hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Suara dentingan piring dan suara angin yang mendesis lembut menemani kedua insan itu menikmati satu mangkok soto ayam. Sepertinya Tuhan menyiptakan sebuah situasi yang sangat indah untuk mereka berdua menyantap makanan berkuah kuning dengan suwiran ayam yang begitu hangat.

Cuaca saat ini mendung dan cenderung akan turun hujan. Jarang sekali saat mendekati istirahat kedua justru hujan gerimis turun dan membasahi permukaan bumi.

“Sam. Kenapa sih kamu hari ini kayak beda banget?”

“Beda gimana?” tanya balik Samudera yang tengah menyuap satu sendok penuh dengan nasi dan suwiran ayam sebelum akhirnya makanan itu melayang dan masuk ke dalam mulut untuk bertemu dengan enzim amilase di sana.

“Ya baik aja … tadi pagi kamu bawain tas anggar aku padahal itu berat banget, terus milih buat jalanin hukuman, dan sekarang kamu malah bayarin soto ayam gini.”

Samudera masih bergerilya dengan makanannya, ia masih mengunyah makanan itu dan jemarinya kini menggerakkan sendok mengawang di angkasa seperti anak-anak Hogwarts tengah mencoba sebuah mantra di novel Harry Potter.

Pemuda itu merampungkan makanannya, lalu meneguk teh tawar hangat yang ia pesan, dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Cassiopeia.

“Kalau yang angkat tas, gak tahu. Mukamu kayak butuh pertolongan gitu tadi di depan gerbang, terus yang bayar soto ayam ini … karena beberapa kali saya dengerin perut kamu udah orkes minta makan. Saya tebak, kamu tadi gak sarapan ya?” Cassiopeia menggeleng, apa yang dikatakan di kalimat terakhir Samudera itu tidak benar dan gadis itu meyakinkan pemuda di depannya bahwa ia tadi sarapan sebelum berangkat.

“Aku tadi makan kok! Roti tawar satu.”

“Satu doang. Kamu aja peliharanya naga bukan cacing. Ya kurang lah kalau ambilnya satu doang,” sindir Samudera. Ia merogoh kantung celananya, mengeluarkan satu permes Sugus rasa jeruk, membukanya satu, dan memasukkan benda lunak berwarna oranye itu ke dalam mulut.

Tak lupa juga, ia menyodorkan permen itu kepada Cassiopeia. Pemuda itu sangat mengenali Cassiopeia, dibuktikan dengan gadis itu yang terlonjak dan senang karena permen kesukaannya sejak kecil. Bahkan, permen itu langsung ia terima tanpa basa-basi.

“Tahu gak sih, Sam … dulu aku suka banget bawa permen ini. Terus aku bagi berdua sama temen aku, namanya Lautan. Nah, Johan suka gak terima. Jadi malamnya gitu dia nyamperin rumah aku karena rumah dia cuman lima blok dari rumahku. Minta Sugus dia,” cerita gadis itu dengan tawanya. Namun, justru Samudera merasa iri dengan teman satu kelasnya itu yang sangat dekat dengan Cassiopeia walaupun dia salah satu perundung Samudera kecil.

“Cas, saya mau nanya. Apa goals kamu dengan main anggar?”

“Lautan. Aku mau ketemu sama Lautan. Soalnya Lautan kemarin malem balik ke perumahan. Kayaknya barengan sama kamu di taman deh, kamu lihat cowok yang bawa payung hitam terus ada bercak-bercak putih konstelasi bintang gitu enggak?” Samudera menggeleng, ya iyalah dia menggeleng. Karena orang yang Cassiopeia deskripsikan saat ini adalah dirinya semalam.

“Aku tuh janji sama Lautan. Dia bakal jadi pilot dan aku jadi atlet anggar. Kemarin-kemarin aku gak mau lanjutin karena aku gak ketemu sama Lautan. Tapi, pas payung aku kembali dengan surat dari Lautan, aku jadi yakin kalau Lautan udah kembali dan dia pasti sekarang masuk sekolah pilot.”

“Enggak sih, Lautan matanya minus kebanyakan main komputer,” celetuk Samudera yang membuat gadis itu bertanya untuk memastikan. Tetapi, Samudera justru tersenyum kecil, memasang wajah bahwa ia tak berbicara apa-apa. Ia takut, kalau gadis didepannya itu tahu bahwa ia melanggar janji yang mereka ikat sewaktu berumur lima tahun. Lebih tepatnya, ia takut ketahuan oleh Cassiopeia bahwa ia adalah Lautan yang gadis itu cari.

“Tapi aku masih kepikiran kata-katanya si Olivia. Kamu ada di sana malam, terus ketemu sama Olivia, bawa payung, beberapa menit kemudian, payung aku kembali.” Samudera ketar-ketir. Dia tidak mau ketahuan saat ini.

“Kenapa kamu bisa gak ketemu sama Lautan, ya? Atau dia gak ke taman? Terus gimana dia nemuinnya? Oh iya, yang pertanyaanku kedua belum di jawab loh alasannya.”

“Yang mana? Kamu punya banyak pertanyaan soalnya.” Samudera menggeleng, gadis itu benar-benar menerapkan peribahasa malu bertanya, sesat di jalan. Sampai-sampai semua kalimat yang ia ucapkan selama perbincangan kali ini hampir di dominasi dengan kalimat tanya. Sepertinya gadis itu menjadi jurnalis di masa lalu, sampai-sampai dapat menyusun kalimat tanya sebanyak dan secepat itum

“Apa alasan kamu sekarang pilih buat jalanin hukuman, di kala kamu dapat kesempatan buat ikutin pelajaran karena kamu anak baru.”

