hvangrcnjun

di sinilah semua dunia Tara tertuang

Aku menatap layar laptop yang setia menunjukkan tampilan Write As dengan kursor yang setia berkedip.

“Udah belum, Ga?” Suara Rara memasuki indra pendengaranku. Gadis itulah yang menjebakku dengan semua tugas ketikan ini.

“Gue cuman suruh lo nulis surat cinta buat penggemar, Ga. Nanti gue selipin di AU gue.” Begitulah penjelasannya. Aku hanya menurut saja. Yaa ... itung-itung aku melepaskan semua rasa yang pernah aku tuang bukan?

Maka dari itu, aku memulai untuk mengetik setiap untaian aksara ini.


Tak terasa ya, ini telah berada di halaman terakhir tahun 2021. Gue masih ingat banget, gue dulu hujan-hujanan di penghujung tahun 2015. Di waktu pertama kalinya gue kenal sama Echa di festival musik.

Gue gak nyangka aja, gue bertumbuh dengan semua rasa sakit dan bahagia yang saling beradu untuk menjadi yang paling terkuat.

2021 mengajarkan gue buat melupakan seseorang untuk membiarkan sang penggantinya untuk mengisi relung hati yang kosong. 2021 juga, yang mengajarkan seorang Arga Maharu Awu apa arti lagu Pamungkas, I love you but I'm letting go. Semua ini tentang cinta gue, dan tentang segala rahasia semesta yang cukup naif untuk diri gue.

Tahun ini juga puncak Bumilangit, mungkin ini masih puncak terendah dan esok, akan ada puncak pengganti. Di mana lagu gue menjadi nyata dan Bumilangit di elukan selalu.

Gue gak akan mati. Sampai kapanpun, gue akan selalu ada di hati kalian, Eartherians. Karena kalianlah orang yang membuat kami hidup, tanpa kalian, kami bukan siapa-siapa. Hanyalah sebuah kisah fiktif tanpa landasan apapun.

Selamat tahun baru, kasihku. Semoga kita selalu bersama hingga kisah kita diabadikan dalam bentuk cetak ya.

Dengan penuh bangga,

Arga Merbaboe

“Kak Ren kenapa sih?” Naufal melempar ponselnya sembarang lalu membanting tubuh di atas kasur.

Netranya menangkap jarum jam yang ada di atas jendela, pukul dua belas lebih dan rumah terasa sangat sepi. Mungkin, kedua orang tuanya masih sibuk.

Pemuda itu berjalan keluar dari kamar dan menghampiri kamar saudara kembarnya yang lain.

“Kak Mada! Mau Indomie enggak!” ucap pria bergigi kelinci itu sembari beberapa kali mengetuk pintu kamar. Hening, tanpa jawaban dari sang pemilik kamar. Sangat mencurigakan bagi Naufal, karena biasanya sang tengah kini bermain Mario Kart hingga nanti pukul tiga pagi.

“Kak.” Naufal membuka knop pintu, ruangan itu sangatlah berantakan. Berbagai pakaian tergeletak begitu saja di lantai dan di seluruh penjuru kamar.

Namun, sang kakak tak ia temukan barang sehelai rambut sekalipun. Hingga indra pendengarannya menangkap sebuah suara isak.

“Kak Mada ... .” Naufal mendekati jendela kamar Madava, sangat jelas terdengar suara isakan di balik hujan yang deras.

Pemuda itu menangkap bayang Renjana di netranya, pemuda itu yang menangis bersama hujan. Rasanya, Naufal ingin sekali memanggil sang kakak. Namun, ia tak sanggup. Yang dia hanya lakukan hanyalah meninggalkan kamar Madava dan menuruni tiap anak tangga. Menemukan Madava yang kini tengah memakan mi instan sembari entahlah ... berkirim pesan dengan sahabatnya mungkin?

“Kak, bisa tolongin Naufal gak?”

“Tolongin apa?” Naufal membisikkan sesuatu ke telinga Madava. Membuat pemuda itu langsung beranjak dan berlari menaiki setiap anak tangga menuju kamar Renjana.

Suara teriakan Madava sangatlah kencang, pemuda yang telah memasuki masa akil balik itu memiliki suara bariton yang sangat tegas di setiap dirinya memanggil nama Renjana.

Hingga ia tak mendengarnya lagi, mungkin kini si tengah mencoba untuk nekat untuk mengangkat sang sulung dari jendela kamarnya.

