Menyelesaikan Segalanya atau Merusak Segalanya?
Lagu yang dinyanyikan oleh Reza Oktovian sebagai lagu pernikahannya dengan sang kekasih masih setia terputar dalam mode on repeat ketika Elion mengendarai mobil Jeep putih nan gagah itu untuk membelah kota yang mulai memadat oleh karyawan dan anak sekolah.
Suasana hati pemuda itu sangat berbanding terbalik dengan suasana yang disajikan oleh lagunya saat ini. Nampak bagaimana Elion mencengkram begitu erat stir kemudi hingga kukunya memutih.
Gue bakal nyelesaiin kontrak ini, atau malah bikin masalah lagi? Elion masih berpikir, bisa dikatakan jikalau kini otaknya berisi benang yang semrawut dan kusut. Dia harus mencari ujungnya untuk menyelesaikan semua masalah ini.
Namun, Elion tetaplah Elion. Pemuda itu tak menemukan ujung yang menjadi benang masalah ini, dan ia memilih untuk meraih gunting untuk memotong benang itu.
Elion menatap sepucuk surat yang ia letakkan di dasbor mobil sebelum kembali menatap jalanan, menghela napas begitu berat, dan menenangkan dirinya.
“Semuanya akan baik-baik saja, Elion. Yang terputus dari hasil keputusan lo buat motong itu cuman satu. Hubungan lo sama agensi.” Elion meyakinkan dirinya dan memasang sebuah senyuman saat roda rangka mesin besi itu menyentuh pelataran gedung Bhumi Entertaiment.
Pemuda itu menatap bangunan dengan arsitektur yang penuh dengan kaca itu dengan seksama. Membawa kembali kenangan pertama kali akan bangunan ini.
“Eli! Kita berhasil! Ini kantor kita!” “Kalau gitu, gue harus dikasih ruangan khusus dong ... di basement, harus ada permainannya minimal basket gitu.” “Tenangggg ... nanti gue kasih lapangan tenis di basement juga bisa.” “Kalau bisbol? Atau kriket?” “Mimpi aja dulu hahaha.” “Hahahahaha.”
Elion tersenyum ketika percakapan itu terputar kembali di benaknya. Sangat manis, namun juga menyedihkan baginya.
Hingga sebuah ketukan di kaca jendela mobil mengejutkannya. Sebastian kini berdiri di sebelah pintu ketika Elion menurunkan kaca mobil. Pria itu menatap Elion penuh heran.
“Baru sehari saya tinggal, sudah ada kantong mata aja kamu,” ucap Sebastian yang terkesan menyindir. Ternyata, efek Elion yang tidak tidur semalam mencetak sebuah kantung mata yang sedikit terlihat jelas.
“Beneran kah? Gue pake concealer aja dulu.” Elion membuka dasbor, mencoba untuk meraih concealer yang selalu tersimpan di sana, entah untuk Anna gunakan, atau dirinya gunakan saat penata rias lupa untuk membawa concealer.
“Gak usah. Udah ayo!” Sebastian membuka pintu mobil itu, lantas menarik tubuh Elion yang sedikit ringan daripada sebelumnya.
“Kenapa lo mutusin buat keluar, El?” Regaz kini menatap surat pengunduran diri Elion dengan seksama. Semburat marah yang bercampur dengan keterkejutan masih nampak di bola matanya.
Pemuda itu tak habis pikir dengan apa yang anak buahnya lakukan saat ini. Bisa-bisanya dia memilih untuk keluar agensi, ketika dirinya telah dinantikan oleh banyak orang.
“Karena gue merasa, Bang. Gue gak kenal sama Bang Regaz yang saat ini. Dulu, dia mau jatuh bangun dan paling penting ini ....” Elion menggesek ibu jari dengan telunjuknya, “ ... gak mikirin duit, duit, dan duit terus.”
“Ohhh gue tahu ... karena lo gak dapet peran dokter itu?”
Elion menggeleng, bukan itu yang ia pikirkan saat ini. Pemuda itu berdiri, lantas berjalan mendekati jendela yang menyajikan pemandangan kota yang masih padat.
“Gue sampai kapanpun gak bakal dapet job selagi lo masih jadi bonekanya Florentina.” Pemuda itu berbalik badan, melipat tangan, dan menatap Regaz tak kalah tajamnya.
“Gue juga merasa ... lo udah dapet uang yang cukup buat bangun agensi ini. Gak perlu lagi kehadiran gue.” Elion berjalan ke depan meja Regaz, lantas membungkukan tubuhnya sembilan puluh derajat. Sebelum pergi keluar dari ruangan itu.
“Eli!” Satu rangkulan hangat pemuda itu terima ketika ia menuruni anak tangga. Tian menatap pemuda itu dengan bangga. Entah mengapa, dirinya sangat paham dengan segala sesuatu yang menjadi kekhawatiran pemuda yang ia anggap layaknya seorang adik sendiri.
“Udah gak usah formal, Bang. Lo dan gue bukan terikat hubungan kerja lagi.”
“Oke-oke, bakal pake gue-lo. Sekarang lo balik kerja?” Elion mengangguk, walaupun dia merasa sangat kantuk sekalipun. Tetapi kerja tetaplah kerja bukan?
Sebastian meraih kunci mobil di genggaman Elion, lantas masuk ke kursi kemudi.
“Karena gue juga ikut keluar, mobil gue juga kembali ke perusahaan. Jadi biarkan gue jadi sopir elo kali ini. Lo bisa tidur dulu, nanti gue bangunin seperti biasanya.”