hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Lagu yang dinyanyikan oleh Reza Oktovian sebagai lagu pernikahannya dengan sang kekasih masih setia terputar dalam mode on repeat ketika Elion mengendarai mobil Jeep putih nan gagah itu untuk membelah kota yang mulai memadat oleh karyawan dan anak sekolah.

Suasana hati pemuda itu sangat berbanding terbalik dengan suasana yang disajikan oleh lagunya saat ini. Nampak bagaimana Elion mencengkram begitu erat stir kemudi hingga kukunya memutih.

Gue bakal nyelesaiin kontrak ini, atau malah bikin masalah lagi? Elion masih berpikir, bisa dikatakan jikalau kini otaknya berisi benang yang semrawut dan kusut. Dia harus mencari ujungnya untuk menyelesaikan semua masalah ini.

Namun, Elion tetaplah Elion. Pemuda itu tak menemukan ujung yang menjadi benang masalah ini, dan ia memilih untuk meraih gunting untuk memotong benang itu.

Elion menatap sepucuk surat yang ia letakkan di dasbor mobil sebelum kembali menatap jalanan, menghela napas begitu berat, dan menenangkan dirinya.

“Semuanya akan baik-baik saja, Elion. Yang terputus dari hasil keputusan lo buat motong itu cuman satu. Hubungan lo sama agensi.” Elion meyakinkan dirinya dan memasang sebuah senyuman saat roda rangka mesin besi itu menyentuh pelataran gedung Bhumi Entertaiment.

Pemuda itu menatap bangunan dengan arsitektur yang penuh dengan kaca itu dengan seksama. Membawa kembali kenangan pertama kali akan bangunan ini.

“Eli! Kita berhasil! Ini kantor kita!” “Kalau gitu, gue harus dikasih ruangan khusus dong ... di basement, harus ada permainannya minimal basket gitu.” “Tenangggg ... nanti gue kasih lapangan tenis di basement juga bisa.” “Kalau bisbol? Atau kriket?” “Mimpi aja dulu hahaha.” “Hahahahaha.”

Elion tersenyum ketika percakapan itu terputar kembali di benaknya. Sangat manis, namun juga menyedihkan baginya.

Hingga sebuah ketukan di kaca jendela mobil mengejutkannya. Sebastian kini berdiri di sebelah pintu ketika Elion menurunkan kaca mobil. Pria itu menatap Elion penuh heran.

“Baru sehari saya tinggal, sudah ada kantong mata aja kamu,” ucap Sebastian yang terkesan menyindir. Ternyata, efek Elion yang tidak tidur semalam mencetak sebuah kantung mata yang sedikit terlihat jelas.

“Beneran kah? Gue pake concealer aja dulu.” Elion membuka dasbor, mencoba untuk meraih concealer yang selalu tersimpan di sana, entah untuk Anna gunakan, atau dirinya gunakan saat penata rias lupa untuk membawa concealer.

“Gak usah. Udah ayo!” Sebastian membuka pintu mobil itu, lantas menarik tubuh Elion yang sedikit ringan daripada sebelumnya.


“Kenapa lo mutusin buat keluar, El?” Regaz kini menatap surat pengunduran diri Elion dengan seksama. Semburat marah yang bercampur dengan keterkejutan masih nampak di bola matanya.

Pemuda itu tak habis pikir dengan apa yang anak buahnya lakukan saat ini. Bisa-bisanya dia memilih untuk keluar agensi, ketika dirinya telah dinantikan oleh banyak orang.

“Karena gue merasa, Bang. Gue gak kenal sama Bang Regaz yang saat ini. Dulu, dia mau jatuh bangun dan paling penting ini ....” Elion menggesek ibu jari dengan telunjuknya, “ ... gak mikirin duit, duit, dan duit terus.”

“Ohhh gue tahu ... karena lo gak dapet peran dokter itu?”

Elion menggeleng, bukan itu yang ia pikirkan saat ini. Pemuda itu berdiri, lantas berjalan mendekati jendela yang menyajikan pemandangan kota yang masih padat.

“Gue sampai kapanpun gak bakal dapet job selagi lo masih jadi bonekanya Florentina.” Pemuda itu berbalik badan, melipat tangan, dan menatap Regaz tak kalah tajamnya.

“Gue juga merasa ... lo udah dapet uang yang cukup buat bangun agensi ini. Gak perlu lagi kehadiran gue.” Elion berjalan ke depan meja Regaz, lantas membungkukan tubuhnya sembilan puluh derajat. Sebelum pergi keluar dari ruangan itu.

