hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Langkah gontai Samudra kini mulai mendekat ke arah ranjang. Tubuhnya amat sangat lelah setelah menghadiri pemakaman teman satu kampusnya, Rebecca.

Rasanya, daya magnet kasur itu sangatlah kuat hingga tubuhnya kini terbanting bebas ke atas benda empuk dengan balutan sprei berwarna kelabu itu.

“Dek, cuci kaki dulu. Kata Ayah pamali kalau dari makam gak cuci kaki.” Omelan nyaring seorang pemuda yang sangat Samudra kenal tak ia hiraukan begitu saja. Sangat malas tubuh ini untuk berpaling dari sana untuk membasuh kaki.

Hingga tubuhnya kini merasakan sedikit goncangan, membuat dirinya kini menoleh dan mendapati sang Ayah yang masih mengenakan baju seragam dokternya tengah mengusap puncak kepala pemuda bergigi kelinci itu.

“Ayah tumbenan udah pulang?” Samudra terlonjak, lantas beranjak dari ranjang untuk membasuh kedua kakinya di kamar mandi. Sedangkan Bumi kini melangkah, mendekati pintu kamar mandi yang tidak tertutup.

“Iya, tadi Ayah dapat kabar ... temanmu sama temannya Benua meninggal ya?” Samudra mengangguk. Dirinya merasa bersalah setelah ikut andil mengeluarkan kalimat yang tak sepantasnya itu kepada Rebecca walaupun tidak secara langsung.

“Bunuh diri itu memang jalan pintas buat menyelesaikan sebuah permasalahan. Ayah sering banget nemuin kasus ini setiap jaga di rumah sakit. Ada yang menyayat nadi, menggantung diri, atau ya kayak Bundamu ....” Bumi menghentikan bicaranya, teringat insiden yang terjadi kepada sang istri saat itu. Yang membuat dirinya hampir kehilangan satu orang lagi selain Langit.

Bumi memejamkan matanya sebentar, lantas menyenderkan kepala ke daun pintu dan menarik napas berat sebelum melanjutkan pembicaraannya

“Kamu pernah nanya kan? Jadi dewasa itu rasanya gimana?” Samudra mengangguk. Dirinya masih ingat momen itu.

“Ya gini. Berat. Mungkin kamu belum ngerasain sekarang, atau mungkin baru ngerasain. Tapi Ayah setiap lihat Benua, Ayah selalu merasa bahwa dia mulai memasuki masa dewasa yang sesungguhnya.”

“Kamu akan merasa lelah akan namanya kepergian, patah hati ketika realitas berbanding terbalik dengan ekspetasi. Dulu pas kamu masih kecil gak kepikiran. Tapi masuk masa dewasa, kamu bakal ngalamin itu.” Bumi mendekat, lalu menarik tubuh Samudra kedekapannya.

“Jaga Benua buat Ayah, ya. Dia sekarang lagi terpukul banget. Nanti Ayah panggil psikiater yang biasanya nanganin si Benua. Oke?” Bumi tersenyum dan menepuk bahu putra bungsunya itu dengan bangga.

“Kamu juga udah dewasa sekarang. Ayah bangga sama kamu.”

Toronto, 2020 “Kan udah gue bilangin, Jun. Jangan jadiin musik sebagai mata pencaharian lo. It's just fucking hobby, dude.

Suara pemuda itu membuat Arjuna kini memutar bola matanya dengan malas. Sudah berapa kali dirinya mendengar kalimat itu dari pria yang duduk di depannya sembari meneguk kopi instan.

“Bang HaJu, just enough. Enough. gue muak dengerin nasihat elo dan semua orang yang sama mulu.” Arjuna berdiri, meraih kamera DSLR miliknya dan berlenggang keluar dari flat tempatnya tinggal. Membiarkan pemuda yang lebih tua enam tahun darinya itu menyadari letak kesalahan dalam perbincangan mereka.

Arjuna mengacak rambut dengan kasar, tak peduli akan rambutnya yang berantakan tak beraturan. Kaki jenjang itu mulai menaiki sebuah streetcar berwarna merah dengan aksen putih yang mempermanis tampilan. Lantas duduk di salah satu kursi kosong untuk sekedar bersandar.

Terlalu banyak mulut yang berkata, terlalu banyak opini yang keluar tanpa ia pinta. Jujur saja, Arjuna saat ini cukup membutuh telinga yang mendengarkan keluh kesahnya seperti sang Bunda dan mantan kekasihnya.

Jemari Arjuna mengetuk ponsel, lantas membuka akun Instagram yang jarang ia sentuh. Matanya kini memandang layar utama Instagram yang kini menampilkan postingan terakhir milik Arga dan entah mengapa, Arjuna langsung mengirimkan sebuah pesan kepada sahabatnya sejak SMP itu.

junajunett Ga, can we talk? I know you in Toronto right now.

Sepertinya kalimat itu cukup untuk memulai pembicaraan yang terputus. Rasanya, dirinya harus berdamai dengan masa lalu agar dia tak merasakan lelah seperti ini.

argamerbaboe Sure, gue bareng Bagas sama Icikiwir tapi. Gapapa kan? Share location aja, nanti gue ke sana.

Oh, bareng mereka. Ya udah deh, batin Arjuna yang kini menuruni streetcar di salah satu halte, lantas mengirimkan sebuah titik di mana dirinya akan bertemu dengan rekan-rekannya.

“Bicara secukupnya dan seperlunya aja, Jun. I know you can do it yourself.” Pemuda itu bermonolog sembari membelah lautan manusia yang tengah bercengkrama dan berjalan di trotoar, menyebrangi jalanan aspal yang penuh lalu lalang kendaraan, lalu memasuki sebuah restoran bernuansa hitam.

Iya, dirinya harus berdamai dengan masa lalu dan sepertinya keputusannya membulat begitu saja ketika melihat Arga yang tengah menatap seseorang.