Simple, I don’t want privilege. Keuntungan-keuntungan itu menciptakan banyak sekali kesenjangan. Yang ada malah terjadi kecemburuan sosial antara anak lama dan anak baru. Lagipula, saya juga melakukan kesalahan, saya sekolah di sini, dengan aturan kalau anak tidak membawa buku itu hukumannya harus diluar dan tidak mengikuti pelajaran, gak ada kan di buku tata tertib berbunyi, anak baru boleh melakukan semua aktivitas sebebas mungkin selama minggu pertama sekolah?”

Samudera tersenyum miring, mulutnya setia mengunyah permen jeruk itu sebelum akhirnya ia berdiri dan mengulurkan tangan kepada Cassiopeia.

“Kamu pasti sekarang masih mikir kalau saya Lautan yang kamu cari. Makanya kamu tadi manggil saya pakai nama Lautan. Tapi cita-cita saya menjadi seorang ahli tembikar. Bukan seorang pilot. Ayo balik, sebelum bel. Kamu mau dimarahin Bu Aniek gara-gara cabut dari hukuman?” Sejujurnya, itu kalimat tersakit yang Samudera rasakan, tetapi apa boleh buat. Dia belum siap melakukan hal itu.

“Gue gak salah kan ini? Ini Lautan Timoer kan?” Gadis itu berteriak dalam hati, tak menyangka saja jikalau ia menemukan kembali payung kebangaannya. Ditambah, Lautan yang ia cari justru yang mengambil dan memberikan payung itu. Ia langsung memberikan payung miliknya ke Bi Ijah. Lalu pergi keluar rumah.

“Neng! Mau kemana?” teriak Bi Ijah ketika Cassiopeia mulai berlari ke luar rumah bahkan dengan alas kaki yang berbeda satu sama lain.

Hanya satu tempat yang sangat pasti pemuda itu datangi. Kaki Cassiopeia terus melangkah begitu cepat, bahkan tubuhnya terasa begitu ringan seperti angin yang membantunya untuk tiba di sana sebelum Lautan pergi.

Ia terus berlari, tetapi saat kakinya mulai melambat dan berhenti di taman kompleks, semuanya terasa hampa. Taman bermain itu kosong dan sepi. Tak ada seseorang yang menunggunya. Tak ada seorangpun selain dirinya yang terduduk di salah satu sisi jungkat-jungkit dan menahan isak. Ekspetasi menghancurkan wanita itu, membuatnya kini menjadi sosok yang sangat menyedihkan.

“Mbak kunti mau main jungkat-jungkit, ya?” Ucapan seseorang membuat Cassiopeia mendongak, ia mendapati Johan teman satu kelasnya itu sedang tertawa mengejek sembari duduk di sisi berlawanan jungkat-jungkit dan membuat Cassiopeia terangkat ke atas. Gadis itu menghapus titik air mata, lalu menatap pria itu dan terkekeh.

“Gue bukan kunti dan gue gak mau main jungkat-jungkit sebenernya, cuman gue tadi keinget seseorang. Jadi ke sini deh. Lo sendiri ngapain malem-malem jalan sendiri?” Dengan keadaan masih bermain jungkat-jungkit, Johan mengangkat satu plastik kresek yang ia bawa. Plastik itu transparan, sehingga Cassiopeia dapat melihat obat merah dan plester luka berada di dalam plastik itu.

“Dari minimarket, beli ini buat Bunda. Biasalah si Ayah kampret balik-balik mabuk terus gebuk bininya sendiri. Lo ke sini tadi gara-gara apa? Keinget seseorang? Pasti si pendiem yang suka mainan pasir itu kan? Ngapain masih inget dia sih, Cas? Bukannya dulu dia gak pamit sama lo dan pergi gitu aja?”

Entah karena suasana hatinya yang kacau atau bagaimana, Cassiopeia justru turun begitu saja dari jungkat-jungkit dan membuat Johan terjengkang serta mengaduh kesakitan. Gadis itu menghampiri Johan yang telentang di atas rerumputan, berjongkok di dekat kepala pemuda itu, dan mengultimatumnya.

“Lo sekali lagi ngomong jelek tentang Lautan, gue cabein itu mulut. Lo lupa, Jo? Gara-gara lo dulu cepuin masalah gue yang mukul William pakai payung, payung gue dibuang ke Kali Mati. Lo dulu mana ada berusaha gitu nyebur buat ambil? Gue tanya sekarang, lo tahu gak sekarang payung itu di mana?”

“Di Kali Mati?”

“Kaga. Payungnya ada di rumah gue, Lautan nyelem itu kali buat ambil payungnya dan lo tahu alasan gue di sini? Karena payung itu kembali ke gue tadi, Jo. Tadi! Bi Ijah nemuin payung di pager, pas gue baca suratnya, itu dari Lautan dan gue yakin, Lautan pasti di sini. Makanya gue ke sini.”

Air mata kembali pecah untuk kedua kalinya, Cassiopeia terduduk di atas rerumputan dan mendekap lututnya untuk menumpahkan semua air mata yang terbendung. Realitas yang ada benar-benar mencambuk perasaan gadis itu, membuatnya tak dapat menjelaskan betapa rindunya ia kepada pria kecil itu.

“Iya-iya, gue minta maaf ya zamannya William! Udah dong, jangan nangis elo. Ntar gue dituduh yang enggak-enggak lagi sama satpam kompleks.” Johan berdiri, membersihkan pakaiannya yang terkena debu, dan membantu Cassiopeia untuk berdiri. Pemuda itu menemani Cassiopeia untuk kembali ke rumah sebab rumahnya yang satu arah dengan rumah gadis berambut keriting itu.  Setidaknya, ia dapat menemani wanita itu untuk menenangkan diri hingga sampai ke rumah.

“Jadi payung lo itu beneran balik? Katanya Olip, itu payung hoki elo buat jadi atlet anggar kan?”  Kaki mereka berhenti, tepat di sebuah tikungan depan rumah Cassiopeia dan beradu, selaras dengan netra mereka yang bersua. Cassiopeia yang dilempar pertanyaan seperti itu hanya dapat tersenyum, ia masih mengingat bagian terakhir surat dari Lautan untuknya.