“Eli!” Satu rangkulan hangat pemuda itu terima ketika ia menuruni anak tangga. Tian menatap pemuda itu dengan bangga. Entah mengapa, dirinya sangat paham dengan segala sesuatu yang menjadi kekhawatiran pemuda yang ia anggap layaknya seorang adik sendiri.

“Udah gak usah formal, Bang. Lo dan gue bukan terikat hubungan kerja lagi.”

“Oke-oke, bakal pake gue-lo. Sekarang lo balik kerja?” Elion mengangguk, walaupun dia merasa sangat kantuk sekalipun. Tetapi kerja tetaplah kerja bukan?

Sebastian meraih kunci mobil di genggaman Elion, lantas masuk ke kursi kemudi.

“Karena gue juga ikut keluar, mobil gue juga kembali ke perusahaan. Jadi biarkan gue jadi sopir elo kali ini. Lo bisa tidur dulu, nanti gue bangunin seperti biasanya.”

“Jeje! Di mana kamu!” Elion berteriak, kakinya masih setia melangkah hingga ke belakang taman. Beberapa kali pemuda itu bersumpah serapah, mengapa taman rumah sakit ini begitu besar, dengan lorong yang begitu panjang.

Hingga mata pemuda itu menangkap seseorang, tengah terduduk di salah satu bangku sembari berbicara sendiri. Seolah-olah tengah berbicara dengan mahkluk halus.

“Jeje ...,” panggil Elion dengan sangat lembut. Entah mengapa, hatinya menghangat ketika melihat wajah bocah kecil itu. Ia seperti melihat dirinya di usia lima tahun.

“Jeje itu kayaknya indigo deh, El. Soalnya dia selalu cerita sama aku, kalau dia punya satu temen namanya Agam. Dia jelasin detail banget sampai kesukaannya Agam sama buku-buku filsafat.

Aku kaget, soalnya Agam itu pasien yang ada di ICU. Kamu tahu hal lainnya? Agam itu gak ada keluarga sama sekali. Cuman pacarnya yang dateng dan emang bener, pacarnya bilang kalau Agam suka banget sama buku filsafat.”

Penjelasan Anna masih terngiang dengan jelas di benak pria itu. Dia pernah merasakan sama seperti Jeje, melihat dan berkomunikasi dengan mahkluk gaib setelah kejadian yang hampir merenggut nyawanya saat berusia lima tahun. Namun, dunia itu menghilang saat dirinya menganjak dewasa.

“Kakak boleh duduk?” Bocah kecil itu mengangguk dan mempersilahkan Elion untuk duduk di sebelahnya.

“Tadi ngomong sama siapa?”

“Enggak. Jeje ga bicara sama siapa-siapa kok.”

“Jeje kalau bohong nanti dimarahin Kak Agam loh, Kakak denger-denger kalau Kak Agam itu paling galak se rumah sakit ini.”

“Ihhh ... Kak Agam baik tahuuu!” Bocah itu mengerucutkan bibirnya, membuat Elion tertawa dan mengusak rambut pria kecil itu.

“Kakak pernah kok punya temen kayak kamu sama Kak Agam.” Pemuda kecil itu menatap Elion, memastikan apa yang ia dengar itu benar adanya.

“Tapi temen Kakak kemana?”

“Pergi. Soalnya gak Kakak akuin temen.” Elion memasang wajah sedih, membuat Jeje kini merogoh kantung celana dan memberikan sebuah permen Hot Hot Pop kepada Elion.

“Kakak jangan sedih ... nanti aku kenalin sama Kak Agam.”

Jemari Elion meraih permen kaki berwarna merah itu, membuka bungkus permen itu, dan memasukannya ke dalam mulut sembari tersenyum. Membiarkan matanya membentuk sebuah bulan sabit yang begitu indah.

“Makasih permennya. Ayo balik! Tidur kamu. Kalau ngeyel, Kakak bilangin Kak Agam.”

Suara dentingan gelas bir yang saling beradu terdengar sangat menyenangkan. Elion, Anna, Tian, Nadiem, dan Zio kini berada di salah satu rumah makan yakiniku yang ada di dekat rumah sakit, menikmati daging panggang beserta satu gelas penuh berisi bir—kecuali Zio yang meminum Coca-Cola.

“Oh iya, Dim. Gue belom kenalin ke elo. Ini adek gue, Elzio. Kalau yang paling sepuh ini, panggil aja Tian.” Elion menuntun Nadiem untuk berkenalan dengan adik serta manajernya itu. Membiarkan mereka saling berjabat tangan dan berkenalan.

“Elzio, panggilnya Zio, jangan kayak Kak Eli yang manggilnya Cia Cio Cia Cio.” Elion hanya terkekeh sembari mengacak rambut adiknya, sebab lucu saja ketika melihat adiknya kesal karena nama panggilannya yang ia ubah.