“Ga. Gue harus balikin Bumilangit buat kita bersama.”

“Ngopi di lantai dua aja, Ga. Gur mau nyebat.” Arjuna menghampiri pemuda yang baru saja mengunggah postingannya yang tengah menikmati kopi di salah satu kafe yang lumayan terkenal ....

... ya, bagi mereka. Kafe dengan nuansa taman yang selalu jadi andalan anak Bumilangit saat ini jika budget mencukupi.

Kaki mereka meraih satu persatu anak tangga, membawa tubuh kedua sahabat itu menuju daerah terbuka yang terletak pada satu garis lurus dengan pintu masuk butik milik orang tua Arga yang sekaligus menjadi basecamp Bumilangit.

“Heh anying! Maneh malah ngopi! Celana OR urang gimana?” Arjuna tak acuh dengan teriakan Bagas yang berada di seberang dan berlagak seperti tak mendengar ucapan pria berkulit kecoklatan itu.

Arga hanya tertawa, lantas meraih satu bungkus Mars Brand milik Arjuna dan satu lembar kertas rokok dari bungkus oranye, lantas menaruh segaris tembakau, menggulungnya bagaikan sebuah sushi, dan terakhir ia jilat untuk merekatkan kertas itu.

“Gue kira lo gak bisa ngelinting, Ga,” ujar Arjuna yang nampak seperti pujian dan Arga hanya tersenyum miring sebelum menyulut benda silindris buatannya itu dengan api.

“Gue gini-gini suka lihatin bokap nyebat, Jun. Ya cuman setiap gue mau ngelinting ketahuan Echa ....” Arga menghembuskan asap putih menuju angkasa, lalu meraih gelas kertas yang berisikan kopi dan menyesapnya.

“Oh iya, Ga. Gue punya saran nih. Gimana Bumilangit dijadiin satu komunitas gitu? Kayak jadi e-sport, maybe? Jarang banget loh di sini.” Arjuna menyeruput es americano yang ia pesan, lantas jemarinya mulai bergerak seakan menulis di atas meja kayu itu.

“Gini Ga, kita punya peluang gede. Kayak lo aja punya nama di SMA, ada Chesna juga, lumayan banget kan? Kita bisa sukses di usia muda.” Arjuna mengetuk jemari di meja hingga berbunyi sangat keras. Dirinya sangat bersemangat mengusulkan rancangan ini kepada Arga. Namun bagaimana sang lawan bicara?

Arga hanya mengangguk-angguk, lantas menghisap sigaret itu sebelum menenggelamkannya ke dalam lautan abu yang ada di asbak untuk memadamkan bara api dari batang silindris itu. Pemuda berwajah bule dengan campuran Indonesia tersebut menatap wajah Arjuna, mengabsen setiap inci panca indra yang ada di muka pemuda itu dan tersenyum.

Thanks for the coffee, Bro! By the way, usulan elongue pertimbangkan lagi ya? Setidaknya sampai Rajiza siuman dulu. Gue mau balik. Oh iya, ambil juga tuh celananya Bagas yang lo sangkutin, besok kelas dia ada ulangan praktek olah raga.” Arga menepuk bahu Arjuna dan meneguk kopinya hingga habis sebelum meninggalkan pemuda bertubuh cungkring itu.

Jujur saja, Arga sendiri masih bingung mau menjadikan Bumilangit sebagai apa. Karena baginya, tongkrongan sudah cukup untuk mereka. Namun, usulan Arjuna sedikit menganggu pikirannya hingga ia kembali ke rumah.

Jakarta Selatan, 2018

Seluruh peserta didik SMA Negeri 8 memadati sebuah papan informasi sekolah, begitu juga anak-anak Bumilangit. Iris coklat mereka menelaah satu persatu kalimat dari poster berukuran A3 berwarna biru laut itu.

Konser Amal untuk Bumi Pertiwi 2018

“Join kaga?” Naufal menyeletuk, kepala pemuda itu menoleh menatap teman-temannya yang masih setia membaca tulisan yang tertera. Naufal memang sebenarnya ingin sekali bermain di panti asuhan, melakukan kegiatan bakti sosial, bahkan cita-cita terbesarnya adalah menjadi dokter. Tapi yah, semesta kurang mendukungnya.

Sebaliknya, Arga menemukan sebuah peluang yang baik untuk Bumilangit. Dirinya juga dapat bertemu lebih banyak orang dan membantu banyak orang.

“Gas aja sih gue, itu CP-nya di bawah kan?” jawab Arga dan langsung disahut oleh Bagas yang kini memotret contact person yang tertera.

“Nanti gue yang hubungin aja buat daftar.”

“Update terus di grup yak!” seru Madava yang dibalas dengan acungan jempol pemuda itu dan berlenggang begitu saja sembari menarik krah leher Hendrian karena sebentar lagi bel istirahat akan usai dan mereka belum menyalin tugas kimia milik Echa. Diikuti dengan Renjana yang berjalan mengikuti kedua pemuda itu.

“Jiz, Ches, gak balik lo? Gue, Naufal, sama Arga mah nunggu guru BK lewat. Sekalian mau caper.” Sebuah toyoran mendarat ke kepala Madava. Toyoran dari Arga yang tak terima jika dirinya menjadi kambing hitam. Sedangkan Rajiza dan Chesna langsung berlenggang begitu saja meninggalkan mereka yang masih adu toyor.

“Lo tuh jadiin gue kambing hitam mulu.”

“Iye nih Dapak kebiasaan,” omel sang adik yang entahlah, emang antara ingin ikut-ikutan dengan Arga atau punya dendam tersendiri kepada Madava. Karena toyoran terakhir Naufal justru membuat Madava terhuyung.

