hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Suasana sunyi menyambut mereka berdua ketika sampai di pelataran gedung latihan yang sering sekali Cassiopeia pakai untuk latihan anggar. Sebenarnya, wanita itu sedikit ragu untuk melangkahkan kaki masuk ke gedung semenjak kejadian kemarin. Takut akan tatapan buruk yang lebih menyeramkan daripada Bunda.

Kerisauan Cassiopeia terasa oleh sang kekasih melalui kaca spion, Samudera memilih untuk melajukan kendaraannya menuju sebelah ruangan dan berhenti tepat di sebuah jendela ruangan yang sering dipakai Cassiopeia untuk latihan.

“Kok di sini, Sam?”

“Masuk lewat jendela, saya tahu kamu khawatir kalau dilihat aneh sama teman-temanmu. Ya, terpaksa aja lewat sini.” Samudera mengintip dari arah jendela, menemukan tas merah milik Cassiopeia ditaruh begitu saja oleh William di bawah jendela. Tangan Samudera mulai merogoh, mengambil tas merah dan membawanya keluar.

“Eh, ini tas aku!” Cassiopeia memeluk tasnya, membuka resleting paling depan, dan mengeluarkan sebuah kalung berliontin cincin.

“Cincinnya selalu aja ya diambil sama William, entah dulu, atau sekarang. Cuman bedanya dulu ada Lautan sama keberanianku, sekarang gak ada.”

Samudera yang mendengar itu hanya bisa tersenyum, lantas membungkukan badan untuk menyesuaikan wajahnya dengan pandangan Cassiopeia dan berkata, “Sudah saya katakan berapa kali sih, Cantik. Kamu ikut kejurnas itu udah hebat banget.”

Cassiopeia terkekeh, tangannya lantas meraih rambut Samudera, dan mengacaknya dengan gemas. Membuat pria itu ikut terkekeh dan berdiri untuk mengeluarkan sebuah apel dari dalam tas ransel. Membuat wanita di depannya langsung paham akan kode yang Samudera berikan dan mengeluarkan sebuah foil dari dalam tas.

“Pelajaran pertama, ketangkasan. Betulkan?” tanya Samudera yang langsung dijawab anggukan oleh Cassiopeia. Setelah dirasa cukup siap, sang adam mulai melempar buah merah itu setinggi mungkin ke arah Cassiopeia.

Yes!” Suara tawa keluar ketika Cassiopeia berhasil meraih buah dengan foil, menghunus buah itu tepat di tengah-tengah. Samudera yang melihat kelakuan Cassiopeia hanya tersenyum, lantas memotret kekasih itu melalui kamera ponsel.

“Sekarang gantian kamu!”

Hawa dingin menyerang tubuh Johan ketika ia berjalan keluar di koridor kamarnya, maksud hati pemuda itu akan mengampiri Cassiopeia yang berada di seberang, dan oleh sebab itu, ia melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan apakah ada orang lewat.

Sepertinya, hari ini berlalu dengan sangat cepat, Johan sendiri tak sadar bahwa saat ini malam telah kian larut dan langit telah menggelap. Ia mengomel sembari melompat ke salah satu dahan pohon yang cukup kuat, “Gue dari tadi di kamar mulu sampai ga nyadar kalau udah gelap.”

Kaki Johan bergeser dengan penuh ke hati-hatian, ia meniti pohon beringin, membawanya ke serambi kamar Cassiopeia yang ada di seberang, lantas mengetuknya.

“Astaga, lo ngapain ke sini? Gue mau turun. Mau bicara sama nyokap.”

“Rumah gue kosong, Cas ... please gue mau numpang nugas Geografi.” Cassiopeia memutar bola mata, pasti pemuda di depannya itu kelupaan untuk menulis soal geografi yang diberikan kemarin di kelas. Sampai-sampai ia merengek seperti ini untuk mengerjakan tugas di kamarnya.

“Ntar gue kerjain PR lo. Gimana?” Johan mengulurkan tangan, memberikan sebuah penawaran yang menarik kepada Cassiopeia. Anak mana lagi yang tidak senang jikalau anak ranking dua saat ini menawarkan diri untuk mengerjakan PR, begitupula dengan Cassiopeia yang langsung meraih buku geografi dari dalam tas, dan menyodorkan dengan cepat kepada Cassiopeia sebelum ia turun.

Dering panggilan masuk lantas menyusul kepergian Cassiopeia dan Johan langsung mengangkatnya dengan cepat seraya menghubungkan perangkat itu melalui headphone yang selalu melingkar di leher.

Cassiopeia sudah turun?

“Udah, santai aja. Percaya sama gue. Eh BTW, lo udah ngerjain geografi? Gue lupa kisi-kisi ujian harian bab satu apaan?”

Letak, luas, dan batas wilayah.

“Terus?”

Karakteristik wilayah laut dan darat, jalur ALKI, sama isu strategis pembangunan maritim.