“Sebastian, panggil saja Tian. Saya sepupunya Elion,” ujar pria itu berbohong. Akan sangat berabe jikalau pemuda di depannya saat ini tahu jikalau dirinya adalah manajer Elion.

“Gak usah bilang sepupu, gue juga tahu kok kalau lo manajernya dia. Gini-gini gue juga trainee idol yang gagal. Lihat elo yang kayak gini langsung sadar kok.” Nadiem menaruh daging sapi itu di atas perapian, membiarkan sang jago merah yang membara untuk membakar daging itu hingga kecoklatan.

Sedangkan Elion kini menatap netra Anna lekat-lekat, membuat rasa lelah yang ada di tubuhnya kini terangkat. Namun justru, semua masalah hari ini masih menghantui dirinya.

Entah mengapa, jemarinya bergerak menuju tangan sang kekasih yang ada di atas meja. Hingga sebuah cengkraman dari seberang yang menyadarkan dirinya.

“El, jangan gitu ih. Untung ga kesamber api. Ini juga Nadiem, bisa-bisanya yang bakar heboh banget.”

Rupanya, Elion tak sadar bahwa dirinya menggerakkan tangan kanannya mendekati perapian dan hal itu bertepatan dengan api yang membumbung tinggi. Hasil dari pembakaran lemak dari daging.

“Ya salahin dagingnya yang banyak lemak, kok salahin gue.”

“Udah-udah, gue yang salah gara-gara melamun. Ayo makan.”

Mereka mulai menyantap daging panggang itu dengan lahap. Memang tak salah jikalau dokter magang suka sekali makan di restoran yakiniku yang satu ini, karena dagingnya yang juicy dan berlemak ini sangat memanjakan lidah mereka.


“El, gue balik duluan ya. Anak gue nyariin dokternya yang tampan ini. Thanks buat traktirannya.”

Nadiem tersenyum dengan sangat lebar, lantas memberi isyarat sampai jumpa dengan dua jemarinya yang ia tempelkan di ujung alis dan dilambungkan setinggi mungkin sebelum akhirnya pemuda itu berbalik badan dan berjalan santai.

“Cio balik rumah Mama aja, ya. Tolong ya, Bang.” Elion menepuk bahu pemuda bernama Sebastian itu. Sebelum akhirnya mereka pergi dan menyisakan kedua sejoli itu.

“Jalan-jalan dulu aja, ya,” tawar Elion dan dijawab dengan anggukan kecil dari Anna.


Baru juga setengah jam mereka berjalan, masalah baru langsung menimpa Elion.

Terdapat sebuah bola basket yang melambung dengan sangat cepat ke arah sang kekasih, membuat Elion merentangkan salah satu tangannya untuk menangkap bola itu.

Memang, bola itu tertangkap dengan mulus dengan satu tangan. Namun, pemuda itu merasakan ngilu yang teramat sangat di pergelangan tangannya.

“Kenapa, El?”

“Bolanya baru dipompa ya? Buset keras banget.” Elion melempar bola itu ke ring dengan tangan kirinya dan entah mengapa, justru bola itu mencetak angka. Membuat dirinya, Anna, dan beberapa remaja yang sepertinya pemilik bola basket itu merasa tak percaya.

“Coba tangannya diputerin gini.” Anna mencontohkan gerakan memutar pada pergelangan tangan dan langsung dipraktikan oleh pemuda itu.

“El, jangan gini lagi ya?” Anna meraih tangan Elion, mengenggamnya, dan menatap tangan raksasa itu lekat-lekat.

“Gini lagi gimana?”

“Jangan bikin tangan kamu cidera gini. Tangan itu hal terpenting yang dimiliki oleh dokter. Tangan kamu luka barang kecil aja, kamu gak bisa masuk ruang operasi buat operasiin pasien.”

“Jadi ... gue ga boleh lukain tangan. Gitu kan?” Anna mengangguk dan mengenggam erat tangan pemuda yang selalu memberikan kupu-kupu di dalam dirinya itu.

“Jangan sampai terluka sedikitpun. Entah tangan atau diri kamu, oke Eli?” Gadis itu mengacungkan sebuah jari kelingking, mengajak sang kekasih untuk mengikat janji antara mereka.

Can you consentration just for this patient? Ini dokter Asep juga di mana, hah!” Elion benar-benar tak habis pikir. Tangannya kini memegang scalpel dan bersiap untuk membuka jaringan kulit dari pasien yang ada di depannya saat ini.

Elion sadar bahwa dirinya saat ini dijebak, bisa-bisanya seorang dokter tahun pertama seperti Elion Ferdinan Pangarep langsung di hadapkan dengan pasien darurat yang mengalami tamponade jantung *) sendirian. Benar-benar sendiri hanya dengan seorang perawat dan dokter anastesi.

