatnya setelah ia tak menemukan lagi tempat untuk menyalurkan hawa negatif yang ada.

Menulis cerita? Dia pernah melakukannya namun ada beberapa orang yang berkata secara anonim bahwa tulisannya sangat kacau dan menyuruhnya untuk tutup akun saja.

Menggambar? Dia pernah melakukannya, namun justru Juna menertawakannya dan memperbaiki lukisan coret yang ia buat.

Menyanyi? Dia juga pernah melakukan namun berujung dengan Haidar yang menggodanya dan selalu mempermalukan.

Menari? Apa lagi itu. Dia pernah melakukan namun semua orang justru mengatakan bahwa dia tak pantas untuk menari.

Yahya tahu, itu hanya sebuah gurauan. Namun, karena pada dasarnya dia yang terlalu sensitif, membuat semua hal itu adalah hal yang cukup melukai perasaannya.

Maka dari itu ia melakukan semua goresan itu di sepanjang lengannya. Dia benar-benar butuh ketenangan.

“Yahya, lo ngapain di si—Astaga! Heh gak boleh.” Jeandra menahan tangan Yahya agar tak melakukan self harm dan rupanya hal itu membuat Yahya menangis.

“Lo kenapa?” Jeandra memeluk saudaranya itu den membiarkan pemuda itu menangis. Hingga satu persatu saudaranya tiba dan Jeandra menyuruh mereka untuk tenang.

“Gue capek. Gue bener-bener capek. Gue butuh pelampiasan, tapi apa? Jadi bercandaan.” Kelima saudara Yahya saling bertatapan dan mulai saling memukul satu sama lain karena keceronohan mereka.

“Ya udah. Kalau nangis lo udah selesai, lihat ke belakang. Gue punya satu pelampiasan emosi yang lebih cocok buat elo.” Yahya mendongak, menatap saudaranya yang kini membawa sebuah roti tart dengan lilin yang menyala.

“Maafin Abang yang selalu sibuk. Maafin kita semua yang selalu maksa lo buat ngikutin kita semua. Tiup lilin lo.” Yahya meniup lilin itu, meninggalkan asap kelabu yang membumbung tinggi.

“Oke sekarang ikut kata gue.” Jeandra mengambil kue dari tangan Marka, mengambil seluruh lilin yang terpasang dan mencolekan krim kue itu ke masing-masing pipi saudaranya. Lalu pemuda itu memberikan roti itu kepada Yahya.

“Lo boleh, lempar roti itu atau colek krim ke orang yang paling lo keselin.”

Dan begitulah hari ulang tahun Yahya. Pemuda itu lupa bahwa ia berulang tahun dan hari itu ditutup dengan lempar-lemparan kue.

“Nasa, kita mau kemana?” Gadis itu menatap ke seluruh penjuru kapal berbentuk kapsul dengan seksama. Hingga seseorang mengenakan jas berwarna putih menghampirinya.

“Kita sama Asteroids harus keluar dari bumi, Araya. Kamu tahu, ini telah tahun 3025 dan lihatlah.” Nasa menekan sebuah tombol dan nampak sebuah hologram yang berisikan data statistik yang Araya tak ketahui.

“Bumi sebentar lagi akan hancur karena pemanasan global yang kian parah ini. Kita hanya ada satu cara, Nasa berdiri dan membuka jendela. Memperlihatkan Jenza serta Zidane yang tengah merakit sebuah kapal berukuran besar.

“Apa?” “Kita harus meledakan bumi dan keluar dari sini.” Araya yang mendengar itu langsung terkejut, karena ia tahu bagaimana jadinya jikalau bumi ini di hancurkan. Kekeringan di mana-mana, oksigen yang hilang, dan bumi akan lenyap dengan sendirinya. Yang pasti akan membuat miliyar juta manusia harus meregang nyawa.

“Kamu gila? Mama-Papa aku gimana?” Pemuda itu hanya menaikkan bahu. Tak tahu akan bagaimana nasib para penduduk bumi. Karena di pikirannya, mereka bertujuh beserta Araya harus segera pindah.

“Nasa ....” Araya hanya bisa tertunduk lesu dan tepat sebuah kode masuk bahwa telah waktunya. Membuat Nasa mengenakan kacamata miliknya dan keluar dari kapal kapsul itu.

