hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Hello Echa. Are you ready for camping?” sapa Arga di depan gerbang sekolah. Namun, Echa tak memperdulikan dan masuk begitu saja menuju halaman belakang sekolah menemui Luthfian yang kini sedang bermesra-mesraan dengan gadis-gadis yang tengah mendirikan tenda.

“Akhirnya dateng juga lo,” ucap Luthfian sembari mengusap dari kepala hingga punggung Echa secara seksual dan membuatnya risih.

“Kesiniin inhaler aku.” Echa mengulurkan tangannya dan memberi kode agar Luthfian memberikan inhaler miliknya. Membuat Luthfian menurut begitu saja dengan mengeluarkan inhaler dari kantong dan memberikan secara kasar kepada gadis di depannya lalu kembali menggoda perempuan yang kini telah usai mendirikan tenda.


Hari telah berganti menjadi malam, dan api unggun telah menyala untuk menemani seluruh siswa kelas dua belas itu untuk bersenda gurau dan bernyanyi. Bahkan panitia yang merupakan perwakilan dari setiap kelas itu mengadakan pentas seni untuk meramaikan acara.

“Arga, kayunya mau habis. Gue cariin aja ya.” Arga mencegah rekannya itu setelah menatap siluet dari gadis yang ia sukai di tengah kegelapan. Seolah-olah menjauh dari kerumunan dan ketika Arga melihat ke arah api unggun. Rupanya, Luthfian tengah menggoda wanita dan tak memperdulikan Echa.

“Gue aja yang cari.” Arga menyalakan senter yang ia genggam dan berjalan mendekati Echa.

Hey, kamu kenapa diem-diem di sini? Gak mau lihat pentas api unggun cowokmu?” Echa menggeleng. Enggan rasanya ia duduk di atas rerumputan sembari memandang sang kekasih yang bermesra-mesraan menikmati malam pertama kemah kali ini.

“Aku temani. I know, kamu merasa tidak nyaman setiap melihat Luthfian dekat sama gadis lain kan? Tweet kamu kemarin itu aslinya buat Luthfian bukan?” Echa hanya tertunduk lesu. Memainkan pasir dengan jari telunjuknya. Hingga tangan milik Arga menarik tubuh mungil Echa ke pelukan. Membuat gadis berambut pendek itu menangis di dekapan pria yang selalu ia anggap sahabatnya.

“Nangis yang puas. Habis itu janji, kita kumpul sama anak-anak seangkatan lainnya.” Echa mengangguk dan melanjutkan tangisannya. Tak peduli dengan kaos putih milik Arga yang kini meninggalkan bekas air.

“Kamu nangis terus aja. Aku mau angkat telepon.” Arga menggeser tombol dial dan menempelkan perangkat itu di dekat telinganya.

“Mana kayunya? Gue tungguin.” “Astaga. Sorry-sorry. I'm forget about that.” Echa mendongak, dan kembali ke posisi duduk.

“Kamu ada urusan kan? Ya sudah bareng aja yuk. Aku udah mendingan kok.” Echa tersenyum dan berdiri dengan bantuan Arga.

Arga berjalan memimpin, lalu mampir untuk mengambil bongkahan kayu yang telah panitia singgahkan dan berbalik menghadap Echa.

“Echa, can you help me, please? ini gak bisa ambil senternya.” Arga tersenyum kikuk dan membuat Echa tertawa sembari mengambil senter yang terjepit di ketiaknya.

“Kamu lucu banget Ga, ya udah sini aku senterin aja.” Echa menyorot ke arah depan. Menerangi jalan Arga dan mereka kembali berjalan menuju pusat keramaian.

“Nah ini, si beban dateng.” Echa menatap pemilik suara. Luthfian kini memandang Echa dan tersenyum miring.

Membuat Echa semakin kecewa dengan kekasihnya dan ia menghampiri pria itu lalu melayangkan satu tamparan ke pipinya.

“Makan semua spotlight yang kamu dapat dari aku, Lu. Kamu bener-bener berubah. Kita berakhir di sini saja ya.” Echa langsung pergi begitu saja memasuki sekolah, lebih tepatnya gadis itu memasuki kamar mandi dan berdiam diri di dalam.

Sedangkan Arga yang melihat kejadian itu, justru menunggu Echa di depan kamar mandi sembari menggenggam inhaler yang ia minta dari Papanya yang merupakan dokter. Berjaga-jaga jikalau gadis itu mengalami sesak napas.

© hvangrcnjun ; 2021

Abimanyu kini berada di tempat yang entah berada. Ia tak tahu sekarang ia berdiri karena isinya hanyalah sebuah taman yang sangat indah.

Pria itu masih setia mengenakan piyama tidurnya, dan kaki telanjangnya berjalan mengikuti kata hatinya. Hingga ia menemukan seorang wanita yang duduk di tepi kolam sembari bermain air.

Abimanyu masih ingat dengan bentuk tubuh dan rambut mendiang istrinya dan sontak begitu saja ia memanggil wanita itu, “Kirana?”

Sang pemilik nama menoleh, tersenyum dan langsung berdiri karena ia merasa bahwa waktunya tak panjang.

“Mas Abim. Temani Sastrawan untuk kali ini saja. Dia butuh kamu. Turutin permintaannya juga.”

“Tapi Sastra akan marah jikalau saya meninggalkan Shakila.”

“Bilang sama Sastrawan, Shakila aku temani Mas.”

Seketika pandangan Abimanyu menghitam dan ia terbangun begitu saja dan rupanya hal itu hanyalah mimpi.

“Itu kenapa lagi ramai-ramai. Sudah jam satu juga.” Abimanyu mengusap wajahnya, berjalan keluar dari kamarnya dan menemukan Sastra yang berdebat dengan Shakila dan Tama.

“Ada apa?” Ketiga orang itu terdiam. Sedangkan Abimanyu menuruni anak tangga dan teringat kata Kirana di mimpinya.

“Ini aku mau keluar Pa. Please ini urgent banget.” “Geng kamu kena serang?” Sastra hanya menggeleng. Lalu memandang sang Papa dengan tatapan memelas.

