Penjelasan Samudera
Suara dentingan piring dan suara angin yang mendesis lembut menemani kedua insan itu menikmati satu mangkok soto ayam. Sepertinya Tuhan menyiptakan sebuah situasi yang sangat indah untuk mereka berdua menyantap makanan berkuah kuning dengan suwiran ayam yang begitu hangat.
Cuaca saat ini mendung dan cenderung akan turun hujan. Jarang sekali saat mendekati istirahat kedua justru hujan gerimis turun dan membasahi permukaan bumi.
“Sam. Kenapa sih kamu hari ini kayak beda banget?”
“Beda gimana?” tanya balik Samudera yang tengah menyuap satu sendok penuh dengan nasi dan suwiran ayam sebelum akhirnya makanan itu melayang dan masuk ke dalam mulut untuk bertemu dengan enzim amilase di sana.
“Ya baik aja … tadi pagi kamu bawain tas anggar aku padahal itu berat banget, terus milih buat jalanin hukuman, dan sekarang kamu malah bayarin soto ayam gini.”
Samudera masih bergerilya dengan makanannya, ia masih mengunyah makanan itu dan jemarinya kini menggerakkan sendok mengawang di angkasa seperti anak-anak Hogwarts tengah mencoba sebuah mantra di novel Harry Potter.
Pemuda itu merampungkan makanannya, lalu meneguk teh tawar hangat yang ia pesan, dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Cassiopeia.
“Kalau yang angkat tas, gak tahu. Mukamu kayak butuh pertolongan gitu tadi di depan gerbang, terus yang bayar soto ayam ini … karena beberapa kali saya dengerin perut kamu udah orkes minta makan. Saya tebak, kamu tadi gak sarapan ya?” Cassiopeia menggeleng, apa yang dikatakan di kalimat terakhir Samudera itu tidak benar dan gadis itu meyakinkan pemuda di depannya bahwa ia tadi sarapan sebelum berangkat.
“Aku tadi makan kok! Roti tawar satu.”
“Satu doang. Kamu aja peliharanya naga bukan cacing. Ya kurang lah kalau ambilnya satu doang,” sindir Samudera. Ia merogoh kantung celananya, mengeluarkan satu permes Sugus rasa jeruk, membukanya satu, dan memasukkan benda lunak berwarna oranye itu ke dalam mulut.
Tak lupa juga, ia menyodorkan permen itu kepada Cassiopeia. Pemuda itu sangat mengenali Cassiopeia, dibuktikan dengan gadis itu yang terlonjak dan senang karena permen kesukaannya sejak kecil. Bahkan, permen itu langsung ia terima tanpa basa-basi.
“Tahu gak sih, Sam … dulu aku suka banget bawa permen ini. Terus aku bagi berdua sama temen aku, namanya Lautan. Nah, Johan suka gak terima. Jadi malamnya gitu dia nyamperin rumah aku karena rumah dia cuman lima blok dari rumahku. Minta Sugus dia,” cerita gadis itu dengan tawanya. Namun, justru Samudera merasa iri dengan teman satu kelasnya itu yang sangat dekat dengan Cassiopeia walaupun dia salah satu perundung Samudera kecil.
“Cas, saya mau nanya. Apa goals kamu dengan main anggar?”
“Lautan. Aku mau ketemu sama Lautan. Soalnya Lautan kemarin malem balik ke perumahan. Kayaknya barengan sama kamu di taman deh, kamu lihat cowok yang bawa payung hitam terus ada bercak-bercak putih konstelasi bintang gitu enggak?” Samudera menggeleng, ya iyalah dia menggeleng. Karena orang yang Cassiopeia deskripsikan saat ini adalah dirinya semalam.
“Aku tuh janji sama Lautan. Dia bakal jadi pilot dan aku jadi atlet anggar. Kemarin-kemarin aku gak mau lanjutin karena aku gak ketemu sama Lautan. Tapi, pas payung aku kembali dengan surat dari Lautan, aku jadi yakin kalau Lautan udah kembali dan dia pasti sekarang masuk sekolah pilot.”
“Enggak sih, Lautan matanya minus kebanyakan main komputer,” celetuk Samudera yang membuat gadis itu bertanya untuk memastikan. Tetapi, Samudera justru tersenyum kecil, memasang wajah bahwa ia tak berbicara apa-apa. Ia takut, kalau gadis didepannya itu tahu bahwa ia melanggar janji yang mereka ikat sewaktu berumur lima tahun. Lebih tepatnya, ia takut ketahuan oleh Cassiopeia bahwa ia adalah Lautan yang gadis itu cari.
“Tapi aku masih kepikiran kata-katanya si Olivia. Kamu ada di sana malam, terus ketemu sama Olivia, bawa payung, beberapa menit kemudian, payung aku kembali.” Samudera ketar-ketir. Dia tidak mau ketahuan saat ini.
“Kenapa kamu bisa gak ketemu sama Lautan, ya? Atau dia gak ke taman? Terus gimana dia nemuinnya? Oh iya, yang pertanyaanku kedua belum di jawab loh alasannya.”
“Yang mana? Kamu punya banyak pertanyaan soalnya.” Samudera menggeleng, gadis itu benar-benar menerapkan peribahasa malu bertanya, sesat di jalan. Sampai-sampai semua kalimat yang ia ucapkan selama perbincangan kali ini hampir di dominasi dengan kalimat tanya. Sepertinya gadis itu menjadi jurnalis di masa lalu, sampai-sampai dapat menyusun kalimat tanya sebanyak dan secepat itum
“Apa alasan kamu sekarang pilih buat jalanin hukuman, di kala kamu dapat kesempatan buat ikutin pelajaran karena kamu anak baru.”
“Simple, I don’t want privilege. Keuntungan-keuntungan itu menciptakan banyak sekali kesenjangan. Yang ada malah terjadi kecemburuan sosial antara anak lama dan anak baru. Lagipula, saya juga melakukan kesalahan, saya sekolah di sini, dengan aturan kalau anak tidak membawa buku itu hukumannya harus diluar dan tidak mengikuti pelajaran, gak ada kan di buku tata tertib berbunyi, anak baru boleh melakukan semua aktivitas sebebas mungkin selama minggu pertama sekolah?”
Samudera tersenyum miring, mulutnya setia mengunyah permen jeruk itu sebelum akhirnya ia berdiri dan mengulurkan tangan kepada Cassiopeia.
“Kamu pasti sekarang masih mikir kalau saya Lautan yang kamu cari. Makanya kamu tadi manggil saya pakai nama Lautan. Tapi cita-cita saya menjadi seorang ahli tembikar. Bukan seorang pilot. Ayo balik, sebelum bel. Kamu mau dimarahin Bu Aniek gara-gara cabut dari hukuman?” Sejujurnya, itu kalimat tersakit yang Samudera rasakan, tetapi apa boleh buat. Dia belum siap melakukan hal itu.