Araya mengikuti Nasa dari belakang, dan ia melihat Nasa yang menerima sebuah busur panah dari Chezar dan langsung membidik ke titik yang Araya tak ketahui. Ketika Nasa melepaskan anak panah itu, suara dentuman sangat keras menghampiri mereka. Membuat Nasa berteriak untuk bergerak mundur dan langsung saja, mereka berlari mundur sebelum dentuman itu mengenai mereka.

Araya berbalik, ia melihat betapa dentuman itu menyebabkan seluruh tumbuhan yang ada menjadi menguning dan mati. Begitupula dengan langit yang kini memerah serta hawa yang menjadi panas.

“Mama, Papa ... maafkan Araya.” Araya menoleh, menatap Nasa yang kini mengulurkan tangannya dan langsung saja ia naik ke atas pesawat yang membawa mereka ke luar angkasa.

Araya melihat isinya, ternyata tempat itu telah di desain seperti camp dan lengkap dengan beberapa pepohonan serta tanah.

“Kamarmu ada di atas Ar. Naik aja.” Araya langsung beranjak naik dan menatap keluar jendela. Rupanya, bumi telah berubah menjadi kuning. Bukan biru dan hijau seperti foto-foto yang beredar.

Araya sebenarnya merasa bersalah, secara tidak langsung ia membunuh miliyar orang yang ada di bumi dan pergi sangat jauh.

“Ar, Araya ...”


“Araya! Bangun heh anak kebo.” Araya langsung terbangun, rupanya ia masih berada di kamarnya dan ia terperanjat karena Nasa yang kini berada di sampingnya.

Gadis itu membuka ponsel, rupanya ia masih di tahun 2021, bukanlah tahun 3025. Namun mengapa rasanya sangat nyata?

“Kamu kemarin main Kena : Bridge of Spirits sampai jam berapa buset dah?” Araya memegang kepalanya yang sedikit pusing lalu duduk untuk mengumpulkan nyawa.

“Iya aku kemarin sampai jam dua, cuman buat ngumpulin relic punya Toshi. Seru soalnya sekalian bersihin beberapa curse yang ada.”

“Yeu dasar. Ya udah yuk buruan. Kamu harus tiup lilin ulang tahun di depan bujang lapuk itu.” Araya langsung mendorong Nasa keluar kamar dan ia harus mempersiapkan diri. Setidaknya agar ia tak terlihat kucel.

© hvangrcnjun ; 2021

“Eugene! Jangan melompat! Tolong dengarkan saya.”

Rasendriya berjalan mendekati tubuh gadis yang berdiri di balik pagar pengaman sebuah rooftop rumah sakit di mana ia di rawat.

“Untuk apa saya mendengarkan Anda, Jaksa Rasen? Dirgantara akan menentangnya dan akan menghukumku atas semua perbuatan yang dia perbuat di malam kasih sayang waktu itu.” Rasendriya mulai berlari mendekati gadis berambut panjang yang kini mulai melepas genggamannya, membiarkan gravitasi menarik tubuhnya ke bawah dan membuat Rasendriya berdiri lemas karena tak sanggup menyelamatkan gadis itu.


“Eugene!” Rasendriya terperanjat, menatap kosong meja belajarnya. Ia baru saja bermimpi. Hingga ia teringat sesuatu, ini adalah tanggal empat belas Februari. Yang artinya hari ini lah, kejadian yang membuat seorang bernama Eugene celaka. Ia langsung saja berlari keluar, mengendarai mobilnya untuk membelah jalanan kota Surakarta yang tengah diguyur hujan. Menuju suatu tempat di mana kecelakaan itu akan terjadi.

“Ini kenapa harus hujan deres gini. Mau ngetes kemampuan pawang hujan gue kah?” Rasendriya memasuki daerah Asia Baru, dan mulai memacu kendaraannya secepat mungkin menuju sebuah perempatan besar dan tepat sasaran, mobilnya kini menabrak sebuah mobil Toyota Yariz milik Eugene hingga terpelanting.

“Eugene? Kamu tidak apa-apa?” Rasendriya mengeluarkan tubuh Eugene dan memesatikan bahwa gadis itu tak terluka. Berbanding terbalik dengan Dirgantara yang kini berjalan keluar dengan sempoyongan.

“Apa-apaan kamu? Udah gila?” “Kamu yang gila! Kamu mau membunuh pria itu dengan mobil ugal-ugalanmu.” Rasendriya menunjuk seorang pejalan kaki yang masih terkejut dengan kejadian yang ia lihat di depan mata.

