Jakarta Selatan, 2018
Seluruh peserta didik SMA Negeri 8 memadati sebuah papan informasi sekolah, begitu juga anak-anak Bumilangit. Iris coklat mereka menelaah satu persatu kalimat dari poster berukuran A3 berwarna biru laut itu.
Konser Amal untuk Bumi Pertiwi 2018
“Join kaga?” Naufal menyeletuk, kepala pemuda itu menoleh menatap teman-temannya yang masih setia membaca tulisan yang tertera. Naufal memang sebenarnya ingin sekali bermain di panti asuhan, melakukan kegiatan bakti sosial, bahkan cita-cita terbesarnya adalah menjadi dokter. Tapi yah, semesta kurang mendukungnya.
Sebaliknya, Arga menemukan sebuah peluang yang baik untuk Bumilangit. Dirinya juga dapat bertemu lebih banyak orang dan membantu banyak orang.
“Gas aja sih gue, itu CP-nya di bawah kan?” jawab Arga dan langsung disahut oleh Bagas yang kini memotret contact person yang tertera.
“Nanti gue yang hubungin aja buat daftar.”
“Update terus di grup yak!” seru Madava yang dibalas dengan acungan jempol pemuda itu dan berlenggang begitu saja sembari menarik krah leher Hendrian karena sebentar lagi bel istirahat akan usai dan mereka belum menyalin tugas kimia milik Echa. Diikuti dengan Renjana yang berjalan mengikuti kedua pemuda itu.
“Jiz, Ches, gak balik lo? Gue, Naufal, sama Arga mah nunggu guru BK lewat. Sekalian mau caper.” Sebuah toyoran mendarat ke kepala Madava. Toyoran dari Arga yang tak terima jika dirinya menjadi kambing hitam. Sedangkan Rajiza dan Chesna langsung berlenggang begitu saja meninggalkan mereka yang masih adu toyor.
“Lo tuh jadiin gue kambing hitam mulu.”
“Iye nih Dapak kebiasaan,” omel sang adik yang entahlah, emang antara ingin ikut-ikutan dengan Arga atau punya dendam tersendiri kepada Madava. Karena toyoran terakhir Naufal justru membuat Madava terhuyung.
“Ya udah besok jadi kambing pink, ya?” Madava hanya cengengesan, lantas menghampiri Anita yang tak lain dan tak bukan adalah guru BK mereka. Iya, tujuannya memang untuk cari perhatian. Tapi itu hanya berlaku kepada Madava. Bukan kepada kedua pemuda yang kini mengekor Madava memasuki kelas.
Satu minggu telah berlalu semenjak kedelapan pemuda ingusan itu berdiri di depan papan informasi, kini mereka berada di sebuah panti asuhan yang dijadikan tempat untuk melakukan kegiatan amal. Arga, Madava, Renjana, Rajiza, Hendrian, Bagas, Arjuna—yang kemarin diberi kabar oleh Bagas H-1 acara—dan Chesna telah datang dan bahkan mereka membuka kemeja OSIS yang mereka kenakan untuk menunjukkan kaos seragam amal berwarna putih yang mereka kenakan di dalam.
“Ini Naufal mana?” tanya Hendrian kepada kedua saudara satu embrio Naufal—Madava dan Renjana—dan hanya dijawab dengan gerdikkan bahu. Si bungsu katanya ada urusan dahulu dengan remedi matematika, jadi dia akan datang terlambat.
Memang benar jikalau pria bernama Naufaludin Mahardika Antareksa itu bergelut dengan semua rumus trigonometri yang cukup memusingkan. Bahkan kini, dirinya telah berlari menyelam di antara lautan siswa yang mengikuti konser amal dengan posisi masih memakai seragam OSIS lengkap, hingga ia tak sengaja menyenggol seorang gadis. Dan membuat airpods milik Naufal terlepas dan jatuh.
“Sorry-sorry, gak sengaja.” Naufal lantas berlari begitu saja setelah meminta maaf.
“Nah itu dia. Naufal!” teriak Arga yang kini melambaikan tangan. Membuat pemuda itu langsung berlari mendekati kelompok kecil bernama Bumilangit itu.
“Lama banget kemana deh, Fal?” tanya sang kakak, Renjana yang sedikit khawatir.
“Kok lo cuman pakai airpods sebiji doang, Fal?” tanya Madava yang langsung membuat Naufal segera meraba lubang telinganya. Pantas saja, dirinya dari tadi hanya merasa bahwa lagu Love Again milik NCT DREAM hanya terdengar di telinga kirinya.
“Yah ... ilang Kak ... jatoh.” Naufal kini hanya bisa terdiam dan menyadari kebodohannya.
“Gampang, ntar gua beliin Bang. Ayo naik dulu, kalau gua gak gajian gimana gua bisa beliin lu airpods?” celetuk Chesna yang mencangklong sebuah keytar—keyboard guitar—dan naik ke atas panggung. Membiarkan Bagas berpikir, bukannya ini konser amal? Jadi tidak ada penghasilan apapun yang masuk ke Bumilangit. Iya kan? Bagas tidak salah kan?