“Felicia pacar aku hilang. Aku punya firasat buruk.” “Udah Mas, lagipula Felicia udah dicari sama geng Mas Sastra kan?” Shakila tetap menahan sang kakak untuk pergi. Karena gadis itu merasa bahwa sang kakak belum bisa melawan apapun dengan tangannya yang digendong itu.

“Papa bantu carikan.” “Terus Dek Kila gimana Pa?”

Shakila mengalah dan ia menjawab pertanyaan kakak laki-lakinya itu, “Tenang aja. Mama pasti nemenin Kila, Mas. Lagipula, aku ada Chou.”

“Nah, masalah selesai bukan? Sama Papa saja kamu.” “Itu Mas Shadam ada di depan udahan Pa ....” Abimanyu mengeluarkan kunci motor baru milik putranya itu.

“Kamu belum pernah rasain balapan sama Papa kan?” Sastrawan sumringah. Walaupun dia belum bisa mengendarai motornya, ia masih dapat membonceng bukan?

Jadilah pemuda itu keluar rumah, membuka gerbang dan berkata kepada Shadam.

“Papaku ikut cari. Kamu sudah dapat info dari anak-anak belum Mas?” “Belum. Coba tanya si Shota.” Pria itu mengeluarkan ponsel dari kantong bombernya. Menekan kontak WhatsApp bertuliskan 'Ashoka Shota' dan menghubunginya.

“Halo, Sho. Ada info?” “Ada, di Jalan Raya Manyar. Ada tawuran tadi antar geng. Kata warga sekitar ada gadis salah sasaran. Sekarang dia udah di RS Manyar.” “Oke, makasih.” Sastrawan mematikan panggilan dan menatap sang Papa yang kini memanaskan motor Ducati hitam itu.

“Ke RS Manyar, Pa.” “Loh kok ke RS? Ngapain? Adekku gapapa kan?” Pertanyaan berbondong terlontar begitu saja dari mulut Shadam. Kakak mana yang tidak panik ketika sang adik yang menghilang tiba-tiba berada di rumah sakit.

“Adikmu kena sasaran tawuran geng. Udah yuk buruan.” Sastrawan mengenakan helm full face kebangaannya dan menaiki jok Ducati sang Papa.

“Mas Shadam depan.” Sastra berteriak, mengomando rekan satu gengnya itu agar menjalankan motornya terlebih dahulu dan rupanya, Shadam kini memacu kendaraannya dengan sangat kencang.

“Pa, susul Pa! Dia habis mabuk.” Abimanyu langsung memasukkan gigi dan melajukan motornya pelan karena tak mau membuat kegaduhan di komplek rumah. Hingga saat ia memasuki jalan raya, kecepatan motor itu mulai menggila dan membuat Sastra terkejut. Rupanya sang Papa juga memiliki kemampuan mengendarai yang sama dengan dirinya.

“Kamu kemarin jatuh gara-gara lupa rem kan?” Sastra hanya terkekeh. Rupanya sang Papa sudah memasang intercom di helm miliknya.

“Malah cengar-cengir kamu. Iya atau iya?” “Iya Pa, lupa ngerem terus kepeleset gitu aja.” “Nih Papa ajarkan kamu bagaimana kendaliin motor kecepatan tinggi.” Abimanyu menutup visor helmnya dan meminta Sastrawan untuk bersiap karena didepan akan ada jalanan berbelok.

Tepat saja, pria itu langsung membelokkan motornya dan sedikit menukik. Membuat jalanan aspal itu terhiasi dengan bercak ban yang bergesekkan.

“Kece bener Papaku. Itu Pa! Temenku.” Sastrawan segera menunjuk setelah melihat Shota dan pasukannya berdiri di pinggir jalan. Tepatnya di depan RS Manyar. Membuat Abimanyu dengan segera menginjak rem tangannya dan membuat ban belakang motor itu melambung sejenak.

“Motorku ....” Shota tercengang melihat motornya yang kini di bawa sedikit brutal. Karena jujur,ia jarang sekali melakukan atraksi di jalanan menggunakan motor itu. Hanya dengan motor KLX miliknya saja, ia berani melakukan hal itu.

“Oh kamu yang kasih motor ini ke anak saya?” Shota semakin terkejut ketika mendengar apa sang pengendara itu katakan hingga Sastrawan menjelaskan siapa sang pengendara motor itu.

“Oh gitu. Ya udah selagi bukan lo yang bawa. Jangan sampai Jackie gue lecet ya. Gue dapet info lagi dari anak-anak barusan. Ternyata itu bukan Felicia yang lo maksud.”

“Terus ini Shadam mana? Dia yang paling kenceng di sini.” Hingga sebuah sirine ambulan memasuki rumah sakit. Membuat Sastra dan Shota saling bertatapan. Seperti mendapat komando, mereka langsung menuju motor Sastra, menyalakan motor itu dan mengikuti mobil putih itu yang berjalan menuju pintu UGD.

“Mas Shadam! Astaga Mas, kowe kenapa?” Betul sesuai tebakannya. Rupanya orang yang ada di dalam ambulan itu adalah Shadam Darmawangsa yang kini penuh dengan luka dan darah.

“Adikmu ga ada di sini. Kenapa malah kowe Mas?” Pria itu tak menjawab dan langsung saja menerima tindakan medis.

“Memulai CPR! Satu, dua, tiga ....” Suasana sangat ricuh. Kini pikiran Sastra terpecah belah, satu memikirkan kemana perginya Felicia, dan satu lagi memikiran tentang keselamatan Shadam.


“Sastrawan!” Abimanyu kini memasuki UGD. Mendapati putranya yang kini terduduk di lantai rumah sakit sambil mengopek kulit mati bibirnya dengan tangan kanan dan Shota yang kini mondar-mandir merisaukan mantan rivalnya itu.

“Gimana?” “Iya itu Shadam, Om.” Shota ikut duduk di sebelah Sastra, melepas topi bucket miliknya.

“Feli sekarang di mana?” “Mas Sastra!” Sastrawan segera berdiri setelah mendengar suara yang tak asing itu dan tepat saja, Felicia berlari menghampiri pemuda itu dan mendekapnya.

“Ketemu di mana kalian?” tanya Shota kepada rekan-rekannya yang bertubuh kekar itu. “Di satu gedung bekas TK.”

