hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

“Kamu beneran bisa jaga diri kan, Samudera? Mama gak mau kamu nanti malah bertengkar hebat lagi di sana.” Marsha terus-menerus melempar pertanyaan gelisahnya kepada Samudera yang sedang bermondar-mandir untuk mengemasi pakaian.

“Tenang aja, Mamaku yang cantik. Lagipula di sana ada Uncle Jo sama Uncel Javiar. Aman kok, bakal dijauhin dari modelan Vale. Tenang aja ya, Mamaku yang cantik.” Samudera mengusap pipi sang mama, labtas tersenyum begitu lebar sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan aktivitasnya mengemas pakaian.


Kita berpindah ke perumahan Permata Indah, lebih tepatnya di rumah Cassiopeia yang kini tengah ramai dengan tiga remaja yang merayakan kenaikan kelasnya dengan minuman bersoda.

Cassiopeia, Johan, dan Olivia sama-sama berpesta. Dengan iringan lagu bertempo cepat dan lampu kamar Cassiopeia yang mengikuti lagu membuat suasana kamar yang cukup luas dengan nuansa kayu nan minimalis itu menjadi semakin riuh.

“Seriusan lo, Cas. Samudera geser Johan?” tanya Olivia yang masih tidak percaya dengan hal yang diceritakan oleh Cassiopeia beberapa jam lalu. Tapi, Johan justru mengiyakan pernyataan Cassiopeia.

“Gue tadi minta data peringkat paralel aama kelas ke Frau Niken. Beneran Samudera geser gue.” Olivia menepuk bahu Johan, ikut prihatin dengan kondisi Johan yang selalu saja kalah ketika sosok Samudera Timoer hadir di kehidupannya.

“Oh iya, Cas. Lo udah ditembak sama Samudera belum?” tanya Olivia kembali untuk mengubah topik. Cassiopeia hanya mengedikkan bahu, sudah satu bulan lebih ia kenal dengan Samudera, bahkan ia telah berharap sesuatu agar Samudera mengetahui perasaannya yang selalu terombang-ambing setiap perhatian kecil pemuda itu.

“Gue padahal udah sampai lupa sama Lautan. Suaranya Lautan, baunya Lautan, semuanya udah terganti selama satu bulan kenal dia.”

Johan hanya tersenyum kecil, benar dugaan Samudera dulu jikalau gadis itu tak mendengar pernyataan rasa yang pria itu lontarkan karena tertutup dengan suara gebrakan pintu Johan waktu itu.

Pemuda dengan headphone yang tergantung di leher itu mulai mengetikkan sebuah pesan kepada Samudera. Melaporkan hal yang harus pria itu ketahui.

“Jo, lo ngapain?”

“Dengerin lagu lah, ngapain lagi?”


Dering notifikasi membuat aktivitas Samudera terhenti, dengan cepat ia membuka ponsel, dan disambut dengan pesan singkat dari Johan.

Cassie gak tahu kalau lo udah nembak dia. Gue rasa, besok pas di Jerman lo harus nembak ulang deh.

Samudera menghela napasnya dengan kasar sembari mengusap wajah dengan tangan. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Membuatnya langsung meraih kunci mobil dan berlari menuruni setiap anak tangga yang membawanya ke garasi.

Pemuda itu membuka kunci pintu mobilnya yang diberi nama Cassiopeia Snowy itu dengan cepat, ia menatap lekat-lekat sebuah kalung yang tergantung di spion dalam. Ia langsung mengambil kalung dengan liontin cincin itu dan mengenakannya. Ia harus memberikan benda itu malam pertama nanti di Jerman.

Samudera merogoh kantung celananya, meraih ponsel dan memesan sebuah makanan cepat saji bahkan menitip sebuah pesan kepada restoran itu agar ditulis. Selepas itu, ia langsung mengetik pesan dan mengirimkannya kepada Johan. Kira-kira berbunyi, “Tolong kalau ada gofood pizza, suruh Cassiopeia baca tulisannya.”


“Cas! Kayaknya ada gofood deh, coba lo ambil sana,” perintah Johan yang membuat Cassiopeia harus menurut. Padahal tadi ia tidak memesan apapun dari aplikasi berwarna hijau dengan aksen putih itu, ia berjalan menuruni tiap anak tangga dan meminta Bi Ijah agar dirinya saja yang membukakan pintu.

Cassiopeia tertegun seketika ia membuka gerbang, menemukan seorang driver pengantar pesanan dua kotak pizza dan Coca-Cola.

“Atas nama siapa ya, Mas?”

“Ocean.” Ocean? Oalah ... pasti ini akal-akalan Samudera. Cassiopeia hanya mengangguk, mengeluarkan sejumlah uang untuk memberikan tambahan biaya kepada driver itu sebelum akhirnya ia masuk ke dalam.

Gadis itu membuka plastik, menemukan sebuah pesan singkat yang ditulis tepat di atas kotak coklat itu dengan spidol hitam.

Cassiopeia, maaf ya. Saya gak bisa datang ke pesta kenaikan kelas bareng anak-anak Ghostbuster. Saya harus beresin barang dulu. Jadi, saya kirim ucapannya dulu. Coba baca di belakang struk, soalnya kepanjangan.

Seperti tersihir, Cassiopeia meraih satu lembar struk yang hangat karena terkena permukaan kotak kardus itu, menemukan sebuah tulisan dengan bolpoin yang sangat membuatnya seolah-olah tengah dinyanyikan lagu milik Adera.

Cassiopeia, selamat ya atas kenaikan kelasnya. Saya benar-benar bangga dengan pencapaianmu kali ini. Mungkin kamu masih kesal kenapa nilaimu selalu saja dikatrol, tapi saya yakin. Nilaimu dikatrol bukan tanpa sebab, bukan karena rasa prihatin maupun belas kasihan guru. Saya yakin, mereka tahu kamu seharusnya layak mendapatkan nilai itu. Hubungi saya jikalau besok kamu kesusahan dalam mempelajari sesuatu, saya akan menjelaskannya. Sekali lagi, selamat ya! Saya benar-benar bangga dengan pencapaianmu.

Cassiopeia berdecak malu, bisa-bisanya pemuda itu merendah untuk meroket. Mana bukan ke angkasa yang meroket, melainkan di hatinya dan meledak bagaikan kembang api.

“Wuidih ... pizza nih, ayo makan!” Johan merebut paksa plastik berisi pizza itu dan masuk ke dalam kamar untuk melanjutkan pesta hingga pukul dua belas malam.


Samudera melihat ponselnya yang sunyi-senyap. Sampai akhirnya sebuah pesan yang ia tunggu hadir juga dan membuatnya tersenyum begitu lebar.

Cassiopeia : Terima kasih ya buat pizzanya juga kata-katanya. Cukup buat aku sedikit lebih baik. See you tomorrow, Samudera. Aku berharap kamu gak terlambat walaupun nanti penerbangannya yang terlambat.

Sepertinya lagu Adera yang berkolaborasi dengan Segara dan Kunto Aji bertajuk Menjadi Milikku benar-benar menghantui pikirannya. Terutama lirik di menit 02:27-02:40. Karena bagian itu sedang Samudera alami saat ini setelah menerima pesan dari Cassiopeia.

Ketiga remaja yang mendaulatkan diri mereka sebagai Ghostbuster itu berkumpul, namun tak hanya mereka bertiga, karena Johan justru membawa seseorang yang mengenakan jaket hoodie berwarna merah muda yang sangat kontras dengan pakaian mereka.