Gadis itu mengangguk dan membuat Johan hanya berdecak, lalu mengulurkan tangannya untuk mengacak rambut keriting Cassiopeia. Tindakan mendadak dari Johan justru membuat gadis itu mati kutu mendadak.

“Hahahaha lucu bener temen gue, ya udah gue balik. Besok gak usah pakai lo-gue kek kalau ngomong. Masa setiap ama gue pakai lo-gue.” Cassiopeia menjulurkan lidah. Enak saja kalau harus berbicara dengan temannya yang satu itu menggunakan aku-kamu. Gadis itu menutup pintu dan berteriak dari dalam, “Pulang sana lo, Jo! Katanya mau ngobatin nyokap!”

“Iya bawel bener temen gue. Omong-omong kalau keburu-buru tuh boleh, tapi sadar sama sendal!” teriak Johan dari depan pagar rumah, membuat gadis itu sontak melihat sendal dan menepuk jidat karena sadar bahwa ia menggunakan dua sandal yang berbeda.

Cassiopeia melangkah masuk ke dalam kamar, melewati bundanya yang menatap Cassiopeia penuh tanya. Gadis itu menutup pintu kamar dan meringkuk di balik pintu, tangannya kini meraih payung hitam miliknya yang di taruh oleh Bi Ijah di atas meja dan menatap lekat-lekat benda yang sepuluh tahun lalu ia kira sudah tenggelam di dasar kali mati.

Ia berdiri, meraih surat yang ditulis oleh Samudera dan terkekeh ketika melihat dengan seksama surat yang pemuda itu tulis.

“Padahal kalau 2014 baru sembilan tahun. Bisa-bisanya udah sepuluh tahun aja.”

“Gue itu bingung sama lo, Cas … lo tuh pas awal-awal bilangnya kesel banget sama Samudera. Yang bilang dia sombong lah, sok pakai Jerman lah, terus cuek lah. Kenapa pas hari pertama sekolah, lo sendiri langsung akrab banget sama dia? Sekarang aja lo udah lihatin itu gelas tanah liat berapa jam?” omel Olivia yang tak terima dengan Cassiopeia yang terus menerus menatap gelas berwarna coklat itu sembari tersenyum.

“Gue kayak lihat sosok Lautan di Samudera hari ini.” Wanita itu menaruh gelas buatan Samudera di atas nakas, lalu berjalan menuju meja dan memandang semua sketsa Lautan yang ia buat dahulu bersanding dengan foto-foto atlet anggar, dan tulisan untuk bersemangat meraih cita-citanya menjadi seorang atlet anggar.

Olivia hanya menghela napas, tak mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh sahabatnya. Ia hanya berjalan menuju rak buku milik Cassiopeia dan meraih sebuah komik yang gadis itu susun sangat rapi walaupun tak pernah ia sentuh setelah mulai membaca novel.

“Ini lo cuman beli Kurogane-kun’s Love Lesson yang bagian pertama?” tanya Olivia. Satu detik, dua detik, tak ada jawaban dari gadis si empunya komik.

Membuatnya langsung menoleh dan mendapati Cassiopeia tengah memandang semua foto atlet anggar yang tertempel di dinding meja belajarnya, mulai dari atlet anggar luar negeri, sampai sekelas Muhammad Haerullah tertempel dengan apik di sana.

Hal itu membuat Olivia menepuk jidat, ia menghampiri gadis berambut keriting itu, dan bertanya, “Lo masih bercita-cita jadi atlet anggar biar ketemu sama Lautan?”

Cassiopeia mengerucutkan bibir, berusaha memikir apa yang akan ia lakukan, dan hanya menggeleng. Ia menoleh kepada Olivia yang menompang tubuhnya dengan tangan yang ada di atas meja dan dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajah gadis itu, ia mulai menjelaskan, “Aku gak bisa jadi atlet anggar kayaknya, payung bintang kebangaanku kan tenggelam di Kali Mati. Takut aja, kalau semisal main anggar, malah aku yang ditenggelemin di Kali Mati nanti.”

Olivia tertawa, heran dengan jawaban aneh Cassiopeia. Ia lalu duduk di atas meja belajar gadis itu, memegang bahu Cassiopeia dengan erat dan berkata dengan penuh penekanan, “Lakukan aja impian lo. Lagipula, lo cerita sama gue kan? Lo udah ikat janji sama dia. Lo jadi atlet anggar, Lautan jadi pilot yang akan nganterin elo kemanapun.”

Cassiopeia berpikir. Benar juga dengan kalimat yang diutarakan oleh Olivia. Ia sudah berjanji kepada Lautan bahwa esok, ia akan menjadi atlet anggar. Apa boleh buat? Ia harus mencoba sesekali untuk menjadi seorang atlet. Tapi, harus darimana ia mengejarnya?

“Udah gampang. Sekarang, ya … lo itu harus belajar, perbaiki peringkat elo di kelas biar bisa masuk ke sekolah atlet. Oke? Oke? Gue mau balik. Udah maghrib ini, ntar nyokap gue ngomel lagi,” tutur Olivia yang mengeluarkan kunci motor dari kantung celana abu-abunya. Benar-benar tak terasa bahwa hari sudah berganti menjadi petang. Bahkan suara teriakan anak-anak kompleks sudah tak terdengar lagi.

Cassiopeia mengantarkan sahabatnya sampai ke depan pintu rumah, membiarkan gadis itu menyalakan motor matik, dan pergi begitu saja meninggalkan rumah Cassiopeia sebelum gelap menyelubungi langit.

Kini Cassiopeia kembali sendiri, Bunda masih sibuk dengan pekerjaannya di stasiun televisi. Tak tahu sampai kapan akan kembali. Jadilah, ia menghampiri dapur untuk mengambil kudapan yang ia simpan di dalam kulkas.