“Eh itu yang 6⁰ LU-11⁰ LS tuh bikin mempengaruhi apa di Indonesia?”

Suara helaan napas keluar dari seberang, bisa ditebak kalau pemuda yang lagi dan lagi menjabat jadi ketua kelas itu tidak mencatat semua detail materi geografi yang minggu lalu dijelaskan.

“&Mempengaruhi iklim, cuaca, sama curah hujan. Sudah puas yang bertanya? Saya mau mendengarkan Cassiopeia.*”


Langkah kaki Cassiopeia menuruni setiap anak tangga, merasakan bagaimana suram dan mencekamnya atmosfir lantai satu. Ia menghampiri wanita yang duduk di sofa ruang tamu, lantas duduk memperhatikan tangan Andriana yang menunjukkan ponsel dengan foto tas merah anggarnya.

Benar kata Samudera, tasnya beda jauh,” ucap batin Cassiopeia yang setia menatap layar ponsel sang bunda.

“Bunda, aku bisa jelaskan.”

“Kenapa kamu harus curang, Cassiopeia? Kamu mau buat reputasi Bunda hancur kah?” Tak kuat menahan emosi yang meletup, Cassiopeia justru menggertak balik Andriana dengan begitu tegas dan mengeluarkan ponsel untuk menunjukkan tas anggar miliknya.

“Aku heran sama Bunda. Bunda itu orang pertama yang kenal aku, orang yang seharusnya dekat sama aku, kok bisa-bisanya kalah sama seseorang yang baru kenal aku beberapa bulan?”

Andriana melihat foto yang diberi Cassiopeia, tas berwarna merah itu sangat berbeda. Milik Cassiopeia lebih cerah daripada yang ditemukan dan di tas Cassiopeia terdapat sebuah pin pita berwarna kuning yang terpasang di salah satu sisi.

Cassiopeia meraih ponsel, memasukkan benda pipih itu ke dalam kantung celana, dan beranjak pergi dari duduknya.

“Cassiopeia kecewa sama Bunda.”

“Hai.” Samudera menoleh, mendapati Cassiopeia yang begitu cantik dengan sweater dan celana overall-nya.

Samudera sendiri hanya mengenakan setelan denim yang ia padukan dengan kaos putih, cukup sederhana, namun sangat membuat pemuda leo semakin terlihat menawan. Tangan Samudera terulur, menawarkan sang kekasih untuk mengenggamnya, dan turun ke halaman parkir menemui kendaraan roda dua milik Samudera yang gagah.

“Mamamu di mana, Sam?”

“Ada urusan di ruko. Udah berangkat jam tujuh tadi. Sekarang, kita mau ke mana?” Tangan Samudera meraih helm putih, memakaikannya kepada Cassiopeia yang asyik berbicara tentang rencana pergi hari ini.

Tanpa basa-basi, Samudera mengiyakan permintaan sang gadis. Ia menyalakan kendaraannya, mempersilakan sang gadis untuk naik, lantas mengendarai kendaraan itu membelah kota.


Hawa siang itu cukuplah panas, ditambah dengan padatnya pengendara yang saling beradu tempat agar lebih cepat sampai kentujuannya. Netra Cassiopeia terus-menerus berjelajah, dari melihat pedagang koran yang menawarkan dagangannya yang tak kunjung habis, kernet yang terus berteriak mencari penumpang sampai serak, dan juga beberapa kalimat kasar yang terlontar oleh pengendara yang egois hanya karena dikejar oleh waktu.

Samudera hanya tersenyum kecil tatkala melihat sang kekasih yang tengah bereksplorasi. Kendaraan mereka berhenti, tepat di samping penjual koran yang menjajakan barang dagangannya. Iris coklat Samudera menangkap bagaimana judul koran hari itu tertulis dan terkesan menjatuhkan Cassiopeia.

“Kayaknya karirku cuman sampai sini aja deh, Sam. Kayaknya aku gagal buat nepatin janjiku ke Lautan.” Wajah Cassiopeia nampak tertekuk, sepertinya ia merisaukan tentang janjinya kepada sang teman masa kecil yang lama tak ia pikirkan itu. Samudera justru ikutan bersedih, ia meraih tangan Cassiopeia dan mengusapnya dengan lembut untuk menyalurkan ketenangan.

“Nanti saya mau lawan Willi. Dia tahu sesuatu tentang masalah ini. Jangan khawatir, oke?”

“Mau lawan apa?”

“Sebenarnya saya kurang yakin sih, tapi saya mau tanding anggar secara adil, dibantu sama seseorang.” Senyuman terulas di wajah Samudera, walaupun sangatlah tipis, namun senyuman itu sukses menular ke wajah Cassiopeia.

“Belok ke situ dulu! Kita foto di photobooth-nya!” Cassiopeia begitu semangat, jemarinya menunjuk ke sebuah kotak yang ada di taman, kotak itu sangatlah bersih, tak seperti biasanya yang berbau pesing karena sering dikira toilet oleh pemabuk.