“Kenalin nih Zaffron, anak IPA 2. Dia nanti ikut buat hunting di sini. Mending biar seru, kita berdua-dua aja gimana?” usul Johan yang langsung disetujui oleh mereka. Jadilah, kini Samudera berjalan bersama Cassiopeia dan Johan bersama dengan Zaffron setelah berdebat cukup lama untuk memperebutkan siapa yang akan bersama Cassiopeia.

“Pakai nih, kamu emangnya kuat cuman sarungan doang?” Samudera memakaikan jaket hitam yang ia kenakan kepada sang gadis lantas mulai menaiki anak tangga menuju perpustakaan. Cassiopeia yang sedari kemarin pikirannya dihantui dengan sosok Samudera hanya dapat mati kutu ketika pemuda itu memberikan perhatian kecil itu.

Ia hanya menarik ujung bibir, lantas menghirup udara sebanyak mungkin agar tidak mati serangan jantung karena ulah Samudera. Tidak lucu jikalau ia masuk koran dengan judul headline yang nyeleneh.

“Ayo Cas! Kita harus buktiin kan ini benar ada hantunya atau tidak?” Baik! Kembali ke realita sesungguhnya. Gadis itu sedang menjalani kehidupan bergenre horor, bukan romansa anak remaja seperti cerita-cerita Disney. Ia mulai melangkahkan kaki, menyusuri setiap anak tangga menuju Samudera yang berdiri di ujung tangga sembari bermain bolpoin.

“Itu bolpoin siapa?”

“Nemu tadi jatuh di lantai. Sudah ayo!” Samudera berjalan menggandeng Cassiopeia, dengan jemari yang setia memainkan bolpoin hingga menciptakan suara cekrek yang menggema di seluruh penjuru lorong.

“Gantian dong, Sam! Aku mau juga!” Cassiopeia mengambil alih bolpoin dan memainkannya. Mereka berdua terus berjalan, tanpa peduli bahwa ada sosok wanita yang memandangi mereka dari balik pilar.


“Jo ... kenapa sekolah kita jadi aneh gini sih pas malem?” Kita beralih ke pasangan Zaffron dan Johan. Begitu kontras dengan pasangan sebelumnya, karena saat ini mereka berdua hanya berjalan perlahan-lahan dengan ketakutan.

Suara kodok yang tiba-tiba berbunyi membuat mereka berdua berteriak hebat, lantas memukul satu sama lain agar terdiam.

“Lo tuh apaan sih, Zaf! Katanya berani lo.”

“Ya lo juga bilangnya berani. Kenapa ikutan teriak?”

“Ya tadi pagi sih gue berani ....” Langkah mereka berhenti tatkala mendengar suara tawa yang menggema, membuat kedua pemuda itu menatap satu sama lain dan bergidik ngeri. Ditambah lagi dengan suara cekrikan bolpoin membuat mereka benar-benar ketakutan.

“Lo denger kan, Zaf?” tanya Johan dan Zaffron mengangguk. Mereka benar-benar mati ditempat. Kalau maju, mereka ketakutan, kalau mundur ... mereka juga nanggung.

Tiba-tiba ditengah kesunyian, suara dengkuran seseorang benar-benar membuat mereka berteriak hebat dan berlari, “SETANNNNN!!!!”


“Itu suaranya Johan sama Zaffron bukan sih?” tanya Cassiopeia kepada Samudera. Mereka kini hendak berjalan ke lantai atas, tepatnya naik ke bagian atap yang menjadi tempat ternyaman untuk mereka menikmati malam.

Pasangan muda-mudi itu terus bercanda, hingga Samudera berceletuk sesuatu, “Sejak kapan kamu suka kopi, Cas?”

“Aku? Suka kopi? Mana mungkin sih ... lupa kamu kalau aku suka pusing kalau minum kopi?”

Jantung Samudera dan Cassiopeia seketika berdebar kencang. Samudera berusaha untuk memastikan kembali, “Lah saya tadi lihat kamu ambil kopi di mesin sana, terus diminum sampai habis dalam sekali teguk.”

“Sam ... aku gak minum kopi. Lagipula tadi aku ke kamar mandi kan? Kan kamu nungguin di depan kamar mandi perempuan.”

“Saya gak di sana ....” Seperti ada yang mengontrol, mereka berdua menolehkan kepala ke arah cermin besar yang dipasang tepat di ujung lorong, disambut dengan dua sosok menyeramkan berpakaian seragam dan rambutnya cukup berantakan.

“Sam ... itu apa ....” Sepertinya karma melayang begitu cepat kepada mereka yang menyepelekan mitos sekolah Nusantara terkenal angker. Karena saat mereka memastikan bayangan itu lagi, justru satu sosoknya memperlihatkan wajahnya yang begitu rusak dan membuat Samudera serta Cassiopeia berteriak hebat. Mereka berlari menaiki tangga, menuju ke atap sekolah dan bersembunyi di tempat yang tertutup.

“Itu Intan bukan sih?” tanya Cassiopeia yang masih terengah-engah. Samudera hanya mengangguk dan menelan saliva untuk membasahi tenggorokannya yang kering setelah berteriak.

“Kayaknya kita kemakan omongan sendiri deh ....”

“Iya kayaknya. Ini kita gak bisa turun deh ... nunggu sampai besok pagi aja gimana?” Cassiopeia mengangguk cepat. Sepertinya mereka harus menunggu sampai matahari terbit. Tapi, tunggu. Cassiopeia tersadar dengan posisi mereka yang cukup aneh.

Gadis itu melepas dekapan Samudera, dan menyandarkan dirinya di sebuah beton yang digunakan sebagai gudang penyimpanan barang sekolah lama. Begitupula Samudera yang memperbaiki posisinya dan bersandar di beton pembatas atap.

“Cas ....”

“Kenapa?”

“Mau gak kamu jadi pacar saya?” Suara gebrakan pintu datang bersamaan dengan pernyataan rasa Samudera. Gadis itu kembali terkejut dan memeluk Samudera dengan erat. Pria itu mengira bahwa Cassiopeia menerima perasaannya dan membalas dekapan.

Namun justru sosok pria bertubuh jangkung dengan beberapa otot di bisep memergoki mereka tengah berpelukan, rupanya itu Johan yang berlari dari lantai satu ke atap.

“Asli tadi Intan kayaknya ngejar gue deh ... suara cekrikan bolpoin dia bener-bener bikin gue ketakutan sampai kepisah sama Zaffron.” Cassiopeia teringat dengan bolpoin yang menjadi masalah, ia mengeluarkan benda itu dari kantung dan menekan tombol sembari terkekeh.

“Lo nemuin itu di mana?”

“Gak tahu, Samudera nemuin di depan perpustakaan katanya.”

“Gak mungkin ... setiap jam lima sekolahan udah dipel sama pelaksana. Gak mungkin ada bolpoin ketinggalan atau jatuh, apalagi anak OSIS, anak MPK jarang di lantai dua. Itu pasti bolpoin Intan. Lo berdua diganggu kaga?”

“Iya kita berdua diganggu, makanya kita ada di sini.” Sepertinya masalah muncul kembali setelah Cassiopeia menekan bolpoin dan menciptakan suara berisik. Karena setelah itu, mereka berteriak cukup kencang karena sosok Intan kini menampakkan dirinya tepat di depan mereka dengan tatapan menyeramkan. Kapok deh uji nyali di SMA Nusantara, bukannya jadi asyik justru malapetaka seperti ini.