Emangnya Lautan masih kepikiran tentang cita-citanya jadi pilot?” ujar batin Cassiopeia sembari mencomot satu persatu kudapan rasa cokelat itu. Tetapi justru bayang-bayang Samudera justru menganggu pikirannya.

“Aish! Apaan sih tuh anak malah lewat di kepala mulu. Belajar aja deh.” Gadis berambut keriting yang tengah ia jepit itu mengrutuki dirinya sendiri sembari mengacak-acak rambut.

Dengan kudapan yang setia ia kunyah, ia mulai mengambil buku matematika dan mengerjakan beberapa latihan soal. Lagipula walaupun dia tidak masuk menjadi atlet, dia harus menjaga nilainya bukan?

Sepertinya Dewi Fortuna berpihak kepadanya ketika kaki pemuda berpawakan cukup tinggi itu menginjak sebuah perpustakaan milik kedutaan besar Belanda.

Pemuda yang kala itu berjalan menyusuri rak buku dengan novel berjudul Trots en Vooroordeel, justru tak sengaja menabrak seorang gadis manis hingga semua buku jatuh dan berhamburan, termasuk buku Pride and Prejudice dalam bahasa Belanda yang ia genggam.

“Ma-maaf,” ucap gadis itu sembari berusaha memungut satu persatu buku novel miliknya yang begitu tebal. Tetapi, atensi Samudera tertuju kepada kalung yang teruntai keluar dari kaos putih yang gadis itu kenakan. Cincin yang menjadi liontin itu rasanya sungguh tak asing bagi Samudera. Sebuah cincin yang memiliki dua lapis dan disandingkan oleh sebuah liontin inisial C yang gemerlap.

Samudera meraih buku miliknya, menuruni anak tangga melingkar, lalu beranjak ke salah satu kursi berwarna biru dongker yang berada di dekat jendela putih yang cukup tinggi itu. Suasana di luar yang tengah diguyur hujan, ditambah dengan sebuah bacaan benar-benar membuat pemuda itu merasa tenang. Akan tetapi, gadis yang bukunya menjunjung tinggi itu merasa tak terima karena tak ada satu kalimat maaf yang terlontar dari bibir Samudera. Hal itu benar-benar membuatnya kesal dan memilih untuk mengikuti pria asing itu ke tempat duduk sembari menatap Samudera yang matanya mulai menjelajah di setiap baris kalimat di novel itu.

Sorry, Sir. Can you speak Indonesian? Or Dutch maybe?

Ich spreche Deutsch. Wenn Sie hier sind, um Ihre aufgetürmten Romane zu lesen, seien Sie bitte ruhig, ” ucap Samudera yang kira-kira berartikan bahwa ia berbicara dalam bahasa Jerman dan memohon gadis itu untuk diam. Alhasil, Cassiopeia terdiam dan mengurungkan niatnya untuk memarahi pria itu.

Tetapi Samudera terkekeh dalam hati. Gadis itu masih sama seperti dahulu, ramai dan menggemaskan. Samudera membalik halaman, sembari iris coklatnya yang berusaha mencuri pandang kepada wanita yang kini bergulat dengan buku-buku tulis dan Post It yang berwarna-warni, dan juga dengan novel yang ia bolak-balik secara cepat.

“Lebih baik di meja sana aja,” celetuk Samudera yang langsung berdiri dan pergi sebelum gadis itu menyadari bahwa ia dapat berbicara bahasa Indonesia. Intinya, Samudera kini tahu, jikalau ia menemukan tempat bermain gadis yang dahulu memakai pakaian overall yang menggemaskan.

“Cassiopeia, semoga kita bertemu lagi,” ucap batin Samudera ke meja perpustakawati untuk meminjam buku novel Trots en Vooroordeel dan membawanya pergi keluar sembari jemarinya yang setia mengetik sesuatu untuk ia unggah di Twitter pribadinya.

Senyuman masih tersimpul rapi di wajah Samudera tatkala mobil Avanza hitam yang tak lain dan tak bukan adalah taksi online yang ia pesan mulai berjalan menjauh dari gedung berwarna putih dengan nama yang diambil dari nama seorang pastor Belanda. Samudera benar-benar jatuh cinta untuk kedua kalinya kepada gadis itu, walaupun rambut Cassiopeia tak terkepang dua sekalipun.

JUNI 2017

Gemuruh riuh petasan memenuhi telinga, membiarkan pria bergigi kelinci itu menatap langit yang penuh akan kembang api yang bermekaran dengan indah. Suara tabuhan bedug dengan klakson motor yang memenuhi gendang telinga benar-benar menjadi hal yang tak asing bagi telinga pemuda itu di setiap tahunnya.

Arak-arakan kali ini memang sangat spesial, walaupun dirinya tak merayakan hari raya. Namun setidaknya, ia berada di depan rumah, menikmati kembang api yang ia beli tadi di mamang penjual petasan.

“Namamu siapa sih sebenarnya? Lautan kan?”

Pria itu mengangguk. Ia hanya menurut ketika gadis itu setiap kali menyinggung namanya. Sebenarnya, kedua orang tuanya memberikan nama Samudera Timoer, namun mereka selalu memanggilnya sang Timur. Berbeda dengan teman-teman sekelasnya memanggil pemuda itu, Samudra.

Sedangkan gadis yang asyik bermain dengan kembang api itu memanggilnya dengan nama Lautan. Iya, Lautan. Katanya dahulu setiap kali melihat name tag nama Timur, ia selalu teringat dengan kata timur laut. Benar sekali, itu salah satu nama penunjuk arah di kompas, letaknya berada di antara utara dan timur.

Omong-omong, siapa gadis mungil yang sangat berisik itu? Dia adalah Cassiopeia, gadis yang ia temui ketika menjadi sukarelawan saat acara sahur on the road kemarin.