“Ches, ini kan acara amal!” Rajiza mencari di mana bass biru tuanya diletakkan, lantas mengambil benda biru kesayangannya itu dan mencangklongnya sembari menaiki satu persatu anak tangga.
“Suit dulu siapa yang nyanyi duluan?” ujar Arjuna kepada Renjana dan berlagak seperti orang yang akan melakukan adu suit.
“Ngapain bego! Nih rundown-nya lo duluan bawain lagu Bagai Bintang di Surga.” Renjana memukul gulungan kertas susunan acara ke kepala Arjuna, lantas membukanya dan menunjukkan bagian yang ia stabilo. Yang tak lain dan tak bukan adalah jadwal Bumilangit perform.
Penampilan babak pertama berjalan dengan sangat baik dan mereka bertujuh telah turun dan disambut dengan Renjana yang membawa satu dus air mineral.
“Ada Nutrisari kaga? Mau gue campurin,” celetuk Hendrian yang sebenarnya ini lebih cocok dikatakan bahwa pemuda itu sedikit ngelunjak. Bisa-bisanya meminta Nutrisari di acara seperti ini.
“Gak ada! Kaga usah ngelunjak ye lu, ini air aja dari staff. Lu kira ini kantin Barokah, bisa request Nutrisari.” Renjana lagi dan lagi mengamuk dan memukul pemuda yang kerap dipanggil Aheng itu dengan botol kosong.
“Permisi.” Suara gadis menghentikan aktivitas mereka yang tengah melepas dahaga, membuat kesembilan pemuda itu tak terkecuali Naufal menatap gadis berambut panjang yang kini dijepit. Pemuda itu masih ingat bahwa gadis itu yang ia tabrak ketika panik mencari Bumilangit.
“Boleh bicara sebentar sama gitarisnya? Yang itu,” ucap sang hawa yang menunjuk Naufal. Berdampak dengan ujaran “cie” dari rekan-rekannya.
“Boleh, boleh banget. Sekalian di pacarin aja,” celetuk Bagas yang kini mendorong tubuh Naufal mendekati si gadis. Untung saja ia tak terjatuh karena jarak tubuh mereka kini cukup dekat.
“Ya udah, gue ngomong sebentar ya. Sambil cari makan,” pamit Naufal yang kini mengikuti langkah si gadis.
“Sorry, kita belum kenalan. Mungkin lo udah tahu nama gue, tapi gue belum.” Naufaludin memecah kesunyian di antara mereka. Namun tetap saja, suara bising orang-orang yang hadir mengalahkan kesunyian yang Naufal pecahkan baru saja.
Hingga sebuah tteokppokki pesanan gadis itu tiba. Membuatnya segera menyantap makanan kue beras dengan kuah meeah khas Korea itu hingga tangan Naufal tergerak mencegahnya.
“Lengan lo panjang. Ntar kotor susah lagi dibersihin,” tutur Naufal sembari menggulung lengan kemeja yang gadis itu kenakan.
Pemuda itu kembali terdiam, lantas membuka buku pelajaran bahasa Inggris dari tasnya dan mulai mengerjakan tugas yang diberikan Miss Erika tadi pagi menggunakan pensil.
“Oh iya, maaf kalau gue kayak ngebingungin elo. Ini, airpods elo yang jatuh pas nabrak gue. Gue Karin.” Karin memberikan airpods putih milik Naufal dan membuat pemuda itu bahagia setengah mati sebab airpods itu tak jadi hilang.
“Makasih ya, bisa mati gue kalau airpods hilang sebelah.” Naufal tersenyum, menyelipkan pensil di belakang daun telinga dan menutup buku bahasa Inggris yang baru tergarap setengah.
“Lo kenapa gak ganti pakai kaos event kayak temen-temen lo?” tanya Karin basa-basi, membuat pemuda itu tersadar bahwa sedari tadi dia masih menggunakan seragam OSIS.
“Oh ... lupa. He he he. Oh iya, gue harus balik. Ini mau perform lagi soalnya.” Naufal berdiri dari bangku stainless itu dan melihat jam di pergelangan.
“Bentar, siniin pensil lo.” Karin mengambil pensil dari telinga Naufal dan menuliskan sesuatu di halaman pertama buku bahasa Inggris Naufal.
“Itu ID Line gue. Siapa tahu kalau lo butuh bicara sama gue. By the way, makasih traktirannya.”
Naufal hanya tersenyum dan mengangguk, meraih buku dan pensilnya lantas berlari meninggalkan gadis itu menuju sebuah tenda putih yang dijadikan ruangan transit mereka.
Begitulah awal perjumpaan Naufal. Sederhana, namun bisa bertahan hingga tahun 2022. Entahlah dalam status apa, yang penting kita hanya tahu bahwa mereka dekat.