“Mas Sastra ... Mas Shadam gimana?” Sastra hanya diam. Entah mengapa kini ia sangat kesal dengan kekasihnya itu.

“Kamu pergi semalem ini ngapain? Alasan Masmu mabuk?” Sastra mendorong bahu kekasihnya dan menatap netra gadis itu lekat-lekat.

“Mas Sastra ....” “Kenapa? Sastra tidak mau kehilangan kakak sekaligus ketua Raven. Dengan sikap kekanak-kanakanmu itu justru membuat semuanya kacau!” “Sastrawan ....” Abimanyu tak bisa memisahkan pasangan itu. Justru ia mengajak rekan-rekan Sastra untuk pergi ke kafetaria hanya untuk membeli kopi.

“Mas Sas ... Mas Sastra kenapa berubah?” “Berubah? Di mana lagi Sastra berubah? Kamu selalu berkata seperti itu. Kemana sifat kamu yang sayang sama kakakmu?” “Fine! Kita berhenti sampai di sini. Toh Mas Sastra pacaran sama aku setelah menang taruhan kan? Jadi sekarang sana pergi.” Gadis itu mendorong tubuh Sastra. Sastra tak menjawab pernyataan kekasihnya itu untuk putus dan langsung berlalu begitu saja. Menyusul sang Papa dan rekan-rekannya.


“Iya intinya seperti itu. Saya memang saat SMA pernah jadi ketua geng motor di Jakarta. Kenapa Sastrawan? Putus?” Pertanyaan yang terlontar oleh Abimanyu justru membuat Sastrawan semakin kacau dan berakhir dengan menendang satu bangku besi di kafetaria itu hingga membuat kericuhan.

“Udah. Diem di sini aja lo, Sas. Gue udah minta satu anak Raven buat temenin Felicia sama ngabarin kita. Nah ini ngabarin.” Shota menggeser tombol panggilan dan mengaktifkan pengeras suara agar seluruh orang mendengar.

“Ketua Raven gugur guys. Dokter udah angkat tangan.” Sontak saja, Sastrawan semakin kecewa dengan dirinya dan kini meminta Marlboro milik Shota dan berjalan keluar dari rumah sakit. Yang pastinya diikuti oleh Abimanyu.

“Kalian di sini saja. Biar saya yang mengejar Sastrawan. Pesan lagi terserah, nanti saya bayar.”


“Sastrawan.” “Kenapa lagi dan lagi aku gagal. Dulu Mama, sekarang Mas Shadam.” Pemuda itu memetik sigaretnya dan menghembuskan ke udara. Hubungannya hancur dan kini gengnya kehilangan sang pemimpin.

Abimanyu mengambil sekotak sigaret itu dan melihatnya. Lalu mengeluarkan Marlboro merah dari kantong jaketnya dan menyulutnya dengan api dan mengisapnya.

“Sejak kapan Papa ngerokok?” tanya Sastra yang kini teralihkan dengan sang Papa yang menemaninya menghabiskan selinting rokok.

“Banyak yang gak kamu ketahui tentang Papa. Sekaligus di hari saat kematian Mamamu, Sastrawan.”

“Papa juga ikut terpukul seperti kamu sekarang saat kematian Mamamu dulu. Itu buku jurnal yang kamu kasih, buku milik Mama saat awal pernikahan. Memang Papa dahulu menikahi Mama kamu awalnya untuk balas dendam kepada kakekmu. Tapi karena gelang ini. Papa tahu bahwa Mamamu adalah gadis yang Papa cari.” Abimanyu menunjukkan gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebuah gelang tali yang tersimpul sederhana.

“Kamu pasti heran ya kenapa Papa bisa menemani kamu sampai seperti ini? Semua karena permintaan Mama kamu di mimpi. Dia juga bilang, Shakila akan selalu dia lindungi.”

Sastra terdiam. Ia tak tahu hendak menimpali sang Papa dengan apa.

“Papa minta maaf. Kemarin Papa kelepasan melepaskan adikmu. Kamu tahu dari Om Tama ya setelah kita bertengkar itu Papa pergi? Iya Papa ke tempat kesukaan Mama kamu. Merenung.” Pria itu hanya tersenyum dan kembali menghisap sigaretnya.

“Udah gitu doang?” Sastra hanya menatap trotar dengan tatapan yang sedikit marah. Emosinya memang tak stabil dan Abimanyu menyadari hal itu.

“Papa tahu kamu mau pukul dari tadi saat bertengkar dengan Felicia. Sekarang sini lemparin semua ke Papa.” Sastrawan hanya menghela napas dan menurunkan kembali emosinya.

“Gak usah Pa. Udah yuk masuk lagi.” Sastrawan mengalungkan tangannya ke bahu sang Papa. Membuat Abimanyu tersenyum dan mengacak rambut anak laki-laki yang kini sudah lebih tinggi daripada dirinya itu dan memasuki rumah sakit.

© hvangrcnjun ; 2021

“Monrow! Monrow! Monrow!” Sorak sorai penonton terdengar sampai ke belakang panggung.

“Monrow siap-siap. Kita akan performance setelah ....” Gadis itu melihat jam di pergelangan tangan dan kembali menatap ke lima pemuda di depannya.

”... sekarang.” Seorang pria dengan strip serta gitar yang tersampir langsung memandu rekan-rekannya untuk menaiki panggung setelah meneriakkan yel-yel penyemangat mereka.

“Kale!” Gadis itu memanggil pria yang menggendong gitar itu. Membuat sang empunya nama menoleh dan menatap netra hitam yang berbinar milik gadis yang mengalungkan name tag bertuliskan namanya, Almaira.

“Semangat.” Almaira tersenyum dengan sangat manis. Membuat Kale tertular dan ikut tersenyum menunjukkan deretan gigi kelincinya lalu naik ke atas panggung untuk menyusul rekan-rekannya.

“Hai semua!” Sorakan penonton kian heboh ketika Kale berada di atas panggung dan menyapa mereka. Harus diakui, bahwa ketampanan seorang Kale berhasil mengundang banyak kaum hawa hingga membuat mereka terpana.