Samudera memasuki kotak kecil, ditemani oleh Cassiopeia yang baru saja memasukkan uang agar mereka dapat mengambil beberapa gambar.

“Aku duluan, nanti dua gambar kita dengan gaya bebas, terus kamu. Oke?” Pemuda itu hanya mengangguk, ia mengikuti arahan Cassiopeia.

Satu foto diambil dengan Cassiopeia yang tersenyum lebar.

“Sini!”

Samudera menghampiri Cassiopeia, menarik kuncir rambut yang terikat di rambut Cassiopeia, membuat wanita itu terkejut bukan main hingga berusaha untuk meraih kembali kunciran itu, namun sepertinya shutter kamera lebih cepat, sehingga mereka hanya dapat tersenyum manis sembari menahan tubuh Cassiopeia agar tidak terjatuh ke pelukan Samudera.

“Mending foto biasa aja deh. Sini berdiri di sampingku.” Begitulah ucapan Cassiopeia kepada Samudera dan mereka langsung berfoto bagaikan pasangan yang akan foto untuk keperluan akta nikah. Dan terakhir, sebagai pelengkap, Samudera memotret dirinya sendiri, dengan senyuman yang terpasang dengan sangat manis.

“Sam,” panggil Cassiopeia ketika menunggu foto mereka tercetak sempurna, yang dipanggil hanya menoleh, menatap penuh tanya sang kekasih.

“Kalau kamu mau latihan anggar, aku bisa ajarin kamu.”

Feels better?” Pemuda dengan rambutnya yang berantakan merangkul tubuh mungil Cassiopeia. Tingginya selisih sepuluh senti dari tinggi Samudera, membuat tubuh Cassiopeia gampang sekali dirangkul pemuda itu.

Yang ditanya hanya mengangguk, perasaannya cukup membaik daripada saat ia menerima pertanyaan dari Andriana.

Langkah kaki mereka terus berlalu, membawa mereka menuju mobil Pajero hitam yang begitu gagah. Ia membukakan pintu, mempersilakan sang pujaan hati masuk ke dalam sebelum ia masuk, dan membawanya pergi ke rumah.


“Kamu tidur di sini, ya. Nanti saya biar tidur di kamar tamu,” ucap Samudera yang membiarkan kamarnya dipakai untuk Cassiopeia beristirahat.

Kali ini mereka telah berada di kediaman Samudera untuk beristirahat dan lari dari realitas untuk sejenak. Begitu lelah dikejar oleh media yang penasaran dan banyaknya orang-orang yang menusuk Cassiopeia dari belakang membuatnya harus bersembunyi.

“Kalau ada perlu sesuatu, bisa chat saya. Oh iya, itu kulkas kecil di meja isinya air putih sama cemilan coklat, tadi saya isi semua kesukaanmu. Selamat malam, Cantik.”

Samudera menuruni setiap anak tangga, menemui sang mama yang tengah berjalan membawa gerabah yang sedang ia hias dengan pewarna. Ia menghampiri Marsha, meraih kuas serta gerabah dan ikut menghias benda dari tanah liat itu.

“Kamu sudah yakin sama keputusanmu, Timoer?” Marsha memulai topik pembicaraan dan Samudera sendiri setia terdiam dan menghentikan aktivitasnya.

“Ragu sebenarnya Timoer ... anggar bukan ranahku. Tapi, buat kalahin dia, cuman itu yang bisa.”

“Jangan pernah berpikir untuk mengalahkan, Timoer.” Sang anak menoleh, terkejut dengan ucapan mendadak sang mama yang bertolak belakang dengan apa yang ia pikirkan.

“Maksudnya?” tanyanya.

“Dengan otakmu yang mikir itu, yang ada musuh kamu bisa membacanya. Soalnya, orang yang berpikir untuk mengalahkannya, hanya dipenuhi dengan dendam dan emosi. Coba sekarang kamu berpikir hal lain, semisal ... kamu mau mencoba buat memberi pelajaran kepadanya?”

“Apa enggak sama aja?”

Marsha menggeleng, ia menaruh gerabah yang sudah dihias dan menatap Samudera lekat-lekat, “Bukan pelajaran buruk seperti menghabisinya, tapi beri pelajaran kalau segalanya ga selalu berotasi kepadanya. Kamu jadi guru kehidupan untuk William, untuk jadi guru harus ngapain dulu?”

“Belajar.”

“Benar, latih terus. Mama yakin sama kamu Timoer, kamu itu pintar,kamu bisa mendalami semuanya dalam sekali lihat. Mama yakin itu.”

Keraguan Samudera perlahan menghilang, digantikan dengan senyuman yang menghiasi bibir Samudera. Setidaknya untuk kali ini yang dikatakan sang mama ada benarnya.