Bola mata Cassiopeia berputar malas ketika suara pintu kamar mandinya terbuka dan menampilkan Olivia yang terkekeh tanpa rasa berdosa.

“Lo tuh mandi atau ritual bangun candi Prambanan? Lama bener.” Gadis berambut keriting itu berjalan memasuki kamar mandi, lantas berteriak heboh tatkala mencium aroma yang begitu sedap katanya.

“Gimana sedap kan?”

“TAI LO! KENAPA GA LO SIREM SIAL HABIS BOKER. PANTESAN LAMA!” Olivia tertawa, ia kini merapikan rambut dan barang yang akan ia bawa. Selepas itu, gadis bertubuh mungil dengan rambut yang terkuncir penuh seperti ekor kuda itu memilih untuk tiduran di ranjang sembari bertukar pesan dengan kekasih virtualnya, Rey.


“Cepetan dong, Cas!” omel Olivia ketika melihat temannya satu itu belum selesai dengan rangkaian perawatan kulit wajah yang sangatlah banyak itu

“Sabar setan! Gue belum pakai sunscreen.” Cassiopeia mengusapkan krim ke wajah, lantas berjalan memasukan pouch yang penuh dengan skincare yang ia pakai tadi ke dalam tas, lalu menarik koper menuju lantai satu rumah dan menemui Olivia yang menunggu dengan taksi yang ia pesan.

“Udah ayo!” Tanpa basa-basi, Cassiopeia langsung masuk ke dalam taksi, membuat Olivia berdecak kesal karena sahabatnya satu itu tidak peduli dengan barang bawaan dan menyuruh Olivia yang membereskan ke dalam bagasi.

“Lo nanti malem mau ikut Johan gak? Uji nyali malem-malem.”

“Gak ah, gue besok bangun pagi buat bikin sarapan sekelas. Awas aja lo sampe besok molor. Gue siram.” Bulu kuduk Cassiopeia berdiri tegap ketika mendengar ancaman Olivia. Wanita yang satu ini tidak pernah bermain-main dengan ancaman.

Mobil yang mereka tunggangi terus melaju dan berhenti tepat di depan gerbang sekolah yang ramai dengan anak-anak yang datang dengan berbagai macam barang bawaan, ada yang membawa tikar, wajan, bahkan kompor.

“Kita langsung ke belakang aja. Katanya Johan tadi pagi, kita tidur di tenda. Kecuali kalau nanti ada sesuatu, baru tidur di kelas.”

Cassiopeia menarik koper biru miliknya ke dalam sekolah, lantas merasakan sebuah notifikasi yang bergetar di kantung celana.

“Siapa sih yang chat gue jam segini?”

“Kebiasaan emang si Johan, gak bisa ngomong pakai urat, bahkan ngetik aja juga gak bisa. Kita mau kemana dulu?” Cassiopeia masih tertawa saat melontarkan sebuah pertanyaan kepada Samudera.

Sedangkan pria itu setia mendengarkan Cassiopeia sembari mendorong troli, gadis dibenar-benar ramai, bahkan semua cerita tentang Johan dari kecil ia ceritakan kepada Samudera.

“Dulu tuh Johan takut banget sama air, bahkan aku ancam jatuhin ke air—”

“Tahu kok, Johan pergi kan naik sepeda yang dia modif pakai gelas AQUA gara-gara takut kamu cemplungin ke Kali Mati, padahal kamu sendiri takut sama air,” tukas Samudera yang membuat Cassiopeia lagi dan lagi terkejut dengan penuturan Samudera.

“Perasaan aku belum cerita ....” Samudera langsung tersadar, ia gelagapan mencari bahan untuk berkelit, “Saya tadi dengar dari kamu. Kamu sudah cerita tadi di awal.”

“Oh mungkin kali ... lupa.” Cassiopeia mengikat jemarinya ke setiap sela jemari Samudera yang tengah mendorong troli. Lalu Samudera justru menuntun tangan gadis itu menuju kantung hoodie dan disambut dengan botol AQUA pemberian Cassiopeia tadi.

“Simulasi kalau saya jadi pacar kamu.” Pemuda itu terkekeh, lantas pergi menuju sebuah rak untuk mengambil gula merah. Srdangkan Cassiopeia justru terkejut dan memutuskan untuk mengeluarkan tangan dari hoodie Samudera untuk mencari sesuatu dari daftar belanjanya.

“Buat apa?”

“Besok kita live in Samudera .... Kamu gak lihat agenda akademik kah?”

“Enggak ... agendanya dibawa sama Mama.” Mereka terus menyusuri lorong, hingga langkah kaki mereka membawanya ke sebuah tempat buah dan sayur segar. Cassiopeia menghampiri sebuah stroberi yang berwarna merah segar, menawarkan makanan manis-asam itu kepada Samudera.

“Gak suka stroberi saya, tapi kalau jeruk masih bisa nerima.” Samudera meraih sebuah jeruk, mengendus buah itu sebelum akhirnya ia mengupasnya. Tak masalah bukan jikalau menyicipi satu saja? Lagipula di dalamnya ada banyak, jadi bisa dibagi bersama Cassiopeia jika mau.

“Mau?” tawar Samudera yang menyodorkan buah berwarna oranye itu kepada Cassiopeia dan langsung diterima dengan senyuman bak anak kecil.

“Gila ini manis banget ... kok kamu bisa tahu ini manis?” Samudera terkekeh, tangannya justru mengacak rambut keriting Cassiopeia yang terurai bebas.

“Mau? Kalau mau saya ambilkan.” Samudera meraih plastik transparan, mengambil setiap buah yang menurutnya segar dan langsung ia masukan ke dalam plastik hingga terasa cukup banyak.

“Ih padahal cuman empat buah aja ....”

“Saya juga mau, lagipula si Johan juga belum tahu mau atau gak. Sebentar.” Samudera meraih ponsel dan membuka pesan dari Johan yang baru saja masuk.

Perbincangan keenam sahabat ini mulai kembali ke hubungan Sherina dan Husain, asik saja jikalau membahas tentang love-hate relationship tentang mereka berdua. Husain si cuek dan tidak suka belajar namun pintar dalam semua mata pelajaran, bersanding dengan seorang Sherina yang hanya pintar dalam bahasa dan suka belajar lebih tentang bahasa dan sastra.

“Ya kan gue udah bilang. Gue tuh mau masuknya kalau gak bahasa ya IPA, tapi psikotes gue masuknya ke IPS. Mana ketemu modelan dia lagi.” Gadis itu menunjuk Husain yang duduk di sebelahnya itu dengan jari telunjuknya. Walaupun akhirnya, teman-temannya hanya tertawa dan menghujani gadis itu dengan ledekan. Karena kembali lagi, Sherina adalah mantan kekasih seorang Husain Adam Pangemanan. Bagaimana gadis itu menyangkal bahwa dirinya tidak suka dengan kehadiran Husain? Husain seketika teringat sesuatu, membuat dirinya beranjak, menarik lengan gadis itu untuk berdiri dan mengikutinya ke taman yang ada di lantai dua.

“Mau ngapain, Husain?” tanya Sherina yang masih kebingungan dengan aksi mendadak pemuda itu. Namun, Husain masih diam, hingga ia membuka pintu kaca yang membatasi ruangan dalam dan ruang terbuka, menarik lengan Sherina untuk keluar, dan menguncinya.

“Ini berhubung gue masih jadi pacar satu hari lo. Gue mau nanya tentang ini.”