*) Tamponade jantung adalah kondisi terganggunya fungsi jantung dalam memompa darah akibat adanya tekanan yang kuat pada jantung. 


Satu jam yang lalu

“Ini di mana lagi ruangannya,” ucap Elion sembari mengintip satu persatu ruangan operasi dari luar jendela. Kosong. Benar-benar kosong tak ada tanda akan ada operasi.

Hingga sebuah pesan singkat ia terima dari dokter Asep. Sungguh membuatnya bingung, mengapa dokter itu bisa mengirim pesan di dalam ruang operasi. Bukannya saat di dalam sudah dalam kondisi steril?

Entahlah, mungkin belom pake sarung tangan steril tuh dokter, batin pemuda itu sembari tangannya yang memasukkan ponsel ke dalam kantung baju scrub biru kebanggaannya akhir-akhir ini.

Pria berpawakan tinggi itu mulai berjalan dengan cepat menuju depan ruangan operasi, sepatu crocs hitamnya beradu dengan lantai epoxy. Menciptakan suara decitan yang sangatlah khas.

“Oke, fokus cuci tangan Elion. Lo gak lupa kan caranya? Inget dulu lo SD jadi duta cuci tangan.” Elion memejamkan mata, mencoba mengingat masa kecilnya yang menjadi seorang duta cuci tangan.

Kaki pemuda itu menginjak pedal, membuat air dari kran mengucur dengan deras ke wastafel dan mengejutkannya. Elion hanya menghembuskan napasnya perlahan, lantas meraih sabun batangan yang terbungkus sebuah kertas setelah membasuh seluruh tangannya hingga ke siku.

Pemuda itu mulai membersihkan semua bagian dari jemarinya hingga bersih, bahkan tak lupa untuk menyikat dan membersihkan kuku-kuku tangan dari kotoran. Untung saja, Elion masih ingat tahapan hand hygiene alias cuci tangan steril.

Elion meraih handuk berwarna putih, menepuk lembut lengannya hingga kering. Lantas, pemuda itu berjalan dengan tangan yang terangkat untuk masuk ke dalam ruang operasi. Hingga ia mendapatkan sebuah tatapan dari semua orang yang ada di dalam ruangan yang dingin itu.

“Kenapa harus anak tahun pertama? Ini pasien darurat!”

“Dokter Asep mana? Bukannya dia yang mengoperasi?”

“Dia ada urusan mendadak. Dan yang lain gak ada yang bisa operasi *torakotomi**)”

*) Torakotomi adalah prosedur operasi besar yang digunakan untuk mengakses organ-organ yang ada di dalam rongga dada, seperti paru-paru, jantung, dan kerongkongan.


“Tapi ini seriusan kamu yang operasi? Saya gak tanggung jawab kalau sampai pasien kenapa-napa.”

Elion persetan dengan hal itu, matanya kini tertuju dengan dada bidang pasien yang siap sedia untuk dibukanya bagaikan hadiah. Ujung mata pisau itu mulai dekat dengan permukaan kulit ketika seseorang membuka pintu operasi dan mengejutkan mereka.

“Biar aku jadi asistenmu, El.”

Anna? Bukannya dia harusnya di bedah syaraf? batin Elion yang memulai operasi. Baru sekali dirinya menyayat permukaan kulit, tetapi buih-buih darah telah mulai nampak keluar.

“Bovie,” ucap Anna dan mengulurkan tangan, membuat perawat dengan cekatan memberikan sebuah alat berbentuk pipih dan panjang yang tersambung ke aliran listrik. Lantas, gadis itu membantu Elion untuk membuka jaringan dibawah kulit dan memulai operasi mereka.

“Aku udah bilang kan, El. Gak apa-apa kah? Soalnya aku dengar kalau orang pada bilang kalau kamu mau dijebak.” Anna meraih sebuah penyedot dan mulai menyedot cairan darah yang terdapat di sekitar jantung setelah Elion menjahit sebuah luka.

Thank you, Ann. Walaupun sebenarnya gue bisa sendiri. Tapi, makasih udah bantuin.” Elion tersenyum sembari menyelesaikan jahitan terakhirnya. Membuat operasi itu berakhir dengan lancar.

Anna menangkap senyuman mata Elion yang menenangkan. Setidaknya, gadis itu tak perlu berpikir apakah pemuda di depannya itu sedang tidak baik-baik saja.

“Mau makan yakiniku bareng, El? Aku bayarin.”

“Boleh ajak Bang Tian manajer gue gak? Kasihan dia ... jomblo.”