Thank you, Ma. Samudera mau masuk dulu. Mama jangan begadang, oke?”

Samudera beranjak dari bangku taman, membuat Cassiopeia terlonjak melihat perubahan emosi Samudera yang menjadi begitu marah.

“Saya mau pergi dulu sebentar, kamu disini dulu. Nanti saya antar pulang.” Samudera berjalan, menyelusuri taman dan membawa pemuda itu ke salah satu ruangan yang kosong dan menemukan bayang tubuh pria yang tak asing baginya.

“Akhirnya yang gue tunggu ti—siapa lo?” William menoleh dan terlonjak tatkala mendapati Samudera berdiri tegap dengan kepalan tangannya yang membulat sempurna.

“Lo gak inget gue sama sekali?” tanya Samudera yang memancing pemuda di depannua berpikir. Ia menjentikkan jemari, ia ingat dengan sosok pria yang ada di belakang Cassiopeia.

“Oh ... pacarnya Cassie. Kenapa? Lo udah tahu kebusukannya Cassie?”

Samudera tertawa, netranya menangkap tas merah yang pemuda itu bawa, sudah ia tebak, itu pasti tas milik Cassiopeia.

“Jauh ... jauh sebelum saya jadi pacar Cassiopeia, saya ada di kehidupan kamu. Ingat Johan, yang kamu anggap pengkhianat?”

Tas itu terlepas dari genggaman, berganti mencengkram krah baju Samudera dengan penuh emosi seolah-olah ia murka dengan nama yang Samudera sebutkan.

“Gak bisa ngomong ... gak bisa ngomong ....” Samudera menyanyikan lagu yang menjadi luka di masa lalu, menirukan ekspresi William saat menyanyikan lagu itu.

Sorry, out of topic.” Samudera menyeringai sembari melepas krah bajunya yang dicengkram William.

“Gue gak mau kotorin tangan gue dengan darah kotor lo. Bagaimana kalau kita berduel anggar? Kalau lo menang, lo bisa lakukan apapun ke gue. Kalau lo kalah, lo harus terima semua konsekuensi dan kasih tas itu ke gue.”

“Oke. Tantangan gue terima. Lo tentuin tanggalnya.”

Seorang pria menghampiri dan berdiri tepat disebelah Samudera, tingginya kira-kira sepantaran dengan pemuda leo itu. Samudera menatap ke arah lantai, melihat sepatu Converse kelabu yang pemuda itu kenakan.

Perlahan-lahan pandangannya mulai naik, melihat celana denim yang koyak di bagian lutut, kaos hitam bertuliskan band Nirvana yang melegenda, dan jemarinya tengah menjepit selinting tembakau yang asapnya setia membumbung ke bumantara.

“Mau rokok?” tawar pemuda itu yang ditolak langsung oleh Samudera. Pemuda berkulit sawo matang itu menaruh puntung rokok ke asbak stainless, mematikan bara api dan mengulurkan tangan sembari memperkenalkan diri, “Herlian Dilaga, panggil aja Aga. Lo?”

“Samudera. Sedang apa kamu di sini?” Samudera menjabat tangan Aga dan tersenyum ramah kepada pemuda itu.

“Sepertinya kita seumuran. Omong-omong kamu menunggu siapa? Pacar?”

“Gak ada yang gue tunggu di sini.” Samudera menoleh, sedikit tercengang dengan jawaban pemuda di sebelahnya. Aga hanya terkekeh, dengan salah satu tangannya ia menyingkirkan rambut poni yang menutupi dahi lantas mulai bercerita.

“Dulu kembaran gue anak sini. Hermian Diraga. Dia itu pintar, penuh ambisi, bahkan selama turnamen, dia selalu liar, bahkan koran selalu berkata bahwa Hermian itu punya serangan secepat kilat lah, kayak elang lah. Tapi semua berubah setelah si bangsat yang satu itu datang.” Netra Samudera mengikuti arah pandang Aga, membawanya menuju sosok William yang berdiri dengan begitu angkuh dalam balutan jaket atlet.

“Dia membuat skandal kalau Hermian pernah lakuin bullying di sekolah. Dia buat satu video seolah-olah Hermian pelakunya.”

“Akhirnya gimana sama kembaranmu?” tanya Samudera yang ingin mengeruk informasi sebanyak mungkin tentang William Fernando. Pria bernama Herlian Dilaga hanya menghela napas berat, seolah-olah ada suatu ketidak adilan yang memenuhi dada hingga membuatnya sesak.

“Hermian kehilangan semuanya. Semua kerja keras dia hilang dan sialnya lagi, gue gak ada di sana waktu itu buat nenangin dia.” Samudera melihat bagaimana dinding pertahanan Aga runtuh sedikit demi sedikit, membuatnya langsung menarik pria sawo matang itu untuk duduk di salah satu anak tangga.