“Cassie, saya mau bicara sesuatu.” Pria itu memasang wajah datarnya sembari menarik satu bangku, meraih satu jagung yang dibakar oleh teman yang juga menjadi sukarelawan. Johan yang membakar jagung itu tak terima, dengan gaya seperti ibu kos yang menagih utang. Ia memarahi Samudera yang melahap jagung bakar tanpa dosa.

“Itu buat anak-anak sahur on the road yang sekarang takbiran.”

“Ya kan masih banyak itu, Johan … kalau kurang nanti biar aku ambilin lagi di mobil, masih ada itu jagungnya. Lagian ya, kamu bakar gosong gitu. Lihat tuh, si Lautan makan arang itu … bukan jagung,” celoteh Cassiopeia yang tak terima ketika netranya menangkap bagaimana pria itu melahap jagung yang hangus dengan gigi kelincinya.

“Cassie … dengarkan saya dahulu. Sini,” tukas Samudera sebelum gadis itu berceloteh panjang tentang cara Johan membakar jagung. Karena saat ini, ia berkejaran dengan waktu sebelum teman-temannya yang ikut takbiran tiba dan berpesta ria dengan jagung. Cassiopeia menurut, ia duduk di bangku plastik yang ditepuk oleh Samudera, dan beradu netra dengan coklatnya bola mata Samudera.

“Saya masih ingat sama pernyataan rasa kamu minggu lalu. Saya masih bisa jawab tidak?”

Manusia mana yang tidak bahagia ketika sebuah jawaban yang awalnya tak terpikirkan dan dilupakan karena tak kunjung dijawab, justru menjadi topik pembicaraan. Begitulah sekiranya yang Cassiopeia rasakan saat ini, ia benar-benar tak sabar ketika pria itu mulai memancing pernyataan rasanya yang terlupakan jikalau sudah ia utarakan.

“Jadi begini … saya sebenarnya juga suka sama kamu, Cas … tapi saya bisa minta waktunya tidak?” Pemuda itu menurunkan jagung yang ia santap, lalu mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin cincin yang begitu indah.

“Setiap kamu memanggil saya dengan nama Lautan Timoer, saya selalu teringat dengan gadis penguasa ayunan yang dahulu sering sekali membantu saya ketika anak laki-laki mulai menganggu saya dengan melempar pasir atau merebut paksa permen yang saya bawa. Liontin ini … terinspirasi sama kalungnya dahulu. Katanya itu cincin lamarabn bundanya yang tidak cukup. Makanya, sama bundanya dipakaikan sebagai kalung. Saya kehilangan gadis itu ketika Papa dipindah tugaskan, dan akhirnya di acara ini. Saya kembali menemukan gadis itu,” tutur Samudera yang kini menarik kedua ujung bibir dan membentuk sebuah sabit yang menawan melebihi rembulan.

“Maksudnya?” tanya Cassiopeia yang terus memutar semua kenangan, dan jadi teringat kembali dengan pemuda kecil yang tampak seperti orang kaya dari penampilannya. Pria kecil itu mengenalkan diri sebagai Lautan. Membuatnya kini menatap lekat netra Samudera untuk mencari jawaban di dalam lautan coklat iris mata pemuda manis itu.

“Cassiopeia, terima kasih ya sudah menjadi malaikat pelindung saya. Tapi, saya minta waktunya bisa? Saya mau ke Swedia, melanjutkan studi saya di sana sekitar lima tahun. Kamu bisa menunggu saya, tetapi kalau kamu menemukan cinta sejatimu, belahan jiwamu, kamu bisa merelakan saya. Tetapi saya berjanji, saya akan menemuimu.”

Tangan Samudera terjulur, ia memberikan kalung itu ke tangan Cassiopeia dan menutupnya hingga cincin itu tergenggam di tangan gadis itu. Ia tersenyum, merasa lega setelah mengeluarkan semua perasaan yang ia pendam.

“Berangkat kapan?”

“Besok. Besok pagi jam enam. Kamu gak usah datang, saya gak tega buat meninggalkanmu sendirian di sini kalau kamu menangis di bandara hanya demi mengantarkan saya. Mau saya pakaikan tidak kalungnya?”

Sure! Boleh kok,” ucap Cassiopeia sembari memberikan kalung itu. Bukannya ia memasangkan kalung itu ke leher Cassiopeia, justru Samudera menunjukkan sisi dalam dari cincin itu. Sebuah ukiran di atas cincin emas putih, bertuliskan

Bintang utara & Timoer laut

Cassiopeia tertawa, kenapa cincin itu bertuliskan bintang utara dan timur laut? Benar-benar Samudera selalu membuat gadis itu terkejut dengan keajaibannya. Tetapi, Samudera selalu memiliki filosofi yang indah di setiap kalimat yang ia utarakan secara tertulis, Cassiopeia adalah sebuah rasi bintang yang bersinar di langit utara, bertepatan di sebelah kiri timur laut. Sangat mengejutkan bukan? Begitulah Samudera, selalu penuh kejutan!

Samudera mengenakan kalung itu di leher Cassiopeia, sedangkan bibirnya kini bergerak untuk berkata, “Sebenarnya nama saya Samudera. Tapi, saya dari kecil suka kata laut daripada samudra. Maka dari itu, saya senang sekali ketika kamu memanggil saya Lautan. Jujur saja, hanya kamu yang memanggil saya Lautan dari umur lima tahun sampai sekarang.”

Bertepatan dengan itu, seuara bising kendaraan mulai memadati pelataran rumah Samudera. Banyak pemuda yang mengenakan baju koko, sarung yang disampirkan di bahu, dan pemudi yang masih memakai mukena benar-benar membuat suasana menjadi kian ramai bukan main. Cassiopeia menyembunyikan liontin cincin itu di dalam kaos, dan berkata kepada Samudera, “Aku bakal nungguin kok, mau kamu Lautan, mau kamu Samudera, tetap kamu yang saya nantikan kapanpun itu. Udah ya, mau gabung sama yang lain.”