“Tanya tentang apaan Husain?”

“Cita-cita lama lo.”

Sherina hanya terdiam, bahkan membiarkan suara bising jalanan mengisi kekosongan di antara mereka. Gadis itu teeingat dengan janjinya dahulu kepada Husain. Di kafe yang sama dengannya berdiri, dengan beda nama dan pemilik. Sedangkan Husain menatap dengan penuh netra coklat milik Sherina yang menghanyutkannya, membawa dirinya kembali ke kisah mereka lima tahun silam di tempat ini.


MARET 2017

“Husain! Gue akhirnya tahu apa cita-cita gue.” Senyum Sherina sangat indah ketika gue melihatnya. Rasanya gue ingin berlama-lama untuk melihatnya, senyuman gadis itu seperti kafein, selalu membuat gue kecanduan. Tapi, pesan-pesan yang diberikan oleh Karin masih menghantui gue, apakah Sherina bahagia sama gue? Atau Sherina justru menghancuekan masa depannya karena gue?

“Apa emang?” jawab gue dengan singkat. Namun, justru jawaban gue menghilangkan senyuman yang paling gue sukai itu. Ah, rasanya gue mau mengutuk diri sendiri karena membuat netra gadis di depan itu berkaca-kaca.

“Lo kenapa sih, Sen. Ini bukan Husain yang gue kenal. Dia bakal nyindir gue seolah-olah gue itu masih kecil yang punya cita-cita dokter, tentara, polisi. Bukan Husain yang dengan dingin malah nanya apa cita-cita gue.” Gadis itu mendongakkan kepala, berusaha agar air matanya tidak turun dan membasahi pipinya. Namun,gue justru dengan lancangnya mengeluarkan sebuah kalimat yang membuatnya makin hancur.

“Gue gak bisa buat lo bahagia, Sher. Mau lo punya cita-cita pun, kalau lo sama gue juga apa artinya? Sekarang gini deh ….” Gue menyejajarkan tinggi dengan gadis itu, menatap netranya yang berkaca-kaca dan siap meledak itu, “… semenjak lo jadi pacar gue, apakah lo makin pinter? Apakah lo aglible ke SNMPTN? ENGGAK KAN?”

“IYA ENGGAK! LO TUH SELALU EGOIS. LO BUKAN HUSAIN YANG GUE KENAL DULU. LO—” Gue terkejut ketika Sherina bersimpuh di depan gue dan menumpahkan semua air matanya. Membuat gue lamgsung berlutut dan menangkup wajahnya untuk mengusap air mata Sherina.

“Maaf Sher … gue gak bermaksud buat nyakitin elo.” Sherina menepis tangan gue, mengusap kasar air matanya menggunakan lengan sweater yang ia kenakan, lalu berdiri dan melihat ke arah gue dengan netra yang sangat penuh amarah.

“Sen, mending udahan aja yuk. Sejujurnya itu cita-cita gue, gue mau lepas dari pria dingin dan cuek bahkan udah gak ada perhatiannya lagi ke gue.” Gadis itu langsung masuk ke dalam, meninggalkan gue sendirian dengan sebuah naskah cerita yang terjatuh. Tangan gue meraih tumpukan kertas yang dijilid dengan sangat rapi itu, sangat tebal hingga gue terkesima ketika melihatnya.

Namun gue terdiam ketika melihat sampul naskah itu bertuliskan sebuah judul dan penulisnya,

Days Without You Ananda Sherina

Gue seketika membuka lembaran pertama, dan menemukan sebuah surat yang terlipat dengan sangat apik dengan tulisan tangan khas milik Sherina.

3 Maret 2017

Teruntuk Husain Adam Pangemanan, Pria hebat yang menjadi sosok Lail Pangemanan di kisah yang aku tulis ini.

Husain, sekarang apa kabarmu? Sudah satu bulan semenjak kamu berubah menjadi pria yang sangat dingin, pesanku tak pernah kamu balas, bahkan kamu selalu saja menghindar setiap kali aku berusaha untuk meraihmu. Aku bingung, apakah kisah cinta kita ini adalah suatu kesalahan?

Sen, aku tahu … kamu sangat sayang sama aku, sampai kamu melakukan hal itu. Tapi setiap hari sungguh membuatku semakin kehilanganmu. Aku sudah seperti orang gila, mengharapkan susu maupun sandwich yang kamu selipkan di laci meja maupun tas sekolahku. Sebenarnya, aku sudah mulai menulis kisah cinta kita sejak tahun lalu hingga akhirnya rampung pada akhir tahun lalu.

Dengan aku menjadi Layla dan kamu menjadi Lail. Bagus bukan? Mungkin ini cita-cita sesngguhnya dari aku, Sen. Tuhan sengaja tidak memberikan aku kesempatan untuk ikut SNMPTN, karena Tuhan tahu, kalau naskah ceritaku diterima oleh penerbit dan akan menjadi nyata dalam bulan ini. Sen, jangan menghilang lagi ya. Aku gak bisa melewati satu hari tanpamu. Sama seperti Layla yang tak ingin Lail pergi. Satu hari tanpa seorang Husain itu cukup menyakitkan, Sen. Jujur aja aku.

Tertanda, Ananda Sherina

NB. Jangan lupa buat baca naskahnya! Aku tahu kamu paling malas kalau disuruh beli buku.


“Naskah cerita lo jatuh pas di hari lo mutusin gue, suratnya masih gue simpen bareng naskah aslinya dan buku novelnya dalam berbagai versi cover.” Sherina menatap Husain dengan tatapan yang tak percaya, membuat sang adam hanya terkekeh dan menarik gadis itu ke dalam dekapannya.

“Gimana kabarnya Layla? Dia nikah sama Lail gak?”

“Sen … kenapa lo masih ngikutin semuanya?”

Because I’m the one who standing for you. Gue nyuruh satu penggemar lo buat mintain tanda tangan ke buku lo, bahkan di hari lo launching Days Without You, gue berdiri tegar di belakang pengunjung buat lihatin elo. Karena gue juga sama kayak Lail, Sher. Dia gak bisa melewatkan satu haripun tentang Layla. Dia akan selalu melakukan apapun buat bikin Layla-nya bahagia walaupun dirinya gak bisa melakukan itu.” Husain melihat jam tangan, detik-detik mulai mendekati penghujung hari dan dirinya makin mengeratkan pelukan kepada Sherina sebelum akhirnya hubungan mereka kembali menjadi sepasang orang asing yang pernah berbagi sejarah bersama.

“Gue bakal selalu ada di belakang lo, Sher. Jadi orang yang mendukung elo kapanpun itu. Terserah lo mau raih impian apa, gue selalu ada di belakang lo. Karena gue masih sayang sama lo Sher, dari dulu sampai sekarang.” Pelukan pun terlepas, bertepatan dengan jarum jam menunjuk tepat di angka dua belas. Mengartikan bahwa hubungan kekasih satu hari mereka telah berakhir.

Dare lo udah selesai. Sekarang lo jadi bocil gue lagi.” Pemuda mengacak rambut pasangannya sembari terkekeh, lalu meninggalkan gadis itu untuk masuk ke bangunan kafe dan bergabung kembali demgan teman-teman. Tetapi, berbeda dengan Husain lima tahun silam yang memilih untuk diam dan membeku, gadis itu justru menahan lengan sang pria. Dengan wajah yang sama dengan terakhir dia memutuskan hubungannya, mata yang berkaca-kaca dan siap untuk menumpahkan semua bulir kristal yang Husain benci.