“Ya udah besok jadi kambing pink, ya?” Madava hanya cengengesan, lantas menghampiri Anita yang tak lain dan tak bukan adalah guru BK mereka. Iya, tujuannya memang untuk cari perhatian. Tapi itu hanya berlaku kepada Madava. Bukan kepada kedua pemuda yang kini mengekor Madava memasuki kelas.


Satu minggu telah berlalu semenjak kedelapan pemuda ingusan itu berdiri di depan papan informasi, kini mereka berada di sebuah panti asuhan yang dijadikan tempat untuk melakukan kegiatan amal. Arga, Madava, Renjana, Rajiza, Hendrian, Bagas, Arjuna—yang kemarin diberi kabar oleh Bagas H-1 acara—dan Chesna telah datang dan bahkan mereka membuka kemeja OSIS yang mereka kenakan untuk menunjukkan kaos seragam amal berwarna putih yang mereka kenakan di dalam.

“Ini Naufal mana?” tanya Hendrian kepada kedua saudara satu embrio Naufal—Madava dan Renjana—dan hanya dijawab dengan gerdikkan bahu. Si bungsu katanya ada urusan dahulu dengan remedi matematika, jadi dia akan datang terlambat.

Memang benar jikalau pria bernama Naufaludin Mahardika Antareksa itu bergelut dengan semua rumus trigonometri yang cukup memusingkan. Bahkan kini, dirinya telah berlari menyelam di antara lautan siswa yang mengikuti konser amal dengan posisi masih memakai seragam OSIS lengkap, hingga ia tak sengaja menyenggol seorang gadis. Dan membuat airpods milik Naufal terlepas dan jatuh.

Sorry-sorry, gak sengaja.” Naufal lantas berlari begitu saja setelah meminta maaf.

“Nah itu dia. Naufal!” teriak Arga yang kini melambaikan tangan. Membuat pemuda itu langsung berlari mendekati kelompok kecil bernama Bumilangit itu.

“Lama banget kemana deh, Fal?” tanya sang kakak, Renjana yang sedikit khawatir.

“Kok lo cuman pakai airpods sebiji doang, Fal?” tanya Madava yang langsung membuat Naufal segera meraba lubang telinganya. Pantas saja, dirinya dari tadi hanya merasa bahwa lagu Love Again milik NCT DREAM hanya terdengar di telinga kirinya.

“Yah ... ilang Kak ... jatoh.” Naufal kini hanya bisa terdiam dan menyadari kebodohannya.

“Gampang, ntar gua beliin Bang. Ayo naik dulu, kalau gua gak gajian gimana gua bisa beliin lu airpods?” celetuk Chesna yang mencangklong sebuah keytarkeyboard guitar—dan naik ke atas panggung. Membiarkan Bagas berpikir, bukannya ini konser amal? Jadi tidak ada penghasilan apapun yang masuk ke Bumilangit. Iya kan? Bagas tidak salah kan?

“Ches, ini kan acara amal!” Rajiza mencari di mana bass biru tuanya diletakkan, lantas mengambil benda biru kesayangannya itu dan mencangklongnya sembari menaiki satu persatu anak tangga.

“Suit dulu siapa yang nyanyi duluan?” ujar Arjuna kepada Renjana dan berlagak seperti orang yang akan melakukan adu suit.

“Ngapain bego! Nih rundown-nya lo duluan bawain lagu Bagai Bintang di Surga.” Renjana memukul gulungan kertas susunan acara ke kepala Arjuna, lantas membukanya dan menunjukkan bagian yang ia stabilo. Yang tak lain dan tak bukan adalah jadwal Bumilangit perform.


Penampilan babak pertama berjalan dengan sangat baik dan mereka bertujuh telah turun dan disambut dengan Renjana yang membawa satu dus air mineral.

“Ada Nutrisari kaga? Mau gue campurin,” celetuk Hendrian yang sebenarnya ini lebih cocok dikatakan bahwa pemuda itu sedikit ngelunjak. Bisa-bisanya meminta Nutrisari di acara seperti ini.

“Gak ada! Kaga usah ngelunjak ye lu, ini air aja dari staff. Lu kira ini kantin Barokah, bisa request Nutrisari.” Renjana lagi dan lagi mengamuk dan memukul pemuda yang kerap dipanggil Aheng itu dengan botol kosong.

“Permisi.” Suara gadis menghentikan aktivitas mereka yang tengah melepas dahaga, membuat kesembilan pemuda itu tak terkecuali Naufal menatap gadis berambut panjang yang kini dijepit. Pemuda itu masih ingat bahwa gadis itu yang ia tabrak ketika panik mencari Bumilangit.

“Boleh bicara sebentar sama gitarisnya? Yang itu,” ucap sang hawa yang menunjuk Naufal. Berdampak dengan ujaran “cie” dari rekan-rekannya.

“Boleh, boleh banget. Sekalian di pacarin aja,” celetuk Bagas yang kini mendorong tubuh Naufal mendekati si gadis. Untung saja ia tak terjatuh karena jarak tubuh mereka kini cukup dekat.

“Ya udah, gue ngomong sebentar ya. Sambil cari makan,” pamit Naufal yang kini mengikuti langkah si gadis.

Sorry, kita belum kenalan. Mungkin lo udah tahu nama gue, tapi gue belum.” Naufaludin memecah kesunyian di antara mereka. Namun tetap saja, suara bising orang-orang yang hadir mengalahkan kesunyian yang Naufal pecahkan baru saja.

Hingga sebuah tteokppokki pesanan gadis itu tiba. Membuatnya segera menyantap makanan kue beras dengan kuah meeah khas Korea itu hingga tangan Naufal tergerak mencegahnya.

“Lengan lo panjang. Ntar kotor susah lagi dibersihin,” tutur Naufal sembari menggulung lengan kemeja yang gadis itu kenakan.

