Entah mengapa, hujan setia mengguyur kota Surakarta ketika pria berkulit coklat itu terbangun.
Pemuda itu menggerakkan beberapa sendi di tubuhnya yang kaku sebab tertidur hampir satu malam di sofa hotel beraksitektur Eropa yang dirinya tempati setelah konser penuh lelah bersama Bumilangit semalam. Membiarkan ranjang king size yang empuk itu ditempati oleh seseorang yang memiliki seluruh isi hatinya.
“Udah bangun?” Bagas tersenyum, di dalam hatinya ia panjatkan beribu-ribu ucapan syukur sebab ia masih diberikan kesempatan untuk mendengarkan suara itu. Suara milik Sabiru van Dijk, gadis yang selalu ia puja setiap dirinya berada di atas panggung konser.
“Kata Arga, hari ini free. Jadi aku mau ajak kamu ke Gramedia mau? Ada di sebelah kok, jalan kaki aja bawa payung.” Sabiru mendekati Bagas, membuat sang adam menghirup aroma coklat yang berpadu dengan aroma manis tubuh sang pujaan hati.
Rasanya, pria itu ingin sekali menenggerkan kepala di bahu gadis di sebelahnya sembari menghirup sebanyak mungkin aroma manis parfum Miss Dior yang Sabiru kenakan.
Bagas mengintip isi gelas yang ada di genggaman Sabiru dan bertanya, “Bikin apa kamu? Saya minta dong.”
Sang hawa tertawa. Menatap wajah sang lawan yang kini memanyun untuk meminta minuman yang ia genggam.
“Sure, ini minum aja.” Gadis itu memberikan cangkirnya. Membuat pemuda dengan tahi lalat yang berjejer bak konstelasi bintang tersebut langsung tersenyum tengil sembari menyesap minuman itu hingga habis.
“Tadi kamu mau ke mana, Bir? Gramedia?” tanya Bagas seusai meneguk coklat hangat, menatap lekat-lekat gadis di hadapannya yang kini mengangguk.
“Aku mau beli Hilmy Milan. Baru lihat kalau bukunya udah di Gramedia.”
Tak ada angin dan tak ada hujan, Bagas mencubit pipi Sabiru dengan gemas dan mengacak-acak rambut Sabiru sebelum ia masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Tak peduli dengan dirinya yang belum mandi. Rasanya terlalu dingin jikalau memaksakan diri untuk mandi.
“Saya mau ganti baju, Sabiru. Kamu mau lihatin saya ganti baju, gitu?” Bagas terkekeh dan langsung menutup pintu kayu kamar mandi itu setelah Sabiru pergi melenggang begitu saja.
Di sinilah mereka berada, di depan lobi hotel menunggu hujan sedikit reda. Bagas melihat ke arah Sabiru, gadis itu setia menggosokkan kedua telapak tangannya sebab dingin yang sangat menusuk kulit hingga menembus ke tulang.
Bagas segera melepas jaket denim hitam yang ia kenakan, menudungkan benda itu ke puncak kepala Sabiru dan membuat gadis itu terkejut.
“Bakal lama kalau kamu menunggu, Bir. Yang ada nanti kamu beku di sini gara-gara kedinginan,” ucap Bagas hiperbola. Sabiru hanya tersenyum dan langsung berlari berdua bersama Bagas untuk membelah tirai hujan yang tak kunjung reda.
“Bagas! Nanti kamu masuk angin!” teriak Sabiru ketika Bagas melepas jaket denimnya untuk Sabiru pakai, sedangkan dirinya berjalan sembari sedikit menari di trotoar.
“Hujan itu harus dinikmati, Bir. Dari banyaknya anugrah yang Tuhan beri, saya juga bersyukur setiap hujan apalagi di pagi hari.”
“Maksudnya?” Gadis itu mengeraskan suara, berusaha mengejar Bagas yang mempercepat langkahnya.
“Bersyukur ... saya masih dapat menghirup udara segar pagi ini, saya masih dapat menikmati air tanpa memikirkan akan kekeringan, dan satu lagi ... .” Bagas menghentikan kalimatnya, lalu membalik tubuhnya ketika mereka telah memasuki bangunan berarsitektur Belanda dan berwarna putih dengan lantai corak yang menambah keindahan bangunan kuno yang dijadikan toko buku itu.
” ... saya bersyukur, saya masih bisa lihat kamu yang gosok-gosokkin tangan karena kedinginan, bisa dapat pelukan yang hangat dari kamu, dan saya sangat bersyukur karena hujan merekam kenangan kita yang tengah berjalan di tengah hujan.” Bagas tersenyum lalu mengacak rambutnya yang basah. Membuat sang gadis hanya tersenyum dan tak tahu ingin berkata apa.
Benar kata Bagas, hujan akan selalu menyimpan kenangan kedua insan itu di setiap bulir yang terjatuh ke bumi. Ia akan membawa kenangan itu kembali di saat hujan keesokan hari.