“Kamu aman-aman saja kan?” Pemuda itu mengangguk dan langsung pergi begitu saja. “Kamu pasti percaya dengan mimpi anehmu itu bukan?”

“Iya! Aku percaya bahwa Kak Dirga akan menukar bukti dan membuat gadis ini bersalah. Dia kehilangan Mamanya, dan pada akhirnya dia akan bunuh diri. Kamu tidak percaya kan bahwa semua itu berasal dari mimpiku?” Dirgantara hanya tertawa, namun ketika ia hendak menyangkal semua argumen konyol Rasendriya, justru Eugene lah berteriak bahwa ia percaya dan langsung berjapan memeluk Rasendriya.

“Terima kasih. Kamu adalah orang yang dapat mengubah takdirku saat ini. Aku berterima kasih.”

© hvangrcnjun ; 2021

“Kamu kenapa, Echa? Kamu beneran sakit atau masih kesel di suruh kerjain soal trigonometri?” Arga terus mengoceh. Sedangkan Echa masih setia dengan diam dan memalingkan wajahnya dari Arga. Seolah-olah Arga telah melakukan kesalahan terbesar di muka bumi ini.

Iya, Echa masih kesal dengan overthinking-nya tentang Arga dan kota kecil di Kanada itu.

“Am I doing something wrong, babe? Just say that, please.”

Yes, you are. Ini semua tentang pertanyaanmu tadi pagi.” Echa menatap Arga. Matanya berkaca-kaca dan pikirannya sedang kalang kabut entah ke mana arahnya. Membuat Arga kini tertawa dan menangkupkan wajah gadis di depannya.

“Astaga itu masih rencana studi aku sayang ... aku juga belum tahu pasti mau ke mana. Mungkin kalau gak ya masuk ke Parahyangan.”

“Beneran ke Universitas Parahyangan?” Echa memastikan dan menarap netra coklat hanzel milik pria kebanggaannya itu lekat-lekat. Tatapan itu sangat misterius. Bahkan Echa tak menemukan jawaban atas pertanyaannya tadi dari binar mata Arga.

“Kita masih kelas sepuluh, Echaku sayang. Kita bisa merencanakannya tetapi Tuhan yang bisa menentukan apakah dia akan menerima pengajuan rencana kita, atau dia akan menolak rencana yang kita berikan.”

Echa tertawa mendengar penjelasan Arga. Lalu mendekap pemuda itu dengan erat agar ia tak pergi jauh.

“Oh iya, besok Kamis kamu jadi berangkat pelatihan kader remaja?” “Iya, kamu ikut kan?” Arga mengangguk lalu mengacak rambut Echa.

“Peraturan sekolah nomor lima belas gak boleh pacaran yang berlebihan. Jadi aku cuman acak rambutmu. Kalau boleh malah aku acak-acak rambutmu.” Arga lagi-lagi terkekeh. Menunjukkan wajahnya yang manis di balik kaca mata bundar yang bertengger menghiasi wajahnya.

“Iya-iya. Udah sana balik. Lihat tuh, Renjana udah lihatin kamu sampai geleng-geleng.” Echa menunjuk ke arah Renjana, si tertua dari triplets icikiwir yang kini menggelengkan kepalanya heran.

“Ngapa lo lihat-lihat?” “Ya gue kudunya nanya sama lo bujang, lo tuh di cariin sama kembaran gue. Ternyata lo di sini.” Arga beranjak lalu meninggalkan sebuah kertas dengan sebuah tulisan. Ketika Echa mengangkatnya, terdapat lima bungkus Biskuat rasa coklat.

Di makan. Kamu jangan sering-sering mikirin hal aneh sampai se-abad sendiri. —Arga

Echa terkekeh, membuka satu bungkus Biskuat dan melahapnya.

“Bisa aja Arga.”

Oh my God. Are you lost when go to heaven? You looks like an angel.” Tak habis-habis pemuda itu memuji wanita di depannya. Gaun berwarna putih dengan aksen bunga-bunga berwarna merah membuatnya semakin manis.

“Terima kasih.”

Wanita muda keluar dari balik tirai, dan merangkul Echa sembari menatap mata sang anak.