“Bang Renjana gak usah nekat gini bisa gak sih? Gue khawatir elo demam.” Begitulah omelan Madava yang pemuda itu dengar.

“Ini beneran kamar lo?” Naufal terbahak. Untung saja, pemuda itu dapat menahannya agar tidak menjadi runyam masalah. Ucapan Renjana selalu seperti itu, singkat dan tepat pada sasaran. Terkadang, ucapan pemuda mungil itu terlalu jujur hingga orang sedikit tertohok.

“Bang, turun yuk. Lo harus angetin badan. Naufal bikinin lo Indomie kesukaan lo. Gak ada penolakan atau nanti ... gue gampar elo.” Madava mendorong tubuh Renjana yang kini terbalut selimut tebal milik Madava, menuruni setiap anak tangga yang ada untuk menemui Naufal yang kini menaruh semangkuk Indomie kari spesial dengan telor di atasnya.

“Nih, Kak. Kesukaanmu.” Netra Naufal menangkap sekilas senyuman di wajah Renjana. Entah mengapa, pemuda itu sangat bahagia ketika melihat sang kakak tersenyum seperti itu.

“Terima kasih.” Madava menoleh ke arah Renjana, lalu mendekatkan telinga kepada bibir Renjana. Meminta pemuda itu untuk mengulang kembali ucapannya.

“Kuping lo banyak congek. Udah minggir! Gue mau makan. Atau kepala lo yang gue makan?”

Semangkok Indomie memberikan sisi di mana Renjana juga manusia yang punya perasaan. Dirinya juga ingin diberi cinta dan sang adiklah yang mampu memberikannya.

Beginilah mereka saat ini, berjalan menyusuri jalan Honggowongso yang tak terlalu padat maupun terlalu sepi sebab malam Minggu.

Rara hanya menatap bahu lebar Arga yang kini terlingkar sebuah tas selempang. Pria itu tak memakai jaket maupun pakaian yang menutupi dirinya dari dingin. Sehingga membiarkan kaos hitam yang ia kenakan kini bergerak kesana-kemari hasil tiupan angin.

Arga menatap wajah Rara dari kaca spion. Tanpa pemuda itu sadari, sebuah senyuman tercipta di wajahnya.

Dan Arga langsung menarik tangan Rara. Menuntun tangan gadis itu untuk melingkar di pinggangnya. Hingga sang hawa hanya terkejut bukan main.

“Ng-ngapain?”

“Gue mau ngebut. Bentar lagi nyampe sih,” ujar Arga yang kini mulai menarik gas dan menambah kecepatan. Membuat gadis itu reflek memeluk erat tubuh Arga dan mencium aroma parfum Spalding yang menguar begitu saja.

Dunia entah mengapa menjadi lambat ketika mereka berada di atas motor. Kota Surakarta memanglah unik, membawa rasa berbeda di setiap sudut kota. Hingga motor yang mereka tunggangi kini terparkir di pelataran suatu rumah toko. Rara langsung turun dan melepas helm. Matanya kini menatap perempatan jalan yang sedikit ramai sebab lampu merah dan di seberangnya, terdapat sebuah pasar yang telah tutup.

“Gue masih bertanya-tanya, Ga. Ini deket banget ... dan kenapa ... lo harus ngajak gue.” Rara menatap pria yang baru turun dari motor. Entah mengapa, ini pertama kalinya seorang Arasha Ragita melihat pria yang mengenakan pakaian casual itu melepaskan masker yang menutupi wajah untuk menyulut sebuah rokok.

“Lo gak apa-apa kan kalau gue ngerokok?” tanya Arga yang dibalas dengan anggukan Rara. Gadis itu tak mempermasalahkan apapun tentang Arga. Mau dia mabuk, mau dia ngerokok, atau mau dia balapan liar sekalipun, gadis itu tak peduli. Selagi hal itu tidak membahayakan dirinya.

“Oke deh. Buruan sini.” Arga mengulurkan tangan. Mengajak gadis itu mendekati sebuah gerobak angkringan yang sangat baru untuk dirinya.

“Mas, telur puyuhnya cuman ini?”

“Iya, Mas cuman ini. Eh, ini Masnya yang dulu pernah borong telur puyuh bukan sih?” Arga hanya menyengir sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Membuat Rara hanya bertanya-tanya dengan masa lalu Arga.