Gadis itu mengikat rambutnya, lalu berjalan mendekati kerumunan para pemudi yang mulai mengeluarkan sosis dan bakso untuk dibakar menemani jagung hangus hasil karya Johan.

“BAHAHAHA INI ULAH SIAPA?” ujar Afifah yang mengangkat tinggi-tinggi jagung bakar Johan. Gelak tawa gadis itu mengudara bahkan membuat sang pencipta mahakarya langsung berlari dan meraih jagung bakar itu sebelum terpampang di story Instagram anak-anak yang memadati meja dan pemanggang. Malam itu mereka habiskan dengan canda tawa, bermain permainan ponsel maupun PlayStation, bercengkrama, dan menyantap semua hidangan yang disajikan hingga habis tak tersisa.

Namun, malam itu menjadi malam terakhir untuk seorang Cassiopeia, karena paginya ia hanya terbangun di kamar pada pukul sepuluh dan tak dapat menghubungi Samudera sama sekali. Pemuda itu benar-benar terpisah jarak dengannya. Bukan hanya terpisah jarak, namun waktu dan benua.


LIMA TAHUN KEMUDIAN

“Kalian gak ada acara sahur on the road lagi kah?” tanya Cassiopeia kepada tongkrongan yang ia kenal setelah acara sahur on the road lima tahun lalu itu. Afifah, Rizky, dan beberapa teman lainnya kini menatap sidang isbat yang disiarkan melalui stasiun televisi. Menantikan apakah hari ini atau besok mereka akan mepakukan puasa.

“Gak tahu gue, Cas. Emangnya kenapa sih? Kangen sama Samudera, ya?” sindir Afifah yang kini bersorak sebab puasa yang mundur menjadi hari Minggu. Setidaknya, besok ia dapant maraton drama Korea sepuasnya. Sedangkan Cassiopeia kini menatap ponsel yang menampilkan ruang obrolan Samudera. Sejak kemarin, pemuda itu tak dapat ia hubungi. Bahkan pesannya tak terkirim. Benar-benar membuatnya bingung setengah mati.

Sampai di pagi hari, pikiran tentang menghilangnya Samudera benar-benar menganggunya. Akan tetapi, ia harus bersikap profesional ketika mengajari anak-anak sekolah dasar, cara membuat sebuah tembikar dengan tangan. Sedangkan seorang pria kini menatap gadis itu dari luar jendela, berdiri di daun pintu dengan tangan yang terlipat, sembari menatap Cassiopeia yang masih setia mengajarkan anak muridnya yang bersusah payah dengan tanah liat.

“Hobi baru, ya. Bikin tembikar. Tapi sayang, tangan kamu kaku sekali, Ibu guru.” Kalimat itu sukses membuat satu kelas menoleh, bahkan Cassiopeia benar-benar terkejut dengan kehadiran pemuda yang ia tunggu-tunggu dari kemarin.

“Bu Guru! Itu Kakak yang dari Swedia itu bukan?”

“Kok kamu tahu, anak manis? Apakah Ibu gurumu menceritakan tentangku?” Samudera melangkah mendekati bangku mungil gadis kecil dengan rambut yang terkepang menjadi dua, ia berlutut, membersihkan cemong tanah di pipi gadis itu sembari tersenyum dan memamerkan gigi kelincinya yang begitu manis.

“Iya! Katanya Bu Guru lagi nunggu tunangannya Kak Lautan Timoer, dia lagi pergi jalan-jalan di Swedia.” Samudera menatap Cassiopeia, ia berutang pertanyaan tentang apa saja yang gadis itu ceritakan tentang dirinya. Lalu Samudera mengusak rambut gadis kecil itu, lalu berpamitan untuk keluar, dan menunggu Cassiopeia sampai kelasnya berakhir.

“Lucu banget si Cassie ... sampai mereka kenal saya ….” Pemuda itu terkekeh dalam gumaman, wanita itu benar-benar menunggunya hingga lima tahun lamanya.

“Lama banget kah?”

“Besok mau sahur on the road gak? Bagi-bagi ke orang-orang sekitar kompleks rumah sama sekitar sini.” Sepertinya sahur on the road kali ini akan menjadi tempat seorang Cassiopeia dan Samudera Timoer bermadu kasih. Ya sudahlah, biarkan saja mereka menikmati asmaralokanya sebelum mengikat janji sehidup semati.

Sorak sorai manusia kini memenuhi telinga kedua insan yang saling beradu pandang. Rasanya tak asing tatkala pandangan mereka saling bersua di kala suasana gembira para penonton acara bola atas kemenangan negara mereka di turnamen.

Long time no see, Helga,” tutur sang adam kepada gadis di sebelahnya itu. Sang empunya nama hanya tersenyum, lantas menyibakkan rambut panjangnya ke belakang telinga walaupun akhirnya surai hitam itu kembali turun menutupi wajah cantiknya.

Malam itu semua rasa kembali mengudara: rasa bahagia, suka, duka, dan segala jenis perasaan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Helga sangat merindukan pria itu. Ia rindu dengan tatapan sang adam seolah-olah tengah melihat semestanya.

“Yale! Lo mau minum ka— Oh, sorry-sorry, gue ganggu. Lanjutin aja.” Suara bariton itu menjauh, ketika melihat wajah Helga dan pria bernama Yale itu sudah mendekat. Hanya butuh satu inci lagi hingga kedua hidung mancung itu saling beradu satu sama lain.

Suasana semakin canggung semenjak kepergian teman Yale. Membuat kedua insan yang sedang reuni hati itu berdeham dan berusaha untuk asyik dengan dunianya masing-masing.