“Kalau kamu tidak kuat buat lanjutin, gak apa-apa. Saya sudah bisa menebak akhirnya.”

“Gue gak tahu cewek yang daritadi lo lihatin itu berharga banget atau tidak, tapi gue berharap lo selalu temani dia. Gue gak mau apa yang dialami adik gue justru kena ke gadis sebaik itu.”

Pesan Aga seketika memberikan isyarat genting kepada Samudera. Ia tak tahu apa yang akan pria yang berdiri di dalam sana lakukan kepada sang kekasih.

Thanks for your information. By the way, saya boleh minta kontakmu? Kamu pasti butuh teman buat bercerita juga 'kan?”

Motor yang mereka tumpangi mulai memasuki perumahan elit. Tepat di dua blok setelah gerbang di mana rumah Samudera yang berarsitektur khas kolonial Belanda dengan berbagai perombakan serta penyesuaian berdiri begitu megah dan asri.

“Baru sadar kalau rumahmu juga gak kalah bagus. Oh iya, itu kaca ruangan apa?”

Samudera mendongak, menatap sebuah ruangan yang memang di desain penuh dengan kaca jendela yang tertutup tirai, “Kamar saya. Mau mampir sebentar?”

“Boleh.”

Kaki kedua pasangan itu melangkah menyusuri lantai parkiran mobil, membuat Cassiopeia terpana akan setiap mobil impiannya yang terparkir apik di sana. Sedangkan Samudera justru menghampiri sebuah burung hantu mungil yang ada di dekat pintu masuk.

“Owel ... tidur mulu kamu Owel ....” Samudera menguyel-uyel burung muda itu dan menarik perhatian Cassiopeia. Ia menghampiri Samudera dan langsung gemas akan burung nokturnal itu sampai-sampai ikut memegang, mendahului Samudera yang hendak mewanti-wanti.

“Aduh! Kok gigit ....”

“Baru juga saya mau bilang, dia kalau siang gini suka galak. Enggak berdarahkan tapi?” Cassiopeia menggeleng kecil, ia menunjukkan jari telunjuknya yang tadi digigit oleh burung hantu milik Samudera dengan cengiran yang benar-benar seperti anak kecil.

“Namanya Owel, ini burung jenis Celepuk Reban. Dulu saya nemuin ini jatuh dari pohon kelapa. Kasihan, induknya kabur, saudaranya mati. Dulu dia satu genggaman saya. Mau lihat fotonya?” Samudera mengeluarkan ponsel, membuat Cassiopeia mendekat untuk melihat foto burung hantu yang Samudera maksud.

“Lucu banget!” ucap Cassiopeia tatkala melihat foto tangan Samudera yang membawa burung hantu itu. Sangat kecil bahkan cukup menggemaskan.

Kaki mereka terus melangkah menaiki tangga untuk masuk ke dalam rumah dan sepanjang mata Caddiopeia memandang, ia tak pernah menemukan satupun foto masa kecil Samudera. Padahal ia ingin mengulik semua cerita masa kecil Samudera.

“Foto masa kecil saya hampir kebanyakan dulu sama Papa. Mama gak terlalu suka soalnya. Jadinya gak pernah dipasang,” jelas Samudera seakan membaca pikiran Cassiopeia. Wanita itu hanya terkejut lantas tersenyum dan lanjut mengikuti langkah Samudera menyusuri anak tangga yang penuh dengan foto-foto masa remaja Samudera.

Sampai akhirnya ia sampai di depan pintu kamar Samudera yang berada tepat di ujung lorong, pintu itu sangat minimalis, dengan sebuah papan tulis hitam tergantung di pintu bertuliskan nama panggilan rumah pemuda itu. Ia membukanya dan disambut dengan aroma citrus, powder, dan woods yang begitu menyegarkan.

Kamar Samudera dibilang cukup luas, dengan komputer serta tiga monitornya serta satu lemari penuh akan kamera-kamera membuat Cassiopeia terpana untuk kesekian kalinya.

“Gak disangka, anak sepintar Samudera Timoer hampir gak ada buku terpampang di meja,” sindir Cassiopeia yang membuat Samudera tertawa. Pemuda itu tengah membuka lebar tirai besar yang membuat Cassiopeia dapat melihat begitu jelas keindahan kota.

“Satu jam sepuluh ribu,” celetuk Samudera yang membuat sang kekasih menatap balik dirinya dengan sinis lantas menutup tirai dan mengomel ngambek, “Ya udah deh, langsung ke rumah aja. Kita ambil tas anggarku.”

“Saya ganti baju dulu. Kamu mau disini terus?” goda Samudera yang membuat Cassiopeia langsung keluar kamar. Ya kali dia harus melihat pemandangan Samudera yang baru berganti pakaian. Mending ia berjalan-jalan melihat isi rumah minimalis itu sendirian.