“Hari ini, gue bareng Monrow bakal bawain lagu milik Taylor Swift. Yang tahu, bisa ikut nyanyi aja.” Pria itu memetik gitarnya dan memulai intro lagu milik Taylor Swift yang tak asing bagi penonton.

It feels like a perfect night To dress up like hipsters And make fun of our exes Ah-ah, ah-ah It feels like a perfect night For breakfast at midnight To fall in love with strangers Ah-ah, ah-ah

Sorakan penonton yang mengelu-elukan Kale kian menjadi-jadi. Kini rekan-rekannya mulai memainkan instrumen musik sedangkan Kale kini mengomando penonton agar ikut bertepuk tangan mengikutinya lalu melanjutkan nyanyiannya.

Yeah, we're happy, free, confused and lonely at the same time It's miserable and magical, oh yeah Tonight's the night when we forget about the deadlines It's time, oh-oh

“Semuanya!” Lagi dan lagi Kale mengomando penonton agar mengisi part reffrain.

I don't know about you But I'm feeling 22 Everything will be alright if You keep me next to you You don't know about me But I'll bet you want to Everything will be alright if We just keep dancing like we're 22, 22

Kale menyibakkan rambutnya dan kembali memainkan gitar eletrik hitam kebanggaannya itu secara indah. Karismanya sangat terpancar di setiap petikan, membuat para wanita makin berteriak agar mereka mendapatkan notice dari sang idola.

It feels like one of those nights We ditch the whole scene It feels like one of those nights We won't be sleeping It feels like one of those nights You look like bad news I gotta have you I gotta have you

Kale menutup penampilannya dengan kepalan tangan yang terangkat seakan-akan tengah meninju langit. Membuat teriakan penonton semakin menggila.

Sayangnya, penampilan Kale dan bandnya hanya satu kali saja. Karena Almaira dan band Monrow memiliki satu kejutan untuk vokalis sekaligus gitaris band itu.

Happy birthday, Kale. Happy birthday, Kale!” Penonton serempak menyanyi, mengikuti komando sang pemandu acara. Tak lupa pula, semua rekan-rekan Kale juga ikut bernyanyi. Begitupula Almaira yang kini menaiki panggung sembari membawa sebuah kue ulang tahun dengan lilin angka dua puluh dua yang menyala.

“Tiup Kal. Buruan sebelum kena kuenya,” perintah Almaira dan Kale langsung meniup lilin itu. Membuat satu stadium bertepuk tangan dan bersorak atas ulang tahun seorang Kalendra Ahgassa.

Hingga tiba-tiba teriakan itu berubah menjadi sebuah sorakan setelah Kale mencium gadis pembawa kue. Siapa lagi kalau bukan Almaira.

“Kal. Ini ada penonton,” bisik Almaira karena ia merasa malu. Namun, Kale tak habis akal dan justru mengacak rambut Almaira dan membuat semua kaum hawa cemburu dan patah hati serempak.

“Makasih ya ....” Kale tersenyum. Pria itu sadar bahwa ulang tahunnya kali ini sangat indah dan sangat berkesan untuk dirinya.

© hvangrcnjun ; 2021

“Mas Sastra! Lihat ini,” teriak Shakila saat melihat Sastrawan berjalan menuruni anak tangga.

Abimanyu menatap anak laki-lakinya lalu bertanya, “Perbanmu ke mana? Kenapa kamu gak pakai arm sling.”

Memang benar, Sastrawan melepas perban elastis dan penyangga tangannya karena ia merasa tidak leluasa. Lagi pula, jari-jemarinya tidak ada sedikitpun masalah dan dapat digerakkan. Jadi menurut Sastra, perban dan penyangga itu hanya berguna ketika dirinya harus keluar rumah.

“Males. Keringetan tanganku. Omong-omong itu anjing siapa?” Sastrawan menerima anjing poodle berwarna coklat dari tangan Shakila dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk sekedar mengusap rambut coklat hewan itu.

“Papa yang beliin, Mas. Tapi aku belum kasih nama, biar Mas Sastra aja yang kasih nama.” Sastra berpikir sejenak, hingga ia menyeletuk sebuah nama.

“Chou? Gimana?” “Bagus itu! Bentar, Mas Sastra harus foto dulu sih sama Chou.” Shakila mengeluarkan ponsel miliknya dan memotret sang kakak.

“Sudah yang bermain-main? Kita makan sekarang.” Abimanyu berucap. Membuat kakak-adik yang tengah asyik bertukar foto dirinya bersama anjing baru itu langsung usai dan berjalan untuk duduk di ruang makan.

“Jadi Mas, tadi Papa belikan makanan favorit Mama. Cobain deh.” Shakila menyuap satu sendok makanan itu ke mulut Sastra. Membuat bermacam-macam rasa bercampur di tiap kunyahannya.

“Ini pecel lele ya?” tanya Sastra dan dijawab dengan anggukan sang adik.

“Iya itu Mama kamu pas hamil kamu aslinya makan udang. Begitupula saat hamil Shakila. Tapi kamu kan alergi udang.” Sastra menoleh. Menatap pria yang duduk di sebelahnya itu dengan seksama.

“Kebalik memang. Pas hamil kamu, Mamamu gila makan udang asam manis. Kamunya sekarang alergi udang. Kalau pas Shakila, Mama kamu gila-gilaan yang makan ikan. Sekarang Shakila alergi makanan ikan.” Shakila tertawa mendengar penjelasan sang Papa. Sedangkan Sastrawan hanya terkekeh.

Sejujurnya Sastra tak tahu, apa yang terjadi di saat dirinya mengurung diri di dalam kamar. Jujur. Sastra tak tahu pola pikir sang Papa saat ini.

© hvangrcnjun ; 2021

Sastra turun dari kendaraan yang ia tunggangi, walaupun tangan kirinya masih digendong, seorang Sastrawan dapat menunjukkan sisi menyeramkan dari dirinya.

Kalau bisa di bilang, semua sisi dingin milik Sastra persis dengan sang Papa, Abimanyu. Tak heran, seluruh orang yang ada di base camp langsung terdiam. Baik dari Raven maupun Fiacre berhenti menendangi para perusuh di depan mereka dan menatap Sastra dan Shadam yang memasuki ruangan yang penuh dengan coretan menggunakan pilok.