Mereka sebenarnya ingin sekali melepas semua ikatan canggung. Terutama Yale; dia ingin sekali menghabiskan waktu untuk mengulik kisah mereka menjalani dunia setelah berpisah.

Hingga sebuah ciuman mendarat di pipi mulus pemuda berwajah oval itu. Yale menoleh, mendapati Helga sang pelaku yang tertangkap basah tengah tersenyum tepat di depan wajahnya.

I miss you, news anchor Yale.

Padahal hanya satu kecupan hangat di pipi, namun entah bagaimana, wajahnya kini merasa begitu panas. Iris hitamnya masih menaruh atensi yang penuh kepada Helga. Berusaha untuk memastikan hatinya yang melonjak kegirangan.

Yale mendekatkan wajahnya, begitu dekat, hingga ia dapat merasakan dan mendengar deru napas Helga.

Hingga tangan panjang pemuda itu terulur dan melingkar ke tengkuk gadis pujaan hatinya. Tanpa basa-basi, ia menarik leher sang wanita dan mencium lembut bibirnya.

Yale melepas tautan bibir, terkekeh, dan mengacak rambut Helga dengan manja. Memang ya, ciuman selalu sukses membuat seseorang di mabuk kepayang. Bahkan Helga saja mati kutu dan tak dapat mengatakan apapun.

“Sebenarnya aku masih sayang sama kamu, Ga. Tapi aku takut, bagaimana jika aku menjadi seseorang yang menikammu dari belakang?”

Helga tersenyum, ia menangkupkan kedua pipi lelaki di depannya, mengumpulkan keberanian sebab ia kembali merasakan sesak di dalam dada, sembari berusaha untuk menyusun setiap kalimat yang ingin ia utarakan.

“Yale ... menjadi profesional adalah hal yang paling dibutuhkan saat ini di dunia kerja. Bukan artinya kamu itu menusuk seseorang dengan berita yang kamu bawakan, tetapi hal itu yang menjadi bentuk tanggung jawab.” Helga mengusap pipi Yale, lalu melanjutkan kalimatnya, “Jangan sampai kamu merasa takut untuk memulai suatu hal hanya karena profesionalitasmu. Itu justru yang membuatmu jatuh dan tenggelam di dalam ketakutan yang kamu buat. Paham?”

Ciuman di pipi itu kini berubah menjadi sebuah topik pembicaraan yang hangat diantara kedua insan yang tengah bermadu kasih. Mereka mulai bercerita tentang hari-harinya akhir ini.

“Aku bahagia bisa kenal dan menjadi secuil bagian dari kisahmu, Helga.”

“Lo ngapain sih bawa buku setebel gitu kalau akhirnya cuman buat bantal?” Maggie terkejut dengan kehadiran pemuda bawel itu.

“Rafaellll lo bisa gak sih, kaga ujug-ujug nongol? Kaget gue.” Pemuda itu terkekeh, mengacak rambut gadis itu dan pergi ke salah satu rak buku. Namun, pemuda itu tak kunjung kembali dan membuatnya khawatir.

“El ... lo di mana?”

Maggie terus berjalan, mengintip sosok pria dari balik rak buku hingga suara cekrekan kamera membuatnya terkejut.

“Cantik. Gue boleh minta tolong jadi model gue kaga?” Abisatya muncul, dengan kamera poketnya yang diberikan oleh Raynard.

Seperti tersihir, gadis itu sangat terpana akan wajah mungilnya hingga ke rahang tegas milik Abisatya. Benarkah ini manusia atau tokoh fiksi?

“Gimana? Mau gak?”

Maggie celingukan, hingga ia menemukan Rafael yang tengah berbicara dengan seseorang. Membuatnya menggeleng, menolak penawaran pria asing itu, dan berlari menarik Rafael.

“Kenalin nih, Gi. Namanya Abiyouga. Temen gue pas dulu gue tinggal di Amrik.” Wanita itu sedjkit menyadari, betapa miripnya wajah pria bernama Abiyouga itu dengan pria asing yang memotretnya. Sampai akhirnya suara pemuda itu memasuki indranya seturut dengan suara langkah kaki yang mendekat.

“Lah Gee—eh salah, siapa nama lo? Lupa gue,” ucap Abisatya yang langsung meralat ucapan, ia menjentikkan jemari, menunggu Rafael menjawab.

“Rafael Giandaru.”

Alright! Rafael Giandaru. Lo kapan main ke rumahnya Ray?” Maggie tak paham dengan situasi ini, tiga pria mulai berbicara sesuatu yang ia tak ketahui. Wanita itu berjalan mundur, berusaha untuk kembali ke mejanya dan Rafael menyadari gerak-gerik wanita itu.

“Kenalin, Maggie. Temen dan mungkin sekaligus adek. Dia yang nampung gue belakangan ini.”

“Oh! Lo yang tadi nolak jadi model. Ternyata oh ternyata ... kenalin, gue Abisatya.”

Sial! Maggie saat ini sudah dalam kondisi terjebak dengan Rafael serta dua orang temannya yang kembar. Semoga saja ia dapat menyelesaikan skripsinya.

Wangi vanilla yang manis berbaur dengan aroma jasmine kini menyapa indra penciuman Sherina. Bahkan, aroma biji kopi yang tersangrai saja kalah kuat dengan dua aroma yang mendominan itu.

Sherina berjalan mendekati meja kasir, memberi sebuah senyuman kepada pemuda yang berdiri di balik meja kasir.

“Aku boleh minta hot chocolate signature satu? Dine in aja.”

“Atas nama siapa?” Pemuda itu menatap Sherina lekat-lekat. Bahkan senyuman juga merekah baik di bibirnya maupun kelopak matanya.

“Sherin. S-H-E-R-I-N.” Sherina mengeja satu persatu namanya, karena ia pernah mengalami bagaimana orang kafe selalu salah menulis namanya.