“Arga, kenapa kamu baru kenalin ke Mama kalau pacarmu secantik ini? Mama gak nyangka aja gitu. Kamu soalnya nempel mulu sama Bagas.” Wanita itu terkekeh, membuat Echa juga ikut tertawa dan membuat Arga tersipu malu.

Mom, don't say that please. Kemarin aku masih ngincer dulu.” “Ya udah. Yang awet pokoknya. Kalau bisa sampai besok lulus SMA terus nikah.” Lagi-lagi wanita muda itu tertawa lalu pergi setelah pamit karena ingin mengurus beberapa pesanan gaun.

“Ini beneran gaun punya Mamamu? Tadi Mama kamu yang bilang gitu.” Arga mengangguk, lalu balik mengenggam tangan Echa.

“Kamu benar-benar cantik banget hari ini. Aku yakin, Luthfian nyesel banget udah campakin kamu.”

“Ih udah deh, gak usah bahas Luthfi. Itu udah berlalu,” gerutu Echa sembari membenarkan dasi Arga yang miring lalu menepuk bahu pemuda itu. Echa juga kagum dengan penampilan Arga saat ini, tanpa kaca mata dan pomade. Persis dengan ucapannya saat di ekstrakulikuler PMR kemarin.

“Okey sekarang kita pesta! Sekarang kita berangkat!” Arga tiba-tiba menggendong tubuh mungil kekasihnya itu dengan gaya seperti pengantin. Membuat Echa tiba-tiba berteriak.

“Arga, please aku malu. Ini banyak orang tahu.” Echa menyembunyikan wajahnya. Merasa malu karena tingkah Arga yang tiap hari semakin random. Kalian tahu, tadi pagi dia mendapatkan sebuah bunga dan coklat. Kata sang Bunda, bunga dan coklat itu dari pangeran berkuda. Lalu tidak masuk sekolah karena flu, dan sekarang? Pemuda itu membuatnya malu karena dia terus menerus menggodanya. Baik di butik, di taksi online bahkan di pesta.


“Gila ini pasangan baru. Gue yang ultah, lo berdua yang heboh.” Arga dan Echa tertawa ketika mendengar ocehan Hendrian yang hari ini berulang tahun. Pria itu tak sendiri, ia bersama kekasih barunya yang kemarin baru saja jadian.

Suasana sangat riuh, gemerlap lampu terus menerus menyorot dan memanjakan mata. Serta suara degub lagu yang berkumandang memenuhi ballroom sebuah hotel berbintang.

“Ya suka-suka gue lah. Iri lo bos?” celetuk Arga sembari menoyor pemuda yang kerap disapa Aheng itu.

“Ya. Sana lo urusin piano dulu. Ntar biar si adek kelas gue yang handle. Intinya lo kudu perform setidaknya satu kali.” Hendrian menarik Arga ke belakang panggung.

Calm down! gue pamitan dulu sama cewek gue.” Arga berbalik menghampiri Echa dan membisikan sesuatu ke telinga Echa.

“Kamu tunggu di depan panggung okey. Aku ada urusan sebentar.” Arga mengacak-acak rambut Echa dan meninggalkan gadis itu.


Echa saat ini berdiri di depan panggung setelah menengguk segelas Fanta.

Lampu pun padam dan berganti menjadi lampu sorot. Membuat mata Echa kini terkunci kepada Arga yang duduk menghadap piano klasik dan memainkan sebuah lagu.

All I knew this morning when I woke, Is I know something now, know something now I didn't before. Is brown eyes and freckles and your smile, In the back of my mind making me feel like.

Permainan piano Arga seketika diganti. Sedangkan pria itu terus bernyanyi sembari menuruni satu persatu anak tangga dan menghampiri Echa.

Di situlah, Echa dan Arga mulai berdansa. Di ikuti oleh seluruh tamu yang ada.

Entah mengapa, Arga sangat menyukai lagu itu. Jikalau orang lain akan berkata bahwa 'everything has changed' artinya sepasang kekasih itu telah menemukan jalan mereka masing-masing, maka bagi Arga. Kali ini mereka saling berubah dan semakin dewasa.

Pemuda itu menatap netra gadis itu lekat-lekat. Mendekatkan jarak antar mereka dan membuat dahi mereka saling menempel seolah-olah bertaut. Arga sangat bahagia ketika melihat Echa saat ini menjadi sosok yang ceria. Dia sangat-sangat bahagia ketika gadis itu menjadi miliknya.