Pikiran Elion berkecambuk, pemuda itu masih berpikir tentang hal buruk yang harus ia hadapi esok pagi di agensi.

Kenapa harus dibatalin? Ada masalah apa? Gue bener-bener berakhir kah?

“El!” Sang empunya nama setia dengan pikirannya, tak menyadari bahwa pria ber-ID card dengan nama Nadiem itu memanggil dia.

“Elion!” Nadiem menepuk bahu Elion dengan kencang, membawa kembali kesadaran pemuda itu yang berkeliaran secara bebas.

Are you okay, Bro? Lo kalau ngantuk mending cuci muka dulu deh,” ucap Nadiem yang kini melipat tangan, membuat kemeja birunya kini tertutup dengan snelli yang ia kenakan.

Elion hanya mengangguk seraya mengacungkan ibu jari, menyatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

“Gue cuci muka dulu deh. Nanti kalau ada sesuatu, telepon gue. Punya nomernya kan?” Elion menepuk punggung Nadiem, lantas melenggang begitu saja. Sebenarnya, pria itu berbohong jikalau dia ingin cuci muka. Karena kini pemuda itu berjalan menuju taman untuk berbicara kepada seorang wanita yang mengawasi dirinya.

Pemuda itu berbalik badan, memasukkan tangannya di kantong snelli sembari menatap tajam wanita berambut pendek sebahu, “Ternyata elo, dalang yang ngehancurin mimpi gue jadi aktor?”

Langkah gontai gadis itu memasuki ruangan yang sering ia pakai untuk beristirahat. Sebuah ruangan yang cocok ia sebut sebagai “barak” -nya para dokter magang seperti gadis bernama Joanna Karolina.

Muter lagu dulu deh, batin Anna yang kini berjalan menggunakan kedua kakinya yang lelah—Maklum, dirinya termasuk kaum jompo untuk berlari-lari di dalam UGD setiap hari—mendekati meja yang penuh akan buku-buku kedokterannya. Gadis itu memutar vinyl yang masih terpasang di pemutar, hingga lagu yang tak asing di telinga kini terputar dan memberikannya ketenangan.

“Gak salah suka lagu All We Know.” Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas kursi, membiarkan indra pendengarannya menangkap setiap lirik lagu itu dengan jelas. Hingga matanya kini menangkap sebuah buku berwarna ungu, dengan sampulnya tergambar dengan jelas seekor kupu-kupu dan rumah yang sangat menenangkan.

“Ini buku Elion kenapa di sini?”

Iya, itu buku Butterflies yang ditulis oleh seorang penulis terkenal di Twitter. Buku yang Elion beli tanpa sengaja saat pre order pertama yang terkenal sebagai pre order mematikan.

Awalnya Anna terheran, kenapa pria semaskulin Elion Ferdinan sangat menyukai buku cerita fiksi, apalagi yang bergenre romansa. Berbanding terbalik dengan dirinya yang suka akan sesuatu yang menegangkan dan menyeramkan seperti cerita thriller maupun horor.

“Alasannya simple, Ann. Gue gak pernah tahu apa itu romansa. Mama apalagi Papa itu sibuk sama dunianya masing-masing bahkan jarang bertegur sapa barang di kamar sekalipun. Jadi novel romansa yang bisa gue andelin buat gue mengetahui kehidupan romansa sebenarnya, sebelum akhirnya gue ketemu elo.”

Begitulah penjelasan Elion pada enam tahun lalu, ketika dirinya menemukan pemuda itu tengah membaca salah satu karya populer milik Erisca Febriani di pojok kelas.

Elion sangatlah suka novel romansa, bahkan di apartemen pemuda itu dapat ditemukan satu rak yang penuh akan novel romansa dari berbagai bahasa di seluruh penjuru dunia.

Namun, buku yang baru benerapa tahun lalu pemuda itu beli tanpa sengaja ini, justru memiliki sebuah sihir untuk dirinya dan Elion.

Elion sangat sering membawa novel bersampul keras itu kemana saja, menemani dirinya, ponsel, dan jurnal yang selalu pemuda itu bawa untuk syuting drama.

Hingga akhirnya, Elion menangis satu malam dan meratapi karirnya yang hancur, buku itu setia menemani pemuda itu.

“Elion nyariin ini buku gak ya? Kan ini jimatnya ....”

“Nih,” ucap Elion sembari memberikan satu kaleng Milo kepada Anna yang tengah terduduk di salah satu tempat duduk yang sangat lebar.

Pemuda itu merebahkan tubuhnya di sana, menatap bintang yang gemerlap di langit rumah sakit.