“Mau lo gimanain mereka?” Shota berdiri dan melepas cengkraman di rambut salah satu pemuda yang mukanya penuh lebam setelah melihat tubuh jenjang Sastrawan memasuki ruangan 3,5 × 3 meter itu.

“Bentar. Aku mikir dulu.” Sastrawan berjalan mondar-mandir di depan sepuluh orang yang menjadi pelaku penyerangan base camp Fiacre. Hingga tiba-tiba Sastra menendang perut salah satu dari mereka hingga terjerembap.

“Kamu yang jadi dalangnya kan?” tanya Sastra tepat sasaran. Membuat seluruh anggota Raven dan Fiacre termasuk Shadam serta Shota tercengang karena mereka tidak memberitahu kepada Sastra, siapa dalang dari penyerangan base camp tersebut.

Sedangkan pemuda itu masih setia dengan posisinya sembari memegangi perutnya.

“Angkat dia!” titah Sastra dan dia menghampiri Shota lalu mengambil sekotak Marlboro beserta korek dari tangan pemuda itu, menjepitnya di bibir dan menyulut dengan api hingga terbakar. Sastra menghisap rokok itu dan kepulan asap membubung tinggi hingga ke langit-langit base camp Raven.

“Sisanya Sastra kasih ke kamu saja. Terserah mau ngapain, asalkan jangan sampai mati, berabe urusannya. Aku mau balik. Ada urusan.” Pemuda itu menepuk bahu Shota dan berlalu pergi begitu saja.


Thanks, btw kamu kok bisa dapet dalangnya? Kan kita-kita belom ngomong sama sekali.” tanya Shadam. Kali ini mereka berada di Starbucks sesuai dengan permintaan Sastrawan sebelumnya.

“Gak tahu, insting doang,” jawab Sastra singkat sembari menyesap Americano pesanannya.

Matanya menatap keluar jendela, melihat hilir pengemudi yang kian menyepi. Hingga matanya terkunci kepada seseorang yang berjalan di tengah hujan.

“Lah, Dek Kila?” Pemuda itu langsung berlari keluar dan membuat Shadam terkejut dan menatap pemuda itu pergi.

“Dek? Hey kamu kenapa?” Sastrawan menarik sang adik menepi.

“Mas Sastra ....” “Kenapa?” “Papa pulang tadi, terus marah besar dan Kila yang kena.” “Terus?” “Kila disuruh cari Mas Sastra. Kalau gak ketemu, gak boleh pulang.” “Papa lama-lama makin gak bener.” Sastra membuka ponsel miliknya dan menghubungi Tama.

“Om jemput Shakila. Ada di deket Starbucks Ngagel. Bisa-bisanya Papa suruh anak cewe nyari aku malem-malem gini.” “Iya Sastra, biar Kila tidur di rumah Om Tama dulu atau enggak di gudang yang udah jadi kamar barang Mama kamu aja. Maaf, Om gak tahu kalau Papa kamu pulang terus ngamuk. Beneran Om gak tahu.” “Iya Om, santai aja.”


“Papa apa-apaan?” Sastra mendobrak dan berdiri di depan pintu ruang kerja sang Papa.

“Ingat rumah kamu?” Pria itu menghentikan aktivitasnya mengetik dan menatap putra pertamanya dengan tatapan dinginnya. Sastra menghela napasnya berat, berusaha semaksimal mungkin agar tidak marah kepada pria di depannya.

“Shakila hampir diserang di Ngagel. Andai saja Sastra tidak nongkrong di Starbucks, Papa kehilangan Shakila.” Pemuda itu diam dan mengatur napasnya yang memburu lalu mencegah Tama yang baru datang agar tidak ikut campur dengan perdebatan kali ini.

“Papa mau tahu kenapa aku jadi panglima tempur? Aku gak mau. Kehilangan wanita kedua yang aku cintai. Shakila. Papa tahu kan betapa berbahayanya jalanan saat ini?” lanjut Sastra dan menatap pria yang ia sebut Papa dengan tatapan dinginnya. “Sastra, sekarang Shakila di mana?”

Telat. Pemuda itu pergi begitu saja. Membiarkan Abimanyu kini mengacak-acak rambutnya. Merasa bodoh karena mengusir putrinya yang tidak bersalah.

“Lo kebangetan sih Bim. Itu anak gak tahu apa-apa dan kenapa lo balik sekarang? Lo udah bikin kecewa dua anak lo. Terutama Sastra. Dia kira lo udah berubah ternyata sama aja.” “Diamlah Tama. Saya pusing.”

Sastra kini duduk di balik pintu kamarnya. Pemuda itu menangis, memang untuk tampang seorang panglima tempur, ini bukanlah seseorang yang tadi menghukum para perusuh. Melainkan ini sisi Sastrawan yang rapuh.

Sang Papa tak pernah peduli, ia hanya sibuk dengan kerja dan menurutnya, pria tua itu hanya memiliki jalan pikiran yang sangat sempit.

© hvangrcnjun ; 2021

“Astaga Mas Sastra.” Gadis itu menaruh satu keranjang berisi buah-buahan dan langsung duduk di kursi yang ada di samping ranjang milik Sastra.

“Sakit?” Felicia terus menatap pemuda di depannya itu sedangkan Sastra? Pria itu justru mengerucutkan bibirnya dan bermanja-manjaan dengan Felicia.

“Alay. Nih kunci motormu.” Sebuah lemparan kunci mengenai kepala Sastra. Membuat pemuda itu mengaduh kesakitan.

“Mas Shadam ih. Ati-ati toh. Ini lagi, Mas Sastra bisa kayak gini kenapa?” “Ini lagi luar biasa dia. Ngebut pas deketin garis finish eh remnya blong. Ga bisa ngerem tuh anak,” cerocos Shadam yang berhadiah sebuah pelototan sang adik.

“Ya untungnya Sastra jadi panglima tempurnya Raven dan satu lagi Sas.” “Apa itu?” “Raven sama Fiacre jadi partner brodi,” Shadam membuka kaleng Milo dan meneguknya hingga sebuah dehaman mengejut mereka dan tak lupa, membuat Shadam menyemburkan minumannya.