Hingga permainan lagu berubah. Membuat mereka semakin tenggelam di setiap gerakan. Sesekali pemuda itu membiarkan kekasihnya untuk berputar.

“Arga. Thank you for this amazing day.” Arga menggesekkan hidungnya yang mancung ke hidung milik Echa dan terkekeh.


“Aslian lo berdua kudu jadi couple of the year. Kece banget gila.” Rani berucap sembari mengacungkan kedua ibu jarinya.

Acara telah usai setengah jam yang lalu dan kini mereka tengah berada di lift menuju lobby hotel untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.

“Kalian balik bareng?” tanya Hendrian yang tak lepas dari kekasihnya dan dijawah dengan anggukan dari mereka.

“Iya, mau ke kantor nyokap bentar. Ngambil tasnya Echa. Nanti kalau mau nongkrong chat aja.” Echa langsung menyikut perut Arga dan membuat pemuda itu mengaduh.

“Oke deh.” Hendrian berjalan keluar. Mungkin pemuda itu hendak menghabiskan malam ulang tahunnya untuk bermanja-manja dengan sang kekasih.

“Kamu jangan main dulu. Istirahat. Kamu bawa obat gak? Kita cari makan. Kamu belum makan kan?” Echa menatap Arga dengan tatapan khawatir.

“Aku lupa bawa. Ya sudah kita makan aja ya.” “Mampir apotik dulu. Kamu harus beli obat maag kamu.” “Iya bawel,” ujar Arga sembari menjepit hidung kekasihnya itu dengan jemarinya.

“Arga ... can you help me?” Kini sepasang kekasih itu berada di kantin. Menghabiskan istirahat kedua dengan sepiring ayam geprek dan segelas es teh manis.

“Lihat dulu soalnya,” ujar Arga sembari mengambil soal milik Echa dan membacanya dengan seksama sembari meneguk minuman.

“Apa sebab khusus penjelajahan samudra? That's so easy, babe. Lemme tell you a story about this. Tapi katamu sejarah Indonesia?”

Echa tersenyum dan berkata, “Aku gak tahu. Tapi pokoknya sejarah wajib.”

Arga tertawa, bangkit dari duduk, dan mengajak gadis itu ke bawah pohon rindang yang ada di belakang sekolah.

“Jadi gimana?” “Gini ... jadi, zaman dulu itu ada kayak pasar rempah-rempah terbesar namanya Konstaninopel. Sebenarnya itu sebuah kota perantara yang menjadi transit rempah-rempah di sekitar Laut Tengah dan menjadi penghubung antara Asia dengan Eropa. Namun, pada 29 Mei 1453 Konstaninopel jatuh ke tangan Turki Ottoman. Nah semenjak itu, bangsa Eropa jadi kesulitan untuk mendapat rempah-rempah. Ditambah, perkembangan teknologi yang canggih dengan ditemukannya kompas. Selain itu, mereka juga ingin membuktikan teori milik Copernicus yaitu heliosentris atau bumi itu bulat.”

“Jadi, dari dulu memang udah ada ya perdebatan bumi itu datar atau bulat?” Arga tertawa dan mengacak-acak rambut kekasihnya itu.

“Iya. Mereka lebih pintarkan? Mainnya pembuktian. Berangkat dari benua Eropa terus ke selatan. Mereka penasaran, apakah mereka akan kembali lagi ke Eropa dari utara. Selain itu, ada satu alasan lagi, yaitu ingin menyebarkan ajaran agama. Yang paling terkenal ya agama nasrani.” Tepat setelah Arga menyudahi ceritanya, bel masuk pun berbunyi. Tak terasa, satu jam istirahat mereka habiskan untuk bercerita tentang penjelajahan samudra.

Arga bangkit, mengulurkan tangan dan membantu kekasihnya untuk berdiri lalu merangkulnya.

“Nanti aku ada ekstrakulikuler dulu. Kamu gak pa-pa kan kalau nunggu sendirian.” Echa menggeleng, lalu tersenyum.

“Ekskul PMR kan? Aku juga daftar kok.”

Arga, you're stupid. Argh! What should I do right now? Gue malu ketemu Echa.” Arga bermondar-mandir di lorong sekolah dan sesekali melirik ke arah lapangan belakang dari balik dinding. Melihat Echa yang kini sedang sibuk mengisi botol Aqua dengan air yang ada di galon dan sukses membuat Arga menepuk jidat.