Pemuda itu kembali terdiam, lantas membuka buku pelajaran bahasa Inggris dari tasnya dan mulai mengerjakan tugas yang diberikan Miss Erika tadi pagi menggunakan pensil.

“Oh iya, maaf kalau gue kayak ngebingungin elo. Ini, airpods elo yang jatuh pas nabrak gue. Gue Karin.” Karin memberikan airpods putih milik Naufal dan membuat pemuda itu bahagia setengah mati sebab airpods itu tak jadi hilang.

“Makasih ya, bisa mati gue kalau airpods hilang sebelah.” Naufal tersenyum, menyelipkan pensil di belakang daun telinga dan menutup buku bahasa Inggris yang baru tergarap setengah.

“Lo kenapa gak ganti pakai kaos event kayak temen-temen lo?” tanya Karin basa-basi, membuat pemuda itu tersadar bahwa sedari tadi dia masih menggunakan seragam OSIS.

“Oh ... lupa. He he he. Oh iya, gue harus balik. Ini mau perform lagi soalnya.” Naufal berdiri dari bangku stainless itu dan melihat jam di pergelangan.

“Bentar, siniin pensil lo.” Karin mengambil pensil dari telinga Naufal dan menuliskan sesuatu di halaman pertama buku bahasa Inggris Naufal.

“Itu ID Line gue. Siapa tahu kalau lo butuh bicara sama gue. By the way, makasih traktirannya.”

Naufal hanya tersenyum dan mengangguk, meraih buku dan pensilnya lantas berlari meninggalkan gadis itu menuju sebuah tenda putih yang dijadikan ruangan transit mereka.

Begitulah awal perjumpaan Naufal. Sederhana, namun bisa bertahan hingga tahun 2022. Entahlah dalam status apa, yang penting kita hanya tahu bahwa mereka dekat.

“Gitaaa lo udah daftar kuliah?” tanya Tabita ketika gadis jenjang itu sampai di kafe tempat mereka janjian untuk melepas rindu sebab korona yang membuat mereka selama dua tahun tak pernah bertemu.

Rara hanya menggeleng, dirinya juga masih ragu buat ambil kuliah atau tidak. Sebenarnya dia ingin kuliah, tapi dia sangat malas jikalau berurusan dengan tugas esai dan jurnal. Udah deh, mundur aja dia kalau sampai ketemu tugas kayak gitu.

“Ayo dong, mana nih bestie gue yang katanya mau foto bareng gue pas wisuda?” Tabita memberikan semangat, hingga akhirnya gadis dengan rambut sebahu nan bergelombang di depannya memilih untuk membuka ponsel.

Jemari Rara mulai menyelam ke portal pencarian, mencari situs web official kampus incarannya.

“Ta, astaga!”

“Kenapa, Git? Ada apa?” Tabita mencoba melihat ponsel Rara dan melihat rentetan kata yang mengatakan bahwa pendaftaran akan ditutup tanggal sembilan.

“Besok ditutup. Ya udah, ayo ke rumah lo. Gue bantuin urus deh. Dasar ini anak ... .” Tabita menyeruput habis americano yang ia pesan, lantas menarik tangan Rara menuju mobil yang ia bawa. Untung saja, Rara tadi datang menggunakan transportasi online. Jadi, dirinya tak perlu pusing jikalau sahabatnya itu menarik dia ke mobil.


Kita berpindah ke kamar seorang Arga Maharu Awu. Netra pemuda itu masih memperhatikan satu persatu berkas yang telah ia pindai dan kini terpampang di layar monitor.

“Udah semua kan? Ijazah udah, rekap nilai udah ... bisa apply beasiswa kaga sih?” Jemari Arga memutar bola yang ada di tetikus, membuat laman itu bergeser sehingga ia bisa membaca beberapa informasi yang ada di sana.

“Gak di jelasin lagi. Ya udah deh, daftar dulu aja,” gumam Arga sembari menggerakkan kursor menuju tombol pendaftaran lantas menekannya hingga laman berganti.

“Gimana udah?” Ucapan seseorang dari balik pintu mengejutkan pemuda berwajah bule yang kini tengah menatap jadwal selanjutnya. Membuat Arga melempar buku jurnalnya dan untung sekali pemuda yang lebih tua darinya itu dapat menangkapnya dengan cepat sebelum mengenai wajah tampannya.

“Bang, lo bisa kaga ... masuk tuh ketuk.”

“Gak bisa he he he. Udah daftar kan lo?” Arga mengangguk dan dirinya kini mulai bermain DotA di komputer.

“Anjir lo, Ga. Join gue.” Judas kini berjalan keluar, seoertinya berlari menuju kamarnya untuk menyalakan komputer dan bermain permainan yang sama dengan Arga.

“Ini fans maneh kenapa freak semua sih?” Bagas menatap layar ponselnya sembari jemarinya yang aktif menjawab setiap auto base sekolah mencuitkan sebuah pujian kepada Arga karena tampangnya yang nampak seperti bule.

“Iri mah bilang aja, ayo bilang. Gak usah ngomel,” cibir Renjana yang duduk di sebelah kiri Bagas sembari mengusap punggung pemuda berkulit coklat itu.

“Gak gitu juga, setan!” Bagas mengepalkan tangan dan bersiap untuk bertempur dengan Renjana namun langsung pemuda itu urungkan setelah kehadiran Hendrian dengan guitalele kebanggaannya yang penuh dengan stiker berbagai macam clothing brand dan  oleh-oleh dari acara DBL yang selalu ia kumpulkan.

“Oh ibu Larassss ... I really love you ... turunkan harga es tehmu kasihkuuuu.” Hendrian terus bernyanyi dan menggenjreng guitalele. Tujuannya hanyalah untuk meminta ibu Laras, pemilik kantin langganan mereka berlima untuk menurunkan harga es teh yang kian naik.