Rasa takut yang menyergap pikiran Samudera tak kunjung menghilang. Bahkan, ketika upacara tengah berlangsung, konsentrasi Samudera benar-benar buyar sampai beberapa kali ia terlambat mengikuti panduan sang pemimpin upacara untuk memberi hormat.

Cassiopeia menyadari ketakutan yang Samudera rasakan dari gerak-gerik pemuda itu yang sangat tak wajar. Ia berbisik dengan salah satu teman barunya di kelas dan bernegosiasi untuk tukar posisi. Hingga jadilah saat ini, gadis berambut panjang yang rambutnya terikat rapi itu berdiri tepat di sebelah kiri Samudera untuk mengenggam tangan sang kekasih.

“Kamu kenapa? Ada masalah?” Yang ditanya hanya terdiam, tenggorokannya terasa begitu mencekat, sampai-sampai Cassiopeia dapat melihat dengan begitu jelas, bagaimana jakun pemuda itu bergerak perlahan menuruni leher dan naik kembali seolah-olah tengah berusaha meneguk salivanya.

“Samudera Timoer ... kamu gak sakit kan? Kalau sakit biar aku panggilin anak PMR.”

Ketakutan Samudera akan sosok Valerie Bjorn sungguh membuat Cassiopeia menggila di barisan. Ia tak mengerti alasan dari pucatnya wajah Samudera, ia tak tahu apa yang pemuda itu alami saat di koperasi, bahkan ia tidak paham akan maksud ucapan pria leo itu ketika memakaikan topi kepadanya tadi. Jujur, tingkah laku Samudera sangat aneh hari ini.

Apa yang lagi Samudera sembunyiin?” tutur batin Cassiopeia yang setia mengenggam tangan Samudera yang begitu dingin karena berkeringat.

Gadis itu tak tahan, ia ingin berbicara dengan leluasa kepada Samudera, jadi yang ia lakukan saat ini adalah berbisik kepada pria disebelahnya itu, “Aku bakal izin ke kamar mandi. Kamu susul, ya. Aku mau ngomong sebentar.”

Tepat setelah mengatakan hal itu, Cassiopeia langsung mengeluarkan jurus seribu bayangnya. Meminta izin kepada salah satu guru yang ada di belakang barisan untuk ke kamar mandi. Cassiopeia menunggu Samudera. Iya, gadis itu menunggu sang kekasih di depan pintu toilet umum sekolah. Menciptakan nada acak dengan ujung sepatu sembari berulang kali melirik ke arah masuk area toilet.

“Saya kira kamu cuman bercanda. Ternyata beneran nungguin saya. Mau bilang apa?”

“Kamu ada masalah apa, Samudera? Ayo cerita. Aku gak suka kamu nyimpen semuanya sendiri.” Butuh waktu beberapa menit untuk Samudera mengumpulkan keberaniannya. Pemuda itu membasahi bibir dengan saliva, lantas berkata kepada Cassiopeia, “Gadis Munich yang dimintai tolong oleh Johan untuk saya pandu ... itu adalah orang yang saya jauhi.”

“Kamu yakin kalau itu dia?” Cassiopeia membuka ponsel, biasanya akan selalu ada info siswa baru di base sekolah dan benar saja, ada satu cutian yang menyebut nama lengkap si gadis baru. Cassiopeia menatap Samudera, lalu bertanya, “Kalau begitu ... nama orang yang kamu berusaha jauhi itu siapa?”

“Valerie Bjorn. Saya ingat nama itu karena saya dulu senang sekali bermain permainan Criminal Case di FaceBook. Iya, nama gadis itu Valerie Bjorn, sama seperti karakter kesukaan saya, Ingrid Bjorn.” Cassiopeia membulatkan mata, tak yakin dengan nama yang disebut dalam cuitan base itu sama dengan yang disebut Samudera.

“Aku nanti bilang sama Johan deh. Bilang kamu lagi sakit atau gimana, oke?” Cassiopeia berjalan pergi, namun Samudera justru mencengkram lengan gadis itu dan memeluknya sejenak.

“Terima kasih ya, Cantik.” Samudera melepas dekapan dan melanjutkan perkataannya, “Kamu kembali duluan saja, saya mau ke toilet.” Cassiopeia mengangguk dan ia berjalan kembali ke lapangan sembari berpikir hal lain, apa yang terjadi dulu sebelum Samudera memilih untuk pindah ke sekolahnya? Entahlah, nanti ia tanyakan saja kepada Johan.

Bibirku setia mengerucut dan tanganku asyik mencoret-coret gambar Samudera dengan pensil. Sebal saja rasanya, kenapa pria itu selalu saja menarik ulur perasaanku beberapa bulan akhir ini.

Sorry, saya kelamaan ya? Makan dulu ini. Kita nanti mau naik tangga ke puncak twin tower sana.” Sosok sebal itu datang, membawa satu bungkus roti yang nampak sekilas mirip dengan croissant. Tapi tunggu, apa ini?