“Lo ambil aja, Ra. Gue bayarin.” Rara segera mengambil beberapa makanan yang ia kenali dan menaruhnya di atas piring plastik berwarna oranye.


“Oh iya, pertanyaan lo belum gue jawab,” Arga menatap Rara setelah mendapatkan tempat lesehan. Pemuda itu menatap Rara secara intens, hingga sebuah suara musik sangat keras datang dari jalan raya. Mendekati Arga dan Rara yang kini langsung menoleh.

Arga sebenarnya masih agak takut setelah kejadian silam yang ia alami karena ulah Bagas. Hingga ia tanpa sengaja mengenggam tangan Rara dan memberikan jawaban kepada perempuan itu, mengapa seorang Arga Maharu Awu meminta dirinya untuk ikut.

“Jadi lo takut sama waria, Ga?” Arga langsung terlonjak dan melepas tautan. Menatap Rara sembari meraih sebuah sate telur puyuh untuk ia makan.

“Gue dulu dikerjain sama Bagas pas di sini. Digelendotin sama waria.” Rara tertawa, tawanya sangatlah kencang hingga beberapa pasangan yang tengah berduaan juga menatap mereka.

“Ga, mereka juga manusia. Mereka kayak gini juga karena gak ada pilihan. Sama kayak lo jadi penulis lagu, leader band, gitaris. Mereka juga kayak gitu, Ga.” Kata-kata itu cukup singkat, namun membuat Arga sedikit tersentuh.

“Tumben lo bijak gini, Ra?” sindir Arga sembari menyeruput es teh manis. Yang berakibat dirinya menerima sebuah cubitan di pinggang.

“Makanya jangan rese. Udha yuk balik. Gue mau tidur, besok mau ke Gramedia. Mau hunting novel.”

“Gue temenin?”

“Gak usah. Yang ada lo keluarin kartu debit lagi ... ogah gue.”

“Spesial, buat elo. Kapan lagi kan gue bayarin?” jawab Arga yang kini bangkit dari duduk dengan sebuah risol mayo yang ia gigit.

Entah mengapa, hujan setia mengguyur kota Surakarta ketika pria berkulit coklat itu terbangun.

Pemuda itu menggerakkan beberapa sendi di tubuhnya yang kaku sebab tertidur hampir satu malam di sofa hotel beraksitektur Eropa yang dirinya tempati setelah konser penuh lelah bersama Bumilangit semalam. Membiarkan ranjang king size yang empuk itu ditempati oleh seseorang yang memiliki seluruh isi hatinya.

“Udah bangun?” Bagas tersenyum, di dalam hatinya ia panjatkan beribu-ribu ucapan syukur sebab ia masih diberikan kesempatan untuk mendengarkan suara itu. Suara milik Sabiru van Dijk, gadis yang selalu ia puja setiap dirinya berada di atas panggung konser.

“Kata Arga, hari ini free. Jadi aku mau ajak kamu ke Gramedia mau? Ada di sebelah kok, jalan kaki aja bawa payung.” Sabiru mendekati Bagas, membuat sang adam menghirup aroma coklat yang berpadu dengan aroma manis tubuh sang pujaan hati.

Rasanya, pria itu ingin sekali menenggerkan kepala di bahu gadis di sebelahnya sembari menghirup sebanyak mungkin aroma manis parfum Miss Dior yang Sabiru kenakan.

Bagas mengintip isi gelas yang ada di genggaman Sabiru dan bertanya, “Bikin apa kamu? Saya minta dong.”

Sang hawa tertawa. Menatap wajah sang lawan yang kini memanyun untuk meminta minuman yang ia genggam.

Sure, ini minum aja.” Gadis itu memberikan cangkirnya. Membuat pemuda dengan tahi lalat yang berjejer bak konstelasi bintang tersebut langsung tersenyum tengil sembari menyesap minuman itu hingga habis.

“Tadi kamu mau ke mana, Bir? Gramedia?” tanya Bagas seusai meneguk coklat hangat, menatap lekat-lekat gadis di hadapannya yang kini mengangguk.

“Aku mau beli Hilmy Milan. Baru lihat kalau bukunya udah di Gramedia.”

Tak ada angin dan tak ada hujan, Bagas mencubit pipi Sabiru dengan gemas dan mengacak-acak rambut Sabiru sebelum ia masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Tak peduli dengan dirinya yang belum mandi. Rasanya terlalu dingin jikalau memaksakan diri untuk mandi.