“Ga, lo tahu Chesna abas kaga?” Pemuda berambut ikal dengan bando sirkam itu memulai pembicaraan, tujuannya hanyalah satu. Apalagi, kalau bukan meng-ghibah.

Namun sangat sayang sekali permisa, pria bule yang memakai seragam OSIS dengan pin OSIS di krahnya itu hanya terdiam dan melamun. Ralat, bukan melamun. Melainkan melihat Echa yang sedang bercengkrama bersama rekan-rekannya di depan kantin.

“Ini pak waketos napa melamun lagi sih?” Hendrian menatap kepada sahabatnya yang kini hanya menahan tawa melihat kelakuan Hendrian. Sangat konyol, sebab Hendrian mencari perhatian Arga dengan banyak cara bahkan sampai meminum habis es teh milik Echa.

“Arga kebakaran woy celana lo!” teriak Hendrian yang membuat pojok kantin itu menjadi pecah dengan tawa. Sebab Arga yang terkejut justru reflek berdiri dan hampir menurunkan ritsleting celana OSIS yang ia gunakan.

“Anjing lo ye, Heng,” omel Arga yang kini memukul buku jurnal hitam miliknya ke kepala Hendrian hingga pemuda berambut ikal itu mengaduh dan meminta maaf.

“Makanya kalau dipanggil itu jawab. Kaga ngeliatin awewe mulu maneh teh. Tahu gak? Itu tadi Aheng udah monggal-manggil buat bahas anak asuhan maneh, saha? Cheska? Chestar? Cheddar?”

“Chesna, bego!” ujar Hendrian membenarkan. Tak hanya membenarkan, namun pemuda itu juga menoyor Bagas yang akhirnya juga diikuti oleh Renjana dan dua kembarannya.

“Chesna? Oh, iya. Dia abas SMP kita dulu. Sekarang masuk SMANDEL. Kebetulan banget, si Jamal yang megang kelompoknya.”

Hendrian duduk di bangkunya, menatap Arga dan memulai acara evaluasi dan observasi tingkah mahluk hidup di muka bumi, alias ghibah.

“Bukannya dia anak orang kaya ya, Ga? Bokapnya donatur SMP kita kan?”

“Kan lo gak tahu, Heng. Siapa tahu, bokapnya pailit,” tutur Madava yang pandangannya fokus kepada ponsel di genggamannya. Kini pemuda itu sangat asyik bermain permainan Clash of Clans bersama Naufal.

“Bokapnya tajir melintir gitu ya minimal kalau pailit tetep ada sisa dikit gitu dong.”

“Ya tapi, Heng. Gue setuju sama kata Dava. Kalau pailit, dapet sisa nih, emang sanggup buat bayarin dia sekolah mehong? Mending masuk negeri aja kalau gue, mah.” Renjana mulai ikut andil dalam pembicaraan. Membuat Arga dan Hendrian hanya mengangguk-angguk paham.

“Kalau emang mau gue kenalin, gue ajak aja. Sekalian, gue mau ajak satu anak dari kelompok yang gue pegang.”

Renjana kini menatap satu persatu siswa yang pulang, entah menaiki angkot, bajaj, maupun menunggu bus kopaja yang akan lewat di halte depan sekolah.

Pandangan pria kecil itu berkabut, membuat dirinya segera mengucek mata agar tak menjadi cairan yang mengalir membasahi pipi.

Usianya tak lagi kanak-kanak. Namun pemikirannya dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan. Rasanya sangatlah berat untuk menopang semua bebannya sendiri.

Hingga sebuah tepukan lembut dan rangkulan datang dari arah belakang, membuat pemuda itu terlonjak dan segera menatap ke kanan dan kiri.

Waktu rasanya mulai melambat dan Renjana kembali menjadi manusia. Hanya Madava dan Naufal yang sukses melepaskan kekangan kedua orang tua mereka yang membelenggu Renjana.

“Gue pulang hari ini. Jadi kalian gak usah nangisin gue tiap malem.” Renjana tersenyum lebar, begitupula kedua kembarannya. Mereka saling memeluk dan melepas rasa rindu yang tak pernah tersampaikan.

Abhipraya menyadari bagaimana ikatan mereka bertiga ketika dirinya keluar dari mobil. Rasanya begitu hangat ketika ia melihat senyuman Renjana yang ia rampas tanpa izin.

“Renjana, Mada, Naufal. Ayo pulang,” ucap Abhipraya yang kini menarik ujung bibirnya. Kali ini, hanya untuk hari ini. Dirinya ingin menjadi ayah hebat untuk ketiga putranya.


“Pa? Mau kemana?” tanya Renjana yang sedikit kaku sebab dirinya jarang menyebut pria yang tengah mengendarai mobil itu dengan sebutan Papa.

“Rahasia.”

Mobil mereka terhenti di sebuah rumah toko yang berada di jalan Sultan Iskandar Muda. Membiarkan mereka bertiga untuk turun.

“Kak Ren! Ini toko alat lukis! Kakak ayo kita belanja!”

Renjana terdiam, tubuhnya seakan kaku dan takut untuk memasuki tempat yang tak pernah diberi restu oleh Abhipraya.

“Saya mau kamu tentuin perjalanan kamu. Jangan sampai gagal dan ke arah yang salah. Atau akan saya hukum kamu.” Renjana membulatkan mata, tak percaya dengan ucapan pria dingin nan keras kepala yang sama sepertinya.

“Beneran?”

“Kalau kamu bisa pertahankan nilaimu, saya akan belikan kamu alat gambar. Jika hancur, akan saya sita.”

Begitulah cerita Renjana yang selalu terkekang. Sang sulung yang dahulu membenci adiknya yang selalu dibanggakan oleh keluarga.

Arti kakak bukanlah semudah menjadi kakak dan mempunyai adik. Namun tentang bagaimana seorang Renjana yang menjadi tameng dan melindungi kedua adiknya agar semesta yang begitu jahat tak pernah menyakiti mereka.