Samudera tertawa, sepertinya ia menertawakan ekspresiku yang penuh tanya ketika melihat makanan yang ia bawa itu. Ia menjulurkan satu tangannya, menunjukkan bagaimana isi dari roti yang sama tapi telah ia gigit.

“Ini namanya Franzbrötchen, kalau orang kebanyakan ngira ini cinnamon roll karena dia juga dipanggang sama butter and cinnamon, but look! It's your favorite flavor, chocolate. Coba saja dulu,” jelas Samudera yang membuatku langsung menerima dan melahap makanan itu, merasakan bagaimana rasa kayu manis berpadu dengan cokelat serta lembutnya roti. Iya, tak salah lagi, rasanya aku sedang memakan cinnamon roll.

“Saya mau ajak kamu ke sana. Mau kan lihat Munich di ketinggian?”

Aku mengangguk, menghabiskan santapan terakhir roti yang kata Samudera sering disajikan sebagai menu sarapan menemani kopi itu hingga habis, lantas mengikuti langkah Samudera memasuki gedung yang nampak seperti bangunan kuno khas kerajaan Inggris.


“Masih kuat?” tanya Samudera ketika melihat Cassiopeia merasa kelelahan menaiki setiap anak tangga. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menggendong Cassiopeia dan mengajak gadis itu ke salah satu lift yang alhasil langsung diberi hadiah sebuah toyoran sang gadis.

“Kenapa gak daritadi?”

“Sengaja, katanya asyik kalau naik tangga. Mending naik tangga aja deh.” Samudera terkekeh, membawa Cassiopeia menaiki anak tangga menuju puncak yang menjadi ikon wisata karena keindahannya.

“Sekarang coba kamu ceritain tentang Willi yang kamu kesalkan dari kemarin.” Cassiopeia merasa diberi mikrofon oleh pemuda itu, membuatnya terus mengoceh sebal tentang seseorang bernama Willi.

“Pokoknya gak adil, aku disuruh kerja rodi, tapi anak baru lainnya malah diajak makan malam sama dia.”

“Terus tentang turnamen yang bulan lalu kamu ceritakan ke saya itu bagaimana nasibnya?”

“Gara-gara Willi lagi, aku ditaruh sama dia di pilihan terakhir, jadi cadangan kalau ada anggota inti yang mengundurkan diri. Masalahnya aku gak tahu mereka kapan mundurnya!” Samudera menurunkan tubuh Cassiopeia. Menghentikan omelan gadis di depannya menjadi sebuah gumaman yang penuh takjub. Langit menjingga, burung-burung yang mulai berterbangan kembali ke sarang. Segalanya sangatlah indah, membuat gadis itu tak dapat berkata apa-apa.

“Kalau di Indonesia kayaknya harus ke daerah Bandung deh ....”

“Gak juga, rumah saya yang sekarang ini pemandangan kanan kirinya gunung kok. Tapi, bakal biasa saja. Karena saya mau bicara sesuatu sama kamu, Cas.” Samudera melepaskan kalung yang dari kemarin melingkar di lehernya. Mengangkat benda itu hingga menghalangi pandangnya kepada gadis yang ia cintai.

“Biarkan Frauenkriche menjadi saksi bahwa saya, Samudera Timoer sudah mencintai Cassiopeia sejak pertemuan kita di Eramus Huis. Kamu mau tidak menjadi seseorang yang selalu menjadi orang pertama di urusan apapun, Cassiopeia Kalandra?” Gadis itu hanya mematung, ia tak tahu hendak menjawab apa hingga akhirnya kepalanya yang memberikan jawaban. Ia mengangguk, membuat Samudera langsung mengalungkan benda berwarna sliver itu ke leher Cassiopeia dan menarik gadis itu kepelukannya.

“Sebenarnya saya sudah nembak kamu pas kejadian dikejar Intan, tapi kayaknya kamu tidak mendengar apapun.”

Cassiopeia menatap lekat-lekat kalung yang ia kenakan, sebuah tulisan terurkir di dalam cincin berbahan dasar emas putih dengan hiasan permata sebagai pemanis.

“Artinya apa ini?”

Samudera melirik, ia tahu pasti Cassiopeia menanyakan hal itu. Ia akhirnya menjawab dengan sangat sederhana, “Cassiopeia, itu adalah konstelasi bintang yang berada di langit Utara. Sedangkan Papa saya dahulu memberikan saya nama Samudera Timoer karena terinspirasi dengan kata timur laut. Saya tulis begitu saja biar lebih cepat. Bintang Utara dan Timur Laut.”

Samudera membuang napas, merasa lega setelah dua bulan hubungan mereka tak tahu kemana, akhirnya ia dapat menyatakan secara langsung dan didengar dengan gadis yang ia cintai itu.

“Pulang yuk, keburu malam nanti.”

“Siapa Timoer?” tanya Marsha ketika sang putra hanya cengengesan sembari memasuki mobil dengan satu paperbag berisi minuman.