“Saya mau ganti baju, Sabiru. Kamu mau lihatin saya ganti baju, gitu?” Bagas terkekeh dan langsung menutup pintu kayu kamar mandi itu setelah Sabiru pergi melenggang begitu saja.


Di sinilah mereka berada, di depan lobi hotel menunggu hujan sedikit reda. Bagas melihat ke arah Sabiru, gadis itu setia menggosokkan kedua telapak tangannya sebab dingin yang sangat menusuk kulit hingga menembus ke tulang.

Bagas segera melepas jaket denim hitam yang ia kenakan, menudungkan benda itu ke puncak kepala Sabiru dan membuat gadis itu terkejut.

“Bakal lama kalau kamu menunggu, Bir. Yang ada nanti kamu beku di sini gara-gara kedinginan,” ucap Bagas hiperbola. Sabiru hanya tersenyum dan langsung berlari berdua bersama Bagas untuk membelah tirai hujan yang tak kunjung reda.

“Bagas! Nanti kamu masuk angin!” teriak Sabiru ketika Bagas melepas jaket denimnya untuk Sabiru pakai, sedangkan dirinya berjalan sembari sedikit menari di trotoar.

“Hujan itu harus dinikmati, Bir. Dari banyaknya anugrah yang Tuhan beri, saya juga bersyukur setiap hujan apalagi di pagi hari.”

“Maksudnya?” Gadis itu mengeraskan suara, berusaha mengejar Bagas yang mempercepat langkahnya.

“Bersyukur ... saya masih dapat menghirup udara segar pagi ini, saya masih dapat menikmati air tanpa memikirkan akan kekeringan, dan satu lagi ... .” Bagas menghentikan kalimatnya, lalu membalik tubuhnya ketika mereka telah memasuki bangunan berarsitektur Belanda dan berwarna putih dengan lantai corak yang menambah keindahan bangunan kuno yang dijadikan toko buku itu.

” ... saya bersyukur, saya masih bisa lihat kamu yang gosok-gosokkin tangan karena kedinginan, bisa dapat pelukan yang hangat dari kamu, dan saya sangat bersyukur karena hujan merekam kenangan kita yang tengah berjalan di tengah hujan.” Bagas tersenyum lalu mengacak rambutnya yang basah. Membuat sang gadis hanya tersenyum dan tak tahu ingin berkata apa.

Benar kata Bagas, hujan akan selalu menyimpan kenangan kedua insan itu di setiap bulir yang terjatuh ke bumi. Ia akan membawa kenangan itu kembali di saat hujan keesokan hari.

Abhipraya mengendarai mobilnya yang telah terpasangi GPS milik Segara mulai memasuki basement tempat janjian mereka. Di dalam hatinya, pria itu selalu merapalkan doa agar masalah ini cepat usai dan ia dapat kembali ke rumah membawa si sulung.

Namun apa? Hanya sebuah basement sepi yang tak ada satupun orang hingga ia sampai di parkiran blok G. Tak ada satupun tanda-tanda bahwa ada orang di tempat itu.

Gimana, Bhi? Ada orang?” tanya Segara melalui earphone yang ia kenakan secara sembunyi. Pria itu menjawab lirih pertanyaan Segara dan mulai membuka pintu mobil perlahan-lahan.

Hati-hati, Bhi. Jangan gegabah.” Abhipraya menelan ludahnya, menatap seluruh penjuru parkiran dengan sangat teliti. Kemampuannya dalam menganalisa lingkungan sangat bekerja sempurna, membuat pria bertubuh jangkung dan sedikit berotot itu berlagak santai sembari waspada.

Hingga sebuah pesan singkat memasuki ponselnya.

Kamu berbohong, Abhipraya! Apa maksudmu membawa pasukan berseragam itu? Kamu tidak sayang anakmu kah?

“Gar, lo bawa polisi berseragam?” tanya Abhipraya pelan dan dijawab dengan Segara bahwa tak ada satupun orang yang berseragam ikut bersama mereka.

Sebuah pesan menyusul, meminta pria beranak tiga itu untuk berpindah lokasi ke halte bus yang berada lumayan jauh dari posisinya saat ini.

Segara menuruti kemauan sang penculik, memutuskan untuk Abhipraya meninggalkan lokasi dan menuju ke tempat dimana menjadi titik temu sang penculik.