Pemuda itu telah berganti pakaian, dari semula adalah kaos kelabu dengan celana hitam, kini ia mengenakan seragam scrub berwarna biru dan pastinya, pemuda itu masih mengenakan snelli kebanggaannya saat ini.

“El, masih inget gak awal pertemuan kita?” Gadis itu memulai pembicaraan setelah menyesap Milo. Anna mengeluarkan satu botol susu pisang dari dalam kantong snelli dan menggesernya ke arah Elion. Yang pastinya membuat pemuda itu terlonjak dan langsung meraih susu pisang kesukaannya itu.

“Inget kok. Pas di danau Kenanga itu kan? Lo dengerin lagu bo—ADUH! SALAH KAH?” Sang adam menatap netra pujaan hatinya, lengannya masih terasa berdenyut setelah menerima pukulan maut dari si gadis.

“Kita ketemu di sini, pas SMA. Jadi pasien. Inget?”

Elion mencoba untuk mengingat kembali sembari menyeruput minuman pisang itu. Hingga akhirnya, ia tersadar dan menoleh menatap Anna.

“Jadi gue pernah nembak lo sewaktu gue masih SMA?” Anna mengangguk, walaupun wajahnya terlihat sangat masam.

“Ya gue lupa ... kalau pernah bilang mau pacarin elo. Tapi gue inget sesuatu, Ann.”

“Apaan?”

“Kalau gue ketemu lo lagi, lo harus nikah sama gue.”

Anna kembali melayangkan pukulan maut, membiarkan sang kekasih kini beranjak dan menghindar, “Apaan sih! Gak ada ya ....”

“Adaaaa ... ih lupa ya lo?”

“Gak ada!!”

“Ada.”

Manik hazel milik Elion menangkap sebuah ambulan yang tiba, suara sirinenya sangatlah bergemuruh. Menandakan bahwa di dalamnya terdapat pasien darurat.

Pemuda itu berlari mendekati pintu ambulan, membantu petugas untuk menurunkan pasien yang tak sadarkan diri di atas brankar.

“Pasien henti jantung. Saksi mengatakan kalau korban tidak sadarkan diri sekitar lima belas menit sebelum menelepon. Kita perjalanan sekitar tiga puluh menit.”

Tanpa aba-aba, Elion langsung menaiki brankar, lebih tepatnya dirinya tengah mengungkung pria yang tak sadarkan diri itu di antara kaki jenjangnya lantas mulai melakukan RJP—Resustasi Jantung Paru—dan berusaha memanggil nama pasien. Dirinya tak peduli akan dokter-dokter magang yang menatap heran kepada pria taurus itu.

“Kenapa kalian cuman diam? Code blue!” Pria itu berteriak, lantas menitahkan perawat untuk memasang dengan sigap alat-alat pengecek tanda vital.

Tangan Elion tidak lepas dari atas dada pasien walaupun dirinya tidak berada di atas brankar lagi, tangannya masih berusaha memompa. Tak peduli akan keringat sebesar biji jagung yang terhias di pelipis.

“Siapkan 200 Joule,” ucap Elion yang menatap lekat-lekat seorang dokter yang ada di depan. Lalu tangannya menerima alat pacu yang telah diolesi sebuah gel dan langsung ia ratakan.

Sebenarnya, pemuda itu masih ragu. Tapi dirinya sendiri sudah berjalan sampai di detik ini. Jadi apa boleh buat? Dirinya harus memastikan pasien itu sadar.

Clear!” intruksinya. Semua dokter dan perawat menjauh dan mengangkat tangan. Membiarkan Elion mendekatkan diri dengan defibrilator itu ke dada sang pasien untuk mengejutnya.

Pemuda itu melakukan kurang lebih tiga kali kejut. Hingga pada akhirnya, ketika ia telah memastikan tanda vital pasien berada pada normal. Yang artinya, pasien telah selamat dari masa kritisnya.

“Keren banget. Jujur, saya kalau jadi anda tidak akan berani memegang peralatan medis seperti ini.” Seorang dokter datang dan menjabat tangan Elion. Dapat pemuda itu lihat dengan jelas, ID card yang ia kenakan menunjukkan identitas bahwa sang lawan bicara adalah dokter jantung di rumah sakitnya.

“Oh, saya lupa perkenalan. Saya Dokter Valen. Omong-omong, kamu melakukan RJP dengan sangat baik. Tidak ada niatan kah untuk bekerja di sini?”

Elion tertawa pelan, lantas menjabat erat pemuda bernama Valen itu.

“Santai aja, gue Elion Pangarep. Harusnya sih besok gue baru masuk. Tapi ya gue lagi nungguin itu cewek gue,” tutur Elion dengan dagu yang menunjuk ke arah Anna yang kini tengah mengobati seorang wanita paruh baya.