Tangan pemuda itu meraih pipi hangatnya, mengusap air mata di ujung mata Sherina sembari tersenyum. Membuat gadis itu mulai berkata, “Di mana lo nyimpen semua tulisan gue?”

Langkah kaki pria itu mulai mendekat ke arah gerbang sebuah acara bazaar yang padat akan pengunjung. Tak heran sih, mengapa bazaar tahun ini sangat padat pengunjung, sebab pria itu menangkap penampilan seorang artis ternama tengah tampil di atas panggung. Namun ada satu hal yang pria itu amati dengan seksama, yaitu semua orang berpenampilan semenarik mungkin, hanya pria itu saja yang mengenakan celana kain hitam, kemeja putih yang ia masukkan, dan tak lupa juga, pria berpawakan tinggi semampai itu menggulung lengan bajunya. Yang alhasil, menambah ketampanan yang sedari tadi ia pancarkan. Hingga menarik perhatian beberapa orang yang pria itu tebak dari seragam yang mereka kenakan, bahwa yang menatapnya itu adalah siswa dari SMA Maris Stella yang belum pulang. Mungkin menjaga stan terlebih dahulu.

“Ini si Rejak kemana dah.” Pria itu berdiri di depan gerbang yang bertuliskan Pentas Seni SMA Maris Stella dan membuka ponselnya untuk menghubungi seseorang bernama Reza. Sahabatnya sejak bangku SMA.

Nada dering menyapa telinga pria itu, beberapa kali ia mengecek layar ponsel untuk memastikan. Panggilan berdering. Yang artinya, panggilan itu telah masuk di ponsel Reza dan menunggu pemuda itu mengangkatnya.

Woy! Lo di mana?

Suara nyaring Reza memenuhi telinganya, benar-benar ini anak makannya toa masjid setiap hari. Sampai-sampai pria itu menjauhkan ponsel dari telinga agar suara Reza tak merusak gendang telinganya.

“Gue di depan gerbang bazaar. Lo sendiri di mana sih?” ujar pria itu sembari celingukan mencari tubuh Reza yang sedang menelepon dirinya.

Husain Adam Pangemanannnn lo lihat chat grup kaga sih anying? Gue sama anak-anak ada di kelas kita dulu. Buruan. Ini ada seseorang nih.

Panggilan tertutup secara sepihak oleh Reza, membuat pria bernama Husain itu membuka ruang obrolan dan menekan salah satu ruang dengan gambar meme kucing sebagai profile picture-nya. Menemukan sebuah foto yang berisikan Reza, Marz, Karin, Damian, serta tunggu!

“Ayang Sherin dateng?” ucap pemuda itu dan langsung berlari memasuki gedung sekolah. Entah mengapa, hati pemuda itu berbunga-bunga seperti saat pertama dia menembak sang pujaan hati. Namun, langkah kaki Husain terhenti di depan minimarket yang ada di dekat pintu masuk sekolah. Pemuda itu seakan-akan teringat sesuatu dan tersenyum sembari memasuki minimarket.

Kakinya melangkah mendekati deretan kulkas yang berisi minuman, lantas meraih satu kotak susu dan satu botol kopi. Lagi dan lagi, Husain tersenyum. Berjalan mendekati meja kasir dan membayarnya dengan selembar uang lima puluh ribu. Lantas berjalan keluar dari minimarket dan memasuki gedung sekolah.


“Ayaaaangggg!” Husain menghindar begitu saja ketika melihat Reza berlari untuk memeluknya. Merasa sedikit jijik dengan tingkah sohibnya yang terlampau alay setengah mati. Pemuda itu hanya mengintip seseorang dari balik kaca jendela XII IPS 2, melihat seorang gadis dengan rambut panjang yang kini dikuncir. Husain sangat ingat punggung gadis yang selalu ia peluk dari belakang itu. Membuat dirinya kini berjalan melewati Reza dan Damian begitu saja, lalu menyodorkan kotak susu yang ada di genggamannya ke depan gadis yang pernah menjabat sebagai kekasih seorang Husain Adam Pangemanan.

“Lo masih aja pendek. Nih minum susu, biar tinggi.”

“Lo kenapa sih masih rese mulu dari dulu, Sen?” Sherina memutar bola matanya malas, namun hal itu yang membuat Husain terkekeh sembari menarik satu bangku kosong untuk duduk di sebelah gadis itu sembari meneguk kopi yang ada di genggamannya.

“Kan love language gue ribut sama lo, Sher.”

“Eh ini reuni sekolah, ye … bukan reuni hati.” Karin yang duduk di depan Sherina itu mengacungkan garpu plastik ke arah Husain. Bisa-bisanya pemuda yang sudah lima tahun lebih tak berhubungan dengan sahabatnya itu mulai menggoda Sherina dengan cara lama yang sangat membosankan itu.

“Udeh bawel lo. Ngomong aja, kangen gue gombalin kan? Udeh-udah habisin aja itu Pop Mie lo,” omel Husain yang kini kembali berdiri dan berjalan menyusuri tiap jengkal ruangan kelas yang mulai berubah dengan pernak-pernik yang berbeda dari zamannya dahulu bersekolah.

“Udah lama banget gue gak pake nih loker. Sekarang dipakai siapa deh?”

Reza dan Damian menghampiri meja yang ditempati oleh Sherina dan Karin, lantas menarik kursi dan menatap Husain yang tengah bernostalgia dengan loker yang bertuliskan nama murid saat ini.

“Emang loker lo ada resep rahasia Krabby Patty, Bang?”

“Gue inget, dulu si Husain pernah nyoret balik pintunya pakai spidol permanen. Husain love Sherin gitu lah,” jawab Reza. Pemuda itu masih ingat sebab Husain memakai spidol permanen yang selalu ia bawa dulu. Agak aneh memang membawa spidol permanen ke sekolah, namun begitulah Reza si rempong. Apa aja dibawa ke sekolah. Mungkin kalau pengeras suara dapat dibawa, pasti pemuda bertubuh mungil itu sudah membawanya ke sekolah.

Namun nostalgia Husain akan loker kesayangannya harus kandas ketika kehadiran Marz dengan satu bucket KFC dan satu plastik yang berisikan kaleng bir Bintang yang membuat semua anak yang ada di ruang kelas itu bersorak gembira. Mereka sangat menyambut kehadiran makanan utama yang telah mereka nantikan.


CHEERS!” Mereka bersorak sembari mengadu kaleng minuman, lalu menyesapnya sembari melahap ayam yang ada di genggaman. Netra Husain menangkap saos berwarna merah di ujung bibir Sherina. Hingga secara tak sadar, Husain meraih ujung bibir gadis itu dan mengusapnya sembari mengomel.

“Belepotan mulu lo makannya, Cil.” Husain terkekeh ketika melihat Sherina tersipu malu, bahkan akhirnya gadis itu teebatuk karena terkejut, Husainlah yang memberikan kopi yang tadi ia minum agar membantu gadis itu agar tidak tersedak.

“Masih romantis aja lo, Sen. Gamon yak?” celetuk Reza sembari meneguk segelas bir. Membuat semua mata tertuju kepada dua pasangan yang tengah bernostalgia itu.

“Kalian gak mau cerita apa, alesan kalian berdua putus atau gimana kalian jadiannya gitu?” tanya Marz yang memulai untuk membuka buku kenangan atas hal yang pernah mereka alami selama duduk di bangku sekolah menengah atas. Sebuah buku kenangan tanpa wujud fisik, hanya ada di dalam memori jangka panjang mereka yang sewaktu-waktu akan hilang tergores waktu.