“Richard ... curiga aja, Ma. Kalau dia pacaran sama temanku. Here's your coffee, Mom.

Marsha menerima segelas kopi yang dijulirkan oleh Samudera, menatap secara bergantian kopi serta Samudera dan bertanya, “Ini bukan resep kopi kamu kan?”

Samudera terkekeh dan menggeleng dengan cepat, mana mungkin dia memberikan sembarang resep kopi maut itu kepada siapapun termasuk sang mama. Pemuda itu memasang sabuk pemgaman, sedangkan Marsha mulai melajukan mobilnya, membawa mereka menuju perumahan yang menjadi saksi bisu mereka berdua.

“Sudah banyak yang berubah, ya. Kamu dulu lewat di depan rumah lama gak pas antar Cassiopeia pulang?” Samudera bingung dengan pertanyaan Marsha. Di satu sisi, ia tak ingin membuat hati mamanya sedih, tapi di satu sisi dia harus bilang bukan?

“Cerita saja, Mama gak bakal marah atau sedih.” Samudera mengangguk. Lantas berkata dengan pelan, “Iya dulu lewat, pas banget Papa lagi main sama anaknya.”

Marsha menepuk bahu Samudera dengan salah satu tangan, lantas memberhentikan mobil tepat di depan rumah yang sebelumnya ditunjukkan oleh pemuda itu.

“Turun dulu sana, Mama bakal bukain pintu bagasi.”


“Wahhh thank you Samudera!”

“*Danke, Sam.” Samudera berjalan mendekati Cassiopeia yang masih bergulat dengan daftar barang yang harus dia bawa, menyodorkan sebuah gelas minuman favorit gadis itu.

A venti double chocolate frappucino and classic dark chocolate cake for the star constellation,” ucap Samudera sembari menyengir. Dibalas dengan Cassiopeia dengan senyuman yang begitu membuat Samudera terpana. Pemuda itu mengambil alih koper milik Cassiopeia, membawa benda berwarna biru tua itu ke mobil Marsha dan memasukkannya.

“Ada yang ketinggalan?”

“Eh! Ini udah jam berapa njir, ayo berangkat!” pekik Johan tatkala ia melihat jam di tangan. Sudah hampir memdekati pukul dua belas dan mereka belum juga berangkat.

Johan dan Cassiopeia berpamitan kepada orang rumah, lantas masuk ke dalam mobil untuk segera berangkat.


“Nahkan, terlambat kita!” teriak Olivia dengan heboh, membuat keempat remaja itu berlari-lari menuju gerbang keberangkatan.

Tapi penuturan seorang pegawai maskapai justru membuat mereka langsung membuang napas kesal.

“Maaf Kak, tapi penerbangan ke Munich lagi delay mohon tunggu sebentar, ya. Terima kasih.”

Jadilah, saat ini Cassiopeia, Johan, Samudera, dan Olivia menikmati dunianya sendiri-sendiri, menunggu panggilan penerbangan mereka yang tertunda.

“Ada apa Cas?” tanya Samudera ketika melihat wajah kesal sang kekasih.

“Ini ... si Willi ngeselin. Tahu gak sih, aku itu jadi atlet nasional loh, bukan jadi babu dia. Masa aku suruh lakuin semua pekerjaan kayak bersih-bersih gitu.”

“Ya siapa tahu memang biar semua anak baru tahu sama pekerjaan mereka, tanggung jawab mereka, gitulah.” Cassiopeia mendengus kesal, lantas ia membuka salah satu novel dan memindahkan atensi ke sana. Gadis itu sangat malas berdebat, menurutnya sangat sia-sia mendebatkan seorang senior bernama Willi.

Menyadari bahwa perkataannya salah, membuat Samudera kini langsung merasa tidak enak. Kepalanya kini berputar, mencari sebuah gerai toko roti andalan dan berlari meninggalkan ketiga sahabatnya untuk membeli roti khas mereka.

“Nih,” ucap Samudera sembari menyodorkan roti O yang sangat melegenda, membuat pertahanan Cassiopeia runtuh karena aroma manis roti itu mulai menyapa penciumannya. Ia menerima roti itu dan mulai menyantapnya dengan lahap.

“Saya minta maaf ya sudah salah bilang, besok saya lihat aja kamu di sana ngapain. Baru nanti saya yang menilai. Bagaimana?”

“Bagus ... pacaran terus ....”

“Apaan sih? Orang bukan pacar,” cibir Cassiopeia yang membuat Johan hanya dapat menahan tawa sembari menatap Samudera. Emang kurang ajar punya teman yang satu itu.

“Udah ayo masuk. Udah dipanggil itu.” Johan merangkul Samudera dan Olivia menarik Cassiopeia menuju pintu masuk pesawat, membawa mereka terbang melintasi benua menuju ke salah satu kota di negara Jerman.