Namun lagi dan lagi, mereka dibohongi oleh sang penculik. Orang itu terus menerus berpindah tempat, bahkan polisi tak mampu untuk mendeteksi di mana sang penculik itu berada karena ponselnya terus menerus tak aktif.

Hingga waktu telah menunjukkan pukul lima pagi. Namun pria itu tak kunjung mendapatkan sang putra.

Segara yang berada di seberang, mulai menghampiri mobil Abhipraya. Pria itu mengetuk kaca mobil dan Abhipraya mempersilakan Segara untuk masuk.

“Balik aja yok. Susah kalau pagi gini, Bhi. Mungkin kali ini kalian semua di rumah dulu aja. Termasuk anak-anak lo yang lain.” Abhipraya menggeleng, mengambil segelas kopi yang telah dingin terpapar AC mobil, lalu meneguknya.

“Gak bisa gue, Gar. Gue hari ini ada meeting sama client penting. Si Riska juga dia dokter. Gak bisa asal izin. Rumah kosong.”

Segara mulai memutar otak, lalu teringat sang putra satu-satunya yang cukup dekat dengan keluarga Abhipraya.

“Anak-anak lo biar dijagain Jazz aja. Gimana?”

Abhipraya mulai memikir. Pria itu ingat bahwa Jazzier, putra Segara menyabet sabuk hitam taekwondo serta mahir dalam beberapa senjata dan satu lagi, ia juga ingat bahwa Jazzy sangat dekat dengan ketiga anaknya. Hal itulah membuat Abhipraya yakin dan menyetujui permintaan Segara.

“Bentar gue chat Jazz dulu.”

“Bang, gue sama Naufal mau main layang-layang. Abang les kan?” Madava berjalan menggendong tas hitam miliknya. Terlalu lama kegiatan monoton yang dilakukan Renjana di sekolah, hingga pemuda itu tak menyadari bahwa pelajaran telah usai dan seluruh teman dan saudara kandung Renjana telah pulang untuk melanjutkan aktivitas mereka.

Kini Renjana berjalan kaki, menyusuri trotoar yang penuh dengan pedagang kaki lima menuju ke tempat ia melakukan bimbingan belajar.

“Renjana, hai!” sapa seorang pria yang tak Renjana kenali. Pria itu tersenyum lantas turun dari mobil untuk menggendong tubuh mungil Renjana.

“Om disuruh Papa kamu buat jemput soalnya dia sama Mamamu lagi ada urusan di luar kota. Gak apa-apa kan kalau bareng Om dulu?” Renjana mengangguk, dan bertanya kepada pria yang menggendongnya tentang jadwal bimbingan belajar yang harus ia lewati hari ini.

“Libur dulu aja, sehari libur gak buat kamu bodoh kan?” Pria itu membuka pintu mobil, dan mendudukkan Renjana ke kursi penumpang lantas memakaikan sabuk pengaman.

Renjana kecil tak tahu, bahwa dirinya berada dalam bahaya. Dirinya justru bersenang-senang dengan pria yang mengajaknya pergi itu.

“Seriusan, Ga. Berarti Peter Parker ketiga lebih apes dong daripada Peter Parker pertama ataupun kedua?” Begitulah pertanyaan yang dilontarkan Rara ketika keluar dari bioskop dan berjalan menuruni eskalator. Arga hanya terdiam, karena ia tak ingin membuat gadis itu menceritakan keseluruhan besar cerita SpiderMan No Way Home yang bisa dia katakan, cukup menguras air mata.

“Payah lo, Ga. Masa gitu doang nangis,” cibir Rara sembari tertawa memasuki toko buku yang berada di lantai dua.

“Ngapain?”

“Nyari novel lah, masa mau cari jodoh?” Rara langsung mengacir begitu saja ke rak novel, membuat Arga semakin deja vu dengan semua tingkah Rara yang mirip seperti Echa.

Ga, are you okay?” Arga menggeleng, mengembalikan kesadarannya yang berkeliaran dan menganggukkan kepala.

I'm fucking okay. Just remember my ex. She's love a book so much. Especially a book from alternate universe. She really love it.

“Mantan lo juga penulis AU, Ga?” Arga mengangguk dan lantas mengambil sebuah buku yang menarik perhatiannya.

But she did'nt finish her book. Judulnya Constellation of Stars.”

Why?