“Oh, salam kenal. Semoga kita menjadi partner yang baik.”

Elion hanya tersenyum ketika pemuda itu menyelesaikan pembicaraan, lantas ia langsung saja mendengus dan sedikit membicarakan lawan bicaranya tiga puluh detik lalu.

“Kamu kok di sini sih, El?” Anna mendekat, dengan tangan yang ia masukkan ke dalam kantung snelli yang ia kenakan.

“Magang sehari sebelum gue besok kerja beneran.”

“Ih seriusan keterima??” Elion mengangguk dan menepuk dadanya sombong. Seolah-olah dirinya berhasil mendapatkan jackpot termahal.

“Sekarang aja yuk. Aku beliin di mesin minuman aja. Sekalian perayaan, soalnya aku denger-denger kamu lakuin CPR kan?”

Dada pemuda itu mengembang, seturut dirinya menarik napas untuk memenuhi paru-paru dengan oksigen. Pertama kalinya setelah hampir kira-kira empat tahun dirinya menginjak gedung rumah sakit milik orang tuanya ini.

“Kenapa gue gak bisa lewat orang dalam aja sih?” Elion merenggangkan tubuhnya yang kaku dan berjalan memasuki gedung berwarna putih itu. Kakinya terus melangkah, bahkan dirinya tak menyadari bahwa terdapat seorang perempuan yang tengah menyeruput sekaleng Milo mengikuti langkahnya.

Sebuah tepukan mendarat begitu saja, membuat Elion langsung menjengit dan memegangi punggung yang terasa panas sembari menatap gadis yang melayangkan pukulan maut itu.

“Ya, lo masih mau hidup kah?” Netra Elion menatap ke pelaku, rupanya itu adalah Anna sang kekasih yang bekerja di rumah sakit keluarganya sebagai anak magang.

“Gitu ya!” Sebuah cubitan mendarat begitu saja ke perut Elion, mengakibatkan pemuda jangkung itu segera menghindar walaupun harus terjengit kembali. Bisa mampus ini Elion jikalau menikmati satu hari bersama cubitan dan pukulan sang kekasih.

“Udah deh, ya. Gue mau wawancara.” Elion merapikan jasnya dan Anna menarik bahu pemuda itu untuk sekedar merapikan dasi merah yang sang adam kenakan.

“Akhirnya kamu mau nyobain jadi dokter. Good luck! Aku tahu kamu pasti bisa sih.”

“Ya mungkin sih, soalnya gue gak pakai jalur orang dalam.” Sebuah pukulan mendarat di bahu Elion. Netra sang gadis sangatlah mengkilat, tanda bahwa dirinya menahan amarah di dalam raganya yang mungil.

“Walaupun kamu itu anak pemilik rumah sakit, ya ga boleh seenak jidat, dong! Profesional. Ikuti aturannya. Mengerti?”

Elion mengangguk kencang, ia nampak seperti seorang bocah yang tengah diberikan nasihat oleh bundanya untuk tidak menyontek saat ujian.

Jemari pemuda itu bergerak, mendekati surai gadis di depannya yang terikat apik. Niat awalnya, ia ingin mengusak rambut itu, namun dengan segera, dirinya berubah pikiran dan justru menepuk puncak kepala wanita bernama Joanna Karolina itu dengan lembut.

“Semangat yang kerja. Nanti gue beliin Milo Nuggets, deal?” Pemuda itu mengulurkan tangan, seolah-olah memulai sebuah penawaran menarik di acara lelang.

Anna hanya berusaha memikir dan dirinya langsung meraih tangan Elion sembari tersenyum. “Nanti kalau kamu berhasil keterima, aku beliin dua susu pisang Korea kesukaanmu itu.”

Elion mengangguk pelan, lalu berlari kecil menuju gedung di mana wawancara berlangsung sembari sesekali menoleh dan melambaikan tangan kepada Anna.

“Dasar bocah.” Anna hanya terkekeh dan membuka ponselnya sebelum berlari memasuki unit gawat darurat yang terlihat sangat ramai akan pasien.


Pemuda itu mengatur napasnya yang tersengal. Rasanya, kaki ingin lepas begitu saja setelah berlari mengitari gedung yang luasnya melebihi gedung kampusnya dahulu.

“Sumpah. Berapa lama gue gak ke sini sih? Udah gede aja ini tempat.” Elion mendorong pintu kayu raksasa itu perlahan-lahan dan mendapati puluhan pendaftar lainnya yang tengah menanti giliran. Ada yang sambil membaca ulang materi, ada juga yang sambil berkomat-kamit untuk merapalkan doa kesuksesan serta kelancaran wawancara.