Karena kakak dilahirkan menjadi kuat oleh keadaan, membiarkan tangisan keluar ketika semua orang terlelap, dan menjadikan harapan serta pedoman oleh banyak orang.

Dan itu, yang Renjana Galih Antareksa pelajari.

Bahkan semenjak itu, dirinya mengurung diri di dalam rumah, tak pernah berkelana bahkan yntuk ke rumah Jazzier. Dirinya harus menjadi kompas untuk kedua adiknya yang terkadang sering tersesat.

Baju mulai bertebaran di atas ranjang Rara. Padahal dirinya hendak pergi jalan-jalan menikmati angin malam bersama Akasha yang notabene adalah sahabatnya sejak bayi. Biasalah, wanita seperti Rara harus tampil maksimal.

Gosh, itu anak naik burok atau gimana sih? Cepet banget,” omel Rara yang tengah mengaplikasikan maskara ketika ponsel miliknya terus-terusan berdering. Gadis berambut panjang terurai itu lantas beranjak dan mengambil ponsel lalu memasukkannya ke tas selempang.

“Nah, baru juga dibuka. Ayo buruan.”

“Berisik banget pakai telepon segala. Ya udah, ayo.” Rara mendorong bahu pria yang lebih tua dua tahun darinya itu menuruni tangga kosannya. Sedangkan Akasha hanya mengenyritkan dahi dan membiarkan seluruh pikirannya saling berdialog memenuhi kepala.

Siapa yang menelepon Rara? Bukan aku yang menelepon Rara.

Pemuda berdarah Jepang itu hanya mengangkat sudut kiri mulutnya lalu merangkul Rara untuk menuruni setiap anak tangga kosan menuju mobil yang ia parkirkan di depan rumah tiga tingkat itu.


Arga setia berdiri sembari mencengkram sebuah gelas berisikan kopi. Iris coklat miliknya mengamati dan meneliti setiap binar merah kendaraan yang melewati apartemen dan nampak dari jendela unitnya yang sangat besar.

Sebenarnya perasaan Arga sedang kacau hari ini. Dirinya bahkan tak muncul di basecamp seharian ini untuk sekedar bermain gitar atau drum.

Hari ini adalah ulang tahun Echa dan dirinya selalu tersiksa dengan hari itu. Maka saat ini, Arga hanya mengurung diri dan berusaha menelepon Rara. Because her deep hug is like medicine for Arga Maharu Awu and he need that.

Jemari Arga mulai menggulir timeline Twitter akun privatnya, hingga netranya terkunci kepada satu cuitan gadis yang dia hubungi sedari tadi.

“Taman Jagakarsa? Ngapain?” Alis sang adam tertaut dan tanpa basa-basi, dirinya langsung mengambil crew jacket yang ia gantung di kursi makan, lalu memakainya. Lantas pemuda itu meninggalkan unit apartemen menuju parkiran.

Pikirannya kini hanya Rara. Dirinya membutuhkan Rara satu malam saja.


Kembali ke Arasha Ragita yang kini tengah menikmati roti bakar coklat bersama Akasha. Entah akan berapa piring lagi yang akan ia pesan. Karena gadis itu cukup memyukai roti bakar dengan coklat yang melumer.

“Lo katanya mau diet ... kok udah habis tiga piring, Ra?” cibir Akash yang kini mendapat tatapan mematikan milik Rara. Tak segan-segan pula gadis itu melayangkan sebuah cubitan di lengan pemuda itu.

“Aduh! Ra! Galak banget ...” Akasha mengusap lengannya, “... omong-omong, kita kan udah deket dari zaman lo masih di kandungan nyokap lo sampai sekarang.”

Rara menghentikan aktivitas mengunyah, lantas memusatkan seluruh atensinya kepada pria di depannya.

“Gue suka sama lo, Ra.”

Entah darimana petir menyambar hati Rara ketika Akasha berterus terang seperti itu. Sungguh, gadis itu bingung hendak mengatakan apa kepada pemuda yang telah menjadi sosok kakak dalam kehidupannya.

Netra Akash menangkap sosok sahabatnya di dunia musik, tak lain dan tak bukan adalah Arga Maharu Awu yang tengah membulatkan mata setelah mendengar bagaimana Rara menerima sebuah pernyataan rasa dari teman kecilnya. Pemuda berdarah Jepang itu kembali menatap Rara dan tersenyum simpul. Seakan tahu apa jawaban dari perasaannya kali ini.

“Lo kayaknya suka sama temen kampus elo ya? Ra? Yang selalu lo ceritain nge-friend zone elo?”

Rara mengangguk dan menatap pria bernama asli Miyazaki Ichiro itu dengan perasaan yang tidak enak. Sangat tidak enak jikalau dia harus membuat Akasha alias Ichiro ini berada di posisinya bersama Arga. Namun sampai kapanpun, pemuda di depannya ini sudah ia anggap layaknya kakak.

“Mata lo udah jawab kok, Ra. Mata dia juga udah jawab kalau aslinya dia punya perasaan ke elo.” Dahi gadis itu mengerut, membuat Akasha langsung menunjuk ke belakang Rara menggunakan dagu.

Namun Arga telah berjalan dengan cepat meninggalkan Rara dan Akash. Akan tetapi, gadis itu mengetahui tubuh Arga yang jangkung membelah kerumunan. Membuat gadis itu beranjak dan ingin mengejar Arga.

Akasha mencengkram lengan Rara, menariknya, dan membisikkan sebuah kalimat ke telinga gadis itu.