“Jadi kamu yang ajak anak saya ikut balapan liar?” Abimanyu berada di daun pintu. Tangannya mengepal dan nampak sekali bahwa pria itu sedang menahan amarah.

“Bim. Ini RS. Jangan bikin ricuh. Lagi pula anak lo jatuh aja masih haha-hihi gitu, masih slengekan. Berarti ya gak terjadi masalah apa-apa.” Tama yang berada di belakang Abimanyu langsung menepuk bahu pria itu agar tenang dan tidak terbawa suasana hatinya.

“Kalian mau ngapain emangnya?” tanya Tama sembari mendorong sahabatnya untuk masuk ke kamar rawat Sastrawan. “Ngasih hadiah motor punya Sastra, Om.” Shadam menyalami kedua pria itu. Walaupun ia terkenal sebagai ketua geng sekalipun, ia akan tetap berlaku sopan kepada orang yang lebih tua.

“Motor apa lagi Sastrawan? Motor dari Papa kurang?” Abimanyu melipat tangannya dan membuat hawa di ruangan itu menjadi sedikit mencekam. Felicia yang menyadari hal itu segera menepuk bahu sang kakak dan berpamitan.

“Om Abimanyu, Om Tama, Feli sama Mas Shadam pulang dulu ya.” Pria itu hanya mengangguk dan membiarkan mereka keluar dari kamar Sastra.

Suara lagu Taylor Swift yang berjudul Everything Has Changed tak pernah berhenti terputar dari ponsel milik Sastra. Setidaknya lagu itu yang membuat suasana tak terlalu mencekam.

“Ducati Pa. Ducati Panigale.” Abimanyu hanya menghela napas. Dirinya tahu, bahwa itu sebenarnya motor yang ia dan Sastra idam-idamkan. Namun ia masih kesal dengan anak pertamanya itu yang memilih mendapatkan motor itu hingga mengorbankan tangan kirinya kini di pen hanya karena patah tulang.

“Sini kuncinya. Biar Papa yang bawa pulang.” Abimanyu mengulurkan tangannya dan mau tidak mau, Sastra harus memberikan kunci dan karcis parkir motor barunya.

“Papa gak ada ucapan apa gitu?” “Selamat sudah jadi panglima tempur. Tapi Papa tetap tidak suka kamu jadi panglima tempur.”

© hvangrcnjun ; 2021

“Mel. Dengerin aku.” Pria itu terus menerus mengejar sang kekasih. Berharap bahwa gadis itu mendengarkan penjelasannya.

Hujan tengah turun kala itu, dan nampak orang berlalu lalang untuk berteduh. Namun hujan itu tak pernah memberhentikan langkah Meliana dan Marko. Pria Agustus itu tak pernah menyerah dan akhirnya tangan kekarnya mencengkram erat lengan gadis itu, menariknya, lalu menciumnya.

Mel sadar, Marko kini tengah mabuk. Hal itu terasa dari mulutnya yang kini penuh dengan aroma wine dari bibir Marko. “Mmh ... Mark, what are you doing?” Mel memberontak. Ia tak ingin kekasihnya itu mencumbu dirinya. Namun sayang, pria itu justru menarik tubuh mungilnya menuju satu tempat yang sunyi dan menjepit Meliana di dinding.

“Mark, kita udah gak ada hubungan lagi.” Mark masih setia mencumbu, dan meninggalkan beberapa bekas kecupan di leher putih Mel. “I don't fucking care, Mel. You're still my girlfriend. Still mine.

Mendengar hal itu, Mel langsung mendorong tubuh Marka dan menampar pipi pria itu. Ia tak ingin lagi bermadu kasih dengan Marka dan benar-benar ia tak ingin berhubungan dengan pria di depannya saat ini.

Marka hanya terkekeh, sembari mengusap pipinya yang memerah. Menatap gadis itu lekat-lekat dan jujur saja, Mel merasa sangat takut dengan tatapan Marka.

“Kamu hanya perlu diam dan ikuti permainanku, Mel. That's easy right?” Mel menggeleng. Ia tak mau ikut dalam permainan Marko karena ia tahu bahwa pria itu selalu menjadikannya seolah-olah seperti jalang.

Marko lagi dan lagi mencium bibir ranum milik Mel dan membuat gadis itu kehabisan napas.

“Jangan hapus apalagi melupakan bulan Agustus ini. Karena kamu harus tahu, bahwa aku ingin memiliki kamu seutuhnya di dalam pernikahan.”

Sorry Mark.” Lagi-lagi gadis itu melepaskan tangan Marko yang setia menjelajahi surai dan tubuh Meliana.

You never mine.” Meliana membenarkan pakaiannya dan berlalu begitu saja meninggalkan Marko.

© hvangrcnjun ; 2021

“Cih dasar pria tua itu. Gak pernah tahu apa anaknya ini lagi nyari restu pacarin Felicia?” Sastrawan terus menerus menggerutu, mematikan ponselnya agar tak bisa dilacak oleh Abimanyu dan memasukannya ke saku jaket bomber hitam miliknya.

Kini pemuda itu berada di jalan Rajawali. Tepatnya di sebuah trek balapan liar yang kini telah ramai dengan remaja yang sedang memamerkan motor hasil mereka memodifikasi. Tak lupa, aroma hasil pembakaran rokok memenuhi indra penciuman Sastra.

Pria itu menuruni motor Ninja miliknya, menanggalkan helm full face kebanggaan dan menghampiri Shadam yang kini sedang bersenda gurau dengan rekan-rekannya.

“Nah ini nih, jagoan kita.” Shadam yang menyadari kehadiran Sastra langsung saja merangkul pundaknya dan memperkenalkan Sastra kepada sekumpulan pria di depannya.

“Emang siapa musuh kita?” “Tuh.” Telunjuk Shadam menunjuk ke arah pria yang nampaknya lebih tua dari dirinya. Bisa dibilang seumuran dengan Shadam. Rambutnya yang sedikit keriting dan kini ia duduk di atas motor Ducati sembari menyesap sebuah vape.