Husain memperbaiki posisi duduknya, begitupula Sherina. Namun, pada saat yang bersamaan dengan mereka berdua yang memperbaiki posisi duduk, Damian berceletuk, “Gue penasaran banget sama hubungan Bang Husain. Kayak dulu zaman gue jadi adek kelas, kalian berdua tuh terkenal banget loh jadi couple goals.”

“Bener. Mereka berdua mah ikon pasangan hits SMA Maris Stella.” Reza menimpali, membuat Sherina langsung menoyor kepala Reza dan mendengus kesal.

“Ikon pasangan gimana? Lo tahu sendiri kan kalau gue sama dia tuh kayak Tom and Jerry.” Gadis itu memulai untuk membuka buku kenangan, awal dari kisah masa remaja mereka. Namun sepertinya tak akan mudah, karena kini Husain membekap mulut Sherina dan mengambil alih cerita.

“Jangan percaya jalan ceritanya Sherin. Dia kan pengarang yang andal. Nih, gue ceritain gimana awalnya gue ketemu sama Sherin.” Semua atensi tertuju kepada Husain tatkala pemuda itu mengambil alih cerita yang seharusnya diceritakan oleh Sherina dan pemuda itu memulai untuk membuka buku kisah cintanya dengan seorang Sherina. He’s start to tell them about his love story that other people never know at all. Just Husain Adam Pangemanan and God, the one and only his love storywriters.

“Kapan-kapan gantian gitu dong, Sam. Aku yang main ke studiomu bikin tembikar.” Pandangan Samudera berpaling sejenak ke arah gadis yang duduk di sebelahnya, untung saja jalanan sangat sepi sehingga ia dapat melihat bagaimana angin menerpa lembut setiap helai rambut Cassiopeia. Samudera tersenyum, lantas menghentikan kendaraan ketika ia melihat lampu lalu lintas berwarna merah menyala. Lagu Beautiful yang dinyanyikan oleh salah satu artis Korea, Baekhyun terputar dari radio mobil. Seolah-olah lagu itu tengah memuji kecantikan seorang Cassiopeia Kalandra.

Samudera menekan tombol, membuat kap mobil tertutup dan menjadikan dalam mobil itu begitu gelap. Pemuda itu sengaja melakukan itu, karena ia tak mau Cassiopeia kedinginan karena angin malam. Katanya, “Nanti saya tidak ada teman besok kalau kamu sakit.”

Mobil putih itu kembali melesat, memasuki perumahan yang tak jauh dari tempat mobil mereka berhenti. Kendaraan itu membawa kedua muda-mudi itu menuju sebuah rumah berlantai dua yang cukup asri. Samudera menurunkan rem tangan, lalu membantu Cassiopeia untuk membuka sabuk pengaman sebelum ia keluar untuk mengambil barang milik Cassiopeia yang ada di bagasi.

“Kok kamu tahu rumahku di sini?”

“Kan kemarin saya tanya sama Olivia. Masuk sana, sebelum tetangga nangkep basah,” ucap Samudera yang berdiri dan bersandar di badan mobil Porsche putihnya itu. Cassiopeia mengangguk, dengan satu tangan yang terlambai, ia mendorong gerbang untuk masuk ke rumah dan berkata kepada pria itu, “Kamu juga hati-hati di jalan, ya.”

Atensi Samudera tak luput dari gadis itu hingga punggungnya menghilang di balik pagar. Hingga sebuah sapaan seseorang membuatnya terkejut bukan main.

“Eh ’Den bagus ... kenalin saya Bi Ijah yang ngurus Neng Cassie dari kecil.”

Samudera nenghela napas, ia masih parno jikalau ada seseorang yang memergokinya menaruh payung itu, “Bi Ijah, saya bisa minta tolong gak, jangan panggil saya ‘Den bagus … saya suka keinget Mama saya kalau manggil tikus di rumah soalnya. Panggil saya Samudera aja. Oke?”

“Ohhh namanya Samudera … kenapa ya temannya Neng Cassie selalu gak jauh dari air namanya, dulu Lautan, sekarang Samudera. Masuk dulu, yuk. Bibi mau cerita-cerita sama kamu.” Samudera menurut, mengikuti perempuan yang berjalan di depannya untuk masuk ke daerah pembantu.

Ruangan itu cukup tenang menurut Samudera, setidaknya tidak membuat orang yang ada di atas merasa terganggu. Samudera duduk di sofa, sementara Bi Ijah berjalan ke dapur untuk membuatkan Samudera teh hangat.

“Sebenarnya saya Lautan yang Cassiopeia ceritakan ke Bibi itu. Tapi saya takut aja ketahuan. Gak tahu kenapa.”

“Ih … ngapain takut.” Sebuah pukulan pelan mendarat di paha Samudera, Bi Ijah tersenyum dan mulai bercerita, “Neng Cassie itu sayang banget sama Den' Laut. Dulu dia sampai hujan-hujanan gak mau pulang karena nungguin kamu. Dia kesepian, ‘Den. Dari kecil dulu kalau tidak sama saya, ya sama ayahnya. Bundanya sibuk banget sama pekerjaan dia. Tapi,pas dia umur lima tahun, ayahnya meninggal. Kecelakaan saat pulang kerja. Dia hancur banget pas itu, tapi bundanya gak ada di rumah duka. Beliau sibuk buat laporan kecelakaan suaminya. Setelah itu sepertinya, dia sering banget cerita sama Bi Ijah, dia main sama Lautan lah, dia janji sama Lautan, bahkan nih … dia dulu pernah gambar ‘Den Samudera pas masih kecil.”

Bi Ijah mengeluarkan selembar kertas dari laci meja, sebuah kertas yang tergambar potraitnya yang lain tengah bermain tanah di taman. Bi Ijah memberikan gambaran itu kepada Samudera, meminta pemuda itu untuk menyimpannya. Samudera melipat lembaran itu, memasukkannya ke dalam saku jaket dan menghabiskan teh buatan Bi Ijah.

“Saya mohon banget ya, ‘Den. Baru dua hari ini saya lihat Neng Cassie sesemangat itu. Bahkan hari ini saja dia sampai ngira dia terlambat. Ternyata, kalian satu kelas, ya?” Samudera mengangguk dan menjawab, “Iya, satu kelas dan satu meja.”

“Nah syukurlah. Soalnya saya jarang lihat Neng Cassie seceria itu. Bahkan sama Mas Johan juga gak seceria itu.”

“Iya, Bi. Semoga saja. Oh iya, terima kasih buat teh nya, Bi. Saya pamit dulu, keburu makin malam nanti.” Samudera menyalami tangan wanita itu dan berjalan keluar dari pintu samping menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. Ia seketika rindu dengan papa ketika masuk ke dalam mobil.

Cerita Bi Ijah tentang Cassiopeia yang sayang sekali dengan sang ayah menbuat pemuda itu teringat dengan sang papa. Samudera menyalakan kendaraan, melajukan mobil itu ke sebuah rumah yang masih berada di kompleks peeumahan Cassiopeia sebuah rumah yang berada di blok AH-5.

Rumah itu masih sama seperti beberapa tahun lalu, hanya saja lampu depan rumah yang sedikit remang. Samudera menatap rumah itu dari dalam mobil, hingga seorang pria keluar. Samudera hendak memanggil pria itu, namun teriakan yang lain justru mengurungkan niatnya.