Elion melangkahkan kaki mendekati meja daftar ulang, mengeluarkan stopmap berwarna biru yang berisikan semua data pribadinya dari dalam tas, dan memberikannya kepada petugas untuk ia tukarkan dengan sebuah name tag seukuran telapak tangannya.

Kini Elion terdiam, menunggu satu persatu antrian wawancara. Akhirnya ia paham, mengapa orang-orang merapalkan doa ketika menunggu giliran wawancara. Karena satu alasannya, deg-degan! Jujur, kaki Elion saja tak berhenti untuk bergerak karena pemuda itu merasakan grogi.

“Elion Ferdinan Pangarep.”

Akhirnya, Elion merasakan jantungnya tidak berdegub kencang, melainkan terjun bebas menuju rongga pencernaan. Tak peduli akan keringatnya yang bercucuran membasahi pelipis. Yang terpenting saat ini adalah, dirinya harus menyelesaikan wawancara dengan sigap.


“Okey, terakhir. Kita tanya basic aja sih. Apa alasan kamu jadi dokter di Neo Medical Center?” Pertanyaan itu seakan mudah untuk Elion.

Entah mengapa, keringat setengah jam lalu telah mengering dan dirinya kini sangat bersemangat untuk menyelesaikan wawancara lalu menikmati ujung hari dengan susu pisang layaknya drama Korea yang ia tonton.

Elion kini mulai berpikir, hingga sebuah jawaban meluncur bebas tanpa pamit. “Karena saya ada job drama tentang medical, dan juga Mama saya direktur rumah sakit ini.”

Pemuda itu tersenyum lebar, membiarkan pewawancara menilai dirinya.

“Baiklah ... Elion, besok langsung saja ya kita urus untuk seragam dan lain-lain.”

Kaki jenjang milik Elion mulai melangkah dengan cepat, dirinya berusaha untuk menghindari beberapa paparazi yang terlihat mengerubungi pintu masuk gedung agensi Bhumi Entertaiment.

“Untung aja gue punya akses pintu belakang. Bisa mampus gue ntar.” Elion melepas masker hitam dan juga topi hitam yang ia kenakan, lantas ia masukan begitu saja ke dalam tas yang sedari tadi ia gendong.

Pemuda itu masih tak asing dengan gedung agensi yang ia pijak. Hanya terdapat beberapa perubahan kecil namun tak membuat dirinya pangling. Dirinya terus berjalan dan tak peduli dengan paparazi yang memotret dirinya dari luar kaca.

“Astaga kamu ini malah di sini ... ayo buruan!” Tian menghampiri Elion, lantas menarik lengan kekar milik pemuda itu untuk segera masuk ke dalam lift dan menghindar dari jepretan paparazi.

“Ngapain ngehindar sih, Bang? Kan sosmed terus berita pada nyariin gue kan?”

“Ya itu pikiranmu!” Sebuah toyoran mendarat begitu saja ke kepala Elion. Membuat pemuda itu mengaduh kesakitan dan memanyunkan bibirnya sebab kesal kepada sang manajer yang telah ia anggap seperti kakak sendiri.

“Pesaingmu dari agensi lain pada mau curi-curi lagi ini buat jatuhin kamu. Mau emang kamu rebahan terus-terusan?” Tian mendorong tubuh Elion setelah pintu lift terbuka. Membawa tubuh mereka menyusuri lorong menuju sebuah ruangan yang sangat ia kenali.


“Elion, ini CEO bilang, ada job drama buat kamu. Mau gak?”

Manusia macam mana lagi yang tidak bahagia ketika mendengar penawaran itu? Elion pun lantas bangkit dari sofa coklat yang empuk itu, lantas menggoncangkan tubuh sang manajer dengan penuh semangat.

Sudah satu tahun lebih semenjak dirinya hiatus dari bermain peran setelah skandal yang merusak reputasinya, membuat pemuda itu sangat bahagia jikalau akhirnya ia mendapatkan kepercayaan kembali oleh sebuah production house untuk bermain drama.

Regaz pun beranjak dari kursi kerjanya, menepuk lembut bahu Elion, dan menatap bangga salah satu anak didiknya.

“Syaratnya satu tapi, El,” ucap Regaz sembari berjalan mendekati sofa coklat dan duduk perlahan.

“Apaan? Gue bakal lakuin kok!”

“Lo harus jadi dokter selama enam bulan buat dapetin peran ini. Tapi gue sama Tian belum dapetin tempat yang cocok buat lo magang. Lo bisa cari sendiri?” Elion mengangguk penuh semangat. Untuk pertama kalinya, gelar sarjana kedokterannya akan terpakai demi sebuah peran.

“Nyokap gue punya rumah sakit. Nanti gue hubungin dia.”