Passed away after fighting with her HIV.” Rara menepuk bahu Arga, mencoba untuk memberikan kekuatan walaupun sedikit kepada pria itu.

“Ya gimana ya, Ga. People come and people go, kita gabisa prediksi hari itu akan datang kapan. Karena kalau lo tahu, dia akan pergi. Lo bakal melawan Tuhan hanya untuk keegoisan lo.” Rara menganggam tangan Arga, sehingga pemuda itu bisa mengusap lembut punggung tangan gadis itu layaknya dirinya dahulu mengusap dan mencium punggung tangan Echa.

Begitulah perjalanan mereka hari itu. Setelah pemuda berwajah Kanada itu menurunkan rekannya di depan rumah, Arga langsung melajukan kendaraannya menuju studio Bumilangit.

Tak lain dan tak bukan untuk memarahi dan menyampaikan sebuah pesan kepada Steve Pieter dan Margareth Joanne agar tidak berpisah seperti Peter Parker dan MJ yang ia tonton baru saja.

“Mas, gak tahan!” Riska merasakan gejolak yang tak biasa, hingga wanita muda itu mengenggam tangan Abhipraya erat-erat. Napasnya memburu, seolah-olah tengah dikejar sekawanan singa lapar.

Pembukaan jalan sang bayi belum sempurna, itulah yang mengakibatkan wanita itu menerima induksi yang membuatnya tersiksa. Rasa nyeri yang menyiksa dan membuatnya setia menggenggam erat jemari Abhipraya hingga pemuda itu ikut mengaduh kesakitan.

“Selamat ... malam Ibu Riska, maaf saya terlambat.” Seorang dokter telah datang dengan pakaian lengkap, mengambil satu persatu handscoon dan memakainya di jemari. Sembari tersenyum seolah menenangkan sepasang suami istri yang tengah menanti sang buah hati.

Mata Rivan membaca satu persatu rekap janin yang diberikan oleh perawat, lalu tersenyum dan langsung duduk untuk bersedia tempur.

“Ibu sekarang coba atur napas, tarik napas pelan-pelan dan keluarkan. Hampir seperti buang air besar, ya.” Tangan sang perawat meraih jemari Riska dan melingkarkan jemari itu ke paha Riska sebagai penopang tubuhnya.

Hari itulah, perjuangan Riska melahirkan tiga orang putra yang hebat. Satu persatu suara tangisan bayi memecah kesunyian.

Hingga hari berganti, di tanggal 24 Maret tahun 2000. Di jam dua belas tepat, suara tangisan bayi terakhir melengkapi simfoni yang telah ada. Simfoni kebahagiaan di keluarga Antareksa.

You doing great, Riska.” Abhipraya mengecup kening Riska lalu mengelap peluh yang ada di wajah wanita yang dicintainya itu.

“Namanya kamu aja yang mikir, Mas. Aku capek.” Riska tersenyum sembari sesekali mengatur napasnya. Membiarkan pria di sebelahnya itu mulai berpikir satu persatu nama. Hingga ia teringat beberapa nama impian sang istri.

Renjana Galih, Madava Enozekiel, dan Naufaludin Mahardika. Itulah nama yang terlintas di otak pria itu. Hingga akhirnya, tersemat di ketiga bayi manis yang kini tengah terlelap.

“Papa sangat berharap sama kalian,” ucap Abhipraya dan mata yang setia memandang ketiga bayi itu dengan penuh cinta.

Suasana sunyi menyapa raga Nathan. Pemuda itu membelah seluruh nisan dan gundukan tanah yang ada. Menuju sebuah makam bernisan putih dengan ukiran nama seseorang dengan warna emas yang sangat indah.

Pemuda itu tersenyum sedikit kecut, terbayang wajah mengesalkan pemuda yang beristriahat di balik tanah itu semasa hidupnya.

“Gue kelamaan dateng, ya? Maaf, sibuk tanda tangan buku. Ha ha ha,” celetuk Nathan yang kini berlutut dan mulai duduk bersila menatap batu nisan yang tak akan menjawab pertanyaannya.

“Gue bingung, Tar. Dunia makin gila semenjak kehilangan elo. Gue sampai lupa diri gue sendiri.”

Nathan memulai pembicaraan, membiarkan alam membisikkan jawaban dari sahabatnya yang kini menempati surga, mungkin menjaga Nathan dari dunia yang begitu kejam.