“Eh anak Papa … kenapa sayang? Mau ikut Papa ke tukang nasi goreng?”

Itu kata-kata yang sama. Diutarakan oleh orang yang sama, namun dengan tujuan yang berbeda. Samudera menenggelamkan wajahnya ke dalam lengannya, dahinya mengenai stir mobil, tengah menahan bahunya yang bergetar hebat. Semua situasi ini sangat asing baginya. Ia merindukan semua cinta dari sang papa.

Benar apa yang Richard pernah katakan dahulu saat ia bersekolah di Munich, perpisahan yang sangat menyakitkan bukan karena kematian, melainkan karena perceraian. Kamu akan selalu merasakan pedih ketika posisimu dahulu tergantikan oleh seseorang.

Samudera mengusap air mata, mengambil udara untuk meredakan tangis, dan melajukan kendaraan menjauh dari tempat itu untuk kembali ke rumahnya.

A can of coffee for the winner.” Samudera berjalan mendekati mesin minuman otomatis dengan tangannya yang melingkar di leher Cassiopeia, gadis itu menggeleng. Dia tak terlalu suka kopi. Yang akhirnya membuat pria dengan gigi kelinci dan senyuman yang amat sangat manis itu bertanya, “Kenapa gak suka kopi instan?”

“Dulu pas SMP pernah beli, lagi ramai banget sama kopi botol, aku beli, aku habisin sendiri. Eh habis itu migrain seharian. Sejak itu, aku gak pernah minum kopi botolan, kalau minum malah mual sendiri. Hehehehe, sorry Samudera.”

“No prpblem,susu cokelat mau?” tanya Samudera yang baru saja memasukkan uang lembar berwarna biru ke bibir mesin otomatis. Pemuda itu melihat satu botol susu coklat berada di barisan paling bawah, ia akan bersedia untuk menekan tombol angka dari minuman manis itu jikalau Cassiopeia mau. Dan gadis itu mengiyakan, bahkan dengan nadanya yang ceria. Samudera menekan tombol angka, dan membiarkan benda berisi minuman cokelat itu terjatuh ke dasar sebelum ia ambil melalui sebuah lubang kotak. Permukaan botol minuman itu terasa dingin ketika bersentuhan langsung dengan kulit Samudera, ia mengeluarkan botol, dan memberikannya kepada Cassiopeia.

“Kamu kok ngopi mulu sih, Sam?” tanya Cassiopeia yang membuka tutup botol. Namun, ia tak kunjung membukanya sebab terlalu licin. Gadis itu bertanya demikian, karena selama dua hari sekolah dan menjadi teman satu meja, gadis itu selalu melihat berbagai macam kopi yang pemuda di depannya minum. Entah minuman botol, ataupun beberapa kali ia melihat Samudera membawa sebuah gelas berisikan es kopi dari sebuah brand café ternama.

Pemuda itu meraih botol dari genggaman Cassiopeia, membukanya dalam sekali putar dan memberikan botol itu kepada sang empunya sembari menjelaskan, “Saya gak bisa jalanin hari kalau tidak minum kopi. Sebenarnya, ingin sekali saya kayak anak-anak sekolah pada umumnya yang minum segelas susu sebelum berangkat sekolah, tapi saya intoleran sama laktosa. Jadilah, minum kopi.”

“Terus dari sejauh ini, kopi mana yang enak?”

“Es kopi yang selalu saya bawa ke sekolah. Beli di Starbucks dekat studio saya buat tembikar. Itu resep khusus sih. Less water, no sugar, just ice with eight shots of espresso.”

Cassiopeia bergidik ngeri mendengar penjelasan Samudera. Dalam satu gelas yang selalu ia lihat dibawa Samudera itu, terkandung delapan gelas kopi pekat dan hanya ditambah dengan sedikit air? Dia saja beli es americano untuk coba-coba seperti orang Korea sudah langsung tremor dan tidak dapat tidur semalaman. Apalagi delapan gelas?

“Terus begadang dong?”

“Enggak juga. Saya juga ngerasain ngantuk. Tapi kalau belum bisa tidur, ya mungkin … main komputer sambil nyemilin gula merah.”

“Gu-gula merah?” Kaki mereka terus melangkah, menuruni setiap anak tangga yang akan membawa mereka ke lantai bawah tanah bangunan itu. Samudera menautkan tangannya dengan tangan Cassiopeia yang masih terkejut dengan kebiasaan aneh pemuda itu. Bagaikan seorang pangeran, ia memimpin jalan dan menunggu serta menggenggam tangan sang wanita agar tidak terjatuh ketika ia sampai di bawah. Afeksi kecil dari Samudera berhasil menerbangkan jutaan kupu-kupu di dalam perut Cassiopeia.  Rasanya sangat menggelitik hingga menciptakan sebuah bulan sabit di wajah manisnya.

Tak hanya itu, Samudera yang baru saja membuka kunci mobil dengan remote justru berjalan ke pintu penumpang dan membukakan pintu untuk Cassiopeia. Bahkan, saat di dalampun, Samudera memasangkan sabuk pengaman untuk sang gadis dengan berkata, “Spesial untuk yang habis menang pertandingan, the queen of fencing from social three, Cassiopeia Kalandra.

Ucapan Samudera barusan sungguh menciptakan euforia baru untuk seorang Cassiopeia Kalandra. Membuat gadis itu tak henti-hentinya tersenyum malu. Bahkan ketika Samudera mengusap puncak kepalanya dan berkata, “Terima kasih, ya. Sudah melakukan hal yang terbaik versi kamu. Walaupun saya baru bertemu kamu dua hari, tetapi saya merasa sangat bangga telah mengenalmu.”

Sudahlah! Samudera adalah pria yang menyerang Cassiopeia dengan semua love language.

Mobil putih yang dikendarai Samudera kini berhenti, tepat di depan lobi sebuah gedung berpilar besar dan berwarna putih tulang. Burung-burung berkicauan, seolah-olah menyambut kehadiran mereka. Bahkan dedaunan dan bunga berwarna merah muda juga ikut turun menghujani mereka seperti sebuah konfeti.

“Itu katanya satu spesies sama bunga sakura. Tapi aku gak tahu sih bener atau enggak.”

“Oh Tabebuya, emang sih bentuknya udah kayak sakura, namanya juga kayak Jepang, tapi itu bunga dari Brazil seingat saya ini juga beda jauh sama sakura yang kamu maksud,” celetuk Samudera. Ia tahu bunga itu sebab temannya, Richard adalah seorang anak dari florist dan bahkan bercita-cita inin menjadi florist untuk melanjutkan bisnis keluarganya. Samudera turun dari mobil, berjalan ke arah pintu mobil penumpang, dan membukanya dengan senyuman ramah.

“Kamu mau lihat di dalam?” celetuk Cassiopeia saat Samudera sibuk membuka bagasi untuk mengambil tas merah milik Cassiopeia.

Pemuda itu menoleh, memberikan tas itu kepada Cassiopeia, menutup pintu bagasi, lalu menatap kembali ke arah Cassiopeia. Tangan pemuda itu terjulur, menyibakkan rambut Cassiopeia ke belakang telinga.

“Boleh. Saya cari parkiran dulu.” Mobil Samudera melaju, meninggalkan Cassiopeia yang masih berdiri di depan lobi dengan tas merah serta ranselnya. Gadis itu berjalan memasuki gedung, menuju ruangan loker untuk menaruh semua barangnya dan berganti pakaian.