“Ra, lo cuman punya dua pilihan. Mengikuti salah satu dari kita, entah itu Arga ... entah itu gue. Atau ... membiarkan perasaan gue sama lo itu tetap tergantung tanpa penjelasan dan membentuk sebuah segitiga bermuda yang suatu saat akan menenggelamkan lo.” Akasha tersenyum dan mengepalkan tangannya seperti orang yang akan memberikan semangat.

Good luck, if you choose Arga. Semua keputusan lo itu baik kok, gue akan selalu dukung.” Rara mengangguk kecil, lalu berlari mengejar Arga.

“Ga! Tunggu!” Rara meneriaki nama Arga, hingga tanpa dirinya sadari jika pemuda itu menghentikan langkah dan membuat gadis itu menabrak punggung Arga.

“Lo kenapa di sini? Bukannya lo sama anak D'Jure itu?” Pemuda berwajah bule itu memutar badan dan menatap Rara seakan meminta jawaban atas apa yang dia lihat.

“Dia sahabat gue dari gue masih di kandungan nyokap. Gue tumbuh gede bareng dia, dan gue udah anggap dia abang gue. Lantas sopankah seorang adik menyukai kakaknya sendiri?” Sebuah dekapan erat langsung gadis itu terima setelah dirinya menjelaskan semua yang terjadi baru saja melalui penjelasan singkat.

“Gue kira, gue bakal kehilangan MJ gue untuk kedua kalinya. Gue bener-bener need your hug right now, Ra.

“Iya-iya, gue bakal setia perjuangin perasaan gue dan menjadi pacar bias gue. Berbahagialah elo karena gue masih di sini. Perjuangin elo. Sekarang mending balik dulu deh, Ga. Gak enak dilihatin orang.”

“Hari ini hari ulang tahun Echa, Ra. Dan gue masih gak bisa maafin diri gue.” Arga mengencangkan dekapannya. Tak peduli dengan ucapan Rara baru saja serta puluhan pasang mata yang menatap mereka.

“Iya ... sesi curhatnya di rumah aja ya. Siniin kunci mobil lo, gue aja yang bawa.” Rara meraih kunci mobil bergantungan Spider-Man lantas berjalan mendorong Arga menuju mobil. Walaupun akhirnya Arga jugalah yang mengendarai mobil.

“Jangan nangis gitu ih, Ga. Jelek.” Rara mengeluarkan satu kotak tisu dari dashboard, lantas memberikan benda itu kepada Arga.

Thanks.”

“Ngapain pakai terima kasih? Kan ini tisu elo jugaan.”

No Bukan buat itu.” Arga mencuri pandang kepada Rara, membuat Rara sedikit menahan tawa sebab mata Arga yang sangat merah.

“Gue makasih, elo mau setia suka sama gue. Padahal gue friend zone -in lo terus.” Gadis utu menggeleng, lantas mendekatkan wajah mereka. Sangat dekat, hingga mereka dapat mendengarkan deru napas satu sama lain.

“Sikap lo udah balas perasaan gue, Ga. Lo gak usah jelasin secara sadar, karena alam bawah sadar lo udah jelasin ke gue saat tahun baru dulu di Solo.”

“Maksudnya?” Rara mengusap bibir Arga lantas terkekeh. Namun sedetik kemudian, gadis itu segera kembali ke posisi sebab klakson dari arah belakang yang terus-terusan memberondong mereka.

“Maksudnya apa sih, Ra? Jangan bilang gue cium elo?”

“Tanya aja nanti sama Bagas. Dia yang ngerekam kelakuan lo.”

Segitiga bermuda mulai hilang dan terganti. Karena Rara masih memegang erat keputusan yang ia pilih, yaitu menjadi bahu untuk Arga yang masih membutuhkan waktu untuk melepas bayangan masa lalu yang membelenggu. Memberikan waktu untuk pemuda itu agar dapat melepas ikatan yang ia ciptakan.

Karena sejatinya, perasaan mereka saling balas membalas. Hanya saja terhalang oleh masa lalu yang penuh dengan penyesalan.

Sepertinya kota Surakarta memang memaksa mereka untuk menikmati romansa layaknya Dilan dan Milea. Baru juga seratus meter kendaraan itu melaju, hujan deras telah mengguyur mereka tanpa henti.

“Berhenti dulu gak?” tanya Arga yang sedikit teriak sebab suaranya kalah dengan derai hujan. Dibalas dengan teriakan oleh Rara yang tak ingin berhenti hanya sekedar untuk berteduh. Gadis itu sangat tak acuh dengan kaos hijau tuanya yang kini mulai menghitam karena terguyur hujan. Yang ada di benak gadis itu hanyalah untuk sampai ke toko buku sebelum dirinya dan tas yang berisi novel yang ia bawa basah kuyup.

Arga melihat samar-samar bayangan Rara yang basah di spion justru menepikan kendaraannya di depan warung indomie, pria itu masih ingat bahwa Bagas selalu menggantungkan jas hujan di kendaraan tua itu.

“Nih pakai dulu. Gue gak terima pengaduan kalau nanti lo masuk angin.”

“Elo kali yang masuk angin, Ga.” Rara tertawa dan menerima sebuah jas hujan polkadot berwarna merah muda lalu mengenakannya. Arga juga melakukan yang serupa, dirinya juga mulai memakai jas hujan poncho berwarna biru tua dan dirinya langsung mempersilahkan gadis itu untuk menaiki kendaraan.

Namun, karena hujan sudah mengguyur mereka tadi. Setibanya mereka di parkiran Gramedia hanya bisa terdiam. Pasalnya, toko buku berarsitektur Belanda itu tak ada tanda-tanda hujan deras seperti tadi. Cuaca sangat cerah hingga mentari menyinari mereka, walau saja terdapat beberapa rintik hujan yang tak membuat orang menjadi basah kuyup.

“Gila nih kota. Gue di-prank sama hujan doang,” omel Arga sembari melepas jas hujan. Bajunya bagian depan sangatlah basah kuyup, bahkan tak lupa pula bagaimana basahnya masker kain hitam yang ia pakai untuk men-double masker medis di dalamnya hingga ia dapat memerasnya.