“Itu Arshaka Shota. Dia gak pernah bisa dikalahin setelah berhasil mengalahkan Raven yang notabene pemilik daerah kekuasaan ini.” “Raven emang siapa?” “Geng kita. Jadi kamu ada satu kesempatan.” “Apa itu Mas?”

“Kalahkan dia, dan kamu bakal aku kasih jabatan jadi panglima tempur di geng ini, sekaligus Felicia.” Merasa tertarik dengan penawaran yang diberikan oleh Shadam, membuat Sastra langsung menyetujui tanpa berpikir tentang resiko yang harus ia terima.

Sastra hanya ingin mencari validasi, karena ia tak pernah mendapatkan hal itu dari sang Papa. Ia merasa bahwa Abimanyu tak pernah menganggapnya mampu melakukan sesuatu. Jadilah, pemuda itu ingin mendapatkan validasi bahwa dia itu hebat dan dia itu mampu melakukan apapun.


“Sastra nomornya tidak aktif lagi.” Berbeda dengan Sastra yang membara dan santai, pria itu justru merasa sangat risau dengan keselamatan putranya. Nampak dari usahanya yang berulang kali menghubungi nomor Sastra sembari mondar-mandir di rumah Tama.

“Santai ya. Tunggu besok pagi aja.” “Kamu lupa kah Tam? Dulu Kirana hampir diserempet sama pembalap liar?”


“Mas. Tolong aku Mas.” Abimanyu langsung bangkit dari sofanya. Waktu itu Sastra baru menginjak umur satu tahun dan mereka belum berniat untuk memiliki momongan lagi.

“Kamu di mana Kirana? Ini sudah jam sebelas.” “Aku jatuh di jalan Ngagel.” Pikiran Abimanyu meliar, ia khawatir akan keselamatan istrinya itu. Membuatnya segera menaiki motor Ninja yang ada di garasi, lalu memacunya pergi.

Di sanalah ia menemukan Kirana yang kakinya terluka. Dari seberang jalan dapat Abimanyu lihat bahwa kaki gadis itu terluka namun tak mengeluarkan darah.

“Jangan jalan! Lihat kaki kamu.” Gadis itu tak menghiraukan apa kata Abimanyu dan justru melihat pergelangan kakinya.

“Kok?” Kirana segera lunglai begitu saja ketika melihat bahwa benda putih yang ia lihat samar-samar adalah sebuah tulang. Untung saja dengan segera Abimanyu mengangkat tubuh Kirana dan membawanya menepi.

“Tama. Tolong saya, bawakan mobil. Kirana kecelakaan. Kirana tolong dengar saya.” Pria itu terus menerus menepuk pipi Kirana agar gadis itu tak pingsan.


“Iya, gue tahu lo setakut itu. Tapi tahan ya. Gue berani taruhan, Kirana ngelindungin anak kesayangannya dari surga.” Namun setelah Tama berkata seperti itu, sebuah panggilan masuk ke ponsel Abimanyu. Membuat pria itu dengan segera mengangkatnya dan raut wajahnya berubah menjadi ketakutan.

“Kita ke rumah sakit sekarang. Itu bocah jatuh dari motor.”

© hvangrcnjun ; 2021

“Caramel macchiato Papa mana?”

Baru saja seorang Sastrawan menginjakkan kaki di lantai marmer kediamannya setelah ia bersama sang adik menghabiskan hari hingga sore di makam Mama. Abimanyu sang papa sudah menanyakan satu pesanan yang Sastra saja tak tahu.

Sedangkan Shakila justru lari begitu saja dan masuk ke kamarnya. Tak mau ikut campur dengan permasalahan sang kakak.

“Caramel macchiato apa sih Pa? Orang ga mesen sama sekali ke Sastra.” “Buka chat kamu.” Seketika Sastra membuka pesan WhatsApp dari Abimanyu dan benar saja, sebuah pesan dari sang Papa terpampang jelas.

“Ya mana Sastra tahu sih. Orang Sastra bawa motor.” “Ya udah sini uangnya.” “Hah?” “Uang saya, Sastrawan Abimana Permana.” Sastra seketika langsung merasa kesal dengan sang Papa. Ia kira, Papanya memang mau baik kepadanya, ternyata ada maksud terselubung di baliknya.

“Kok gitu Pa? Gak ikhlas banget.” “Kenapa? Uangnya sudah kamu pakai?” Merasa tersindir, Sastra langsung mengeluarkan dompet coklat miliknya dan melempar uang yang diberikan Abimanyu ke lantai begitu saja lalu berjalan menuju kamar.

“Sastrawan! Jangan kurang ajar kamu!” Abimanyu menggertak begitu saja. Membuat Tama yang mendengar dari rumahnya yang ada di sebelah, langsung masuk ke rumah Abimanyu. Menenangkan sahabatnya yang kini naik pitam karena anak lelakinya yang makin memberontak.

“Lo ini loh Bim. Udah jadi bapak masih aja galak, mana nuduh anak lo pergi jajan sampe sore. Nih gue kasih tahu, dia habis ke makam Kirana. Lo mau gitu marahin anak kesayangan Kirana?”

Abimanyu sepertinya tersadar akan kesalahannya. Seketika saja, pria itu mengambil uang yang dilempar oleh Sastra dan berjalan mendekati anak tangga.

“Anak lo masih marah sama lo wahai Tuan Muda. Biar gue aja yang bilang,” tutur Tama sembari memukul pelan kepala Abimanyu dengan kaset lagu Taylor Swift.

“Kok kamu bawa kasetnya Kirana?” “Iya gue tadi beberes gudang. Nemu ini kaset. Gue simpen karena gue tahu, anak lo satu itu suka banget sama lagunya Kirana.” Tama langsung menaiki anak tangga dan meninggalkan Abimanyu di segala kesunyian.


“Sastra, kamu sibuk gak? Om Tama mau ngomong sama kamu, boleh?” “Kalau masalah Papa, mending jauh-jauh aja deh. Sastra gak mau bahas pria dingin itu.” Tama langsung membuka pintu kamar yang dipenuhi dengan foto Taylor Swift yang merupakan idola Kirana sang Mama.

Di sanalah, Tama menemukan Sastra yang kini sedang menangis sembari menenggelamkan wajahnya di balik bantal seperti gadis puber yang baru saja putus cinta.