Sedangkan Samudera mengendarai mobilnya memutari gedung, memasuki sebuah lantai di bawah tanah yang menjadi lahan parkir, dan memarkirkan mobilnya di dekat sebuah pilar besar yang ia gunakan sebagai penunjuk keberadaan mobilnya.

Samudera keluar dari mobil, bertepatan dengan sebuah getaran yang terasa begitu keras di dalam kanting celana. Ia merogoh kantung, mengambil si biang kerok yang tak lain dan tak bukan adalah telepon genggamnya. Ia menggeser tombol hijau, lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga.

“Ada apa, Ma?”

Kamu ada masalah kah? Kok sampai sekarang belum pulang?” Samudera tersenyum lebar, emang sudah biasa wanita itu selalu mengkhawatirkan dirinya. Apalagi setelah kematian sang papa. Wanita itu benar-benar akan memastikan apakah Samudera dalam kondisi baik-baik saja.

“Enggak ada masalah apa-apa kok, Mamaku yang cantik. Cuman Samudera mungkin pulang terlambat. Mau lihatin cantiknya Lautan jadi atlet anggar.”

Maksud kamu Cassiopeia?” Samudera mengangguk, walaupun mama tak dapat melihat anggukannya. Tetapi, pemuda itu langsung mengiyakan perkataan sang mama. Ia benar-benar ingin melihat Cassiopeia bermain anggar, bahkan mengantarkan gadis itu pulang dengan selamat sampai di rumah.

“Lanjut nanti lagi di rumah ya, Ma. Aku mau masuk ke tempat latihannya dulu.” Telepon langsung diputuskan secara sepihak oleh Samudera.

Pemuda jangkung itu langsung memastikan kembali apakah mobilnya sudah terkunci sebelum ia berlari kecil untuk keluar dari lantai bawah tanah. Netranya terus mencari Cassiopeia, bahkan saat ia melangkahkan kaki ke dalam bangunan bernuansa Prancis itu,

Langkah kaki Samudera yang begitu besar dan jauh membawanya ke belakang panggung yang penuh dengan bangku dan peralatan untuk pertunjukkan drama. Johan kini mengajaknya masuk ke ruangan audio yang ada tak jauh dari sana, mejutup pintu dan melipat tangannya seraya memandangi Samudera.

“Gue to the point aja lah ya, kalau lo suka sama Cassie, mundur aja. Saingan lo temennya masa kecil.” Samudera mendengus, ia melihat sesuatu yang berbeda dari Johan. Ia berjalan melewati pemuda itu untuk mendekati sound mixer, mengabsen setiap bagian satu persatu dengan jemarinya. Lalu ia mulai berbicara, “Saya bingung. Sebenarnya yang benar itu, Lautan yang suka Cassiopeia atau kamu yang suka sama Cassiopeia tapi ketolak karena sosok Lautan yang dulu selalu kamu bully?

Samudera berbalik, menatap balik Johan yang kini mulai bertanya-tanya sebab itu adalah cerita lamanya yang telah ia kubur dalam-dalam. Hanya dia dan Cassiopeia yang tahu cerita itu. Apakah gadis itu yang menceritakan kisahnya kepada Samudera.

“Kaget ya? Jujur saja, Cassiopeia tidak memberitahu saya apapun tentang kamu. Tapi, saya ingat saat lihat foto masa kecil kalian di akun Instagram Cassiopeia. Oh ini kah? Johan temannya William Fernando? Gimana kabarnya sekarang? Masih suka bully orang dan manipulasi tidak?”

Johan mencengkram kerah baju Samudera, ia berteriak tentang siapa Samudera hingga menggema di seluruh penjuru ruangan kecil itu dan mencuri keluar hingga menggema ke aula yang kosong. Samudera menyentuh kedua pergelangan tangan Johan, menariknya agar terlepas, dan berdesus, “Jangan kencang-kencang, saya tidak mau Cassiopeia tahu dan saya sangat yakin kamu bisa jaga rahasia ini kalau dilihat-lihat. Saya pria yang William kata tidak bisa berbicara dan mainan pasir seperti anak perempuan. Dan sayalah orang yang selalu gadis itu sebut Lautan.”

Ucapan Samudera barusan membuat Johan kini terbatuk, ia terkejut saja, jikalau korban perundungannya dahulu justru berada tepat di depannya dengan tampilan yang berbeda. Namun, Samudera yang sangatlah pemaaf itu justru merangkul Johan dan tersenyum lebar seakan berhasil menemukan temannya yang hilang.

“Santai aja, rahasia kamu aman, kalau semisal William nanti ganggu kamu karena dekat sama saya, bilang aja. Sesama pria harus selesaikan masalahnya, lebih baik kalau selesaikan di atas ring. Tapi janji dulu, jangan bilang ke Cassiopeia kalau saya Lautan.”

“Iye-iye gak gue bilangin. Tapi jangan buat dia sedih, ya.” “Kamu beneran suka Cassiopeia kah?” goda Samudera sembari menarik pemuda itu keluar dari balik tirai panggung, membawa pemuda itu kembali ke kelas.

Samudera dapat menebak jelas karena sikap Johan tadi saat Samudera mendapatkan hukuman dan dialah yang berdiri untuk memisahkan Samudera. Bahkan sampai di titik seorang Johan Prince menyuruh Samudera untuk mundur benar-benar membuat semua hal menjadi jelas. Bahwa Johan menyukain sosok Cassiopeia.

“Gak bisa, Sam. Gue udah ditolak lima belas kali sama dia gara-gara lo doang.” Johan menghentikan langkahnya, meraih tangan Samudera yang bertengger di bahu, dan menurunkan tangan itu sembari melanjutkan perkataan, “Samudera, tolong jaga Cassiopeia baik-baik. Walaupun dia kelihatan setangguh itu, dia itu penuh kesepian. Cuman sosok Lautan terus yang ada di otaknya.”

Johan menepuk bahu Lautan, ia tersenyum dan meninggalkan pemuda jangkungitu sendirian di serambi kelas. Samudera mengangkat lengan tinggi-tinggi, bahkan jemari kakinya juga ikut berjinjit.

Setelah ia selesai dengan perenggangan singkat itu, ia segera masuk ke kelas untuk menghampiri Cassiopeia yang masih setia duduk di bangkunya karena takut dengan jam pelajaran terakhir, yaitu sejarah Indonesia.

Gadis itu ketakutan karena sialnya, kelas mereka mendapatkan guru yang amat sangat menakutkan dan mematikan. Terkenal sebagai si penagih buku poin karena sekecil apapun kesalahan yang dilakukan murid, ia akan meminta buku poin.

“Santai aja, Cas. Muntopo izin. Jadinya jam terakhir lo bisa tidur di kelas. Tahu sendiri kan lo kalau Muntopo izin suka gak ninggalin tugas,” celetuk Johan. Cassiopeia mendongakkan kepala dan dengan gerak cepatnya, ia berbalik ke arah Johan untuk memastikan info yang baru ia dengan sebelum akhirnya ia berteriak sekencang mungkin untuk merayakan momen terindahnya untuk hari ini.

Yes! Muntopo enggak masuk! Kalau gini kan gue bisa tidur, nyiapin tenaga buat nanti latihan anggar.” Samudera terkekeh, dalam hatinya ia menahan untuk mengacak-acak rambut Cassiopeia atau minimal memcubit pipi gadis itu. Karena jujur saja, terlalu menggemaskan melihatnya berjingkrak-jingkrang gembira seperti itu.