“Ini-ini, ganti aja.” Rara memberikan sebuah masker medis berwarna putih yang masih terbungkus dengan rapi. Membiarkan pemuda itu menggantinya agar tidak merasa engap.

Rara masih menahan tawa ketika membayangkan bagaimana Arga tadi bergulat dengan hujan. Sangat konyol hingga dirinya terheran-heran bisa menyukai pria yang memaki-maki langit karena hujan yang sangat deras itu.

“Ya udah ayo masuk,” ujar Arga sembari menggenggam tangan Rara, tak peduli akan tubuh mereka yang menggigil karena baju yang basah. Siapa tahu kan, nanti kering sendiri di dalam dengan bantuan AC.

Pria bertubuh mungil itu berjalan keluar dari rumah sederhana yang telah ia tempati sejak libur kenaikan kelas hingga memasuki tahun awal dirinya di bangku akhir SMP.

Pemuda itu memang kembali menghindari Naufal. Namun tak semerta-merta tanpa alasan. Semenjak kasus yang naik di salah satu base julid sekolah, Naufal dan dirinya mengalami masa yang cukup sulit. Hingga ia beberapa kali diberi kabar oleh Madava jikalau terdapat beberapa memar di tubuh Naufal setelah mengalami penuruan akademik yang drastis.

Senyum pria kelinci itu hilang begitu saja dan Renjana sangat membencinya.

Maka dari itu, Renjana memilih untuk memperpanjang masanya menginap. Karena jujur, pemuda itu tak sanggup melihat kondisi sang Adik. Namun hanya kali ini, pemuda mungil itu sangat yakin untuk kembali. Renjana harus menyelesaikan masalah ini.

“Renjana! Gue anterin aja!” suara teriakan Jazzier dari dalam rumah tak membuat pemuda itu berhenti. Ia melihat ada seorang tukang ojek yang tengah nongkrong santai. Membuat pemuda itu langsung menghampirinya dan menepuk bahu pria yang tengah memejamkan mata itu dengan lembut.

“Bisa antar saya? Nanti saya kasih tahu tempatnya.”


Kaki Renjana kini berpijak sebuah gedung perkantoran yang sangat terkenal. Banyak sekali karyawan berwira-wiri dengan beberapa berkas di tangannya.

“Selamat sore, Dek. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya Renjana Antareksa. Hendak bertemu Abhipraya Antareksa,” jawab Renjana dengan cepat ke resepsionis yang menyambutnya dengan ramah. Dengan segera, wanita itu mengarahkan Renjana menuju lift untuk ke kantor Abhipraya yang ada di lantai lima puluh.

Entah mengapa, Renjana sangat gelap mata saat ini. Seluruh dendam yang ia pendam seakan mencuat keluar untuk meminta pertanggung jawaban.

Renjana berjalan menyusuri lorong yang dipenuhi dengan karyawan yang tengah sibuk. Menuju ke sebuah ruangan yang ada di ujung sana.

“Saya mau bicara empat mata sama Anda, Abhipraya.” Renjana menutup pintu perlahan, lalu menutup satu persatu tirai yang ada agar karyawan yang tengah lembur itu tak memindahkan atensi kepada mereka.

“Saya itu Papa kamu. Berlakulah yang sopan.”

“Bagaimana saya bisa memanusiakan Papa saya, jikalau dirinya sendiri tidak pantas untuk disebut Papa oleh saya?” Abhipraya bangkit dan mencengkram erat kaos yang Renjana kenakan. Sangat kencang, hingga tubuh mungil setinggi dagu Abhipraya itu justru terdorong ke belakang.

“Alasan Anda klasik. Mengatakan anak bodoh dan tolol agar mereka maju secara akademik. Tutup mata tentang non-akademiknya yang justru melambung.” Renjana berusaha untuk memberontak dan lepas dari cengkraman sang Papa. Namun mustahil! Dirinya kurang kuat untuk mendorong pria itu.

“Anda boleh kok lakuin itu ke saya. Anggap saya binatang jalang yang selalu kamu kekang. Tak boleh membantah perintah. Tapi tidak untuk dia.”

“Dia? Dia siapa?”

“Adik saya.” Akhirnya Renjana dapat mendorong Abhipraya mundur dan dengan segera pemuda itu mengeluarkan senjatanya yang ia simpan di dalam tas ransel.

“Tentang Naufal yang menerima caci maki di sekolah.” Renjana melempar sebuah kertas yang telah di staples dengan rapi. Kertas itu berisikan tentang Naufal yang dihujat secara virtual dan lengkap dengan data sang pelaku yang telah dirinya dapatkan dengan bantuan Jazzier.

“Tentang usaha Naufal yang selalu Anda ludahi.” Naufal melempar kembali satu bundle kertas yang berisi foto-foto usaha Naufal yang diam-diam ia simpan, beserta foto bukti cerita Madava selama kepergian Renjana dan foto beberapa luka dan memar di tubuh Naufal.

Renjana membuka ponselnya, dan langsung memutar rekaman panggilannya bersama Madava.

“Terakhir, tentang upaya Madava yang selalu Anda abaikan.”

Suara terputar dengan jelas. Bagaimana Madava yang menangis di panggilan setelah menerima pukulan sang Papa setelah meminta bantuan untuk Naufal.

Gue gak bisa, Bang. Papa keras, gue gak bisa. Menurut dia, itu bukti kalau Naufal sama gue itu memang bego. Dan kita ya udah, belajar terus.” Suara rekaman itu berhenti, dan membuat Renjana melipat tangan sembari menatap Abhipraya.

“Bagaimana saya bisa memanusiakan manusia, jikalau dirinya tak bisa memanusiakan buah hatinya?”