Jemari Nathan bergerak mencabuti satu persatu rerumputan liar yang tumbuh. Menunjukkan bahwa keluarga sahabatnya sangat jarang berkunjung.

“Gue dulu denial. Masih gak percaya, stuck di satu titik. Gue dulu ngira, gue pembunuh elo. Pelukan ke gue itu jadi malapetaka. Makanya, gue jarang banget ke makam elo.”

Tak ada satu jawaban dan kini Nathan membuka sebuah air mawar yang ia bawa di tas selempang, menuangnya di atas gundukan tanah itu hingga habis.

“Gue juga kira, momen itu kutukan buat gue. Semua kenangan gue yang lama sampai di detik lo meluk gue, hilang! Beneran gue lupa. Otak gue hanya terkunci di momen lo meluk gue sampai elo udah di peti. Gue kira itu kutukan Tuhan yang paling gila buat gue, Tar. Gue bener-bener gila waktu itu.”

“Tapi gue inget satu kata elo, buatlah hidup lo bermakna walaupun satu kali. And semenjak itu, gue bener-bener mulai mencoba hidup gue bermakna. Sama istri gue, sama semua pembaca gue. Everything!”

Nathan tertawa dengan jemari yang masih setia menabur bunga yang ada di plastik hitam.

“Gue bener-bener terima kasih sama lo, Tar. Mungkin lo gabisa balik lagi buat bela gue, buat ngomelin gue, buat ajak gue ke makam kakek. Tapi gue bener-bener tahu dan paham arti hidup yang lo coba kasih ke gue. Tentang gimana lo punya kendali penuh atas keputusan hidup lo, tentang gimana menjalani hidup, tentang apapun itu. Bahkan jadi orang tua yang perhatian tapi tidak mengekang. Gue belajar dari elo yang justru pergi duluan.”

Nathan tersenyum, lalu bangkit berdiri dan menepuk beberapa bagian di pakaiannya yang berdebu. Menatap nisan itu untuk terakhir kalinya dan berkata, “Sampai ketemu nanti ya, Om Tara. Ha ha ha! Dapet salam dari ponakan lo yang paling ganteng.”

Suara John Mayer menyanyikan lagu yang bertajuk You're Gonna Live Forever in Me yang bersanding dengan suara hujan di luar membuat Arga terdiam. Matanya terpejam, dengan tangan yang ia lipat di belakang kepala. Membiarkan seluruh petrichor meraup seluruh indra penciumannya.

You're gonna live forever in me

Arga menyanyikan bagian itu, dilanjutkan dengan senandung lembut sembari otaknya yang memutar kembali kenangan bersama Echa.


Jakarta, 2017

“Arga! Hujan, ih! Nanti kamu masuk angin.” Suara gemericik air yang mengenai bumi tak menghentikan Arga yang kini telah basah kuyup. Senyuman masih terpancar dari wajah bulenya, tak peduli bagaimana nasibnya nanti.

Tangan dingin dan basah milik pemuda itu meraih jemari Echa, berusaha agar sang gadis memasuki tirai air itu dan menikmati kota Jakarta yang tengah tersiram hujan.

“Hujan tiga puluh menit gak buat kamu basah, Echa. Katanya ketua Dewan Ambalan?” Pertanyaan meremehkan Arga memancing Echa. Ia mulai melepas sepatu dan kaos kaki, serta menaruh tasnya di serambi kelas. Gadis itu merasa tertantang dengan ucapan Arga dan pemuda itu mulai tersenyum sembari mengulurkan tangan seolah-olah mengajak gadis berambut sebahu itu untuk berdansa di tengah rintik hujan.

“Mau berdansa, nih?” Echa terkekeh dan meraih jemari Arga. Kedua insan itu langsung menikmati hujan yang menjadi musik pengiring. Berdansa dan tertawa seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua.


Arga membuka matanya dan tersenyum. Momen itu menciptakan satu persatu bait dan saling berkaitan menjadi sebuah lagu. Membuat pemuda itu meraih ponsel dan mengetik seluruh ide yang ada menjadi sebuah lagu.

Hingga setelah itu ia tersenyum sembari menatap tulisan miliknya, ia merasa bangga pernah menjadi kekasih seorang Echa Malik Baskhara.

Semua kenangan Echa tersimpan di kalbu dan Arga akan selalu menghidupkan gadis itu di setiap lirik yang ia tulis.