Bagaimana tidak? Echa hanya berusaha menaruh botol di atas rerumputan yang datar dan mengangkat galon itu sendirian lalu menuangnya begitu saja. Yang alhasil, membuat air itu justru tak ada yang masuk ke dalam botol dan hanya terbuang mengenai sepatunya.

Namun, Arga hanya tersenyum geli ketika melihat gebetannya itu justru marah-marah dan kesal sendiri dengan kebodohan yang dia perbuat.

“Ekhem. Ada yang perhatiin diam-diam nih. Mandi sana Ga, terus nanti kita makan malem. Bau banget lu setan.” Arga terkejut dengan kehadiran Bagas di belakangnya. Membuat ia kini keluar dari persembunyiannya dan meninju sahabatnya itu.

Echa yang mendengar suara Arga, langsung mencari asal suara dan menemukan Arga yang kini tengah memarahai sahabatnya itu.

“Arga!” Bagas menatap Arga, seolah-olah memberikan petunjuk bahwa tuan putri akan segera datang. Arga yang menyadari itu segera menendang sahabatnya itu dan pergi.

“Gue mau mandi. Dah sono, urus dulu kerjaan.” Arga berjalan begitu saja.

“Arga! Eh, Bagas minggir dulu bisa? Aku mau ngomong dulu sama Arga. please“ “Dia mau mandi Cha. Lo gak mau kan pingsan kedua kalinya di kamar mandi?” celetuk Bagas yang kini menghadang Echa dan membiarkan sohibnya itu untuk melarikan diri.


“Ada gunanya juga si Bagas,” puji Arga sembari menyampirkan handuk putih di bahu. Lalu berjalan keluar dari kamar mandi dan mendapati Echa yang kini bersandar di salah satu pilar sekolah.

“Hai.” Arga menyapa Echa dengan sangat gugup. Pria itu masih menyimpan rasa malu setelah tak sengaja menekan tombol like di salah satu postingan gadis di hadapannya dan membuat akun pribadi milik Arga ketahuan.

“Jujur aja, gak pa-pa.” Echa menghampiri Arga dan tersenyum yang sukses membuat kaki Arga sedikit lemas.

“Gila, that smile so argh! Sadar Arga, sadar. Dia cuman temen kan? Tapi dia doimu.”

“Arga?” Arga langsung tersadar dari lamunannya dan menggelengkan kepala yang membuat rambutnya yang basah sedikit terciprat.

Sorry,” ujar Arga yang kini mengusap wajah Echa dan membuat gadis itu merasakan jutaan kupu-kupu terbang begitu saja memenuhi perutnya.

Sorry again. Sudah sana ke lapangan. Makan malam.” Arga segera pergi meninggalkan Echa dan gadis itu berteriak memanggilnya.

Ketika pria itu menoleh, gadis itu segera berteriak, “Kamu jangan lupa makan ya! Sebelum itu minum obatnya!”

Arga langsung mengacungkan ibu jarinya dan berjalan mundur lalu berbalik sembari tersenyum.

Sepertinya hari ini akan selalu Arga catat sebagai hari di mana dia hampir terkena serangan jantung akibat sosok yang dia cintai, Echa Baskhara Malik.

“Maksudmu, aku harus jadi ketuanya gitu gantiin Mas Shadam?” tanya Sastra setelah mendengar penjelasan dari Shota.

Pria itu berada di angkringan, setelah berhasil mengambil kunci motor dari meja kantor Papanya. Namun semua jawaban yang ia dapatkan justru membuatnya kesal.

Dia tak sanggup untuk menjadi ketua, bahkan Shota berkata bahwa Raven dan Fiacre di gabung menjadi geng bernama Revos. Sastra tak sanggup untuk memegang geng dan menurutnya, Raven harus bubar.

“Kalau lo emang tetep kekeh. Mending kita taruhan lagi di sini.” Shota menyodorkan ponselnya. Tampak sebuah pesan akan ada balapan pada tanggal 6 Oktober yang berhasil memancing perhatian Sastra.

“Kalau lo menang, lo boleh bubarin Raven. Kalau gue yang menang, lo harus jadi ketua Revos.”

Sastra berpikir, memandang tangannya dan dia tersenyum.

“Oke, aku ambil.”

© hvangrcnjun ; 2021