Kamar Sastra sangatlah berbeda. Jikalau kamar adiknya, Shakila dipenuhi dengan berbagai macam alat canggih dan kekinian, justru kamar Sastra selalu membuat siapapun baik itu Tama maupun Abimanyu untuk bernostalgia ke zaman mereka masih SMA. Tak heran, Tama langsung memasukkan kaset lagu Taylor Swift ke dalam pemutar kaset milik Sastra dan memutar satu lagu yang sangat Tama ingat.

“Ini lagu kesukaan Mama kamu banget. Wildest Dream. Dulu Mama kamu suka banget berlangganan Spotify cuman demi mutar ini lagu sampai sepuasnya. Ada dua versi, yang lama sama versi Taylor dan Mama kamu benar-benar jatuh cinta.” Sastra langsung mendongakkan kepala. Karena kini suara merdu milik Taylor Swift memenuhi kamarnya.

“Beda sama Papa kamu. Dia sukanya lagu korea. Salah satunya lagu dari grup yang lagi adik kamu gila-gilakan.”

“NCT?” Tama langsung menganggukkan kepalanya. Bisa dibilang, Sastra memiliki beberapa lagu yang disukai kedua orang tuanya di salah satu playlist yang ada di platform digital.

“Lagu ini yang bikin Papa kamu pergi ke Los Angeles, beliin satu kaset Taylor Swift sampai hunting buat dapetin tanda tangan Taylor.”


Tujuh belas tahun lalu

“Kamu ini bisa tidak? Berhenti memutar lagu itu? Saya bosan mendengarnya.” Kala itu Kirana tengah hamil buah hatinya yang pertama dan dia selalu saja memutar lagu itu hanya dengan pengeras suara dari ponselnya. Membuat Abimanyu hanya menepuk jidatnya karena tak mengerti dengan kelakuan sang istri.

“Kenapa sih Mas Abim? Ini Sastrawan yang minta tau ....” Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Membuat dirinya semakin menggemaskan di mata Abimanyu.

“Ya sudah, kamu mau kaset lagunya Taylor? Saya belikan sampai ke Los Angeles sekalipun.” Kirana langsung memeluk suaminya. Merasa tak percaya bahwa sang suami akan melakukan hal itu bagi buah hatinya.

“Beneran Mas?” “Iya.” Kirana mengecup pipi Abimanyu manja dan tersenyum. Gadis itu paham, bahwa apapun akan pria itu lakukan.

Bahkan, keputusan Abimanyu untuk pindah rumah ke tanah kelahiran sang istri hanya karena permintaan Kirana. Maka dari itu, Kirana percaya bahwa pria kebanggaannya ini tak akan pernah berbohong.

“Makasih Mas. Tapi kalau ribet, gak usah juga gak pa-pa.”


“Seriusan itu Papa sampai beli kaset Taylor dan dapet tanda tangan Taylor?” Tiba-tiba saja, Abimanyu muncul dan menunjukkan foto dirinya bersama Taylor Swift di sebuah polaroid.

“Ini kalau kamu tidak percaya sama cerita Om Tama. Mama kamu ngambek sama Papa sampai akhirnya kamu mau lahir. Tapi tetap saja, Mama kamu simpan ini foto.” Tama hanya terkekeh melihat ayah dan anak ini ketika saling beradu bahwa foto Taylor Swift itu hanya tipuan.

“Mana ada Papa bohong sama kamu. Kamu saja yang suka bohong sama Papa.” “Ya. Suka-suka Papa. Intinya ini foto Sastra simpan. Nanti Sastra potong bagian Papa.” “Ya, jangan. Papa perjuangan itu foto sama Taylor.” “Sehabis seneng gini, gue tebak ... besok atau lusa bakal gelut lagi,” celetuk Tama.

© hvangrcnjun ; 2021

Jikalau benar waktu tak pernah berputar kembali, mengapa dirimu seperti mengatakan hal yang membuatku merasa de javu?


“Tara. Sini dulu bentar.” Rakabumi menatap gadis di depannya itu lekat-lekat sembari mengenggam dan mengusap kedua tangan Tamara.

Entah mengapa, dunia rasanya berhenti berputar ketika netra coklat milik Raka beradu dengan netra hitam legam milik Tamara. Hingga rasanya, Tamara ingin meraup semua oksigen yang ada karena ia susah untuk bernapas.

“Aku selalu mencintaimu, dari awal perjumpaan kita hingga saat ini. Jangan pernah capek untuk selalu mencintai aku karena suatu saat kamu akan meraih semua hal yang kamu harapkan.” “Tumbenan kamu ngomong kayak gitu? Dapet dari mimpi lagi?” Raka mengangguk lau menyengir dengan amat sangat manis.

“Itu ucapan kamu sendiri, dua tahun besok.” “Kamu itu time traveller?” Tamara bertanya-tanya. Karena jujur saja, setiap ia bersama dengan Raka, ia selalu merasa seperti ingin menangis. Dari tatapan matanya seakan-akan memberikan Tamara sebuah kenangan di kehidupan sebelumnya.

“Kamu ingat kisah Rama dan Shinta? Sebenarnya, kita itu adalah mereka. Kalau di cerita sepertinya mereka hidup bahagia, namun di dunia nyata, Rama dan Shinta itu terpisah jauh. Mereka saling mencintai namun mereka dipisahkan oleh jarak yang amat sangat jauh.” Raka lagi dan lagi tersenyum. Namun di balik senyumannya, tersimpan sebuah rahasia yang membuat Tamara selalu penasaran.

“Aku bukan time traveller Tara ... aku memang dapat melihat kehidupan sebelumnya dari seseorang melalui tatapan mata. Hanya satu orang yang tidak pernah aku bisa lihat, dan itu pasti Shinta di kehidupan sebelumnya.” Tamara mengenyitkan dahi, merasa semakin heran dengan semua tutur kata sang kekasih.

”... dan yang tak pernah bisa aku lihat hanya kamu. Aku tahu bahwa kita adalah pasangan yaitu dari ....” Secara mendadak, Raka mengecup bibir Tamara lalu tersenyum.

”... ciuman.”

© hvangrcnjun ; 2021