Sherina memberikan selembar uang berwarna hijau, lantas berjalan meninggalkan meja kasir untuk mencari posisi Husain saat ini.

“Ayang bocilkuuuu!” Baru juga Sherina muncul dari balik rak buku, Husain sudah langsung memeluk gadis itu erat-erat hingga tubuhnya hampir terangkat. Membuat gadis itu langsung melepas pelukan Husain secara paksa, walaupun sedikit ada kekerasan sih.

“Ih apaan sih! Malu gue.”

“Sesekali kek lo romantis gitu. Gue lagi baik loh sama lo.” Baru juga perdebatan akan muncul di antara mereka, Reza dengan sigap langsung berdeham. Seakan-akan memberi tahu mereka bahwa ada satu nyamuk yang Husain bawa bersamanya.

“Kok ada lo, Za?”

“Napa? Gak suka? Lagipula suntuk gue belajar di kamar mulu. Gue mau belajar di sekolah juga takut, efek nonton drama korea A-Teen yang hantu bolpoin itu anjir. Gue jadi takut.”

Husain merangkul sang kekasih, lantas meninju lengan mungil Reza, dan berkata “Cupu lo mah, Jak. Ga heran gue.”

“Oh iya, Sher. Ini PUBG mau ada event, gue izin ngajak pacar lo main dulu ya.”

“Kok? Kok gitu Sen ....”

“Bentar doang, sejam.”

“Satu jam?!” Tamatlah sudah riwayat Husain. Mana Reza mulai berjalan menaiki tangga perlahan-lahan lagi.

“Lo gak bisa gitu dong, Sen. Gue harusnya juga lo ajak. Ayo! Main dulu dua ronde. Habis itu ajarin gue.” Husain tersenyum, tak menyangka bahwa kekasihnya juga akan ikut bermain.

“Emang lo rank apa?” Reza tiba-tiba muncul setelah mendengar ucapan Sherina untuk ikut. Karena pemuda itu tak ingin memiliki teman satu tim yang menyusahkan.

“Master.” Sudahlah. Kedua pemuda itu hanya dapat menganga tak percaya.

“Kok lo ga pernah ngajak gue sih, Sher ... gue sama Rejak masih di diamond.”

“Noob kalian mah. Ayo buruan, gue mau belajar juga ini.” Sherina mengenggam tangan Husain dan segera naik menuju lantai dua. Tak peduli akan barista yang memanggil namanya sedari tadi.

Sepertinya, akan ada rencana yang gagal dan menjadi sebuah wacana semata. Karena ketiga bocah itu mulai heboh di depan PC dan menembaki musuh.

“Rejak anjing lo. Gak usah ikut-ikut gue dong.”

“Apaan sih, orang gue numpang naik doang.”

“Kalian berdua lama bener. Sini biar gue aja yang nyetir.”

“Kok cemberut sih? Gak suka lo?” Husain menatap Sherina yang masih setia mengobok-obok bakso Malang menggunakan sendok.

“Udah siang, katanya anak kecil kalau jam sebelas udah harus makan biar cepet tumbuh. Makan gih,” ucap pemuda itu sembari mengusap rambut Sherina dengan lembut.

“Kemusuhan gue sama lo. Bisa-bisanya bilang bakso aci padahal bakso Malang.”

“Iya-iya maaf ayang. Ntar gue beliin martabak nutela deh. Kesukaan lo kan?” Sherina mengangguk, namun gadis itu malah menawar kepada pria di depannya itu.

“Sama es krim Cornetto Oreo tapi. Kalau martabak doang mah gue maafin separo.”

“Yeuuuu malah malak.” Husain menoyor gadis itu dan dibalas dengan cengkraman kuat di salah satu tangan Husain sampai pemuda itu mengaduh kesakitan.

“Iye-iye, gue beliinnnnn. Susah bener gue punya cewek tampang SMA isinya masih SD.” Husain hanya mengelus tangannya yang memerah dan tertegun ketika Sherina menempelkan gelas es tehnya ke telapak tangan Husain.

“Maaf buat tangan lo. Sakit kah?”

“Sakit. Lo sukanya kejam banget sama gue.” Kini gantian Husain yang mengerucutkan bibir dan membuat Sherina tertawa. Namun, justru Husain tersenyum saat melihat senyuman Sherina yang begitu merekah.

“Gitu dong. Kan cantik kalau senyum.”

“Bisa gombal juga ternyata.”

“Ajarannya Reza. Dia kan pakar cinta walaupun jomblo karatan. Udah sini gue suapin aja makan lo.”

“Ayo jadian ... sama gue.” Sherina mendadak menjadi kikuk, satu hari ini sudah cukup aneh melihat ulah Husain yang cukup random dan tidak tertebak.

Gadis itu mendongakan kepala, menatap netra cokelat Husain yang menenggelamkan. “Lo beneran?” tanya Sherina perlahan-lahan.

Namun, raut wajah serius Husain mulai berubah menjadi sangat menyebalkan, pemuda itu terkekeh dan menatap Sherina sembari tertawa.

“Tapi bohong! Ha ha ha. Ya ampun, lo seriusan percaya gue suka sama lo?” Husain mendekat, membiarkan aroma peony, mawar, dan leci menyerebak ke indra penciuman Sherina.

Wajahnya nampak seperti orang khawatir dan membuat Sherina bertanya-tanya dengan pemuda itu. Entah mengapa, jantungnya terasa ingin meledak ketika Husain semakin mendekat setiap inci.

“ADUH! SIALAN!” Wajah khawatir Husain kembali berubah ketika Sherina menginjak kaki pemuda itu dan mendorong Husain untuk menjauh dari dirinya.

“Gak usah sok peduli! Dan gak lucu prank lo itu, Sen. Jangan ganggu gue, atau gue geprek lo.” Gadis itu berlenggang pergi, meninggalkan Husain sendirian sembari menatap kepergian Sherina.